Jumat, 25 Desember 2009

Konsep Sosio-Ekologis Masyarakat Gayo, dalam Pemeliharaan Ekosistem

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Dewasa ini, di Takengen, dataran tinggi tanoh Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam, lagi gencar-gencarnya menyuarakan penyelamatan Lut Tawar dari kerusakan. Lut Tawar, yang lebih dikenal Danau Laut Tawar merupakan danau kebanggaan masyarakat Aceh. Fungsi danau ini tidak sebatas untuk memenuhi kebutuhan estetis-religius alamiah bagi masyarakat tempatan. Selain itu, danau ini menjadi pelengkap keindahan kota Takengen. Lebih dari itu, selain menyanggga kebutuhan air bagi masyarakat Aceh Tengah, dan Bener Meriah, danau ini juga melengkapi kebutuhan air bagi masyarakat Kabupaten Biren, Kabupaten Lhokseumawe, dan Kabupaten Aceh Utara melalui aliran wih ni Gayo, sungai yang berhilir di Pesangan, Kabupaten Biren.

Tanggal 21-22 November yang lalu, berbagai elemen kepemudaan menggelar Workshop Lut Tawar yang mencoba mengidentifikasi pelbagai persoalan, sekaligus langkah ril penyelamatan melalui Forum Penyelamat Lut Tawar. Penyelenggaraan kegiatan tersebut merupakan buah kesadaran kolektif pemuda terhadap kelangsungan, dan keterwarisan ekosistem dataran tinggi tanoh Gayo, Takengen, terlebih lagi Lut Tawar. Kegiatan ini memberikan efek yang lebih besar terkait kesadaran kolektif yang lebih besar dengan tindakan ril. Setelah workshop tersebut, pelajar Aceh Tengah melalui SMA Negeri 1 Takengen memprakarsai pembentukan Forum Pemerhati Muda Lingkungan dengan mengkampayekan hidup sehat&ramah lingkungan dengan program bike to school (bersepeda ke sekolah). Langkah tersebut diikuti pula dengan sekolah lainnya di Takengen, dengan pembuatan eco club (kelompok pemerhati lingkungan) di masing-masing sekolah.

Lantas, bagaimana sebetulnya konsep sosio-ekologis masyarakat Gayo yang bertautan dengan pemeliharaan ekosistem? Konsep sosio-ekologis tersebut bisa saja terekam melalui sastra lisan yang dimiliki masyarakat ini dengan pelbagai bentuk, isi, dan fungsinya terhadap pemeliharaan, dan kelangsungan lingkungan. Biasanya gambaran tersebut tergambar dengan jelas dalam perbendaharaan kosakata yang ada dalam bahasa masyarakat Gayo. Dengan kata lain, berada dalam tataran leksikal bahasa Gayo. Kosakata tersebut mengandung pelbagai konsep, muatan, dan fungsi soal pemeliharaan, dan penyelamatan ekosistem. Singkatnya, jiwa masyarakat tempatan terwataki dalam perbendaharan kata-kata yang ada dalam bahasa yang mereka pakai, yaitu bahasa Gayo.

Menurut M. Jusin Saleh, Sekretaris Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo (MAANGo), berkenaan dengan pemeliharaan danau, menyebutkan, bahwa dulunya, masyarakat Gayo dalam membuka perkampungan baru, diharuskan jauh dari danau. Hal tersebut bisa di lihat dari kampung-kampung tua di seputar danau. Salah satunya adalah kampung Bintang, yang letaknya agak jauh dari danau. Konsekuensinya, Lut Tawar tidak akan tercemari dengan sampah rumah tangga, dan bentuk pencemaran lain yang berakibat pada sendimentasi, dan ketidakseimbangan danau. Konsep yang pertama berlaku pula dalam pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sebagai akibatnya, danau tidak akan tercemari pupuk organik, pestisida, dan bahan-bahan yang dapat membahayakan kelangsungan biota kedanauan lainnya, baik secara ragawi, maupun secara sosial. Selanjutnya, bertalian dengan hutan, sebelumnya, masyarakat Gayo biasa membudidayakan penanaman ‘jedem’ (bahasa Gayo), salah satu tumbuhan yang ditanam di kaki gunung seputar danau. Bagian daunnya yang tebal, dan tajam tidak memungkinkan hewan liar masuk ke lahan perkebunan penduduk. Tumbuhan ini juga menyerap banyak air, sehingga bila terjadi kebakaran, apinya tidak akan sampai ke lahan perkebunan penduduk, dan gunung-gunung yang dipenuhi pinus mercusi. Sayangnya, ketiga hal di atas tidak lagi ditumbuh-kemangkan, dan diberdayakan di Takengen.

Salah satu penyebab akumulasi kerusakan danau ini (tambah ekosistem Takengen umumnya), adalah kurang diberinya ruang bagi pemerintahan sistem tradisional yang ada di Gayo, Takengon, terlebih-lebih di seputar danau untuk hidup. Lembaga tradisional dimaksud adalah pemerintahan Sarak Opat, tambah bagian-bagian terkait persoalan di atas, khususnya pawang, kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang lut, dan pengulu rerak (al-Gayoni, www.gayolinge.com, 11 November 2009). Sistem keadatan melalui pemerintahan Sarak Opat yang menjadi bagian sistem sosial kemasyarakatan orang Gayo tersebut tidak lagi berjalan. Hanya sebatas simbol, dan pelengkap yang kaku. Akibatnya, lembaga keadatan tidak lagi bermarwah, dan berwibawa. Begitu juga dengan tanggung jawab moral secara personal, lembaga keadatan, dan kolektif prihal pemeliharaan lingkungan sekitar tidak lagi berjalan dengan baik.

Ketakseimbangan ekosistem tersebut tidak sebatas fisik (biotik) seperti paparan di atas, tetapi juga non-fisik (abiotik), khususnya di tataran sosial. Penyusutan sosial-ekologis terjadi di masyarakat seputar danau. Hal tersebut terjadi pula pada masyarakat Takengen, dan umumnya tanoh Gayo. Hal tersebut ditandai dengan perubahan-perubahan norma, nilai, dan budaya masyarakat seputar danau, yang salah satunya ada dalam bahasa. Dalam sudut pandang, ekolinguistik atau ekologi bahasa, lingkungan berbahasa masyarakat penutur dengan pemakaian bahasa Gayo telah banyak berubah. Perubahan tersebut erat kaitannya dengan perubahan sosio-ekologis tadi. Hubungan tersebut saling mempengaruhi satu sama lain, baik dari perspektif bahasa, maupun dari perspektif lingkungannya. Banyak leksikon yang tidak dikenal lagi, dan terekam dalam ingatan pentuturnya, terlebih-lebih penutur yang lebih muda (generasi muda). Sementara itu, seperti kata Einar Haugen, ekologi bahasa ditentukan melalui pembelajaran, penggunaan, dan peng-alihan bahasa tersebut. Misalnya, sebelumnya, penamaan kampung di seputar danau sebanyak 128 kampung (Saleh, 2009). Namun, saat ini masyarakat Gayo, khususnya generasi muda tidak lagi mengenal nama-nama tempat tersebut, karena tidak berjalannya alih bahasa, dan budaya seperti yang disyarakatkan Haugen dalam kajian Ekolinguistik.

Boleh jadi, masih banyak lagi konsep-konsep ekologis dalam pemeliharaan lingkungan dalam masyarakat Gayo. Kekayaan konsep tersebut, seperti dijelaskan di atas, terekam dan tergambar dalam bahasa melalui kosakata yang ada dalam bahasa Gayo. Dikarenakan, gambaran fisik, dan sosial penutur suatu bahasa ada dalam kosakatanya, seperti yang dijelaskan Edward Sapir. Karenanya, ke depan, perlu dikaji-ulang persoalan pemeliharaan, dan penyelamatan lingkungan yang ada dalam bahasa, dan budaya Gayo. Pengkajian tersebut perlu dilakukan, dalam mentransmisikan dan pemberdayaan konsep-konsep sosio-ekologis kepada generasi muda, mengingat pentingnya pemeliharaan, dan pewarisan lingkungan yang ada kepada generasi mendatang.


*Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Konsentrasi Ekolinguistik

Sumber : http://www.gayolinge.com/detail/Opini/News/328-Konsep_Sosio_Ekologis_Masyarakat_Gayo__dalam_Pemeliharaan_Ekosistem (Diakses tanggal 24 Desember 2009)

Kamis, 17 Desember 2009

Menyelamatkan Bahasa-Bahasa Daerah di Aceh

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Bahasa tidak sebatas alat komunikasi. Lebih dari itu, bahasa mengandung visi budaya; merekam, memelihara, dan mewariskan konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis dari masyarakat tempatan. Seperti halnya mahluk hidup, bahasa juga hidup, berkembang, dan memungkinkan untuk mati. Hal ini, bisa didekati, salah satunya melalui ekolinguistik, kajian interdisipliner dalam linguistik, yang melihat tautan antara bahasa dan lingkungannya. Sebaliknya, perubahan lingkungan (ekosistem) terekam dengan jelas, terlihat dan tergambar dalam bahasa.

Salah satu penyebab menjadikan bahasa tidak lagi tertutur, terpelihara, dan terwaris, adalah tidaknya adanya tempat bahasa itu untuk hidup. Lingkungan bahasa berubah, yang mengakibatkan hilangnya register (istilah) yang berhubungan dengan ragam tertentu. Misalnya, bentuk rumah di Aceh, yang dulunya berbentuk panggung, kini sudah menyatu dengan tanah. Otomatis, register yang berhubungan dengan rumah panggung tadi hilang, dan tidak lagi dikenal generasi penutur yang lebih muda. Dari aspek sosiologis, pengaruh tadi semakin besar, yang memengaruhi sikap guyub tutur terhadap bahasanya, sebagai bagian dari ekosistem secara keseluruhan (komunitas tutur). Interaksi budaya, pluralitas etnik, dan heterogenitas budaya berpengaruh kuat terhadap pola pikir, sikap, dan pola tindak penutur bahasa. Misalnya saja, sikap SMU negeri di Banda Aceh tidak lagi setuju dengan pemakaian bahasa Aceh antarsiswa yang sama-sama orang Aceh. Alasannya, pemakaian bahasa Aceh dianggap kuno, bahasa Aceh kurang komunikatif, dan bahasa Aceh tidak diperlukan di sekolah (Taib et all, 2004 dalam Isda Pramuniati, 2009)

Begitu juga di Takengon, penelitian terbaru menunjukkan (al-Gayoni, 2009), bahasa Gayo dimungkinkan punah sekirannya sikap berbahasa penututur bahasa ini tidak berubah. Penutur bahasa Gayo kurang sadar, tidak setia, dan tidak lagi menuturkan bahasanya, terutama di empat kecamatan di Takengon, yaitu kecamatan Bebesen, kecamatan Kebayakan, kecamatan Lut Tawar, dan kecamatan Pegasing. Kurangnya dipakainya bahasa ini juga akibat pindahnya penuturnya ke daerah lain, yang jarang melakukan kontak satu sama lain. Disamping itu, penggunaan bahasa Indonesia kian meluas dalam ranah kehidupan sosial di Takengon. Tidak sebatas dalam keluarga, lingkungan ketetanggaan, masyarakat, bahkan telah menembus kampung-kampung. Kemudian, transmisi budaya, termasuk transmisi bahasa kurang berjalan dengan baik dari generasi tua (1920-1960) ke generasi muda (1970-sekarang). Akibatnya, generasi yang muda tidak lagi mengenal konsep budaya tempatan.

Ditambah lagi, terbatasnya rujukan tertulis, kurangnya penulis, dan tidak adanya budaya/lingkungan menulis. Peristiwa masa lalu hanya dikuatkan melalui sastra lisan, yang ada sepuluh di Gayo (salah satunya didong). Yang lebih penting, dan memiliki peran penting terhadap penyelamat bahasa Gayo, adalah tidak adanya politik (language politic), kebijakan (language policy), dan perencanaan bahasa Gayo (language planning) dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, yaitu dengan pengajaran, dan pembelajaran bahasa Gayo mulai dari play group sampai pendidikan tinggi. Kalau pun ada, masih sangat terbatas, dengan kurikulum, dan tenaga pendidikan yang cenderung “dipaksakan.”

Pluralitas etnik, interaksi, dan heterogenitas budaya sangat memengaruhi penutur bahasa-bahasa daerah di Gayo, dan Aceh umumnya. Dengan begitu, diperlukan bahasa kedua sebagai bahasa pengantar, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sangat mendominasi dalam berbagai peristiwa tutur yang ada. Bahasa Indonesia turut pula “membunuh” bahasa daerah terlebih-lebih bahasa-bahasa minor di Aceh. Bahasa daerah tidak lagi mendapat tempat untuk bertahan, terpakai, serta terwaris. Telah pula tergusur oleh pemakaian bahasa yang lebih berprestise, dan memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Tidak adanya tempat bahasa untuk hidup itu, berdasarkan perspektif ekolinguistik dikarenakan perubahan ekosistem, mobilitas penduduk, kebijakan yang tidak ramah terhadap bahasa, serta budaya umumnya, persaingan bahasa, dan lain-lain.

Disamping itu, dari sisi jumlah penutur, bahasa Gayo dituturkan tidak lebih dari 500 ribu penutur (perkiraan penulis), sementara bahasa Aceh lebih dari 1 juta. Tentu, jumlah penutur bahasa-bahasa minor lainnya, seperti Alas, Tamiang, Simelue, Anak Jameuk, Kluet dan Singkil lebih kecil dari bahasa Gayo. Dari sisi jumlah penutur, bahasa Aceh lebih diuntungkan dalam hal ini, berpenutur lebih besar. Namun, tidak ada jaminan, besarnya penutur bahasa akan menjadikan bahasanya bertahan. Kebertahanan suatu bahasa berada pada penutur bahasa bersangkutan, untuk senantiasa memakai bahasanya dalam kehidupan yang lebih luas.

Melihat gambaran penelitian di Takengon, tanoh Gayo tersebut, perlu upaya yang lebih serius terhadap penyelamatan bahasa-bahasa daerah di Aceh dari Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten terutama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai leading sector, terlebih lagi, bagi bahasa-bahasa minor yang sudah sudah diambang kritis (endangered language), termasuk bahasa Gayo di dalamnnya. Upaya tersebut dilakukan, sebagai prioritas awal; dengan pendokumentasian tertulis bahasa, dan apa pun terkait dengan etnik tersebut, selain menggugah kesadaran akan pentingnya pemakaian, dan memertahankan bahasa daerah. Pemertahanan bahasa daerah ini penting, karena bahasa daerah merupakan identitas, merekam kearifan-kearifan lokal, konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis dari masyarakat tempatan.


*Mahasiswa Pascasarajana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU)

Sumber: www.gayolinge.com (5 Oktober 2009)

Jumat, 11 Desember 2009

Misi “Kemanusiaan” Didong

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Abdul Latif, demikianlah nama salah seorang pengarang, sekaligus ceh pada kelop (kelompok/grup Didong) Kebinet, Bebesen, Takengon, Aceh. Kelop ini terbilang kelop tua dalam dunia didong di tanoh Gayo. Didong sendiri merupakan seni yang memadukan puisi, gerak, dan vokal. Tanggal 21 November 2009, kebetulan penulis bertemu Abdul Latif, yang kerap disapa Atif, di salah tempat pangkas rambut di Kampung Simpang Pet, Kecamatan Bebesen, Takengon. Bagi masyarakat Bebesen dan Takengon, Latif merupakan salah satu ceh kul (ceh legendaries, dan cukup disegani). Penulis kerap mendengar namanya dari masyarakat. Namun, belum pernah bertemu, dan bercerita secara khusus soal didong, dan keterlibatannya di dalamnya.

