Kamis, 30 Juli 2009

PKA&Identitas Ke-“Aceh”-an Masa Depan

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Pekan Kebudayaan Aceh lahir secara tiba-tiba, melalui seorang Nyak Yusda, yang sehari-hari sebagai kepala SMEA 2 Kuta Raja, tahun 1958. Inspriasi tersebut lalu diwacanakan pada rekan-rekan Nyak Yusda yang lain, seperti Tubasya, Said Mucktar dan Muhammad Z. Wacana PKA mengalir begitu cepat, yang kemudian sampai di telinga tokoh-tokoh Aceh ketika itu, seperti TA. Talsya, Hamidi AS, Said Abubakar, dan Aly Achmadi. Para tokoh ini pun menemui dan menyampaikan hal ini kepada Mayor Teuku Hamzah Bendahara, selaku Kastaf Ka.Staf Penguasa Perang Daerah. Pada akhirnya, Pekan Kebudayaan Aceh diadakan untuk pertama kali, tanggal 12-23 Agustus 2009, yang diketuai Mayor Teuku Hamzah Bendahara (Jauhari Samangan dalam Serambi, 13/5/2009).

Seperti dikatakan Jauhari dalam tulisannya Jalan Panjang PKA tersebut, PKA yang pertama itu, bertujuan salah satunya untuk merehabilitasi konflik akibat ekses DI/TII. Dengan demikian, kegiatan kebudayaan ini, diharapkan dapat merekat pihak-pihak yang bertikai ketika itu. Tentu kita berharap, pelaksanaan PKA V ini dapat melakukan peran yang sama. Paling tidak, menguatkan kembali karakter dan kearifan-kearifan lokal (local wisdoms) masyarakat “Aceh” yang sudah mulai tercerabut, terlebih lagi setelah tsunami.

Selain meluluhlantakan pesisir Aceh, menewaskan ribuan nyawa, tsunami telah pula melunturkan budaya Aceh. Sisi lain, anugerah Tsunami ini, tercipta pula kesepakatan damai melalui perjanjian Helsinki. Saat yang bersamaan, akulturasi budaya Aceh jilid dua berlangsung dengan heterogenitas kedatangan, dan interaksi budaya-budaya pendatang yang hadir di Aceh. Mereka yang datang tidak sebatas dari dalam, tapi juga dari manacanegara, setelah hati dan rasa mereka terketuk untuk melihat dan membantu rakyat Aceh secara langsung. Pengulangan sejarah tersebut ‘heterogenitas Aceh jilid II,’ berimbas pula pada kultur lokal yang masih jalan tertatih. Pola pikir, sikap, dan pola tindak pendatang yang datang secara besar-besaran semakin mewarnai kultur lokal. Pewarnaan tersebut bisa positif, dan sebaliknya. Di lain pihak, kearifan lokal yang ada tidak lagi mampu mengimbagi budaya yang datang. Filter budaya dari masyarakat lokal, khususnya pribadi-pribadi yang bersangkutan, hilang perlahan di tengah persaingan budaya.

Lebih-lebih lagi, dengan bantuan yang diberikan, yang mana masyarakat tempatan hanya diposisikan sebagai objek, penerima yang pasrah dengan keadaan. Tindakan inilah yang kemudian melahirkan pergeseran nilai, sifat, ciri, karakter, kearifan lokal, dan budaya masyarakat Aceh. Betapa tidak, masyarakat Aceh hanya menerima keadaan dengan menanggalkan ikhtiar, semakin malas, dan mengabaikan kreativitas. Bantuan yang diberikan pun di luar kewajaran, dengan nilai yang tidak pernah dinikmati sebelumnya. Dengan begitu, masyarakat Aceh yang sebelumnya begitu menguatkan kearifan lokal dan religiusitas, kini berkiblat pada materi, dengan mengedepankan uang. Akibatnya, dewasa ini, kerap muncul konflik sosial baru dalam masyarakat Aceh, khususnya berbagai tindak kejahatan di jejalanan Aceh. Hal itu terjadi karena kecemburuan dan rasa iri, sebagai buah dari ketimpangan yang terjadi, antara yang kaya dan yang miskin, “kelompok-kelompok berkepentingan” dengan rakyat yang tak punya akses informasi, teknologi, dan tidak tahu apa-apa.

Berbagai kemudahan, dan perkembangan akses informasi serta teknologi menambah daftar pergeseran nilai yang terjadi di Aceh. Menjadikan masyarakat di daerah ini semakin terjebak dengan keegoan masing-masing, dan apatis dengan keadaan. Selain itu, yang lebih penting, nilai-nilai keagamaan semakin jauh dari masyarakat di daerah ini. Untuk itu, momentum PKA ini diharapkan mampu menguatkan kembali karakter, dan kearifan-kearifan lokal yang ada di Aceh. Sejatinya, momen ini bukan hanya menyentuh sisi luar “Pekan Ke-wah-an Aceh” dengan menampilkan sisi ‘glamour’ dan ‘hedonis,’ melainkan harus mampu menyentuh sisi dalam, menyangkut realitas, kebutuhan, serta arah kebudayaan Aceh kini dan masa mendatang. Menujukkan kekinian budaya Aceh, yang dikuatkan dengan karakter dan kearifan-kearifan lokal tadi.

Disamping itu, yang lebih penting, terciptanya keberlanjutan kegiatan ini dengan momen berbagi pengalaman, langkah-langkah taktis antarpelaku dan penggiat budaya menyakut realitas budaya Aceh kini, dengan penggalian, pendokumentasian secara tertulis, dan pemertahanan karakter, identitas, dan kearifaan lokal di masing-masing kabupaten. Salah satu alasan yang mendasar; pelaku budaya, sejarah, seni, sastra dan menyangkut Aceh secara keseluruhan, saat ini sudah terbilang langka. Karenanya, perlu langkah-langkah taktis, praktis, cepat sekaligus akselerasi dalam upaya penyelamatan aset leluhur tersebut, terutama melalui pendidikan tinggi yang ada di Aceh.

Juga, berlangsungnya perkampungan glogal (globalisasi) yang tanpa sekat, yang dapat dengan mudah mengaburkan nilai-nilai dan kearifan lokal yang ada. Ditambah lagi, pesatnya perkembangan informasi, dan teknologi. Dengan demikian, apa yang diharapkan ‘memulihkan Aceh’ dari krisis karakter, identitas dan keafitan lokal dapat berjalan dengan maksimal. Dalam jangka panjang, sebagai implikasinya, nilai-nilai lokal tadi semakin menguat dengan kekokohan budaya Aceh. Pada akhirnya, generasi Aceh mendatang memiliki ciri, karakter ke-Aceh-an, realistis, dan objektif dengan budaya yang mereka miliki, di tengah-tengah kompetisi dan seleksi budaya yang semakin tanpa batas.