Karenanya, kesempatan yang jarang terjadi tersebut, penulis manfaatkan untuk menanyakan soal keterlibatannya dalam, dan umumnya soal didong. Tatapan kosong Atif tertuju pada antrian mobil yang ada di bawah. Kami sendiri; penulis, awan (kakek) Dahlan, dan ama (bapak) Atif berada di tempat yang lebih tinggi. Tepatnya, di tempat pangkasnya awan Dahlan. Gerimis hujan, menjadikan tempat tadi bertambah dingin, terlebih-lebih saat angin dari arah kampung Bebesen berhembus. Memang, saat itu, dan sejak penulis berada di Takengon, hampir setiap hari, kota Takengon terus diguyur hujan. Dengan penuh penjiwaan, keluar-lah suara yang kurang terdengar begitu jelas dari mulut Atif. Namun, penulis bisa menangkap warna, makna, dan pesan di balik suara tadi. Percakapan hangat pun berlangsung, saat guk khas Atif keluar. Sementara itu, awan Dahlan pun larut memangkas rambut penulis. Penulis lebih banyak diam, dengan sesekali bertanya, sembari mendengar guk puisi-puisi yang dilagukan, dan memperhatikan raut wajah, tambah bahasa tubuh Atif.

Atif yang sehari-hari berkerja sebagai toke kopi, memulai didong sejak tahun 1965. Pada saat itu, selain mencipta, Latif sudah menjadi ceh. Suara Latif begitu khas, “merdu” dan enak di dengar. Begitulah harusnya seorang ceh didong di tanoh Gayo. Selain mampu menciptakan lirik didong (puisi), seorang ceh harus memiliki suara yang bagus, dan mampu membawakan lirik-lirik tadi (menjadi vokalis didong). Namun, dewasa ini, kata Atif, banyak ceh yang tidak memenuhi syarat. Lebih banyak ceh-ceh-han. Umumnya ceh sekarang, hanya mampu membawakan lirikan didong. Itu pun karya ceh lain, yang sudah kerap dibawakan dalam didong, atau lagu. Belum lagi, suara-nya yang pas-pas-san. Ceh yang ada sekarang cenderung memaksakan diri, asal disebut ceh. Banyak ceh tidak lagi mampu mencipta, terlebih lagi dengan kandungan nilai-nilai, dan filsafat sastra Gayo yang tinggi. Enti mu lelang empus si nge lapang, kata Atif sambil tertawa. Artinya, jangan membersihkan rerumputan (yang ada di) kebun yang sudah lapang. Sebaliknya, harus mampu menciptakan karya sendiri, tidak plagiat, dan tidak mengklaim karya orang lain jadi milik sendiri.

Bagi Atif, didong harus mampu menjadi sarana pemersatu, dalam menciptakan harmoni sosial di tanoh Gayo, dan Aceh. Bagaimana mau harmoni, dalam perkembangan didong, ceh dan kelop didong sekarang, saling membuka aib. Bahasa yang digunakan, juga bahasa yang “vulgar,” langsung, dan cenderung kasar. Ceh sudah jarang yang berfilsafat, menggunakan filsafat bahasa, bahasa yang santun, dan tidak lagi memakai simbol-simbol. Dalam dunia didong, hal tadi terkandung dalam tamsil, dan ibarat. Begitulah pegeseran nilai, norma, dan budaya dalam didong, dan umumnya budaya orang yang berdiam di tanoh Gayo.

Selanjutnya, didong harus mampu bertindak sebagai sarana pembangunan “pencari dana sosial” (meminjam istilah Melalatoa). Ingatan penulis langsung tertuju pada “Mesejit Mutelong” (Masjid Terbakar), salah satu karya Abdullah Mongal, yang lebih dikenal dengan sapaan Gecik Tue Mongal. “Mesejit Mutelong” ini mengisahkan terbakarnya Mesjid Bebesen (sekarang Mesjid Besar Quba Bebesen yang ada di Takengon), yang dibakar anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), 21 Juli 1965. Ketika itu, pencarian dana pun dilakukan Kelop Kebinet di berbagai tempat di Takengon (termasuk Bener Meriah). Atif sendiri bertindak vokalis, yang dipercayakan membawakan lagu ini. Penonton tak mau ketinggalan, berduyun-duyun menyaksikan pementasan Atif, dan Kelop Kebinet dari kampung Bebesen, sambil bersedekah. Mesejit Mutelong ini begitu menggugah, menyetuh rasa, dan mendorong masyarakat Bebesen khususnya, umumnya masyarakat Takengon, bahkan sampai ke luar daerah, untuk terlibat langsung dalam rekonstruksi, dan rehabilitasi masjid, dan masyarakat Bebesen melalui berbagai bentuk donasi yang diberikan kala itu.

Fungsi yang kedua ini yang sudah jarang diperankan dalam sejarah didong kontemporer di tanoh Gayo. Pementasan terakhir (sepetahuan penulis), dalam bentuk didong jalu (bentuk didong yang dipertandingkan), berlangsung tanggal 21 November 2009 lalu, antara Kelop Sebaya Bujang, dengan ceh-nya Ikhwansyah, dari Kabupaten Aceh Tengah dan Kelop Meriah Dama, dengan Arifin Muslim yang juga bertindak sebagai ceh, dari Kabupaten Bener Meriah. Pementasan ini bertujuan untuk menggalang dana dalam pembangunan Gedung Laboratorium Micro Teaching Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon, yang lantai dua-nya digunakan untuk Lembaga Penelitian dan Pengembangan, sekaligus dipakai untuk Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat.

Terakhir, bagi Atif, kesenian tradisional Gayo ini harus mampu menjadi sarana kemajuan. Kemajuan yang dimaksud tidak sebatas pembangunan fisik, melalui penggalangan dana, melainkan non-fisik, baik dalam pembentukan pola pikir, pola sikap, maupun pola tindak yang “sehat,” dan baik. Kemudian, ceh, melalui karya, dan kelop didong, harus mampu memperkenalkan tanoh Gayo ke luar. Akibatnya, masyarakat luar, tahu potensi yang dimiliki tanoh Gayo. Pada akhirnya, mereka akan berinventasi ke daerah Gayo. Dengan begitu, akan tercipta kesinerjisan dalam pembangunan tanoh Gayo, baik ceh, rakyat, berbagai elemen masyarakat dengan masing-masing potensi yang dimiliki, pemerintah, dan pihak luar.

Dalam amatan penulis, Atif tidak lagi aktif berdidong seperti awal-awal keterlibatannya. Keterlibatannya dalam didong lebih karena pergaulan sosial. Dengan kata lain, Atif tidak menggantungkan hidup sepenuhnya pada didong. Kekurang-aktifannya dalam didong belakangan, dan dewasa ini, karena kurangnya penghargaan kepada ceh-ceh. Para ceh dan kelop didong diperlukan hanya untuk saat, dan keperluan tertentu. Setelah itu, para ceh, dan kelop didong “dicampakkan” begitu saja. Tak jarang, karya ceh banyak yang digubah, “diambil” ceh, atau pihak lain, dengan sengaja, dan tanpa izin “di curi.” Begitu juga dengan pemerintah, yang masih kurang menghargai ceh, terutama yang berkenaan dengan ekonomi ceh “kelangsungan hidup.” Akibatnya, ceh tak mampu fokus, dan total dalam mencipta, dan ber-didong, karena benturan perkara dapur. Umumnya, memang masih belum ada pembangunan kebudayaan, termasuk di dalamnya pembangunan sejarah, dan pembangunan pendidikan yang jelas, tepat, terarah, dan berkelanjutan di tanoh Gayo, khususnya di Takengon. Semua dibiarkan berlalu, dan hilang tanpa ada sentuhan, dan upaya penyelamatan. Walaupun, dewasa ini pergeseran nilai, norma, dan budaya masyarakat Gayo terjadi begitu deras.

Begitulah gambaran kecil pemikiran, dan kontribusi Atif selaku ceh dalam dunia didong di tanoh Gayo, Aceh, khususnya di Takengon dan Bener Meriah. Begitu pula ceh, dan kelop didong lainnya. Keberadaan mereka tutur berkontribusi bagi perkembangan daerah. Sumbangsih pemikiran, dan peran serta ceh dalam didong, berhasil membentuk konstruksi, dan harmonisasi sosial, serta berbagai kemajuan yang dicapai di tanoh Gayo. Bahkan, didong telah pula mengenalkan tanoh Gayo ke dunia luar. Alhasil, melalui didong, nahma, derajat, dan marwah daerah ini, Takengon, tanoh Gayo, dan Aceh turut pula terangkat.


*Pemerhati Kebudayaan Gayo, Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Medan

Sumber: www.gayolinge.com (11 Desember 2009)

Selasa, 08 Desember 2009

Ekologi Sosial Bertutur di Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Tutur merupakan sistem panggilan atau bentuk sapaan yang ada dalam masyarakat Gayo. Melalatoa dalam Kamus Bahasa Gayo – Indonesia, mendefinisikan tutur sebagai sistem atau istilah kekerabatan (1985:406). Bertutur diartikan dengan penggunaan tutur, sistem, tata, atau istilah kekerabatan. Terminologi tutur ini merupakan leksikon yang berbeda dengan kata tutur yang terdapat dalam bahasa Indonesia, atau tutur (speech) dalam bahasa Inggris. Ketiganya memiliki istilah yang sama, dengan pengertian, muatan, dan simbol yang berbeda.

Dalam tutur tergambar cara, sikap, dan kesantunan berbahasa pengguna tutur. Melalui tutur, juga dapat diketahui, sifat, karakter seseorang, dan kesensitifan seseorang. Dengan kata lain, penggguna tutur mengetahui, mengerti, memahami, dan menghargai mitra tutur-nya secara mendalam. Dalam istilah lokal dikenal, jema si be tutur, barti jema mu agama, mu edet, dan mu peraturen. Artinya, orang yang bertutur (menggunakan tutur) berarti (yang bersangkutan) orang yang beragama, beradat, dan berperaturan (tahu resam dan peraturan terkait komunikasi dan hubungan interpersonal). Tutur menjadi ruh dari adat istiadat yang berlaku di Gayo. Tutur tidak terbatas menyentuh kajian psikis, menggambarkan norma, nilai, sosio-kultural, melainkan menggambarkan nilai-nilai personal, kolektif, filosofi, dan relijiusitas penuturnya. Lebih dari tutur, sebagai simbol sosial, dan identitas orang Gayo, akhirnya menciptakan keharmonisan sosial dalam masyarakatnya.

Namun, belakangan, tutur sudah mulai kurang dipakai. Bahkan, tutur sudah mulai ditinggalkan penuturnya. Kurangnya penggunaan tutur dalam masyarakat Gayo, secara umum disebabkan dua faktor. Pertama, faktor internal, yaitu pengguna tutur yang bersangkutan yaitu masyarakat Gayo sendiri. Masyarakat Gayo kurang menyadari nilai-nilai filosofis, moral, religi, dan kekayaan kandungan tutur. Bahkan, secara umum, masyarakat ini kurang menghargai budaya yang terwaris pada mereka, permisif, inferior, dan apatis terhadap budayanya sendiri. Dalam tautan tersebut, tutur tidak diajarkan di dunia pendidikan formal, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Begitu juga secara informal (dalam keluarga). Pengguna tutur juga enggan mempelajari tutur. Konsekuensinya, tutur jarang digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, lingkungan bertutur (semacam model bertutur) tidak akan tercipta dengan baik antar individu, dalam keluarga, lingkungan ketetanggan, maupun dalam masyarakat. Lebih dari itu, tutur tidak dilestarikan, misalnya dalam bentuk pengkajian, penelitian, pensosialisasian dan pendokumentasian.

Kedua, faktor eksternal, yaitu pengaruh yang berasal dari luar masyarakat ini. Pengaruh kedua ini dirasakan berpengaruh besar terhadap lingkungan, atau ekologi sosial bertutur. Terlebih lagi, masyarakat tempatan bersifat terbuka, toleran, dinamis dan akomodatif terhadap perubahan. Dengan begitu, pengaruh tadi dengan cepat masuk dalam kehidupan sosial masyarakat ini. Misalnya saja, penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dipandang lebih berprestise, komunikatif, dan memiliki nilai ekonomis yang lebih. Sistem panggilan yang ada dalam bahasa ini mengalahkan sistem tutur yang ada.

Selanjutnya, interaksi budaya, pengaruh ini cukup mempengaruhi penggunaan tutur dalam masyarakat ini. Terlebih lagi, lingkungan ekologis bahasa Gayo didiami lebih dari delapan etnik, yaitu Aceh, Jawa, Cina, Padang, Toba, Karo, Mandailing, Cina, Melayu, Sunda, dan lain-lain. Salah satunya, terjadinya perwakinan silang, dan komunikasi budaya. Terlebih lagi, pihak laki-laki bukan orang Gayo, maka penggunaan, dan pemertahanan tutur tadi semakin kecil. Begitu juga dengan komunikasi budaya, berujung pada kompetisi budaya, salah satunya adalah penggunaan tutur dimaksud. Akhirnya, evolusi ekologis bertutur , menjadikan tutur yang ada pada masyarakat tempatan kurang dipakai. Ditambah lagi, kurangnya kesadaran masyarakatnya sendiri.

Pengaruh lain yang dominan adalah media, baik media cetak maupun elektronik. Salah satu contoh yang paling nyata adalah pengaruh televisi. Televisi berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Gayo, tak terkecuali dalam hal penggunaan tutur. Misalnya saja, anak-anak, atau pelaku tutur tidak lagi menyapa orang tuanya dengan sapaan ama (bapak) atau ine (ibu). Untuk keluarga yang lebih besar, awan (kakek) dan anan (nenek) katakanlah. Akan tetapi, mereka (anak-anak tadi), menggunakan bentuk sapaan persona bahasa Indonesia seperti bapak, papa, mamak, bunda, mama, kakek dan nenek. Begitu juga halnya dengan pengaruh bahasa prokem yang kerap tayang di televisi; lu, gua, dan lain-lain, turut memengaruhi anak muda di tanoh Gayo, khususnya di Takengon (meski pengaruhnya masih kecil).

Terakhir, lingkungan, kurangnya penggunaan tutur tadi, baik secara personal, dalam keluarga, lingkungan ketetanggaan, masyarakat, dalam dunia pendidikan, maupun dalam berbagai tindak bertutur, menjadikan lingkungan bertutur tidak terbentuk (ekologi bertutur). Akibatnya, tidak adanya model bertutur yang ideal yang dapat dijadikan contoh, yaitu acuan pembelajaran, pengajaran, dan pemeraktekkan tutur. Dengan begitu, terlebih lagi anak-anak, akan semakin kurang melihat (dalam bentuk bacaan), memperhatikan, mendengar, mengingat, dan menerapkan tutur tersebut dalam pergaulan mereka sehari-hari (al-Gayoni, 2009: 277-280). Kalau tutur tidak lagi terekam dalam kognisi penggunanya, tambah lagi tidak terujuknya tutur tadi dalam penggunanya, maka pengaruh hilangnya tutur ini semakin besar. Dengan begitu, tutur yang berfungsi sebagai simbol sosial, dan merefleksikan identitas ke-Gayo-an, menjadikan kandungan budaya yang melekat pada tutur juga hilang.