*Pemerhati budaya Aceh, Ketua Yayasan Pusat Kajian Kebudayaan Gayo-Sumut. Email: algayonie@yahoo.com, Blog: http://yusradiusmanalgayoni.blogspot.com (Lentayon Edisi XI Thn III 20009/Edisi Khusus Pekan Kebudayaan Aceh, tim PKA Kabupaten Gayo Lues)

A. R. Moese Dalam Khasanah Musik Aceh

Oleh: Yusradi Usman Al Gayoni *

Nama Abdur Rahman Moese tentu tidak asing lagi dalam dunia musik di Aceh. A. R. Moese memiliki nama asli Abu Musa Azhari, sejak kecil telah memiliki ketertarikan terhadap musik. Bakat tersebut diperoleh dari amae, bapaknya, tengku Sabdin, ditambah bantuan olah vokal serta pelajaran gitar dari awan alik ke, kakek dari pihak ibu, Huria Panggabean. Bapak Moese merupakan pelaku dan tokoh tari saman di Gayo Lues, salah satu kesenian Gayo yang sudah go international. Saat pindah ke Takengon, Sabdin mulai menekuni sair, bentuk lain dari sastra lisan Gayo. Abu Moese Azhari dilahirkan di Kampung Baru, Takengon Timur, Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tanggal 29 April 1939 dari pasangan Tengku. H. Sabdin dan Hj Sri Banun. Moese adalah anak kelima dari sebelas bersaudara.
Setelah tumbuh dewasa, nama A.R. Moese kerap dipakai dibanding Abu Musa Azhari, dan disapa Acong. Moese memulai perjalanan musik-nya sejak SMP. Ketika itu, Moese masih belum mencipta lagu, tapi masih belajar instrumen. Pada 1953, Moese bergabung dengan kelompok musik Sadar bersama dua orang temannya Ismail A.R. Wahid an A.S. Coubat. Ketika itu, Moese mulai belajar not balok selain belajar dari kakaknya, yang mengajar pada Sekolah Guru Bawah (SGB) B di Takengon. Tahun 1954, Moese mulai menciptakan lagu, selain menggubah lagu. Lagu ini berjudul garepo dan melati. Tiga 1957, Moese kembali menciptakan lagu yang menjadi mahakarya Moese kemudian yaitu tawar sedenge (penawar dunia) disamping lagu-lagu lainnya. Saat Drs. H. Mustafa M. Tamy, MM masih menduduki reje, bupati di Aceh Tengah, lagu Tawar Sedenge dijadikan lagu wajib daerah ‘semacam lagu kebangsaan bangsa Gayo’ melalui qanun nomor: 09/XI/28/2002. Untuk mendalami kemampuannya, Moese meneruskan studinya ke Akademi Musik Indonesia (AMI), di Yogyakarta. Di sinilah, Moese dapat dengan mudah memahami not balok dan not angka. Karena sakit, Moese tidak dapat menyelesaikan studinya. Akhirnya, Moese melanglang buana ke Jakarta, tahun 1970. Di ibu kota negara ini, Moese bergabung dengan orkes tetap segar dibawah pimpinan Jenderal Polisi Hugeng bersama-sama dengan Idris Sardi dan lain-lain. Dalam orkes tetap segar, Moese memainkan biola. Orkes ini secara rutin ditayangkan di TVRI sebulan sekali dengan membawakan lagu-lagu Indonesia dan keroncong. Di Jakarta, Moese bergabung juga dengan Lembaga Kebudayaan Gayo Alas dan bertindak sebagai salah satu pemain biola.
Tahun 1973, Moese kembali ke Takengon dan menamatkan sekolahnya di SMA Negeri 1 Takengon (SMA Negeri 1 Takengon sekarang). Saat kembali ke Takengon, Moese mulai mengajar di SPG bersama Ani, yang kemudian hari menjadi pendamping hidupnya. Setelah itu, Moese diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Aceh Tengah, sampai jadi Kasi kebudayaan. Tahun 1981, Moese mendapat izin belajar dari pemerintah kabupaten Aceh Tengah untuk kuliah di IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Selepas studinya, Moese kembali lagi ke Takengon, Aceh, ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Aceh Tengah. Moese mulai mengajar musik kepada generasi muda yang ada di Takengon, salah satunya melalui Bina Musika Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tengah. Tak jarang, Bina Musika kerap menjuarai berbagai even kesenian di Aceh dan mewakili propinsi ini di tingkat nasional. Pada saat yang sama, Moese mengetuai Dewan Kesenian Takengon (DEKATE). Moese biasanya menjadi tutor seni vokal dan musik se-Aceh, serta melatih panduan suara ibu-ibu Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Aceh yang akan berlomba di tingkat nasional (Saifoeddin Kadir, 2008)

Kontingen Aceh dalam Kongres Pemuda
Tahun 1958, Moese menjadi bagian dari tim Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Aceh Tengah dalam PKA I yang digelar di Kota Raja, kota Banda Aceh sekarang. Pada saat itu, tim PKA kabupaten Aceh Tengah tampil sebagai juara umum. Moese merupakan tokoh utama dalam bidang musik bagi tim Aceh Tengah. Usai pergelaran akbar ini, tim kesenian dari Takengon dipercaya mewakili propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam Kongres Pemuda I yang diadakan di Bandung, Oktober 1958. Saat itu, tim ini menciptakan tarian baru di Aceh, yaitu Resam Berume yang menceritakan prosesi bersawah di tanoh Gayo. Pada akhirnya, atas masukan letnan kolonel Syamau Gaharu, Panglima Komando Daerah Militer Aceh, tim dan tari ini disatukan dengan top pade dan tarik pukat, yang gabungannya dikenal dengan tari punca utama, dan dikonsultani Usman Gumanti dari Malaysia. Kongres pun berlangsung di Bandung, Moese menyanyi solo dengan alunan nada-nada gitar serta suara tenornya, menandakan tari punca utama dimulai, yang mana tari resam berume sebagai intro. Peserta kongres terkesima menyaksikan pementasan tersebut. Akibatnya, nama Aceh mencuat ke permukaan melalui harian-harian yang terbit ketika itu. Dari Bandung, lalu mereka mentas di Istana Bogor. Presiden Soekarno pun angkat bicara prihal kemampuan Moese, “Siapa tadi yang nyayi, wah orang-nya kecil tapi suara-nya besar, berkumis lagi,” komentar Sukarno bersalaman dengan Moese. Tari punca utama ini menjadi kebanggaan kodam I Iskandar Muda dengan tarian resam berume sebagai tarian inti. Setelah itu, tim ini mentas di Bali.

Menciptakan Alat Musik
Tahun 1992, Moese mulai menciptakan alat musik tradisional yang dikenal dengan gerantung, kalung kerbau bersama Seh Kilang. Gerantung ini pernah dimainkan dalam pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) III di Banda Aceh. Namun, sebelum PKA III ini, Moese berhasil menciptakan tarian baru yang dikenal dengan tari Kesume Gayo, yang mengisahkan senda gurau beru bujang, anak muda di tanoh Gayo, Aceh. Selain gerantung, tahun 1992, Moese menciptakan jangka, yang terbuat dari peralatan pemotong tembakau. Jangka juga pernah dipentaskan dalam konser musik Gayo di Banda Aceh, tahun 1993, Taman Ismail Marzuki serta di Taman Impina Jaya Ancol, Jakarta. Saat pementasan di Banda Aceh inilah, M. Hasan Basri, salah satu pengamat musik Aceh, menganggap fenomena yang muncul dalam konser Moese di Taman Budaya Banda Aceh merupakan pioner bagi perkembangan musik modern di Aceh (Serambi, 9 Agustus1993). Tidak cukup dengan dua ciptaannya, tahun 1992, Moese kembali menciptakan perajah, tahun 1992. Perajah terbuat dari perahu bekas yang tidak terpakai lagi oleh nelayan yang ada di seputar Danau Laut Tawar. Alat musik ini ditampilkan di Taman Ismail Marzuki, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta dan dalam acara Gatra Kencana TVRI, yang pada waktu itu, tahun 1995 meraih juara II. Selain itu, jangka pernah diikutkan dalam lomba musik tradisional tingkat propinsi Daerah Istimewa Aceh, tahun 1993.
Terkait dengan didong, kesenian tradisional dan salah satu sastra lisan Gayo, Moese mencoba menotasikan lirik-lirik yang ada dalam didong. Akibatnya, didong mudah dipahami dan dinikmati orang-orang di luar Gayo. Untuk paduan suara, melalui lagu ciptaannya yang berjudul renem jejem, Moese berhasil membawa grup paduan suara Daerah Istimewa Aceh masuk lima besar dalam Lomba Paduan Suara tingkat nasional di Jakarta. Tahun 2003, tim paduan suara yang diasuh Moese mendapat juara III di propinsi. Selanjutnya, tahun 2004, Tim Paduan Suara SD dari Takengon, Aceh Tengah mewakili propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan meraih peringkat IX se-Indonesia. Tahun 2005, panduan suara dari Takenogn, kembali mengharumkan nama Aceh di pentas nasional dengan meraih peringkat XIII. Terakhir, Moese berhasil membawa Tim Kesenian Anak-Anak Gayo dalam rangka Peringatan Hari Anak Se-Dunia yang diadakan di Scope Je, Macedonia (Eropa Timur). Namun, Moese tidak bisa berangkat ke Macedonia untuk menyaksikan anak asuhnya, dikarenakan Moese mulai sakit.

Aktivitas setelah Pensiun
Setelah pensiun dari Dinas Pendidikan dan Kabudayaan Kabupaten Aceh Tengah, Moese tetap melanjutkan kegiatan bermusik. Moese merupakan seniman yang cukup kreatif, konsisten dan loyal dalam bidang yang digelutinya. Tepat di rumahnya, Moese menggelar beberapa kegiatan melalui kursus musik Moese/Zola Music Course, sejak 200, antara lain; pelatihan tenaga kesenian, pelatihan solfegio for a children, kursus instrument (gitar, biola, piano dan recorder), pelatihan dasar musik untuk tingkat SD dan SMP, pelatihan group paduan suara tingkat SD, konser musik serta pelatihan atau pembinaan pentas seni pelajar. Pada peringatan Hari Kesenian Aceh, 12 Agustus 2007 yang lalu, pemerintah propinsi Aceh memberikan penghargaan kepada Moese.

Menghadap Ilahi
Setelah lama menderita lever dan sempat berobat ke Medan, serta menjalani perawatan di Rumah Sakit Datu Beru Takengon, tanggal 27 Agustus 2007 menghadap sang pencipta, Allah SWT. Kalimat dzikir terdengar jelas dari mulut Moese, sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. Moese sempat berujar kepada istri, anak-anak dan adiknya, aman Abrar, “Aku beloh mi we.” “Aku mau pergi lagi.” Aman Abrar pun, adik Moese, bertanya kepada Moese, “Nge ke siep abang menghedep ku Tuhen, bang?” “Apakah abang sudah siap menghadap Tuhan, bang?’ “Nge siep aku,” “Saya sudah siap” jawab Moese. “Mamak mua daleh ne bebuet-bebuet sinen, orop sesuk pedeh, hek di nge rasa mamak mua orom aku, nomen ko deh i kedengku a,” “Ibu kamu ngak usah kerja lagi, berdiri aja, udah capek kali rasa ibu kamu sama saya, kamu tidur aja di kaki saya,” kata Moese pada anak-anak dan istrinya. Dalam hitungan detik setelah Moese bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT, lailahaillallah, tepat jam 02.10 WIB, Moese pun menghembuskan napas terakhirnya menghadap illahirabbi, sang pencipta dan tempat kembalinya seluruh mahluk semesta alam. Usai disholatkan di Masjid Ruhama Takengon, Moese pun diantarkan ke rumah terakhir, di pemakaman umum di kampung Dedalu, kecamatan Lut Tawar, Takengon, Nanggroe Aceh Darussalam.


* Penulis Buku Biografi Moese (A.R. Moese; Perjalanan Hidup, Karya dan Dedikasi) & Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) 2008-sekarang. Email: algayonie@yahoo.com, Blog: http://yusradiusmanalgayoni.blogspot.com (dimuat juga di the globe jurnal 30/07/2009&http://acehlong.com/2009/07/30/riwayat-ar-moese-dalam-khasanah-musik-aceh/)

Ditinggalkannya Bahasa Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Penutur bahasa Gayo mulai gengsi berbahasa Gayo, demikian dikatakan Drs. H. Ibnu Hajar Laut Tawar (mantan Sekretaris Daerah Kab. Aceh Tengah), salah satu penyaji dalam Seminar Sehari Sejarah dan Kebudayaan Gayo di Takengon, 24 Juli 2009 yang lalu. Banyak alasan yang melatari keenggaan menggunakan bahasa Gayo tersebut. Kini, bahasa Gayo telah digantikan bahasa Indonesia. Begitu juga halnya dengan bahasa-bahasa daerah di nusantara. Dikarenakan bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional mempunyai makna resmi, modern, bergengi tinggi, menarik semangat persatuan nasional dan kurang begitu akrab. Sebaliknya, bahasa daerah, meski bersifat akrab, namun dianggap tradisional, menarik solidaritas kedaerahan dan kurang bergengsi (Soepomo, 2003:30-51).