*Penulis buku “Bertutur di Tanoh Gayo,” & Mahasiswa Pascasarjana Linguistik, Konsentrasi Ekolinguistik (Ekologi Bahasa) Universitas Sumatera Utara (USU)

Sumber: www.gayolinge.com (diakses tanggal 8 Desember 2009)

M. Yusin Saleh Sang Profesor Bahasa Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

*Pemerhati Kebudayaan Gayo, dan Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Medan

Di kalangan masyarakat Gayo, khususnya di Takengon, Aceh Tengah, nama M. Yusin Saleh tidak asing lagi. Selain di Takengon, dan tanoh Gayo, beliau dikenal pula di Bireuen, juga di lingkungan Dinas Perternakan Aceh. Selain sebagai mantan Kadis Perternakan, di tanoh Gayo, M. Yusin dikenal sebagai pelaku sa’er, dan didong pada kelop Ketimil. Sa’er, dan didong merupakan dua dari sepuluh sastra lisan yang dimiliki masyarakat Gayo. Sa’er berisi puisi yang bertemakan nilai-nilai religius, yang biasanya “dinyanyikan” bersama. Sementara itu, didong merupakan konfigurasi puisi, vokal, dan gerak dengan berbagai topik, muatan, dan simbol sosial. Putra pasangan M. Saleh dengan Siti Halimah ini, lahir di Kampung Bujang, Takengon, Propinsi Aceh, tanggal 19 September 1947. Nama M. Saleh yang melekat di ujung namanya, tidak lain adalah nama bapaknya (bahasa Gayo= ama e).

Yusin Saleh hanya memiliki satu saudara perempuan, yaitu Hatijah Saleh, yang merupakan kakak sulungnya. Setelah Yusin tumbuh dewasa, dia kemudian melangsungkan pernikahan dengan Armiyati KAZET, yang saat ini berprofesi sebagai guru kesenian SMP Negeri 1 Takengon. Dari hasil perkawinannya, mereka dianugerahi dua anak, yaitu Ariayu Maharona, S.T., alumni Teknik Sipil Institute Teknologi Medan (ITM), dan Eriyosayu Winarona.

Tahun 1959, M. Yusin memasuki Sekolah Rakyat di kota Takengon, dan selesai tahun 1960. Kemudian, melanjutkan sekolahnya ke SMP Negeri 1 Takengon, dan selesai tahun 1963. Tahun 1966, selesai lagi dari SMA Negeri 1 Takengong sekarang. M. Yusin melanjutkan kuliahnya dengan mengambil jurusan perternakan di Universitas Syiahkuala (Unsyiah) pada tahun 1967. Setahun berikutnya, M. Yasin memperoleh gelar sarjana muda. Tahun 1972, M. Yusin menyelesaikan S-1-nya dengan jurusan, dan dari universitas yang sama. M. Yusin meneruskan kembali studinya, ke jenjang S-2 di DILI, Jakarta, tahun 1991. Gelar MBA pun diraihnya pada tahun 1992. Selama menjadi mahasiswa di Universitas Syiahkuala, Banda Aceh, M. Yusin aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya, Senat Mahasiswa, dan Dewan Mahasiswa.

Setelah menyesaikan sarjana muda-nya, beliau bekerja sebagai pegawai negeri sipil. M. Yusin sempat menduduki Kepala Dinas Perternakan Biren, Kepala sekaligus Membangun Sekolah Pertanian & Perternakan (SPP) Biren, Kepala UPP SIE Asian Development Bank (ADB), Kepala UPT HM Ternak, Kasi Informasi Dinas Perternakan Propinsi Aceh, Kepala Dinas Perternakan Aceh Tengah tahun 1992-2002, Kepala Kesbang Limnas Aceh Tengah selama 16 bulan, Kepala Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) Aceh Tengah, dan Kepala BAPELDALDA Aceh Tengah, dan pensiun tahun 2004. Saat yang bersamaan, M. Yusin ikut serta dalam Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI), dan Persatuan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI)

Saat bertugas di Takengon, M. Yusin tercatat sebagai salah seorang dosen Adat&Syari’at Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Aceh Tengah (STIHMAT) tahun 1996, dosen Adat&Syari’at Alwasliyah sejak tahun 2001 sampai 2004. M. Yusin juga mengasuh mata kuliah yang sama di Gajah Putih sejak tahun 1997 sampai sekarang. Juga, aktif di Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Takengon, Organisasi Muhammadiyah Aceh Tengah, dan LSM Peternak

Terkait dengan sastra lisan, M. Yusin terlibat dalam sa’er pada tahun 1957. Setahun kemudian, M. Yusin menjadi ceh sa’er. Pada saat itu, beliau biasa membawakan sa’er-sa’er yang diciptakan penya’er yang ada di Takengon. Terkait dengan didong, sejak tahun 1965, M. Yusin mulai ber-didong. Sejak kecil, khususnya saat ber-sa’er, M. Yusin terbiasa dengan pencarian makna. Dia kerap bertanya kepada dirinya sendiri, “Apa makna yang mewataki kata-kata yang diciptakan ceh-ceh?” dan “Apa alasan pemilihan kata tadi?”.

Tak jarang, ketika M. Yusin mengalami kebuntuan dalam pencarian makna tersebut, beliau langsung menemui, dan bertanya kepada pencipta sa’er, dan ceh didong yang bersangkutan. Salah satunya, ceh kenamaan Gayo, yaitu Sali Gobal. M. Yusin yang ketika itu masih anak-anak biasa berguru makna kepada Sali Gobal terkait kandungan makna dalam karya-karyanya. Dapat dikatakan, sejak awal keterlibatannya dalam sa’er, lalu didong, M. Yusin, secara tidak sadar, sudah membenamkan dirinya dalam filsafat, filsafat bahasa, semantik, pragmatik, dan semiotika.

Selanjutnya, sejak tahun 2004, M. Yusin diamanahkan menjadi Sekretaris Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo (MAANGO), yang merupakan pengganti Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), selain sebagai dosen di Gajah Putih Takengon. Sampai sejauh ini, M. Yusin telah menciptakan 300 sa’er dan didong Gayo. Karyanya hampir mencakup keseluruhan realitas kehidupan sosial masyarakat di tanoh Gayo, dan Aceh, mulai dari politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, keamanan, sejarah, lingkungan hidup, dan perkembangan terkini Gayo & Aceh.

Gambaran budaya masyarakat Gayo, dan berbagai perubahan yang berlangsung di Aceh terekam dengan jelas dalam karyanya. Dalam mencipta, M. Yusin mengikuti suasana hatinya. Ketika suasana hatinya mendukung, karyanya pun mengalir dengan mudah, dan sebaliknya. Disamping itu, karya yang dihasilkan M. Yusin kaya akan fakta, dan bermuatan sejarah. Alur, nilai, dan validitas kebenaran sejarah dalam karyanya, dikemas dengan sastra Gayo yang tinggi, enak didengar, dan melekat di ingatan pendengarnya.

Dalam mengisi kegiatan pensiunnya, disamping mengajar di Gajah Putih Takengon, aktif dalam kepengurusan MAANGO, menjadi pembicara, M. Yusin mulai fokus meneliti, dan menulis soal adat, resam, peraturen, dan kebudayaan Gayo. Saat ini, M. Yusin sedang merampungkan penulisan buku perihal “Gramatika Bahasa Gayo,” yang isinya cukup ilmiah dengan pengalaman empiris langsung M. Yusin sebagai salah seorang “penutur tua” bahasa Gayo, pelaku & ceh sa’er, ceh didong, ditambah amatan yang sudah berlangsung lama. Bagi penulis, M. Yusin Saleh merupakan salah satu “Guru Besar Bahasa Gayo,” yang mana, kualitas dan kemampuannya soal bahasa Gayo tidak disangsikan lagi.

M Yusin Saleh sebagai narasumber Workshop Selamatkan DLT (22/11)

Sumber : http://tgj.co.id/detil-berita.php?id=3869

Kamis, 12 November 2009

Menunggu Lahirnya Otorita Danau Laut Tawar Berbasis Kearifan Lokal

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Danau Laut Tawar merupakan danau kebanggaan masyarakat Aceh. Danau ini terletak di jantung Propinsi Aceh, tepatnya di Takengon, kabupaten Aceh Tengah. Keberadaan danau yang dikeliling gunung, dengan pinus mercusi, membuat wajah kota Takengon semakin indah, layaknya seperti Swiss. Takengon adalah Swiss-nya Indonesia, yang juga dijuluki Indonesia mini dengan pluralitas etnik, multilingual, dan hetoregenitas budayanya. Sifat masyarakatnya yang terbuka, toleran, dan akomodatif menambah daya tarik tersendiri bagi danau ini. Tak jarang, pengunjung yang datang terpikat dengan keindahan danau, alam Takengon, dan keramahan penduduknya. Dengan begitu, danau ini menjadi pemenuh kebutuhan keindahan, ketenangan, dan kenyamanan naluriah bagi pengunjung yang datang ke tempat ini.

Disamping itu, Danau yang memiliki luas 5,472 hektar, dengan panjang 17 kilomenter, dan lebar 3,219 kilometer dengan ikan khasnya, ikan depik ini memiliki fungsi vital bagi beberapa kabupaten di Aceh, diantaranya kabupaten Bener Meriah, kabupaten Bireuen, kabupaten Aceh Utara, dan kota Lhokseumawe. Betapa tidak, Danau Laut Tawar menjadi penyangga kebutuhan air bagi daerah tersebut. Terlebih lagi, buat PT Arun, KKA, dan beberapa perusahan besar yang beroperasi di Aceh. Yang tidak kalah penting, danau ini menjadi penumpu hidup bagi masyarakat sekitar danau yang berprofesi sebagai nelayan tradisional, dan petani di kampung-kampung di sekeliling danau. Ditambah lagi, bagi berbagai pihak yang bergerak di sektor pariwisata. Namun, bidang terakhir masih belum dikelola secara optimal, dan professional. Sebaliknya, masih bersifat tradisional, dan alamiah.

Kini, keseimbangan danau ini mulai terganggu. Berbagai kerusakan terjadi, diantara banyaknya ghost net di dasar danau, dipenuhi sisa bahan organik (pelet), pestisida, sampah rumah tangga, berdirinya bangunan-bangunan semen di bibir danau, keramba, dan gundulnya hutan pendukung sebagai sumber air danau. Beberapa tahun terakhir, debit air jauh berkurang. Begitu juga halnya dengan aliran sungai yang masuk ke danau, semakin banyak berkurang. Bahkan, warna air danau kini berubah menjadi “merah.” Tentu, kerusakan ini tidak berlangsung serta merta, melainkan prosesnya berlangsung lama. Kemungkinan, klimaks kerusakan ekologis danau tersebut terjadi sekarang. Tanda-tandanya sudah dimulai beberapa tahun terakhir. Dalam perspektif ekolinguistik, kerusakan ekologis tersebut, berimbas pula pada sosio-kultural, kearifan-kearifan lokal, dan bahasa masyarakat tempatan, khususnya yang mendiami seputar danau. Lebih kecil lagi, berhubungan dengan biota kedanauan Laut Tawar.

Salah satu penyebab akumulasi kerusakan danau ini, adalah kurang diberinya ruang bagi pemerintahan sistem tradisional yang ada di Gayo, Takengon, terlebih-lebih di seputar danau untuk hidup. Akibat penyeragaman pemerintahan di Indonesia, pemerintahan tradisional yang ada di Aceh, dan tanoh Gayo hilang. Lembaga yang dimaksud adalah sarak opat, terutama peran kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang lut, dan pengulu rerak yang tidak lagi berjalan. Untuk saat ini, peran sarak opat, diperankan bupati (pemerintah kabupaten), sampai kepala kampung (pemerintah kampung). Akan tetapi, beberapa unsur pemerintah tradisional yang dimaktud tadi tidak berjalan, dan hilang. Hanya sebatas simbol, dan pelengkap yang kaku. Dengan begitu, kearifan-kearifan lokal, tradisi menyangkut kedanauan, termasuk bahasa yang menjalankan visi, dan misi kebudayaan, serta menjadi simbol kedauan turut hilang.

Padahal, konsep-konsep dari pemerintahan tradisional, khususnya kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang lut, dan pengulu rerak jauh lebih bervisi jauh ke depan, ramah lingkungan, mengedepankan konsep-konsep personal dan kolektif, serta partisipatif dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, penjagaan, dan pengevaluasian terhadap danau. Tambah lagi, lembaga tadi cukup menghargai kearifan-kearifan lokal, dan tradisi yang ada. Misalnya saja, dalam penangkapan ikan depik. Dulunya, digunakan penyangkulan, dan dedesen yang dicirikan dengan kuyu ni depik (pertanda musim depik datang), dan sangat memperhatikan keseimbangan lingkungan, dan keselamatan ikan-ikan yang ada di danau melalui pengawasan yang dilakukan pawang lut.

Namun, dewasa ini, nelayan bebas menggunakan berbagai jenis, dan ukuran jarang. Tak jarang, kebijakan yang tertuju ke danau, malah semakin merusak danau, seperti penebaran benih ikan (restocking), yang akibatnya ikan yang dintroduksi, seperti grass crap malah menjadi kompetitor, dan menghilangkan ikan asli yang ada di danau, seperti depik, ikan pedih, tambah biota-biota kedanauan lainnnya, sebagai akibat dimarjinalkannya peran lembaga tadi. Selain itu, dibangun pula tanggul, bangunan semen-semen di bibir danau, kerambah di seputar wih ni Takengon (krueng Peusangan), dan pembangunan tempat-tempat wisata yang bebas tanpa aturan. Tidak hanya itu, sekarang dibuat pula instalasi ari bersih Bebuli Mendale untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat kota Takengon, yang airnya diambil dari danau. Kerusakan yang ada, diper-parah lagi, dengan tidak terdaftarnya danau ini pada Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Pariwisata, dan Budaya.

Ke depannya, kebijakan yang menyangkut Danau Laut Tawar dapat lebih “sehat” dan partisipatif, ramah lingkungan, ber-visi jangka panjang dengan mementingkan kebutuhan generasi mendatang, menghargai konsep-konsep personal, kolektif, serta kearifan-kearifan lokal, sosio-kultural, dan unsur-unsur pemerintahan tradisional tadi, baik dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah maupun dari Pemerintah Aceh. Dengan begitu, penghargaan, dan tanggung jawab moral dari masyarakat tempatan lebih besar dalam menjaga Danau Laut Tawar. Terlebih lagi, saat Otorita Danau Laut Tawar lahir sebagai solusi penyematan kerusakan danau ini.


*Mahasiswa Pascasarjana Linguistik, Konsentrasi Ekolinguistik (Ekologi Bahasa) Universitas Sumatera Utara.

Sumber: www.gayolinge.com (11 November 2009)

Minggu, 08 November 2009

Tanoh Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni

negeri ku sayang, negeri malang
engkau pembentuk peradaban
kini ditinggalkan peradaban
punya kegemilangan masa lalu
tapi, hanya sebatas cerita masa kini
negeri yang kaya, tapi miskin
pewarisnya yang punya akal
tapi tidak berakal


Medan, 7 September 2009 (07.00)

Rabu, 30 September 2009

Perjalanan Panjang SMA Negeri 1 Takengon

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Bicara prihal pendidikan dataran tinggi Gayo, banyak hal yang masih belum terdokumentasi. Rekaman sejarah pendidikan masa lalu daerah ini hilang seiring kepergian pelakunya. Secara umum, tanoh Gayo memang masih kurang dokumentasi tertulis. Sebagai akibatnya, transmisi sejarah, dan budaya secara umum tidak berjalan dengan baik. Salah satu bagian sejarah pendidikan tanoh Gayo ini adalah SMA Negeri 1 Takengon (sebelumnya SMA Negeri 1 Bebesen). Sekolah ini merupakan SMA tertua di dataran tinggi tanoh Gayo. Bahkan, sekolah ini merupakan salah satu SMA tua di Propinsi Aceh

Sebelum sekolah ini berdiri, orang Gayo harus menyekolahkan anaknya ke luar daerah, terutama di Banda Aceh. Dikarenakan, untuk SMA di Aceh, baru ada di Banda Aceh. Padahal, untuk menikmati pendidikan, bukanlah hal yang mudah bagi masyarakat yang mendiami daerah ini. Saat itu, pendidikan harus dibayar mahal dengan kucuran keringat, tetesan air mata dan untaian doa dari para orang tua. Belum lagi, kondisi ekonomi yang sangat sulit ketika itu, terlebih-lebih dengan situasi keamanan Aceh yang tidak menentu.