Mulai ditinggalkannya bahasa Gayo, disebabkan beberapa hal; pertama, kurangnya kesadaran penutur bahasa Gayo dalam menggunakan bahasa Gayo. Kedua, pemakaian bahasa Melayu (Indonesia). Pada awalnya penggunaan bahasa Indonesia cukup canggung dan terbatas. Misalnya, pada saat pembelajaran dan pengajaran yang berlangsung di sekolah, serta dalam menyambut kedatangan tamu-tamu daerah. Namun, dewasa ini, pemakaian bahasa Indonesia sangat meluas dalam masyarakat Gayo. Simpulan tersebut diperoleh dari hasil penelitian yang bertajuk Sikap Berbahasa Penutur Bahasa Gayo, diadakan di kampung Bebesen, kecamatan Bebesen, kabupaten Aceh Tengah, Juli 2008 yang lalu. Penelitian ini dilakukan terhadap orang tua dan anak-anak yang berumur 10-12 tahun (kelas IV-VI SD/MI). Bahasa Gayo sebagian besar tidak diajarkan di keluarga. Orang tua lebih mengajarkan anaknya dengan bahasa Indonesia, termasuk dalam berkomunikasi sehari-hari. Jadi, bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar di rumah.

Sebagai tambahan, pemakaian bahasa Indonesia bertujuan agar anak-anak lebih mudah dalam berkomunikasi dengan guru dan teman-temannya di sekolah dan di rumah. Bahasa Gayo hanya dipakai orang tua anak yang bersangkutan. Mereka beranggapan, anak-anak dengan sendirinya akan bisa berbahasa Gayo. Dengan pertimbangan, pemakaian bahasa Gayo lebih besar dari orang tua dan orang tua yang lain yang ada dalam lingkungan mereka. Selain itu, bahasa Gayo kurang diajarkan di rumah (dalam keluarga). Kalau pun diajarkan hanya sebatas lisan dengan frekuensi pengajaran dan pemakaian yang sangat terbatas. Dalam pergaulan sehari-hari, anak-anak juga terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Begitu juga, orang tua yang tadinya berbahasa Gayo, kini lebih berbahasa Indonesia kepada anak-anaknya atau anak yang lain. Dikarenakan untuk beberapa kasus, anak-anak kurang memahami bahasa Gayo yang disampaikan penutur tadi (orang tua).

Temuan di atas, masih merupakan gambaran berbahasa yang terjadi di salah satu kampung di Takengon. Namun, dari amatan di beberapa kampung di berbagai kecamatan yang ada di Aceh Tengah (Januari-Juli 2008), terjadi hal yang sama, yaitu bahasa Gayo kurang dipakai, dan diajarkan di rumah (kemungkinan besar tidak diajarkan). Dengan demikian, dewasa ini, bahasa Gayo sudah ditinggalkan penuturnya. Sebaliknya, bahasa ibu tadi telah digantikan bahasa Indonesia. Alasan selanjutnya, adanya heterogenitas budaya dengan tingkat interaksi budaya yang tinggi, termasuk terjadinya perwakinan silang. Dengan demikian, bahasa Indonesia dipakai sebagai alat komunikasi antaretnik (lebih dari tujuh etnik) yang mendiami Takengon. Ketiga, bahasa Gayo tidak diajarkan secara informal dan formal baik di keluarga, masyarakat maupun lembaga pendidikan; mulai dari pendidikan rendah, pendidikan lanjutan, pendidikan menengah, sampai pada pendidikan tinggi.

Keempat, tidak adanya model berbahasa Gayo yang ideal di kampung-kampung yang ada di Takengon, dan tanoh Gayo secara umum. Dengan kata lain, tidak terciptanya lingkungan berbahasa Gayo yang dapat dijadikan model bagi kampung atau daerah lain. Di kota atau yang berdekatan dengan kota, gejala campur kode (code mixing) dan alih kode (code switching) sudah menjadi realitas sehari-hari. Sebagai tambahanm, campur kode, yaitu masuknya serpihan kata-kata, frasa dan kalimat bahasa lain ke dalam bahasa Gayo saat peristiwa tutur terjadi (berbahasa). Unsur yang paling banyak masuk tentunya bahasa Indonesia. Alih kode sendiri merupakan peralihan dari bahasa yang satu ke bahasa lain dikarenakan faktor tertentu. Misalnya, ada penutur yang bukan orang Gayo dalam sebuah peristiwa tutur, maka percakapan pun tersebut beralih ke bahasa Indonesia untuk menghormati dan menghargai penutur yang bukan orang Gayo (al-Gayoni, 2006: 24-40)

Kelima, kurangnya kebijakan berbahasa (language policy), perencaan bahasa (language planning), dan politik berbahasa (language politik) dari pemerintah kabupaten setempat. Buktinya, secara formal, bahasa Gayo tidak disertakan dalam muatan lokal pada berbagai strata pendidikan tadi. Kalau pun diajarkan, baru menyentuh pendidikan dasar dan pendidikan menengah dengan jam ditambah pertemuan yang cukup terbatas. Padahal, jaminan pengajaran bahasa daerah telah dimuat dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh Bab XXXI pasal 221 ayat (4) Bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal dan ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan qanun. Namun, dalam implementasinya, pelaksanaan undang-undang ini masih sangat lemah termasuk di dalam pengawasan dan evaluasinya. Keenam, penelitian dan pensosialisasian bahasa Gayo secara ilmiah, serta pendokumentasiannya masih sangat kecil dibanding daerah lain di Indonesia. Akibatnya, orang Gayo akan mengalami kesulitan dalam mencari rujukan (referensi) ilmiah tentang bahasa Gayo atau yang terkait dengan daerah serta suku ini.

Selain hal di atas, sampai hari ini, penulis belum menemukan aksara bahasa Gayo (kalau pun ada). Tradisi menulis dan jumlah penulis juga masih terbatas. Kebanyakan budaya Gayo juga disampaikan melalui tradisi lisan. Itu pun tidak disampaikan secara lengkap. Ada bagian-bagian cerita yang hilang, Atau terjadi penambahan, dan pengurangan di sana sini. Mengingat rentang waktu yang sudah cukup jauh ke belakang. Permasalahan lain, pelaku budaya Gayo atau yang paham akan bahasa sudah tidak lagi produktif. Karena usia yang sudah lanjut dan jumlahnya yang tinggal hitungan jari, tanpa ada regenerasi. Dengan begitu, bahasa klasik Gayo dan warisan leluhur akan hilang seiring dengan pergantian waktu dikarenakan perginya pelaku budaya tadi satu per satu (dalam hal ini, ahli/yang paham tentang bahasa Gayo).

Untuk memartabatkan bahasa Gayo, paling tidak, diperlukan empat pola yaitu pola pikir, pola sikap, pola tutur, dan pola tindak. Pola pikir (mind set, paradigm of thinking/way of thinking) diwujudkan dengan kesadaran berbahasa Gayo termasuk segala konsep, perencanaan, kebijakan dan politik berbahasa. Pola sikap (language attitude), menyangkut sikap (attitude) penutur bahasa ini berkenaan dengan pemakaian bahasa Gayo. Pola sikap merupakan hasil pola pikir. Pola tutur (language use) dikaitkan dengan penggunaan yang meluas dari bahasa Gayo dalam pelbagai peristiwa tutur di masyarakat. Pola tindak (language act) merupakan akumulasi ketiga pola yang diwujudkan dengan pemeraktekan berbahasa, membuat model bahasa (lingkungan berbahasa Gayo yang ideal) dan pemertahanan serta pelestarian bahasa Gayo. Sekiranya penutur bahasa Gayo sudah jauh dari empat pola di atas (meninggalkan bahasa Gayo), maka akan hilanglah bahasa Gayo itu. Kalau bahasa Gayo hilang, maka hilang pula-lah orang Gayo sebagai sebuah bangsa. Karena bahasa Gayo merupakan identitas akhir orang Gayo. Lebih lanjut baca Bahasa Gayo: Sejarah, Perkembangan & Identitas Akhir Orang Gayo dalam blog penulis (al-Gayoni dalam Lentayon Edisi VIII Thn III 2009: 23). Baca juga Harian Serambi Indonesia (14/7/2006), prihal prediksi penulis terkait kepunahan bahasa Gayo.


*Pemerhati kebudayaan Gayo, &Ketua Yayasan Pusat Kajian Kebudayaan Gayo-Sumatera Utara. Email: algayonie@yahoo.com, Blog: http://yusradiusmanalgayoni.blogspot.com (dimuat di www.gayolinge.com/27 Juli 2009)

Senin, 13 Juli 2009

Wujud Kesantunan Dalam 'Tutur'

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni


Tutur merupakan sistem panggilan atau bentuk sapaan yang ada dalam masyarakat Gayo. Melalatoa dalam Kamus Bahasa Gayo – Indonesia, mendefinisikan tutur sebagai sebuah sistem atau istilah kekerabatan (1985:406). Bertutur diartikan dengan penggunaan tutur, sistem atau istilah kekerabatan. Terminologi tutur ini merupakan leksikon yang berbeda dengan kata tutur yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Tutur dalam bahasa Indonesia berarti ucapan, kata, atau perkataan. Dengan demikian, bertutur berarti bercakap atau berkata (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:1574). Berbeda pula dengan konsep tutur atau ujaran dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah speech. Speech is seen as a medium of transmission of language – the spoken medium or phonic substance of language (as opposed to writing) (Crystal, 2008:445). Jadi, konsep tutur dalam bahasa Indonesia dan speech dalam bahasa Inggris (tutur, ujaran) lebih bersifat umum. Sementara itu, tutur dalam bahasa Gayo merupakan sistem kekerabatan dan memiliki konsep tersendiri
Dalam tutur tergambar cara, sikap, dan kesantunan berbahasa penutur terhadap lawan tuturnya. Melalui tutur yang digunakan (ber-tutur), sifat dan karakter seseorang dapat diketahui. Apakah yang bersangkutan memiliki kesensitifan sosial? Dengan kata lain, apakah penggguna tutur mengetahui, menghargai, mengerti dan memahami lawan tutur-nya secara mendalam? Hal tersebut dapat dilihat dari tutur yang dipakainya. Dalam istilah lokal dikenal, jema si be tutur, barti jema mu agama, mu edet, dan mu peraturen. Artinya, orang yang bertutur (menggunakan tutur) berarti (yang bersangkutan) orang yang beragama, beradat, dan berperaturan (tahu resam dan peraturan terutama dalam komunikasi dan hubungan interpersonal). Karena tutur menyentuh kajian psikologis pengguna tutur (si be tutur). Lebih jauh lagi, tutur mengungkapkan sifat, karakter, hati, dan jiwa sesorang.

Fungsi ini (menyatakan adab dalam berkomunikasi atau kesantuan berbahasa) sangat penting peranannya dalam keseharian masyarakat Gayo. Dengan dipakainya tutur dengan benar, dan dalam konteks yang tepat, maka akan tercipta keharmonisan sosial. Tidak ada amarah, berbicara dengan nada yang keras dan kasar, dan penggunaan kata-kata yang tidak berterima (yang dikenal dengan kemali atau sumang). Sebaliknya, lemah lembut, penggunaan padanan kata yang sesuai dengan konteks, intonasi yang sesuai dengan keadaan penutur, dan dengan penyampaian dan sikap yang berterima dari perspektif yang di-tutur (konsep-konsep komunikasi yang baik, benar, efektif, efisien). Singkatnya, akan terjalin hubungan antarpersonal yang baik dalam masyarakat. Dikarenakan pe-tutur penempatan tutur dan adab dalam berhubungan (hubungan interpersonal) terutama dalam berbahasa berada pada strata yang teratas. Selain menyatakan kesopanan atau kesantunan dalam berbahasa, tutur juga berfungsi untuk menunjukkan kedudukan seseorang, menyatakan rasa hormat, memperkuat silaturrahmi, mempererat pergaulan, menyatakan yang bersangkutan beragama, beradat dan berperaturan, dan sebagai identitas sosial (al-Gayoni, Harian Independen Aceh, Desember 2008).

Bagaimana keterkaitan tutur yang ada di Gayo dengan kandungan ajaran Islam? Islam dan adat Gayo sangat erat hubungannya. Tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dalam falsafah masyarakat setempat. Ukum orom edet; lagu zet orom sipet; ukum munukum; edet mubeda. Artinya, agama dan adat (yang berlaku di Gayo); seperti zat dan sipat; hukum Islam menghukum (salah dan benar); adat (yang berlaku di Gayo) membedakan (baik dan tidak baik). Manifestasi kesantunan pada tutur dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa sehari-hari (language use) bisa dilihat dalam beberapa istilah yang ada pada masyarakat setempat, seperti becerak mutempat (berbicara sesuai dengan tempat dan konteksnya), becerak lemut (berujar dengan lemah lembut), dan lain-lain. Penggunaan tutur sendiri disesuaikan dengan kedudukan lawan tutur (yang disapa); umur, kedudukan sosial yang bersangkutan, dan jalinan keakraban (akrab tidaknya pe-tutur dengan yang disapanya). Hal tersebut sesuai dengan tiga parameter yang diberikan Anton Moeliono terkait dengan bentuk sapaan, yaitu umur, status sosial, dan keakraban (1993:250). Selain itu, dalam masyarakat ini dikenal adanya tiga tingkatan tutur, yaitu tutur atas, sejajar, dan tutur rendah. Tingkatan ini-lah yang kemudian membedakan bentuk tutur, penyampaian, sikap dan intonasi bahasa yang dipakainya.