Namun, kekurangan tersebut tidak menghalangi niat orang tua yang ada di daerah ini untuk menyekolahkan anak-anak-nya. Pada saat itu, orang tua akan malu (kemel) bila anak-anak mereka tidak sekolah. Anak-anak mereka dihantarkan dengan tangisan, dan doa penuh harap saat melepas kepergiaan anak-anaknya. Pendidikan menjadi kebutuhan, dan semacam kompetisi wajib antarorang tua pada waktu itu (besikemelen). Di Takengon sendiri, Sekolah Dasar baru ada tahun 1940-an, Sekolah Menengah Pertama (1946), Sekolah Guru Bawah/SGB (1956), dan Sekolah Guru Atas/SGA (1957). Sementara itu, Perguruan Tinggi Gajah Putih baru berdiri tahun 1986.

Beberapa putra Gayo berhasil melanjutkan SMA-nya ke luar daerah. Setelah menyelesaikan SMA-nya, lalu, mereka melanjutkan kuliah di pulau Jawa. Pada saat kuliah, terdapat program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM), yang bertujuan untuk mengisi kekosongan guru-guru yang ada di daerah, termasuk di Takengon. Sebagai apresiasi dari pemerintah, mereka langsung diangkat sebagai pegawai D2/III. Beberapa mahasiswa dari Takengon yang kuliah di Yogyakarta, dan Bandung yang turut serta dalam program tersebut, antara lain Abdullah Armi, Alim Amin, Mahmut Tamat, Muhammad Daud, M. Yasin Bale, dan lain-lain. Kemudian, mereka kembali ke Takengon, untuk mengisi kekosongan guru, dan mengajar di SGB dan SGA Takengon.

Setelah kegiatan belajar mengajar di SGB, dan SGA berjalan, muncul-lah ide untuk mendirikan SMA di Takengon. Dikarenakan, ketika itu, SMA masih belum ada di Takengon. Seperti digambarkan sebelumnya, dengan segala keterbatasan, anak-anak Takengon, harus melanjutkan SMA-nya ke luar daerah. Melihat kondisi tersebut, suara hati, panggilan jiwa dan tekad dari Abdullah Armi, Alim Amin, Mahmut Tamat, Muhammad Daud, dan M. Yasin Bale tidak bisa terbendung. Pada akhirnya, mereka mendeklarasikan pendirian SMA Aceh Tengah, tepatnya di kediaman M. Yasin Bale, di kampung Bale, pada tangal 5 Agustus 1957.

Upaya sosialisasi pun kemudian dilakukan ke tengah-tengah masyarakat oleh kelima pendiri sekolah ini. Masyarakat Aceh Tengah cukup menyambut baik kehadiran sekolah ini. Cukup disayangkan, sebagian besar lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Takengon telah lebih dahulu melanjutkan SMA-nya ke luar daerah, terutama ke Banda Aceh. Alhasil, hanya tiga belas orang yang mendaftar dan tercatat sebagai angkatan pertama sekolah ini, yaitu Rabumah (Istri Bupati Buchari Isaq), Hamidah (Gunung, Teritit), Salamah (Gunung, Teritit), Maimunah (Anak Khalidin Hakim), Salim (Bintang), Abdul Rauf Abdullah (Bale), Ishaq (Genuren, Bintang), Syafaruddin (Genuren, Bintang), A.R. Hakim Aman Pinan, Aman Duwan, dan Ismail (Bom), Usuluddin (Linge), serta M.S. Mora (Adik Yacob Umar).

Kegiatan belajar mengajar pun mulai berjalan di gedung SGB, dan SGA sampai tahun 1960 (di SLTP Negeri 3 Takengon sekarang). Saat itu, dalam proses belajar mengajar hanya dipakai satu ruangan, dan dilangsungkan sore hari sore hari. Dikarenakan, pada pagi harinya, gedung tadi dipakai SGB dan SGA. Pada tahun yang sama, Sekolah Menengah Atas (SMA) Aceh Tengah ini diresmikan. Sekolah ini lalu dipindahkan ke Sekolah Rakyat Percobaan Indonesia Tionghoa, yang terletak di jalan Pahlawan (lokasi SMA yang sekarang). Sekolah Tionghoa ini memiliki luas 3.183, 97 M2. Pada tanggal 5 Oktober 1959, SMA ini dinegerikan, maka nama sekolah berubah dari SMA Swatentera Laut Tawar menjadi SMA Negeri ABC. Pada tahun 1967, saat M. Johan Alamsyah, nama sekolah ini berubah lagi menjadi SMA Aceh Tengah. Pada masa kepempimpinan Oesman Manaf, tepatnya tahun 1977, berubah lagi menjadi SMA Negeri 1 Takengon.

Pada saat kepemimpinan Drs. M. Amin Tujuh, salah satu kebijakannya adalah, berusaha mengubah bangunan yang berkonstruksi papan menjadi bangunan beton. Namun, rencana tersebut baru terealisasi tahun 1992, pada saat kepemimpinan Drs. Abdullah Seltan. Pada tahun 1997, saat Drs. Beramat Mudereje memimpin sekolah ini, lahir pula kebijakan terkait nomenkelatur sekolah yang disesuaikan dengan letak kecamatan. Dikarenakan sekolah ini terletak di kecamatan Bebesen, secara otomatis sekolah ini berubah menjadi SMU Negeri 1 Bebesen. Pada saat Beramad mengepalai sekolah ini, beliau berhasil membangun ruang kepala sekolah (ruangan sekarang), serta perpustakaan (yang sekarang).

Pada saat Misbahuddin, S.Pd., M.M. memimpin sekolah ini, terjadi pembongkaran kelas IA, IB, IC & ID. Selanjutnya, dibangun gedung permanen berlantai dua dengan jumlah delapan ruangan. Konsekuensinya, laboratorium sekolah harus dibongkar karena perluasan dan pembangunan gedung dimaksud. Selain itu, terdapat ruang multimedia (di bekas perpustakaan). Dari sisi kualitas, pada tahun 2006, sekolah pertama dan tertua ini di tanoh Gayo ini, berhasil masuk sepuluh besar se-Aceh. Masih pada masa kepemimpinan Misbahuddin, tahun 2007, terjadi lagi perubahan nama sekolah ini dari SMA Negeri 1 Bebesen, menjadi SMA Negeri 1 Takengon. Hal ini merupakan beberapa tujuan dan target dari Reuni Akbar dan Ulang Tahun Emas SMA Negeri 1 Takengon (1957-2007), selain memperingati ulang tahun, reuni, mengupayakan dan menghimpun dana untuk perluasan sekolah (di depan Puskesmas), membentuk Ikatan Alumni SMA Negeri 1 Takengon, dan mendokumentasikan sejarah sekolah ini. Namun, ikatan sekolah ini masih belum terbentuk, begitu juga dengan pendokumentasian sejarah sekolah ini, masih belum selesai dibukukan.

Sampai saat ini, sekolah ini, telah dipimpin dua belas kepala sekolah, yaitu Abdullah Abdoerahim (1957-1959), M. Affan Hasan (1959-1960), M. Johan Alamasyah (1960-1970), Oesman Manaf (1970-1978), Ismail Genaf (1978-1983), Abdullah Hakim (1983-1988), Drs. M. Amin Tujuh (1988-1992), Drs. Abdullah Seltan (1992-1996), Drs. Beramad Mudereje (1996-2000), Drs. Jemaris (2000-2002), Drs. Beramad Mudereje (2002-2003), Misbahuddin, S.Pd., M.M. (2003-2009), dan Suryani, S.Pd (Februari 2009-sekarang). Sekolah ini juga menjadi induk beberapa sekolah di Takengon, Aceh Tengah, antara lain: SMA Negeri 1 Pegasing (sekarang SMA Negeri 2 Takengon), SMA Muhammadiyah, SMA Darma Lestari, SMA Silih Nara, SMA Negeri 2 Bebesen (sekarang SMA Negeri 8), dan SMA Negeri Lut Tawar (sekarang SMA Negeri 12 Takengon), dan telah menghasilkan sekitar 10.000 alumni yang bekerja di pemerintahan, dan non-pemerintahan baik di dalam, maupun di luar negeri.


*Angkatan ke-42 SMA Negeri 1 Takengon, Ketua Umum OSIS SMA Negeri 1 Bebesen (2001-2002), dan Ketua Ulang Tahun Emas&Reuni Akbar SMA Negeri 1 Bebesen (SMA Negeri 1 Takengon) tahun 2007. Tulisan ini merupakan bagian (inti) dari buku yang masih belum dirampungkan “50 Tahun SMA Negeri 1 Takengon (1957-2007)”

Senin, 14 September 2009

Mengulur Kepunahan Bahasa Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Sebagaimana halnya mahluk hidup; bahasa juga hidup, berkembang, dan memungkinkan untuk mati. Bahasa perlu tempat atau lingkungan untuk hidup. Diperlukan pula penutur sebagai bagian dari guyup tutur, dan ekosistem yang senantiasa memakai bahasanya. Akibatnya, suatu bahasa akan selalu hidup, terpakai, terpelihara, dan terwaris. Dalam sebuah penelitian (al-Gayoni, 2009) dijelaskan, bahwa umur bahasa Gayo tinggal 47 tahun lagi. Bahasa ini hidup sekitar empat sampai lima dasarwarsa lagi. Setelah itu, bahasa ini akan punah. Bahasa Gayo merupakan sebuah bahasa yang dituturkan orang Gayo, yang ada di Propinsi Aceh. Orang Gayo ini digolongkan ke dalam kelompok Proto Melayu. Sementara itu, bahasanya ber-moyang pada Melayu Polinesia. Dari seluruh titik persebarannya; Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Bener Meriah, dan Nagan Raya, bahasa ini dituturkan tidak lebih dari 500 ribu jiwa.


Tulisan ini lebih banyak dilihat dari perspektif ekolinguistik (ecolinguistics/language ecology), kajian interdisipliner, yang menautkan bahasa dan lingkungannya. Bahasa berperan terhadap kelangsungan, dan keseimbangan lingkungan. Sebaliknya, perubahan berbagai bentuk, dan fungsi lingkungan terekam dengan jelas dalam bahasa. Sejatinya, bahasa merupakaan penggambaran identitas, merekam kearifan-kearifan lokal, konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis dari masyarakat tempatan. Hal yang paling mendasari hal di atas, adalah kurangnya kesadaran, dan kesetiaan penutur bahasa ini dalam menggunakan bahasa Gayo. Bahasa Gayo dianggap tidak komunikatif, tidak prestius, dan tidak ekonomis. Terlebih lagi, lingkungan berbahasa di dataran tinggi tanoh Gayo, khususnya di Takengon menggambarkan ke-dwibahasaan (bilingual), dan ke-multibahasaan (multilingual). Daerah ini didiami lebih dari delapan etnik, mulai Gayo sebagai mayoritas, Aceh, Jawa, Minang, Cina, Melayu, Karo, Toba, Mandailing, Alas, dan lain-lain. Pluralitas etnik; dengan interaksi, dan heterogenitas budaya akan memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak berbahasa penutur Gayo. Sebagai akibatnya, persaingan bahasa tidak bisa dielakkan; ada yang menang, coba bertahan. Sebaliknya, ada pula yang kalah, yang ditandai dengan kurang dipakai, atau hilangnya suatu register untuk ranah tertentu.

Di tanoh Gayo, khususnya di Takengon tadi, transmisi budaya dan bahasa juga kurang berjalan dengan baik dari generasi tua (1920-1960) ke generasi muda (1970-sekarang). Selain itu, ada semacam “dominasi budaya/tokoh tua,” yang kurang melibatkan generasi muda. Akibatnya, dewasa ini, generasi muda semakin “kabur” dan “gelap” melihat realitas budaya tempatan. Orang tua beranggapan, anak-anak akan mendapat pengalaman budaya, terlebih berbahasa Gayo dari lingkugannya secara langsung. Bagaimana mungkin, pembelajaran tersebut dapat berjalan, sementara lingkungannya sudah plural, dan dwi/multi bahasa (bilingual/multilingual). Asumsi yang kurang bijak inilah yang masih melekat dalam mind set, sikap, dan pola tindak orang tua.

Dalam perkembangan, dan pergeseran yang terjadi, bahasa Indonesia turut “membunuh” bahasa Gayo, sebagai salah satu bahasa minor di Aceh. Awalnya, bahasa Indonesia terbatas hanya dipakai dalam ranah formal, yaitu melalui pengajaran dan pembelajaran dalam dunia pendidikan, serta dalam menyambut tamu-tamu daerah. Dalam sejarah awal penggunannya, bahasa ini dipakai secara malu-malu (kemel), canggung (cakah), dan ada rasa ketidakpercayadirian dari penggunannya. Sebaliknya, dewasa ini, penutur bahasa Gayo malah malu, gengsi, canggung, dan tidak lagi percaya diri memakai bahasanya, sebagai buah dari penggunaan bahasa Indonesia yang semakin meluas. Penggunaan tadi tidak saja dalam pendidikan formal, tetapi juga dalam keluarga, lingkungan ketetanggaan, bahkan sudah menembus kampung-kampung yang ada di tanoh Gayo. Referensi yang merujuk pada suatu ragam, dan register untuk ranah tutur tertentu tidak lagi ada. Dengan begitu, bahasa Gayo kehilangan lingkungan yang membuat bahasa ini bisa bernafas, dan bertahan hidup.

Bahasa Gayo hanya dipakai antarorang tua “bahasa generasi tua.” Orang tua (1920-1960) masih berbahasa Gayo kepada anaknya (1970-1980). Namun, “orang tua baru” (1970-sekarang, lebih memilih bahasa Indonesia, meski ada sebagian kecil yang berbahasa Gayo. Sudah dipastikan, anak-anaknya lebih intens lagi dalam penggunaan bahasa Indonesia. Tentu, lingkungan berbahasa Gayo tidak lagi dalam bahasa ibu (mother tongue) terutama di empat kecamatan di Takengon; kecamatan Bebesen, Kebayakan, Lut Tawar, dan kecamatan Pegasing. Kebalikannya, sudah berbahasa Indonesia.

Tanoh Gayo juga miskin dokumentasi tertulis prihal sejarah, bahasa, adat istiadat, resam, peraturan, dan yang berkenaan dengan Gayo. Rujukan-rujukan (situs Gayo) juga lebih banyak di luar tanoh Gayo, terutama di Leiden (Belanda), dan Munich (Jerman). Sayangnya lagi, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah tidak mengarahkan kebijakannya pada pembangunan budaya, terlebih lagi pada soal bahasa dan pendidikan; secara khusus, sebagai perangkat lunak pelaksana pewarisan bahasa ini. Boleh dikatakan, masih belum ada politik berbahasa (language politics), kebijakan berbahasa (language policy), dan perencanaan bahasa (language planning). Kalau pun ada, masih dalam bentuk qanun yang kaku, simbolik, dengan implementasi yang lemah, tidak mampu menyetuh wilayah substantif, yaitu menyangkut nasib, kebertahanan, keberlangsungan, dan keterwarisan bahasa ini. Disamping itu, bahasa Gayo juga kurang diajarkan dalam dunia pendidikan formal, mulai pra-TK (play group) sampai pada pendidikan tinggi.