Dalam tautannya dengan nilai-nilai kegamaan (Sri Minda Murni: 2009), Islam mengajarkan agar seseorang berbicara dengan benar atau qaulan sadida (4:9), berbicara dengan bahasa yang menyedapkan hati, tidak menyinggung perasaan atau menyakit perasaan, sesuai dengan kriteria kebenaran, jujur, tidak mengandung kebohongan, dan tidak berpura-pura, disebut dengan qaulan ma’rufa (4:8). Selain itu, Islam juga mengajarkan berbicara efektif yaitu dengan menggunakan ungkapan yang mengena, mencapai sasaran dan tujuan, atau membekas, bicaranya jelas, terang dan tepat atau qaulan baligha (4:63). Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan berbicara dengan baik dan pantas, agar orang tidak kecewa, yang disebut dengan qaulan maysura (17:28). Juga, berbicara dengan kata-kata mulia yang menyiratkan kata yang isi, pesan, cara serta tujuannya selalui baik, terpuji, penuh hormat, mencerminkan akhlak terpuji dan mulia, dikenal dengan istilan qaulan karima (17:23). Terakhir, agama ini juga mengajarkan umatnya untuk berbicara dengan lembut atau dikenal dengan qaulan layyina (20:44).

Hal di atas lah (qaulan sadida, qaulan ma’rufa, qaulan baligha, qaulan maysura, qaulan karima, dan kaulan layiina) yang terkandung dalam tutur yang ada di Gayo. Akan tetapi, dewasa ini, pemahaman masyarakat setempat semakin berkurang terkait dengan tutur. Bahkan, saat ini, tutur kurang dipakai. Bentuk tutur, seperti ama (bapak), ine (ibu), awan (kakek), anan (nenek), dan lain-lain sudah digantikan bentuk sapaan bahasa Indonesia; bapak, papa, ibu, bunda, mama, kekek, nenek, dan lain-lain. Kemungkinan, ke depannya tutur ini akan ditinggalkan masyarakat pewarisnya (al-Gayoni, Seminar Internasional Universitas Sumatera Utara – Universitas Malaya, 20 Juni 2009). Secara umum, kurangnya pemahaman dan pemakaian tersebut disebabkan dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pertama, faktor internal berhubungan dengan masyarakat pewaris tutur sendiri, yaitu orang dan siapa pun yang tinggal di Gayo. Kedua, faktor eksternal, yaitu sesuatu yang datang dari luar; seperti adanya perkawinan silang, interaksi dan heterogenitas budaya yang terjadi di Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam.

Mengingat tingginya nilai-nilai filosofis dari tutur, dalam pemertahanannya, perlu kiranya pengenalan tutur ini kembali terutama kepada generasi muda. Dikarenakan tutur menyentuh bagian yang penting dari kehidupan manusia; menyangkut hubungan antarindividu, khususnya persoalan komunikasi. Pe-tutur yang mengenal dan menerapkan tutur, dapat dikatakan bahwa yang bersangkutan beragama, beradat, dan berperaturan. Mengetahui konsep tutur secara keseluruhan, cara, etika, dan sikap penyampaian yang baik, tuntunan agama dalam kaitannya dengan adat terutama persoalan malu (mukemel) yang berhubungan dengan adab bertutur tadi. Pada akhirnya, bila tutur ini dipakai dan ditempatkan pada konteks yang benar, akan berakumulasi pada terciptanya kehamarmonisan sosial dalam masyarakat ini.


* Pemerhati kebudayaan Gayo &mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU)/Lentayon Edisi XI Thn III 2009 (Edisi Khusus PKA/Agustus 2009)

Fenomena Bertutur Dalam Masyarakat Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni


Tutur merupakan sebuah sistem atau istilah kekerabatan (Melalatoa, 1982:406). Sistem atau istilah kekerabatan ini berlaku pada masyarakat Gayo. Istilah lain dari tutur adalah bentuk sapaan. Bertutur sendiri berarti penggunaan tutur, sistem atau istilah kekerabatan tadi. A.R. Hakim Aman Pinan dalam bukunya Hakekat Nilai-Nilai Budaya Gayo Aceh Tengah (1998), membagi tutur sebanyak 52 bentuk tutur. Selain itu, Mustafa Ak (Ketua Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo), membagi tutur sejumlah 63 bentuk tutur (lihat Tabloid Ara News Edisi 01 Thn ke-1, Januari 2009, Lentayon Edisi VII Thn III 2009)

Namun, dewasa ini, ada semacam gejala kurangnya penggunaan tutur. Dengan kata lain, pengguna tutur (masyarakat Gayo) sudah mulai meninggalkan pemakaian tutur. Kurangnya penggunaan tutur dalam masyarakat Gayo, secara umum disebabkan dua faktor. Pertama, faktor internal, yaitu pengguna tutur yang bersangkutan yaitu masyarakat Gayo sendiri. Tutur tidak diajarkan di dunia pendidikan formal mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Begitu juga secara informal (dalam keluarga). Pengguna tutur juga enggan mempelajari tutur. Salah satu akibatnya, tutur jarang digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, lingkungan bertutur (model bertutur) tidak akan tercipta baik antar individu, dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Lebih dari itu, tutur tidak dilestarikan, misalnya dalam bentuk pengkajian, penelitian, pensosialisasian dan pendokumentasian. Tulisan ini merupakan hasil penelitian penulis terkait tutur secara menyeluruh dan mendalam yang diadakan pada bulan Maret 2009.

Kedua, faktor eksternal yaitu pengaruh yang berasal dari luar masyarakat ini. Suku ini merupakan sebuah masyarakat yang terbuka, toleran, dinamis dan akomodatif terhadap perubahan. Dengan begitu, sesuatu yang datang dari luar tadi, memungkinkan perubahan pada mind set (pola pikir), sikap (attitude) dan tindakan (pola tindak) masyarakat Gayo. Beberapa pengaruh dari luar tersebut, misalnya: (a) penggunaan bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia kini cukup meluas dalam masyarakat Gayo. Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam komunikasi lebih-lebih di kabupaten induk (Takengon). Dalam keluarga terutama di empat kecamatan seperti kecamatan Bebesen, kecamatan Kebayakan, kecamatan Lut Tawar dan kecamatan Pegasing, pemakaian bahasa Indonesia kerap dipakai. Heterogenitas budaya juga tercermin di keempat kecamatan di atas. Sebaliknya, di 10 kecamatan lainnya, lebih didominasi suku Gayo.

Bahasa Gayo juga kurang diajarkan di keluarga. Orang tua lebih mengajarkan anaknya dengan bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia semacam menjadi bahasa pengantar di keluarga. Dalam penelitian penulis yang lain mengenai “Sikap Berbahasa Penutur Bahasa Gayo” yang diadakan pada Juli 2008 di kampung Bebesen, kecamatan Bebesen, kabupaten Aceh Tengah. Penelitian ini dilakukan terhadap orang tua dan anak-anak yang berumur 10-12 tahun (kelas IV-VI SD/MI).