Melihat realitas bahasa Gayo di atas, kepunahan “kematian” bahasa ini tidak lagi dapat dielakkan. Bahasa Gayo hanya bisa diulur kepunahannya, yaitu dengan penggugahan kesadaran penuturnya, mengajarkan bahasa Gayo, meningkatkan kesetiaan penutur dalam penggunaan bahasa ini dalam konteks yang lebih luas. Memperbanyak dokumentasi tertulis, terutama soal kebahasaan, mengingat semakin berkurangnya generasi tua. Terakhir, menempatkan bahasa Gayo tidak sebatas di keluarga, lingkungan ketetanganggan, dan membentuk lingkungan berbahasa Gayo yang ideal di tanoh Gayo yang dapat dijadikan pilot project. Lebih dari itu, bahasa Gayo harus dipelajari, dan diwariskan dalam dunia pendidikan formal, mulai dari pra-TK (play group) sampai pendidikan tinggi. Peran di atas, sudah barang tentu lebih maksimal dilakukan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dengan berbagai power, policy, financial support, dan perangkat pendukung yang dimilikinya. Pemertahanan ini perlu dilakukan, karena bahasa adalah identas (identity) yang merekam kearifan-kearifan lokal, konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis penuturnya.


*Akademisi/Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (Spesialisasi Ekolinguistik)

Sumber:
http://theglobejournal.co.id 11 September 2009 (diakses 13 September 2009)
www.gayolinge.com 12 September 2009 (diakses 14 September 2009)

Rabu, 02 September 2009

Bahasa Gayo Dimungkinkan Punah

Gayo, merupakan suku yang hidup di tengah Provinsi Aceh. Berada di kawasan Pegunungan di Jantung Aceh. Meski hidup dan berkembang di Aceh, namun karakter dan budaya serta bahasa gayo, berbeda dengan kebanyakan Aceh Pesisir.Meski diakui beberapa kosa kata gayo, merupakan adopsi dari bahasa Aceh.Namun secara keseluruhan, bahasa gayo dan Aceh sangat berbeda. Di era sekarang 2009, kekuatiran akan hilangnya bahasa gayo dari peta dunia, sangat beralasan dan banyak teori yang mendukungnya. Apalagi data UNICEF terakhir menyebutkan banyak bahasa daerah di dunia lenyap karena minoritasnya pengguna bahasa tersebut atau terdegradasi bahasa lain serta sejumlah alasan lainnya. Domenyk Eades, penulis Tata Bahasa Gayo-Inggris, dalam suatu kesempatan beberapa waktu lalu di Takengon menyatakan, saat meneliti bahasa gayo di Takengon, sepuluh tahun silam, bahasa gayo sudah mulai ditinggalkan dengan alasan tidak penting. Alasan tidak menggunakan bahasa gayo karena tidak perlu, dikuatirkan merupakan gejala umum dikalangan masyarakat gayo moderen saat ini. Fakta lainnya, rumah tangga gayo kini, lebih memilih berbahasa Indonesia dengan anak dan keluarganya. Jika penelitian Domenyk Eades itu dilakukan sepuluh tahun silam, tentu sudah banyak orang atau rumah tangga gayo yang anaknya tidak mampu lagi berbahasa gayo. Keadaan ini semakin diperparah karena Pemda Aceh Tengah belum terpikir untuk melestarikan bahasa gayo, entah dengan DPRK yang baru dilantik. Berikut petikan wawancara GAYOlinge dengan Yusradi Usman Algayoni, Akademisi/Peneliti, Pemerhati Muda Kebudayaan Gayo, &mahasiswa Magister Linguistik USU

Gayolinge : Saya mendengar beberapa waktu yang lalu Anda meneliti Ekologi Bahasa Gayo di Takengon, benarkah?
al-Gayoni : Ya, benar, tepatnya tanggal 15-22 Agustus 2009 yang lalu
Gayolinge : Bisa diceritakan lebih lanjut tentang penelitian Anda?
al-Gayoni : Penelitian ini merupakan bagian dari kajian ekolinguistik, cabang baru dalam linguistik
Gayolinge : Ekolinguistik itu apa?
al-Gayoni : Ekolinguistik mempelajari ekosistem, dan linguistik (ilmu bahasa), melihat hubungan keduanya baik dari sisi ekologinya, maupun dari sisi bahasanya. Tapi, saya lebih memofuskan pada ekologsi sosialnya, terkait leksikon bahasa Gayo yang berhubungan dengan tata tutur yang dipakai dalam masyarakat Gayo.
Gayolinge : contoh ril dari hubungan tadi seperti apa?
al-Gayoni : Ada hubungan yang erat antara ekologi, dan linguistik. Misalnya saja, penimbunan yang terjadi di bibir Danau Laut Tawar, berakibat pada kerusakan lingkungan, menjadikan luas danau semakin kurang. Juga, merusak keseimbangan ekosistem danau khususnya. Dari segi bahasanya juga, kebijakan tadi telah menghilangkan register, atau istilah-istilah kedanauan tadi. Bisa dibayangkan, berapa jenis rumput yang ada di seputar danau yang sudah tertimbun? Otomatis, istilah tadi hilang kan? Contoh lain, penimbunan Paya Ilang. Di sini, juga terjadi kerusakan lingkungan, ketidakseimbangan ekosistem, dan hilangnya register (istilah-istilah) yang ada di Paya Ilang, mulai dari nama rumput, jenis burung, ikan, dan lain-lain. Sekarang, di kampung-kampung seputar paya, masih bisa kita nikmati telege (sumur). Jangan harap, sepuluh tahun, atau lima belas tahun lagi akan ada telege. Bahkan, ke depannya, daerah ini akan menjadi kawasan kumuh, dan berpenyakit. Lihat saja, sekiranya hujan, kantor Camat Kecamatan Bebesen langsung banjir, ada genangan air, karena kurang bagusnya penataan tali air, dan tata ruang kota Takengon secara umum.
Gayolinge : Bagaimana menurut pandangan Anda masalah tutur yang ada di Gayo?
al-Gayoni : Saya lihat, Gayo sangat kaya akan register tata tutur (bentuk sapaan, atau sistem kekerabatan). Tutur ini menggambarkan sosio-budaya, relijiusitas, nilai-nilai filosofi, termasuk ekologis yang dimiliki orang Gayo. Saya coba mencari tahu tutur ini lebih dalam, termasuk di dalamnya alasan orang Gayo mulai tidak bertutur
Gayolinge : ekologis, maksudnya?
al-Gayoni : lingkungan (tempat hidupnya bahasa) berpengaruh pada bahasa. Bahasa juga seperti makhluk hidup; tumbuh, berkembang, dan memungkinkan untuk mati. Pertumbuh-kembangan tadi memengaruhi tutur yang dipakai orang Gayo, misalnya, nama tempat bisa menambah variasi dan kekayaan tutur, katakanlah ada orang yang bertanya tentang Win (panggilan untuk laki-laki di Gayo), “Win yang mana?” lantas dijawab, “Win Paya Serngi.” Serta merta orang akan tahu, bahwa yang dimaksud dengan Win Paya Serngi adalah bang Win Ruhdi Bathin. Paya Serngi yang merupakan nama tempat, yang memangaruhi, dan memperkaya penggunaan tutur tadi!
Gayolinge : saya juga mendengar, Anda sempat menjadi salah satu pembicara dalam acara Talk Show Bahasa Gayo yang digelar di Radio Amanda Takengon, tanggal 20 Agustus 2009 yang lalu, dan Anda mengangkat masalah kepunahan bahasa Gayo?
al-Gayoni : iya, benar
Gayolinge : apa dasar Anda mengatakan, bahwa bahasa Gayo akan punah?
al-Gayoni : saya sudah menyampaikan hal ini tiga tahun yang lalu, tepanya tanggal 14 Juli 2006. Waktu itu saya katakan, bahwa bahasa Gayo akan punah 50 tahun lagi. Jadi, umur bahasa Gayo tinggal 47 tahun lagi, atau 4-5 dasawarsa lagi. Beberapa alasan yang saya temukan melalui amatan, tambah penelitian saya beberapa minggu yang lalu adalah; penutur bahasa Gayo yang perkiraan saya jumlahnya tidak lebih dari 500 ribu, kesadaran dan kesetiaan penutur bahasa Gayo sangat memprihatikan terhadap bahasanya. Tapi, tidak ada jaminan jumlah penutur yang besar dapat memerhankan sebuah bahasa. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia juga semakin meluas di tengah-tengah masyarakat terutama di empat kecamatan di kota Takengon, yaitu Bebesen, Kebayakan, Lut Tawar, dan Pegasing, terutama dari orang tua ke anaknya, tambah antaranak-anak. Otomatis, lingkungan berbahasa tidak lagi berbahasa Gayo, tapi lebih berbahasa Indonesia. Bahasa Gayo hanya dipakai antarorang tua, itu juga orang tua kelahiran 1920-an sampai 1960-an. Bahkan, pemakaian bahasa ini sudah menembus ke kampung-kampung yang ada di Takengon, dan tanoh Gayo secara umum. Bahasa Gayo tidak lagi diajarkan di rumah, secara umum, di tanoh Gayo tidak berlangsung transmisi budaya, termasuk di dalamnya transmisi budaya dari generasi tua (1930-1960) ke generasi muda (1970-sekarang). Dalam hal ini, pemerintahan tradisional juga tidak berjalan (Sarak Opat) yang sekarang diperankan Pemerintah Kabupaten, sampai Pemerintah Kampung. Orang tua menilai, bahasa Gayo tidak perlu diajarkan di rumah, dapat diperoleh langsung melalui lingkungannya, ya kalo lingkungannya sudah berbahasa Indonesia, bagaimana mungkin dapat memeroleh bahasa Gayo? Penilain lain yang kurang dari orang tua, bahasa daerah akan menghambat dalam proses pembebelajaran, dan pengajaran di sekolah. Kalau saya malah berpikir sebaliknya, melalui pendekatan kelokalan, salah satunya bahasa Gayo tadi, akan menjadikan proses pengembangan, pembelajaran, dan pengajaran semakin mudah.
Gayolinge : contohnya?
al-Gayoni : misalnya, untuk mengajarkan abjad kepada anak-anak praTK (play group), Y misalnya, dekati saja dari kebiasaan, dan media yang dekat dengan mereka, tunjukkan saya terpel (ketapel). Langsung ditunjukkan pada anak-anak, “huruf Y itu seperti ini.” Pasti anak-anak lebih mudah memahami, mengingat, dan menerapkan pelajaran tersebut. Untuk itu, perlu kemauan belajar yang tinggi, dan kreativitas yang lebih dari tenaga pendidik, selain pengayaan dari metode-metode yang sudah ada. Selain itu, intelegen, secara afektif, dan psikomotorik, anak-anak yang didekati dengan budaya tempatan ini punya nilai lebih dibandingkan anak didik lainnya.
Gayolinge : hal lain yang mendukung kepunahan bahasa Gayo itu apa?
al-Gayoni : secara fisik, dari perspektif ekolinguistik tadi, bahasa Gayo kurang di dukung untuk hidup. Contohnya saja, tahun 1996, saya masih berume (bersawah), dalam arti membantu orang tua saya di sawah. Namun, dalam waktu 13 tahun saja, tidak ada lagi sawah di tempat saya. Karena perubahan cuaca, tidak adanya air, sawah sebagai bagian dari ekosistem, sudah berubah fungsi menjadi lahan perkebunan (senuen mude), dan lahan penyemuren (tempat menjemur kopi), meningkatnya mobilitas penduduk dengan pembangunan rumah, dan tidak adanya (sepengetahuan saya) regulasi dan kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan sawah-sawah di Takengon. Sudah barang tentu, istilah-istilah yang berkenaan dengan prosesi bersawah, mulai dari turunnya perintah dari Kejurun Belang (bagian dari Sarak Opat/sistem pemerintahan tradisional Gayo yang mengurusi prosesi bersawah) sampai jadi beras melalui roda sudah hilang, tidak lagi dikenal generasi yang lebih muda dari saya. Kalau pun mereka tahu, tapi ruhnya kurang, karena mereka tidak mengalami secara langsung. Harusnya pemerintah bisa melindungi tempat-tempat ini, seperti sawah-sawah, paya (payau), bibir Danau Laut Tawar, ceruk Mendale, hutan-hutan di seputar danau, perkampungan adat, perkampungan bahasa, dan lain-lain, tidak “diberangus” untuk kepentingan sesaat, dan “golongan”, dan menimbulkan kerusakan dan bencana pada genenerasi mendatang “kerusakan yang berkelanjutan”.
Gayolinge : lalu, faktor apa lagi?
al-Gayoni : boleh dikatakan, politik berbahasa dari pemkab Aceh Tengah masih tidak ada melalui kebijakan, dan perencanaan bahasa dengan pengajaran, dan pembelajaran bahasa Gayo mulai dari play group sampai pada pendidikan tinggi. Kalau pun ada, masih sangat terbatas. Begitu juga dengan muatan lokal yang lain, seperti seni vokal, tari, lukis, pahat, drama/teater, tata boga, dan tata busana, dan lain-lain. Sayang, daerah kita masih miskin sumber daya manusia, karena tidak adanya kebijakan dan pembangungan manusia Takengon yang berkelanjutan (tanoh Gayo secara umum) melalui pendidikan S-1, S-2, dan S-3, begitu juga pembangunan kebudayaan. Yang saya tahu, baru Drs. H. Mustafa M. Tamy, M.M.,-lah yang punya kebijakan pembangunan manusia Takengon. Tidak usah jauh saya contohkan, untuk linguistik saja kita masih belum punya pakar, yang secara umum bidangnya ada empat, belum lagi yang lain-lain. Beberapa hari setelah pergantian rektor Universitas Gajah Putih, saya sempat menyampaikan kepada bapak Armia, S.E.,M.M. (Ketua Yayasan Universitas Gajah Putih) agar mempertimbangan pembukaan Fakultas Ilmu Budaya, atau Fakultas Sastra di Unversitas Gajah Putih, salah satu jurusan yang dibuka nantinya adalah Sastra Gayo. Hal ini saya sampaikan lagi empat hari sebelum PKA V berlangsung. Waktu itu, beliau sudah di Banda Aceh. Hal itu bertujuan untuk memaksimalkan proses penggalian, pemertahanan, dan pewarisan bahasa Gayo. Pembukaan fakultas ini nantiyan akan bersinergi dengan Institute Kesenian Aceh yang dibuka (ada) di Bener Meriah, tinggal lagi, bagaimana Pemkab Aceh Tengah, dan pihak universitas merespon persoalan dan kebutuhan ini. Karena pengkajian, dan pendokumentasian sejarah, serta apa pun tentang Aceh juga masih belum maksimal dilakukan Unsyiah, dan IAIN Arraniry. Terlebih lagi untuk daerah pedalaman, yang miskin dokumentasi, tradisi menulis, dan penulis, tentu peran ini yang harus dijalankan, dan dimaksimalkan Universitas Gajah Putih, STAI Gajah Putih, dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Takengon. Boleh dibilang, kita masih miskin dokumentasi. Untuk itu, kita harus menuliskan sejarah, dan apa pun menyangkut daerah ini (pendokumentasian). Sekiranya pun ada dokumentasi; situs-situs Gayo yang ada di Leiden (Belanda), dan Munich (Jerman), dan koleksi buku-buku Gayo yang ada di beberapa perpustakaan, dan tempat di Indonesia, saya melihat political will dari pemerintah daerah masih kurang terkait masalah ini. Kalau sudah dari atas kondisinya demikian “miskin kemauan/tindakan”, bagaimana yang di bawah? Saya melihat, kondisinya berbalik sekarang, kesadaran dan kemauan itu tumbuh buttom up, bukan top down. Segelintir orang mulai sadar, dan peduli soal identitas ke-Gayo-an kini, dan ke depan, sayang, mereka tak mampu berbuat lebih, karena hanya bermodalkan semangat.
Gayolinge : faktor lain?
al-Gayoni : ya, pengaruh heterogenitas, dan interaksi budaya yang berlangsung di tanoh khususnya, dan tanoh Gayo umumnya. Melalui interaksi budaya, akan terjadi persaingan budaya, dalam hal ini, bahasa; ada yang menang, bertahan, sebaliknya, ada yang kalah. Pengaruh lain, bahasa Indonesia turut serta “membunuh” bahasa Gayo, termasuk bahasa-bahasa minor lainnya di Aceh, seperti Alas, Singkil, Simeule, Tamiang, Anak Jameuk, dan lain-lain.
Gayolinge : jadi, upaya apa yang harus dilakukan untuk memertahankan, dan mewariskan bahasa ini,?
al-Gayoni : kita hanya bisa mengulur waktu kepunahan bahasa Gayo, ya, mudah-mudahan saja tidak punah. Yang paling efektif, dan harus dengan segera kita lakukan, adalah pendokumentasian bahasa Gayo. Begitu juga untuk sejarah, dan yang bertalian dengan Gayo, harus dituliskan. Pembabakan sejarah di tempat kita tak ubahnya seperti masa Usman bi Affan, masih mengumpulkan suhuf-suhuf al-Quran. Begitu juga kita, kita masih mengumpulkan suhuf-suhuf sejarah Gayo yang tersebar di negeri penuh misteri ini. Untuk memartabatkan bahasa Gayo, paling tidak, diperlukan empat pola yaitu pola pikir, pola sikap, pola tutur, dan pola tindak. Pola pikir diwujudkan dengan kesadaran berbahasa Gayo termasuk segala konsep, perencanaan, kebijakan dan politik berbahasa. Pola sikap, menyangkut sikap dan kesetiaan penutur bahasa ini berkenaan dengan pemakaian bahasa Gayo. Pola tutur, dihubungkan dengan penggunaan yang meluas dari bahasa Gayo dalam pelbagai peristiwa tutur dalam masyarakat. Pola tindak merupakan akumulasi ketiga pola yang diwujudkan dengan pemeraktekan berbahasa; membuat model bahasa (lingkungan berbahasa Gayo yang ideal), memertahankan, melestarikan, dan mewariskan bahasa Gayo pada generasi berikutnya. Sekiranya penutur bahasa Gayo sudah jauh dari empat pola di atas (meninggalkan bahasa Gayo), maka akan hilanglah bahasa Gayo. Kalau bahasa Gayo hilang, maka hilang pula-lah orang Gayo sebagai sebuah bangsa. Karena, bahasa Gayo merupakan identitas terakhir orang Gayo sendiri yang di dalamnya tersimpan kekayaan kearifan lokal, sosio-budaya, religius, fiolosofi, dan ekologis.
Gayolinge : saat ini, bagaimana Anda melihat, dan harapan Anda terhadap bahasa Gayo?
al-Gayoni : saya cukup sedih, dan prihatin, karena bahasa Gayo sudah ditinggalkan. Orang Gayo kemel (malu) dan tidak berbahasa Gayo antarsasama orang Gayo. Bahasa, dan budaya Gayo sangat kaya, tapi sayang orang Gayo kurang menyadari, menggali, dan mendokumnetasikannya. Saya tidak menyalahkan sepenuhnya penutur Gayo, karena ini soal hak, dan pilihan, terlebih kondisinya seperti yang sudah saya jelaskan. Harapan saya, bahasa Gayo tidak hilang, karena seperti saya katakan, bahasa Gayo merekam kearifan lokal, sosio-budaya, religius, fiolosofi, dan ekologis yang diwariskan muyang datu pada generasi Gayo saat ini. Dalam bayangan saya, suatu saat, meski sudah kritis keadaannya, bahasa Gayo bisa menjadi pengantar bahasa ilmu pengetahun dan pengembangan dalam segala hal khususnya di tanoh Gayo, terlebih-lebih di Takengon, sebagai daerah induk dari daerah Gayo lainnya. Dengan begitu, prestise, dan nilai ekonomis bahasa ini akan ada. Perlu kerja keras ke arah itu, terutama dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dalam menyiapkan perangkat lunaknya (SDM yang berkualifikasi S-1, S-2, dan S-3), terlebih Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai leading sector, DPRK dalam hal pembuatan regulasi, pihak perguruan tinggi: Universitas Gajah Putih, STAI Gajah Putih, dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Takengon selaku akademisi, dan semua pihak tentunya.
Gaylinge : pesan Anda?
al-Gayoni : “Bohmi, asal ke nerah pari, dan duduk te seni, turah mukarat kite ni, gere nguk ne areh-areh. Si penting seni, hana si lepas kite bueten, kite bueten areh-areh. Gelah kite tegeren semangat, kur mi semangat te urang Gayo, gelah mu betehi diri, kemel, mu kemel, dan besikemelen kite, hususe ku si me mude, turah mulei mu nulis kite, hanah pe i tulis we renye ketiti osop kite, orom sejarah te, berejen ya.”

Sumber: www.gayolinge.com (diakses 2 September 2009)

Selasa, 25 Agustus 2009

‘Kekeberen;’ Tinggal ‘Kekeberen’

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


‘Kekeberen’ adalah satu dari sepuluh sastra lisan yang ada di tanoh Gayo. Kata dasar kekeberen ini adalah ‘keber,’ yang dalam bahasa Indonesia berarti kabar, berita, atau kisah. Kekeberen merupakan penggambaran, pengabaran, dan pengisahan. Singkatnya, kekeberen menceritakan kisah terdahulu, atau rangkaiain cerita kekinian yang dikemas dalam bentuk cerita dengan berbagai bentuk, muatan, dan simbol yang dirangkainya. Muatannya dapat berupa cerita-cerita Islam, misalnya saja sejarah Islam, cerita nabi, sahabat, dan lain-lain. Dapat pula menggambarkan kearifan-kearifan lokal yang dimiliki suku ini. Selain itu, bermuatkan sejarah, misalnya saja tentang sejarah etnik Gayo, kerajaan Linge, kerajaan Isaq, kerajaan Bukit, kerajaan Cik, kerajaan Syiah Utama, dan cerita sejarah lainnya. Juga, topik lain yang tak terlepas dari kehidupan sosial masyarakat Gayo. Intinya, kekeberen mengajarkan pengajaran moral kepada pendengarnya, yang umumnya anak-anak. Dengan demikian, mereka dapat mengambil hikmah dari kekeberen, sehingga dapat menyikapi hidup dengan lebih bijak, baik, dan terarah.

Biasanya, orang tua, terutama nenek-nenek mengisahkan kekeberen ini kepada anak, atau cucunya sebelum mereka tidur. Bentuk, dan muatan ceritanya beragam seperti yang di sampaikan di atas. Namun, apa yang terjadi dengan kondisi kekeberen di tanoh Gayo saat ini? Kekeberen dapat dikatakan sudah hilang dari masyarakat Gayo. Kalau pun ada, pelaku dan pendengarnya terbatas. Kemungkinan, ada di kampung yang tidak tersentuh nilai-nilai modern. Itu juga jarang. Dari kebertahanannya, penulis melihat, kekeberen ini bertahan sampai tahun 1990. Sementara itu, tahun 1990 sampai 2000, kekeberen, semakin kurang dipraktekan. Sekarang, kekeberen sudah digantikan televisi. Orang tua, terlebih anak-anak lebih memilih menonton televisi. Mereka (anak-anak) disibukkan pula dengan tumpukan tugas mereka dari sekolah. Sebagai akibatnya, anak-anak lelah dengan aktivitas seharian, dengan sisa energi yang ada, mereka langsung tidur (tertidur)

Selain akibat teknologi, pelakon kekeberen juga mulai berkurang; sudah memasuki usia senja, dan tinggal hitungan jari. Dalam kaitan tersebut, orang tua yang sekarang memiliki kemampuan yang terbatas terkait kekeberen. Sebaliknya, ceritanya tidak lagi mengangkat nilai-nilai religiusitas, moral, etika, dan kearifan lokal, tapi kisah dari televisi yang ditonton sama-sama, yang kurang mengandung nilai-nilai edukasi. Karena tidak berlangsungnya transmisi budaya, kekurangingintahuan, kekurangmampuan, dan kekurangkreativan. Sudah bisa dipastikan, transmisi budaya terputus antara generasi tua dan generasi muda di tanoh Gayo. Akibatnya, generasi muda, terutama yang lahir, tahun 1980-an sampai sekarang, tidak tahu menahu terkait sejarah, sastra lisan yang kekeberen salah satunya, adat istiadat, norma, ‘resam,’ peraturen, dan kebudayaan tempatan.

Hal inilah yang menjadi persoalan yang memprihantikan di Gayo sekarang; terputusnya transmisi budaya dari yang tua ke yang muda. Orang tua kurang mengajarkan anak-anak-nya kebudayaan tempatan. Ditambah lagi, anak-anak juga enggan mempelajari budaya leluhurnya karena tidak adanya motivasi, arahan, dan tidak terbentuknya lingkungan ke arah dimaksud. Salah satu asumsi yang salah dari orang tua selama ini, adalah anggapan bahwa anak-anak akan mendapatkan pengalaman langsung (empiris) dari interaksi budaya sehari-hari dari lingkungan sekitarnya. Pengajaran budaya tidak perlu diajarkan baik secara formal, maupun secara informal. Selain itu, terjadinya ‘dominasi’ tokoh tua (‘senioritas budaya’), yang muda kurang diikutsertakan. Sebagai akibatnya, putusnya transmisi budaya tidak bisa dielakkan. Karena adanya rentang pengetahuan kebudayaan, dan pengalaman yang cukup jauh antara yang ‘tua’ dan yang ‘muda.’ Generasi muda Gayo sekarang merasa ‘kabur’ dalam melihat realitas budayanya, terutama soal kekeberen.

Ditambah lagi, soal miskinnya pendokumentasian yang bertalian dengan Gayo, terlebih lagi soal kekeberen tadi. Transmisi budaya terbatas hanya lisan, yang frekuensinya sangat terbatas. Belum lagi kurangnya tradisi menulis, yang mau menulis, terutama dari generasi ‘orang tua.’ Hal tersebut, tentu, semakin menambah peliknya persoalan ini. Sebetulnya, sudah ada dokumentasi tertulis prihal kekeberen, walau jumlahnya terbatas. Namun, dokumentasi tersebut tidak ada di Takengon sebagai sumber kekeberen tadi. Sebaliknya, kekeberen tadi ada di luar Aceh, terutama di Medan, Jakarta, dan umumnya pulau Jawa. Lebih disayangkan lagi, pemerintah kabupaten kurang menggali, memelihara, memertahankan, dan mendokumentasikan sejarah yang dimiliki suku ini, khususnya persoalan kekeberen. Pemerintah kabupaten kurang menghargai aset sejarah, dan budaya yang terwaris. Mereka (pemerintah kabupaten) lebih mengedepakan pembangun fisik, yang tak jarang berujung pada kerusakan ekosistem, dan semakin mengerdilkan kearifan-kearifan lokal yang ada. Singkatnya, pembangunan yang ada berbuah pada ‘kerusakan yang berkelanjutan.’

Padahal, kekeberen, dan sembilan sastra lisan Gayo lainnya berpotensi menjadi sarana pemertahanan bahasa Gayo. Kekeberen salah satunya, membuka ruang bagi hidup, berkembang, dan dipakainya bahasa Gayo. Dikarenakan, berdasar kajian ekolinguistik (ecolinguistics), atau ekologi bahasa, bahasa perlu lingkungan untuk hidup. Perlu lingkungan yang merumahi bahasa. Peran itulah yang dimainkan kekeberen, yang mengemban misi kebudayaan, yaitu dengan penggunaan ragam dan register khusus yang mereflesikan kehidupan religius, sosio-kultural, dan ekologis masyarakat Gayo.

Untuk itu, upaya-upaya penyelematan, terutama standarisasi bahasa Gayo (pembakuan), dan pendokumentasian hal-hal yang terkait dengan Gayo, terutama kekeberen tadi perlu dengan segera, sungguh-sungguh, terencana, terukur, dan maksimal dilakukan, terlebih lagi pemkab Aceh Tengah melalui dinas terkait. Kalau tidak, kekeberen yang hakikatnya berupa pengabaran, pengisahan, atau penceritaan kehidupan masyarakat Gayo akan berujung, dan menjadi kekeberen.


*Pemerhati Kebudayaan Gayo/Mahasiswa Program Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara.

Perubahan Cara Berbahasa

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Bila kita perhatikan secara ‘mendalam,’ banyak perubahan yang terjadi prihal pemakaian bahasa di lingkungan tempat kita tinggal. Bangsa kita yang dulu dikenal santun dalam berbahasa, kini, semakin sensitif, banyak hal disikapi dengan bahasa yang kasar. Menyulut emosi, sekaligus kemarahan. Bahkan, di lapangan, banyak tindakan berujung dengan tindak kekerasan dan bersifat anarkis. Seolah, bangsa ini kehilangan pijakannya di tengah reformasi yang dibangun, yaitu tercerabutnya kearifan lokal (local wisdom) yang ada pada masing-masing etnik. Reformasi yang dibangun; seperti apa dan mau dibawa kemana, semakin tidak jelas, lebih khusus lagi reformasi budaya, khususnya berbahasa. Kebalikannya, reformasi kita, di bangun di atas pijakan yang rapuh, tanpa konsep, arah dan pencapaian yang jelas ‘reformasi kebablasan.’

Dalam hal ini, penulis tidak akan bercerita panjang lebar prihal reformasi yang tengah berjalan di Indonesia. Namun, mencoba melihat perubahan berbahasa (language change) dari penuturnya. Dalam konteks yang lebih kecil, tepatnya di Aceh, yaitu di Takengon. Seperti halnya etnik-etnik lain di Indonesia, yang dikenal santun dalam berbahasa. Demikian halnya, etnik-etnik asli yang ada di propinsi Aceh, seperti Aceh, Gayo, Alas, Singkil, Tamiang, Kluet, Anak Jameuk, dan Simelue. Di Gayo misalnya, banyak ungkapan lokal yang menggambarkan kesantunan, dan adab berbahasa. Misalnya saja, becerak lemut berturut payu, peri berabun, becerak mutempat, dan lain-lain. Begitu juga dalam tutur (sistem kekerabatan, atau bentuk sapaan), sastra lisan yang ada sepuluh jenis di Gayo (salah satunya didong). Ungkapan-ungkapan bijak yang terdapat di Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam tersebut, pada intinya mengajarkan penuturnya agar senantiasa santun dan beradab dalam berbicara (penutur) dengan lawan bicaranya (lawan tutur).

Namun, dengan perkembangan ilmu pengetahuan, informasi, teknologi dan perkampungan global (globalisasi) yang tiada berbatas, kesantunan dan adab dalam komunikasi yang meraka gunakan mulai berubah. Penutur bahasa ini (bahasa Gayo) tidak lagi memperhatikan tempat, waktu, lawan tutur, termasuk di dalamnya kesantunan linguistik (berbahasa) dan adab berkomunikasi (berbicara). Penutur bahasa ini (masyarakat yang mendiami Gayo), secara umum, mulai langsung (to the point); kurang menggunakan tamsil, ibarat, tidak lagi mengandung sastra yang tinggi seperti generasi sebelumnya, tidak mengenal diksi yang sesuai dengan konteks penggunaan yang tepat. Tak jarang, penutur bahasa ini mulai berbicara kasar, semakin jauh dari tuntunan agama, adat, resam, peraturan, serta kearifan-kearifan lokal yang ada (local wisdoms). Padahal, daerah ini, terutama daerah lut (Takengon, dan Bener Meriah) dikenal dengan kesantunan berbahasa, dibanding daerah Gayo lainnya di Aceh.