Dari penelitian tersebut diketahui bahwa dalam keluarga lebih dipakai bahasa Indonesia. Pemakaian itu bertujuan agar anak-anak lebih mudah dalam berkomunikasi dengan guru dan teman-teman mereka di sekolah dan di rumah. Bahasa Gayo sendiri hanya dipakai oleh orang tua anak saja. Mereka beranggapan, anak-anak dengan sendirinya akan mampu berbahasa Gayo karena pemakaian bahasa Gayo yang lebih besar dari orang tua dan orang tua yang lain yang ada dalam lingkungan mereka. Selain itu, bahasa Gayo kurang diajarkan di keluarga. Kalau pun diajarkan hanya sebatas lisan dengan frekuensi pengajaran dan pemakaian yang sangat terbatas. Dalam pergaulan sehari-hari, anak-anak juga kerap menggunakan bahasa Indonesia. Begitu juga, orang tua yang tadinya berbebahasa Gayo, kini lebih berbahasa Indonesia kepada anak-anaknya atau anak yang lain. Dikarenakan untuk beberapa kasus, anak-anak kurang memahami bahasa Gayo yang disampaikan penutur tadi (orang tua).

Penulis juga mengamati, dalam perkembangannya, saat ini, bahasa Gayo banyak menyerap kata-kata bahasa Indonesia. Begitu juga halnya dalam tindak tutur (speech act), gejala campur kode (code mixing) dan alih kode (code switching) biasa terjadi dalam tindak berbahasa dari pentutur bahasa Gayo baik di tanoh Gayo maupun di luar tanoh Gayo. Di Medan misalnya, dapat dilihat dalam penelitian penulis yang mengambil studi kasus fenomena code mixing dan code switching mahasiswa Gayo yang ada di USU (2006). (b) Perwakinan silang; menyebabkan kurangnnya penggunaan tutur. Melalui perwakinan tersebut akan terjadi interaksi dari budaya yang berbeda. Pemakaian tutur akan semakin kurang bila pihak laki-laki (suami) bukan orang Gayo. Pun demikian, pemakaian tutur ini akan terjadi bila ada komunikasi atau interaksi dengan keluarga dari pihak istri. Begitu juga halnya dalam pertemuan informal keluarga. Namun, pertemuan informal tersebut sangat terbatas karena tuntutan peran dan tanggung jawab yang berbeda dari masing-masing pelaku tutur. Dengan demikian, semakin jauh hubungan darah ke-Gayo-an seseorang, katakanlah melalui perwakinan tadi, maka semakin kecil penggunaan tutur dari penutur yang bersangkutan.

(c) Interaksi budaya. Pengaruh budaya luar cukup mempengaruhi penggunaan tutur dalam masyarakat ini. Tanoh Gayo sendiri didiami lebih dari delapan etnik seperti Aceh, Jawa, Cina, Padang, Toba, Karo, Mandailing, Cina, Sunda, dan lain-lain Akibatnya, akan terjadi interaksi budaya. Interaksi budaya tersebut memungkinkan kurangnnya penggunaan tutur. Lebih-lebih lagi, pengguna tutur tadi lama tinggal di luar tanoh Gayo. Sedikit banyaknya, ada pengaruh dari budaya tempatan dari daerah yang ditempatinya. (d) Media; baik media cetak maupun elektronik sangat berpengaruh terhadap pembentukan pola pikir, sikap dan pola tindak masyarakat. Salah satu contoh yang paling nyata adalah pengaruh televisi. Televisi berpengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat Gayo secara keseluruhan, tak terkecuali dalam hal penggunaan tutur. Sebagai contohnya, anak-anak atau pelaku tutur tidak lagi menyapa orang tuanya dengan sapaan ama atau ine. Untuk keluarga yang lebih besar, awan dan anan misalnya. Namun, mereka (anak-anak tadi), memakai bentuk sapaan personal bahasa Indonesia seperti bapak, papa, mamak, bunda, mama, kakek dan nenek. Begitu juga halnya dengan pengaruh bahasa prokem yang kerap tayang di televisi lu, gua, dan lain-lain.

(e) Lingkungan; kurangnya penggunaan tutur tadi baik secara personal, dalam lingkup keluarga, dalam dunia pendidikan maupun dalam tindak bertutur lainnya menjadikan tidak terbentuknya lingkungan bertutur. Akibatnya, tidak ada acuan bertutur dari lingkungan yang terbentuk di daerah ini. Dengan kata lain, tidak ada model bertutur yang ideal yang dapat dijadikan contoh, sarana pembelajaran dan pemeraktekan tutur. Dengan begitu, terutama anak-anak akan semakin kurang melihat (dalam bentuk bacaan), memperhatikan, mendengar dan memperaktekkan tutur tersebut dalam pergaulan mereka sehari-hari.

*Pemerhati sejarah, bahasa, adat istiadat, masalah sosial kemasyarakatan, dan kebudayaan Gayo.

Kelahiran Ikatan Gayo Musara Bandung

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Satu hasil pertemuan yang dihasilkan dalam pertemuan beru bujang Gayo Bandung (Juli 2009), adalah terbentuknya Ikatan Gayo Musara Bandung atau IGAMA. Sudah barang tentu, ada hal yang mendasari kelahiran organisasi yang terbilang baru dalam organisasi kedaerahan Gayo di perantauan. Rasa kedaerahan, berasal dari tanoh Gayo turut menguatkan kelahiran organisasi ini. Rasa ini kemudian, terakumulasi dalam sebuah komunitas (wadah) yang terbentuk melalui personal-personal (pang-pang Gayo di perantauan) yang telah tergugah kesadarannya. Penulis menilai kelahiran dan pembentukan organisasi ini sebagai sesuatu yang positif. Perlu didukung semua pihak, paling tidak memberikan dukungan moral, dan dipertahankan eksistensinya. Dikarenakan keberadaan organisasi ini merupakan simbol sosial dari masyarakat Gayo di dataran tinggi tanoh Gayo. Keberadaan organisasi ini diharapkan ini mampu menguatkan komunikasi, silaturrahmi, dan pertemuan yang berkelanjutan antarpang-pang Gayo di perantauan. Pada akibatnya, dalam jangka panjang, dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi ril terhadap daerah (tanoh tembuni), terlebih lagi buat anggota dan pengurusnya yang terlibat di IGAMA.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan sumbang saran terhadap IGAMA yang lahir dari pengalaman empiris dan amatan penulis terhadap organisasi Gayo baik di tanoh Gayo maupun di perantauan, terutama di Takengon, Bener Meriah, Banda Aceh, Medan, Jember, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Jakarta, dan Malang. Sebelumnya, perlu dikritisi soal nama yang melekat pada organisasi ini. Ikatan Gayo Musara Bandung, dalam terminologi musara (bahasa Gayo), sebetulnya, sudah terkandung makna ikatan (bahasa Indonesia). Secara harfiah musara diartikan bersatu. Lebih dari itu, kata tadi bermakna bersatu dalam satu simbol, bentuk, ikatan/wadah dan dalam berbagai implementasi program kerja di lapangan. Singkatnya, musara ate, musara rasa, musara basa, keramat mupakat behu berdedele. Hal ini lah, yang penulis pikir mendasari Musara Gayo Jakarta tidak menempatkan kata ikatan di depan kata Musara Gayo. Dengan demikian, dari kajian linguistik, kata ikatan tidak diperlukan lagi, yang dalam bahasa Gayo diwakili kata musara.