Padahal, kandungan nilai-nilai adat (budaya) yang ada cukup berdekatan dengan ajaran Islam. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Kedekatan tersebut diistilahkan dengan agama orom edet; lagu jet orom sipet, agama munukum; edet mubeda. Artinya, agama dengan adat; seperti zat dengan sipat, agama (memberi) hukum; adat membeda (kan). Dalam bahasa Aceh, hubungan yang sama dikenal dengan lagèë zat deungon sifeuët . Saat ini, ungkapan tersebut (kearifan lokal) sebatas simbol yang kaku. Tak lagi mampu, membuka ruang kesadaran, pintu hati, menggugah rasa dan logika masyarakat di Gayo akan pentingnya kesantunan, dan adab berkomunikasi. Pergeseran nilai tersebut dikarenakan, antara lain: pertama, masyarakat di Gayo, semakin jauh dari ‘tuntunan agama’ terlebih lagi generasi mudanya. Kegiatan keagamaan semakin berkurang, terutama soal pemahaman. Kalau pun ada, biasanya hanya menyetuh ‘kulit luar’-nya saja. Tidak menyentuh wilayah ‘dalam,’ sebatas syariat. Terkesan, pelaksanaan syariat Islam di daerah ini (Aceh) hanya sebatas ‘sisi luar,’ yang berbanding terbalik dengan gelar Serambi Mekkah yang dilekatinya.

Kedua, perkembangan informasi dan teknologi turut memengaruhi cara berbahasa tadi. Pengaruh yang paling nyata adalah dari media massa. Bahasa-bahasa media yang ada tidak mendidik; tidak mengajarkan kesantunan, dan adab yang baik. Khususnya lagi, tayangan-tayangan televisi, yang semakin jauh dari unsur edukasi, kesantunan, adab, dan tidak lagi mampu menguatkan kearifan-kearifan bangsa ini. Banyak tayangannya berbau hedonis, mistis, memeroleh sesuatu dengan cara singkat, material oriented, dengan logika yang dangkal, ditambah dengan deretan konotasi negatif lainnya. Media kita hanya mengejar rating, yang pada saat yang sama, dengan tega mengerdilkan moral generasi bangsa. Bahasa yang dipakai, juga, cenderung menyulut emosi, mengajarkan kekerasan, dan tindakan anarkis. Intinya, semakin kontras dengan keluhuran bangsa ini. Sebagai akibatnya, terjadilah berbahasa yang kasar, arogan, jauh dari kesantunan, adab, dan tidak manusiawi.

Ketiga, tidak berjalannya lembaga adat di Gayo, yang dikenal dengan sarakopat (empat lembaga atau unsur). Keempat unsur tersebut adalah, reje (raja), petue (orang yang paham soal seluk beluk budaya&masyarakat), imem (imam), dan rayat (rakyat). Kini, lembaga yang dimaksud dijalankan muspida, muspika, sampai pada pemerintahan kampung. Sistem pemerintahan yang ada tak mampu berbuat banyak. Padahal, peran lembaga ini sangat penting dalam menggali, membangun, memertahankan, dan melestarikan budaya. Lembaga ini mengatur hubungan antar rakyat, dan menciptakan harmonisasi di tengah-tengah masyarakat, kehidupan religius, adat, budaya, serta konsep-konsep kolektif lainnya. Yang lebih kecil, adalah soal komunikasi tadi. Pengaturan tersebut diatur dalam adat istiadat, resam, berbagai peraturan yang dimiliki, dan syariat yang berlaku. Pengaturan-pengaturan itulah yang dimanifestasikan melalui bahasa yang digunakan penutur bahasa. Dengan demikian, bahasa mengemban tugas yang begitu berat, sampai pada hakikat dari, dan pelaku budaya.

Dalam perkembangan yang terjadi belakangan, bahasa-bahasa minor yang ada di Indonesia, khususnya di Aceh, termasuk bahasa Gayo, saat ini, tidak lagi mendapat tempat. Artinya, tidak adanya lingkungan bagi bahasa untuk hidup, bertahan, dan terpelihara. Hal ini dapat didekati dari kajian ekolinguistik (ekologi bahasa), terutama dari sisi fisik, dan sosioligis-nya. Banyak ragam, dan register baru yang telah menggusur kata-kata lama, termasuk dalam leksikon kesantunan, serta adab berbahasa. Dalam kaitan tersebut, bahasa Indonesia turut ‘membunuh’ bahasa-bahasa minor, khususnya yang terdapat di Aceh, terutama yang berkenaan dengan ragam, dan register komunikasi.

Melihat gambaran di atas, dan pentingnya konsep kesantunan, dan adab berbicara yang bertaut erat dan memengaruhi dengan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak, sudah sepatutnya, dan menjadi keharusan bagi pemerintah Aceh untuk menghidupkan, dan menguatkan kembali kearifan-kearifan lokal yang ada, termasuk pemerintah-pemerintah kabupaten lainnya, yang dalam hal ini adalah kabupaten Aceh Tengah. Penguatan ini semakin penting, di tengah pergeseran nilai, interaksi dan heterogenitas budaya, perkembangan informasi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan perkampungan global yang berlangsung di Aceh. Dengan demikian, pencapaian dan kemajuan pembangunan yang ada, tidak terlepas dari kearifan-kearifan lokal, etika, moral, religiusitas, dan didekati melalui pendekatan budaya. Akibatnya, pembangunan di Aceh akan berciri, terutama pembangunan budaya, termasuk dalam hal kesantunan, dan adab berbahasa.



*Pemerhati Kebudayaan Aceh/Mahasiswa Program Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Hakikat Pekan Ke-wah-an Aceh (PKA)

Yusradi Usman al-Gayoni*


Besok, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V akan berlangsung di pusat pemerintahan Aceh, tepatnya di Banda Aceh. Salah satu hal yang baru dari pelaksanaan ini, adalah menyangkut proses pelaksanaannya, yang kini di-handle event organizer. Terlepas pro, dan kontra terkait dengan adanya event organizer, kita perlu melihat lebih jauh berkenaan dengan “hakikat” dari Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Pada akhirnya, penyelenggaraan kegiatan ini tidak terkesan hanya menghabiskan anggaran, seremonial, sebatas simbol, yang tiada arti dan makna. Lebih dari itu, kita perlu melihat realitas kebudayaan Aceh kini. Juga, memproyeksikan kebudayaan Aceh ke depan. Terlebih, pasca Tsunami, banyak pergeseran nilai yang terjadi dalam tataran masyarakat Aceh, khususnya soal mind set, prilaku, sikap, dan pola tindak.

Pasca Tsunami, terjadi pengulangan sejarah di Aceh. Heterogenitas budaya dan etnik jilid II kembali berlangsung di Aceh. Dunia terkejut, simpati, dan datang berbondong-bondong ingin melihat langsung, dan membantu langsung rakyat Aceh. Dari interaksi budaya ini, berlangsung persaingan budaya; antara budaya tempatan dengan budaya yang datang. Tentu, ada yang kalah, serta mencoba bertahan, sebaliknya, ada yang memang. Budaya tempatan yang masih “sakit,” merangkak, dan berjalan tertatih dipaksa bertahan di tengah gelombang budaya yang datang begitu deras. Tak dapat dihindari, banyak perubahan yang terjadi dengan berbagai warna dan dinamika.

Masyarakat Aceh diposisikan sebatas penerima, dan menjadi objek. Dalam amatan penulis, masyarakat Aceh “semakin malas” akibat bantuan-bantuan yang diberikan, mematikan ruang kreativitas dan inovasi, menerima dan berharap, berorientasi pada materi (uang), hidup yang begitu senjang (miskin dengan yang kaya, dan “pihak-pihak yang berkepentingan” dengan rakyat yang tidak punya ilmu, akses informasi dan teknologi dan tidak tahu apa-apa), rakyat semakin apatis, sikap invidualistis semakin mengakar, dan masyarakat Aceh akan menjadi masyarakat yang ketergantungan. Lebih dari itu, masyarakat semakin berorientasi pada materi. Berbeda dengan kondisi sebelumnya, masyarakat di daerah ini begitu mengagungkan religiusitas dan kearifan lokal mereka miliki.

Pergesaran-pergeseran berbagai nilai di atas tidak dapat dihindari. Lebih jauh lagi, penyakit-penyakit sosial dan “konflik-konflik sosial” akan senantiasa bermunculan akibat persoalan di atas. Salah satunya, adalah dengan berbagai tindak kejahatan yang berlangsung dalam masyarakat Aceh, terutama di jejalanan Aceh. Kearifan lokal (local wisdoms) yang mengendap dalam masyarakat ini, tidak lagi mampu menyadarkan pola, sikap, prilaku, dan pola tindak masyarakatnya. Sebaliknya, local wisdoms, jadi warisan leluhur yang kaku, simbolis yang isinya tak punya arti dan makna lebih. Di lain pihak, wajah Aceh terus berubah dengan pembangunan fisik yang kadangkala merusak ekosistem “kerusakan yang berkelanjutan,” masyarakat tempatan semakin termarginalkan dengan berbagai perubahan, terutama sosiokultural. Begitu pula dengan perkampungan global dengan interaksi dan herogenitas budaya yang tiada batas, semakin menghantui masyarakat di daerah ini, terutama yang tidak punya persiapan. Saat yang bersamaan, masyarakat hanya terdiam, tak mampu berbuat, dan pasrah menunggu pergantian hari. Yang penting buat mereka, mereka bisa makan hari ini, bertahan, dan hidup untuk besok.

Dalam konteks inilah, diharapkan PKA V dapat mengakomodasi persoalan-persoalan kebudayaan Aceh saat ini, dengan tidak sebatas menampilkan sisi luar dari PKA (tampilan kesah wah). Namun, dapat menjadi momen pembelajaran akan kekayaan budaya dan gemangan budaya-budaya yang ada di Aceh saat ini. Lebih jauh, dapat menyentuh sisi dalam dengan momentum khusus untuk berbagi informasi, pengalaman, dan pencarian solusi antarpelaku kebudayaan, dengan pelibatan institusi pendidikan tinggi yang ada di Aceh. Termasuk di dalamnya, kebutuhan-kebutuhan kebudayaan, yang salah satunya soal penghargaan. Penghargaan yang dimaksud adalah, pemberian insentif hidup bagi pelaku kebudayaan, sehingga mereka dapat maksimal dalam berkarya. Kebalikannya, bukan hanya penghargaan dalam secarik kertas yang berisi tanda tangan-tanda tangan. Dikarenakan, realitas pelaku kebudayaan di lapangan, tak ubahnya seperti ampung-ampung pulo (peribahasa Gayo), hidup segan mati tak mau, akibat lilitan persoalan ekonomi tadi. Bagaimana mungkin, seniman yang ada di Aceh katakanlah, mampu berkarya maksimal, sementara kebutuhan sehari-hari mereka pun tidak terurus, kondisi yang cukup ironis dan tragis.

Yang tidak kalah penting, adalah soal pendokumentasian tertulis rangkaian-rangkaian peristiwa budaya yang terjadi di Aceh, terutama di luar pesisir Aceh yang sangat miskin dokumentasi. Sekiranya hal ini tidak dilakukan dengan cepat, terarah dan maksimal, Aceh akan kehilangan banyak rangkaian sejarah dan budaya. Disebabkan pelaku sepuh menyangkut kebudayaan Aceh tinggal hitungan jari, tidak lagi produktif, dan berusia lanjut. Di sisi lain, perhatian generasi muda Aceh semakin kurang akan keberadaan dan keberlangsungan budayanya. Kita tidak mau, rangkaian sejarah dan budaya Aceh masa lalu dan kini, jadi rujukan klasik masa depan. Lebih dari itu, generasi Aceh mendatang semakin malu dengan ke-Acehan-nya, tidak berkarter, berciri dan krisis indentitas.


*Pekerja NGO/Handicap Internasional di Aceh (2006-2007), dan Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) 2008-sekarang.

Kamis, 30 Juli 2009

PKA&Identitas Ke-“Aceh”-an Masa Depan

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Pekan Kebudayaan Aceh lahir secara tiba-tiba, melalui seorang Nyak Yusda, yang sehari-hari sebagai kepala SMEA 2 Kuta Raja, tahun 1958. Inspriasi tersebut lalu diwacanakan pada rekan-rekan Nyak Yusda yang lain, seperti Tubasya, Said Mucktar dan Muhammad Z. Wacana PKA mengalir begitu cepat, yang kemudian sampai di telinga tokoh-tokoh Aceh ketika itu, seperti TA. Talsya, Hamidi AS, Said Abubakar, dan Aly Achmadi. Para tokoh ini pun menemui dan menyampaikan hal ini kepada Mayor Teuku Hamzah Bendahara, selaku Kastaf Ka.Staf Penguasa Perang Daerah. Pada akhirnya, Pekan Kebudayaan Aceh diadakan untuk pertama kali, tanggal 12-23 Agustus 2009, yang diketuai Mayor Teuku Hamzah Bendahara (Jauhari Samangan dalam Serambi, 13/5/2009).

Seperti dikatakan Jauhari dalam tulisannya Jalan Panjang PKA tersebut, PKA yang pertama itu, bertujuan salah satunya untuk merehabilitasi konflik akibat ekses DI/TII. Dengan demikian, kegiatan kebudayaan ini, diharapkan dapat merekat pihak-pihak yang bertikai ketika itu. Tentu kita berharap, pelaksanaan PKA V ini dapat melakukan peran yang sama. Paling tidak, menguatkan kembali karakter dan kearifan-kearifan lokal (local wisdoms) masyarakat “Aceh” yang sudah mulai tercerabut, terlebih lagi setelah tsunami.

Selain meluluhlantakan pesisir Aceh, menewaskan ribuan nyawa, tsunami telah pula melunturkan budaya Aceh. Sisi lain, anugerah Tsunami ini, tercipta pula kesepakatan damai melalui perjanjian Helsinki. Saat yang bersamaan, akulturasi budaya Aceh jilid dua berlangsung dengan heterogenitas kedatangan, dan interaksi budaya-budaya pendatang yang hadir di Aceh. Mereka yang datang tidak sebatas dari dalam, tapi juga dari manacanegara, setelah hati dan rasa mereka terketuk untuk melihat dan membantu rakyat Aceh secara langsung. Pengulangan sejarah tersebut ‘heterogenitas Aceh jilid II,’ berimbas pula pada kultur lokal yang masih jalan tertatih. Pola pikir, sikap, dan pola tindak pendatang yang datang secara besar-besaran semakin mewarnai kultur lokal. Pewarnaan tersebut bisa positif, dan sebaliknya. Di lain pihak, kearifan lokal yang ada tidak lagi mampu mengimbagi budaya yang datang. Filter budaya dari masyarakat lokal, khususnya pribadi-pribadi yang bersangkutan, hilang perlahan di tengah persaingan budaya.

Lebih-lebih lagi, dengan bantuan yang diberikan, yang mana masyarakat tempatan hanya diposisikan sebagai objek, penerima yang pasrah dengan keadaan. Tindakan inilah yang kemudian melahirkan pergeseran nilai, sifat, ciri, karakter, kearifan lokal, dan budaya masyarakat Aceh. Betapa tidak, masyarakat Aceh hanya menerima keadaan dengan menanggalkan ikhtiar, semakin malas, dan mengabaikan kreativitas. Bantuan yang diberikan pun di luar kewajaran, dengan nilai yang tidak pernah dinikmati sebelumnya. Dengan begitu, masyarakat Aceh yang sebelumnya begitu menguatkan kearifan lokal dan religiusitas, kini berkiblat pada materi, dengan mengedepankan uang. Akibatnya, dewasa ini, kerap muncul konflik sosial baru dalam masyarakat Aceh, khususnya berbagai tindak kejahatan di jejalanan Aceh. Hal itu terjadi karena kecemburuan dan rasa iri, sebagai buah dari ketimpangan yang terjadi, antara yang kaya dan yang miskin, “kelompok-kelompok berkepentingan” dengan rakyat yang tak punya akses informasi, teknologi, dan tidak tahu apa-apa.

Berbagai kemudahan, dan perkembangan akses informasi serta teknologi menambah daftar pergeseran nilai yang terjadi di Aceh. Menjadikan masyarakat di daerah ini semakin terjebak dengan keegoan masing-masing, dan apatis dengan keadaan. Selain itu, yang lebih penting, nilai-nilai keagamaan semakin jauh dari masyarakat di daerah ini. Untuk itu, momentum PKA ini diharapkan mampu menguatkan kembali karakter, dan kearifan-kearifan lokal yang ada di Aceh. Sejatinya, momen ini bukan hanya menyentuh sisi luar “Pekan Ke-wah-an Aceh” dengan menampilkan sisi ‘glamour’ dan ‘hedonis,’ melainkan harus mampu menyentuh sisi dalam, menyangkut realitas, kebutuhan, serta arah kebudayaan Aceh kini dan masa mendatang. Menujukkan kekinian budaya Aceh, yang dikuatkan dengan karakter dan kearifan-kearifan lokal tadi.

Disamping itu, yang lebih penting, terciptanya keberlanjutan kegiatan ini dengan momen berbagi pengalaman, langkah-langkah taktis antarpelaku dan penggiat budaya menyakut realitas budaya Aceh kini, dengan penggalian, pendokumentasian secara tertulis, dan pemertahanan karakter, identitas, dan kearifaan lokal di masing-masing kabupaten. Salah satu alasan yang mendasar; pelaku budaya, sejarah, seni, sastra dan menyangkut Aceh secara keseluruhan, saat ini sudah terbilang langka. Karenanya, perlu langkah-langkah taktis, praktis, cepat sekaligus akselerasi dalam upaya penyelamatan aset leluhur tersebut, terutama melalui pendidikan tinggi yang ada di Aceh.

Juga, berlangsungnya perkampungan glogal (globalisasi) yang tanpa sekat, yang dapat dengan mudah mengaburkan nilai-nilai dan kearifan lokal yang ada. Ditambah lagi, pesatnya perkembangan informasi, dan teknologi. Dengan demikian, apa yang diharapkan ‘memulihkan Aceh’ dari krisis karakter, identitas dan keafitan lokal dapat berjalan dengan maksimal. Dalam jangka panjang, sebagai implikasinya, nilai-nilai lokal tadi semakin menguat dengan kekokohan budaya Aceh. Pada akhirnya, generasi Aceh mendatang memiliki ciri, karakter ke-Aceh-an, realistis, dan objektif dengan budaya yang mereka miliki, di tengah-tengah kompetisi dan seleksi budaya yang semakin tanpa batas.


*Pemerhati budaya Aceh, Ketua Yayasan Pusat Kajian Kebudayaan Gayo-Sumut. Email: algayonie@yahoo.com, Blog: http://yusradiusmanalgayoni.blogspot.com (Lentayon Edisi XI Thn III 20009/Edisi Khusus Pekan Kebudayaan Aceh, tim PKA Kabupaten Gayo Lues)

A. R. Moese Dalam Khasanah Musik Aceh

Oleh: Yusradi Usman Al Gayoni *

Nama Abdur Rahman Moese tentu tidak asing lagi dalam dunia musik di Aceh. A. R. Moese memiliki nama asli Abu Musa Azhari, sejak kecil telah memiliki ketertarikan terhadap musik. Bakat tersebut diperoleh dari amae, bapaknya, tengku Sabdin, ditambah bantuan olah vokal serta pelajaran gitar dari awan alik ke, kakek dari pihak ibu, Huria Panggabean. Bapak Moese merupakan pelaku dan tokoh tari saman di Gayo Lues, salah satu kesenian Gayo yang sudah go international. Saat pindah ke Takengon, Sabdin mulai menekuni sair, bentuk lain dari sastra lisan Gayo. Abu Moese Azhari dilahirkan di Kampung Baru, Takengon Timur, Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tanggal 29 April 1939 dari pasangan Tengku. H. Sabdin dan Hj Sri Banun. Moese adalah anak kelima dari sebelas bersaudara.
Setelah tumbuh dewasa, nama A.R. Moese kerap dipakai dibanding Abu Musa Azhari, dan disapa Acong. Moese memulai perjalanan musik-nya sejak SMP. Ketika itu, Moese masih belum mencipta lagu, tapi masih belajar instrumen. Pada 1953, Moese bergabung dengan kelompok musik Sadar bersama dua orang temannya Ismail A.R. Wahid an A.S. Coubat. Ketika itu, Moese mulai belajar not balok selain belajar dari kakaknya, yang mengajar pada Sekolah Guru Bawah (SGB) B di Takengon. Tahun 1954, Moese mulai menciptakan lagu, selain menggubah lagu. Lagu ini berjudul garepo dan melati. Tiga 1957, Moese kembali menciptakan lagu yang menjadi mahakarya Moese kemudian yaitu tawar sedenge (penawar dunia) disamping lagu-lagu lainnya. Saat Drs. H. Mustafa M. Tamy, MM masih menduduki reje, bupati di Aceh Tengah, lagu Tawar Sedenge dijadikan lagu wajib daerah ‘semacam lagu kebangsaan bangsa Gayo’ melalui qanun nomor: 09/XI/28/2002. Untuk mendalami kemampuannya, Moese meneruskan studinya ke Akademi Musik Indonesia (AMI), di Yogyakarta. Di sinilah, Moese dapat dengan mudah memahami not balok dan not angka. Karena sakit, Moese tidak dapat menyelesaikan studinya. Akhirnya, Moese melanglang buana ke Jakarta, tahun 1970. Di ibu kota negara ini, Moese bergabung dengan orkes tetap segar dibawah pimpinan Jenderal Polisi Hugeng bersama-sama dengan Idris Sardi dan lain-lain. Dalam orkes tetap segar, Moese memainkan biola. Orkes ini secara rutin ditayangkan di TVRI sebulan sekali dengan membawakan lagu-lagu Indonesia dan keroncong. Di Jakarta, Moese bergabung juga dengan Lembaga Kebudayaan Gayo Alas dan bertindak sebagai salah satu pemain biola.
Tahun 1973, Moese kembali ke Takengon dan menamatkan sekolahnya di SMA Negeri 1 Takengon (SMA Negeri 1 Takengon sekarang). Saat kembali ke Takengon, Moese mulai mengajar di SPG bersama Ani, yang kemudian hari menjadi pendamping hidupnya. Setelah itu, Moese diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Aceh Tengah, sampai jadi Kasi kebudayaan. Tahun 1981, Moese mendapat izin belajar dari pemerintah kabupaten Aceh Tengah untuk kuliah di IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Selepas studinya, Moese kembali lagi ke Takengon, Aceh, ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Aceh Tengah. Moese mulai mengajar musik kepada generasi muda yang ada di Takengon, salah satunya melalui Bina Musika Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tengah. Tak jarang, Bina Musika kerap menjuarai berbagai even kesenian di Aceh dan mewakili propinsi ini di tingkat nasional. Pada saat yang sama, Moese mengetuai Dewan Kesenian Takengon (DEKATE). Moese biasanya menjadi tutor seni vokal dan musik se-Aceh, serta melatih panduan suara ibu-ibu Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Aceh yang akan berlomba di tingkat nasional (Saifoeddin Kadir, 2008)

Kontingen Aceh dalam Kongres Pemuda
Tahun 1958, Moese menjadi bagian dari tim Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Aceh Tengah dalam PKA I yang digelar di Kota Raja, kota Banda Aceh sekarang. Pada saat itu, tim PKA kabupaten Aceh Tengah tampil sebagai juara umum. Moese merupakan tokoh utama dalam bidang musik bagi tim Aceh Tengah. Usai pergelaran akbar ini, tim kesenian dari Takengon dipercaya mewakili propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam Kongres Pemuda I yang diadakan di Bandung, Oktober 1958. Saat itu, tim ini menciptakan tarian baru di Aceh, yaitu Resam Berume yang menceritakan prosesi bersawah di tanoh Gayo. Pada akhirnya, atas masukan letnan kolonel Syamau Gaharu, Panglima Komando Daerah Militer Aceh, tim dan tari ini disatukan dengan top pade dan tarik pukat, yang gabungannya dikenal dengan tari punca utama, dan dikonsultani Usman Gumanti dari Malaysia. Kongres pun berlangsung di Bandung, Moese menyanyi solo dengan alunan nada-nada gitar serta suara tenornya, menandakan tari punca utama dimulai, yang mana tari resam berume sebagai intro. Peserta kongres terkesima menyaksikan pementasan tersebut. Akibatnya, nama Aceh mencuat ke permukaan melalui harian-harian yang terbit ketika itu. Dari Bandung, lalu mereka mentas di Istana Bogor. Presiden Soekarno pun angkat bicara prihal kemampuan Moese, “Siapa tadi yang nyayi, wah orang-nya kecil tapi suara-nya besar, berkumis lagi,” komentar Sukarno bersalaman dengan Moese. Tari punca utama ini menjadi kebanggaan kodam I Iskandar Muda dengan tarian resam berume sebagai tarian inti. Setelah itu, tim ini mentas di Bali.

Menciptakan Alat Musik
Tahun 1992, Moese mulai menciptakan alat musik tradisional yang dikenal dengan gerantung, kalung kerbau bersama Seh Kilang. Gerantung ini pernah dimainkan dalam pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) III di Banda Aceh. Namun, sebelum PKA III ini, Moese berhasil menciptakan tarian baru yang dikenal dengan tari Kesume Gayo, yang mengisahkan senda gurau beru bujang, anak muda di tanoh Gayo, Aceh. Selain gerantung, tahun 1992, Moese menciptakan jangka, yang terbuat dari peralatan pemotong tembakau. Jangka juga pernah dipentaskan dalam konser musik Gayo di Banda Aceh, tahun 1993, Taman Ismail Marzuki serta di Taman Impina Jaya Ancol, Jakarta. Saat pementasan di Banda Aceh inilah, M. Hasan Basri, salah satu pengamat musik Aceh, menganggap fenomena yang muncul dalam konser Moese di Taman Budaya Banda Aceh merupakan pioner bagi perkembangan musik modern di Aceh (Serambi, 9 Agustus1993). Tidak cukup dengan dua ciptaannya, tahun 1992, Moese kembali menciptakan perajah, tahun 1992. Perajah terbuat dari perahu bekas yang tidak terpakai lagi oleh nelayan yang ada di seputar Danau Laut Tawar. Alat musik ini ditampilkan di Taman Ismail Marzuki, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta dan dalam acara Gatra Kencana TVRI, yang pada waktu itu, tahun 1995 meraih juara II. Selain itu, jangka pernah diikutkan dalam lomba musik tradisional tingkat propinsi Daerah Istimewa Aceh, tahun 1993.
Terkait dengan didong, kesenian tradisional dan salah satu sastra lisan Gayo, Moese mencoba menotasikan lirik-lirik yang ada dalam didong. Akibatnya, didong mudah dipahami dan dinikmati orang-orang di luar Gayo. Untuk paduan suara, melalui lagu ciptaannya yang berjudul renem jejem, Moese berhasil membawa grup paduan suara Daerah Istimewa Aceh masuk lima besar dalam Lomba Paduan Suara tingkat nasional di Jakarta. Tahun 2003, tim paduan suara yang diasuh Moese mendapat juara III di propinsi. Selanjutnya, tahun 2004, Tim Paduan Suara SD dari Takengon, Aceh Tengah mewakili propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan meraih peringkat IX se-Indonesia. Tahun 2005, panduan suara dari Takenogn, kembali mengharumkan nama Aceh di pentas nasional dengan meraih peringkat XIII. Terakhir, Moese berhasil membawa Tim Kesenian Anak-Anak Gayo dalam rangka Peringatan Hari Anak Se-Dunia yang diadakan di Scope Je, Macedonia (Eropa Timur). Namun, Moese tidak bisa berangkat ke Macedonia untuk menyaksikan anak asuhnya, dikarenakan Moese mulai sakit.

Aktivitas setelah Pensiun
Setelah pensiun dari Dinas Pendidikan dan Kabudayaan Kabupaten Aceh Tengah, Moese tetap melanjutkan kegiatan bermusik. Moese merupakan seniman yang cukup kreatif, konsisten dan loyal dalam bidang yang digelutinya. Tepat di rumahnya, Moese menggelar beberapa kegiatan melalui kursus musik Moese/Zola Music Course, sejak 200, antara lain; pelatihan tenaga kesenian, pelatihan solfegio for a children, kursus instrument (gitar, biola, piano dan recorder), pelatihan dasar musik untuk tingkat SD dan SMP, pelatihan group paduan suara tingkat SD, konser musik serta pelatihan atau pembinaan pentas seni pelajar. Pada peringatan Hari Kesenian Aceh, 12 Agustus 2007 yang lalu, pemerintah propinsi Aceh memberikan penghargaan kepada Moese.

Menghadap Ilahi
Setelah lama menderita lever dan sempat berobat ke Medan, serta menjalani perawatan di Rumah Sakit Datu Beru Takengon, tanggal 27 Agustus 2007 menghadap sang pencipta, Allah SWT. Kalimat dzikir terdengar jelas dari mulut Moese, sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. Moese sempat berujar kepada istri, anak-anak dan adiknya, aman Abrar, “Aku beloh mi we.” “Aku mau pergi lagi.” Aman Abrar pun, adik Moese, bertanya kepada Moese, “Nge ke siep abang menghedep ku Tuhen, bang?” “Apakah abang sudah siap menghadap Tuhan, bang?’ “Nge siep aku,” “Saya sudah siap” jawab Moese. “Mamak mua daleh ne bebuet-bebuet sinen, orop sesuk pedeh, hek di nge rasa mamak mua orom aku, nomen ko deh i kedengku a,” “Ibu kamu ngak usah kerja lagi, berdiri aja, udah capek kali rasa ibu kamu sama saya, kamu tidur aja di kaki saya,” kata Moese pada anak-anak dan istrinya. Dalam hitungan detik setelah Moese bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT, lailahaillallah, tepat jam 02.10 WIB, Moese pun menghembuskan napas terakhirnya menghadap illahirabbi, sang pencipta dan tempat kembalinya seluruh mahluk semesta alam. Usai disholatkan di Masjid Ruhama Takengon, Moese pun diantarkan ke rumah terakhir, di pemakaman umum di kampung Dedalu, kecamatan Lut Tawar, Takengon, Nanggroe Aceh Darussalam.


* Penulis Buku Biografi Moese (A.R. Moese; Perjalanan Hidup, Karya dan Dedikasi) & Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) 2008-sekarang. Email: algayonie@yahoo.com, Blog: http://yusradiusmanalgayoni.blogspot.com (dimuat juga di the globe jurnal 30/07/2009&http://acehlong.com/2009/07/30/riwayat-ar-moese-dalam-khasanah-musik-aceh/)