Selaku pelaku dan penggiat organisasi ini, kita perlu mempelajari rentang sejarah panjang organisasi Gayo yang pernah ada (yang telah ada sejak tahun 1947, melalui Pemuda Latu Tawar di Takengon). Khususnya, yang terkait dengan kondisi urang Gayo (siapa pun yang berasal dari tanoh Gayo) di Bandung. Sebagai akibatnya, kita semakin menyadari realitas keberadaan organisasi tersebut dengan mengetahui kelebihan, dan kekurangannya. Dalam tulisan ini, penulis belum menghimpun bahan secara lengkap dan detail prihal perjalanan organisasi Gayo (masih dalam pengumpulan bahan, sejak tahun 2006). Mudah-mudahan (ike naru naru umur orom izin ni Tuhen si sara), dapat diselesaikan deskripsi organisasi Gayo yang lebih lengkap, sehingga dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kita hari ini, dan generasi mendatang. Dengan begitu, kita tidak sebatas belajar sejarah, tapi bagaimana belajar dari sejarah, sehingga kita lebih bijak dalam menimbang, memutus, melangkah, dan berbuat melalui organisasi tadi. Juga, menghargai pendahulu-pendahulu kita yang telah mewariskan buah karya pada kita hari ini.

Dalam kasus berbagai organisasi Gayo di atas, banyak organisasi yang ada; lahir, tumbuh, berkembang, dan terakhir mati. Bahkan, ada di beberapa daerah seperti Banda Aceh (amatan tahun 2004), dan Medan (2002-sekarang) terdapat tujuh sampai sembilan organisasi. Pada akhirnya, pluralitas organisasi tersebut, ada yang bertahan, ada yang mati sebagai konsekuensi dari seleksi sosial. Untuk kasus di Medan misalnya, untuk saat ini, boleh dibilang dari sembilan organisasi yang ada, tinggal tiga lagi yang aktif dengan kepengurusan, perangkat organisasi, dan program kerja yang jelas (meski tidak seperti sebelum tahun 2006), yaitu Ikatan Mahasiswa Takengon&Bener Meriah (IMTABEM/sebelumnya dikenal dengan IMTA), Ikatan Mahasiswa Gayo (IMAGA), dan Himpunan Mahasiswa Bener Meriah (HIMABEM).

Namun, dalam tulisan ini, akan dibatasi pada penyebab mati-nya organisasi Gayo, sehingga bisa menjadi pembelajaran bersama, terutama bagi Ikatan Gayo Bersatu Bandung yang baru lahir. Penulis melihat kaderirasi dan regenerasi organisasi Gayo cukup keropos. Keroposnya regenerasi Gayo (berasal dari tanoh Gayo), sama halnya seperti kacang si gere be deren, hidup, tumbuh, berkembang dan mati secara alamiah tanpa adanya pembinaan yang sungguh-sungguh. Pun, kalo ada anak negeri; negeri Linge, yang sukses di luar, kondisinya tak ubahnya seperti petukel, yang akarnya di tanoh Gayo, sementara buahnya di negeri lain tanpa ada koordinasi, komunikasi, dan kerjasama ke arah peningkatan marwah ni tanoh tembuni. Mudah-mudahan, hal ini dapat menjadi renungan, pemikiran dan kesadaran dalam aksi nyata bersama menyangkut regenerasi masyarakat kita pada masa-masa mendatang (al-Gayoni, 2008/buku Tujuh Tahum IMTA-Sumut 2001-2008).

Banyaknya organisasi Gayo yang mati, atau yang masih hidup (lagu ampung-ampung pulo), dikarenakan, konsep pendirian yang tidak jelas, dan gere bekekire naru (long term vision) yang dituangkan dalam program pengkaderan. Hal tersebut tidak terlepas dari pola pikir, sikap, sifat, ciri, karakter, sifat bawaan (pel’oh) masyarakat Gayo, yang salah satu cepat puas dengan pencapaian yang telah dicapai. Juga, cenderung vokal di komunitas sendiri. Namun, tidak secara keseluruhan, ada satu dua yang tidak seperti itu, tapi tidak dapat mewakili jumlah populsasi masyarakat Gayo secara keseluruhan. Terlebih untuk kondisi sekarang, masyarakat Gayo semakin apatis, masing-masing (gere musara), penting lepas mangan, dan genap tingen lang, asal kereleken enti mupengkil. Begitulah pergeseran sosial yang terjadi di dalam masyarakat Gayo, saat ini. Kondisi ini sangat kontras, dengan visi keorganisasian reje Linge pertama, long term, sampai melahirkan raja-raja pesisir di Aceh. Bagaimana Adi Genali/reje Linge pertama, meletakan fondasi organisasi awal bagi masyarakat Gayo (kerajaan Linge), perangkat hukum positif (45 Pasat Adat Negeri Linge), berkarisma, memiliki kemampuan retorika, komunikasi antarpersonal, negosiasi, dan diplomasi yang luar biasa. Bahkan, salah satu keturunannya mampu menorehkan tinta emas dalam rangkaian sejarah perabadan Aceh, dengan menjadi sultan pertama kesultanan Aceh Darusasalam (Merah Johan). Begitu juga keturunanannya yang lain, Merah Silu, Iskandar Muda, dan lain-lain. Sayang, masyarakat Gayo terutama generasi mudanya, dewasa ini, tidak bisa menafsirkan, dan memahami pesan keorganisasian Adi Genali tersebut, untuk menjadi generasi tanoh Gayo si cerdik, lisik, bidik, orom mersik.

Kembali melirik organisasi kemahasiswaan yang ada di Medan, sejauh ini penulis melihat, baru IMTA yang memiliki pola kaderisasi yang jelas melalui EMP I, EMP II, dan EMP III. EMP tidak lain, adalah Enti Mate Pucuk, semacam pola kaderisasi, dan pengkaderan di dalam IMTA. Di tempat lain, dikenal dengan LK (Himpunan Mahasiswa Islam), Daurah Marhalah (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), Oral English Practise/OEP (Ikatan Mahasiswa Sastra Inggris/IMSI USU), dan lain-lain. Hal inilah yang masih kurang di tubuh organisasi Gayo. Sebaliknya, yang ada, morom, cerite-ceriten gere muarti, nemen waktu, mangan, dan ulak. Dalam kegiatannya, juga lebih banyak menyetuh pada penguatan silaturrahmi, sosial, dan budaya. Ruang pengkaderan untuk melahirkan, paling tidak tokoh nasional, ekonomi dengan penguatan entrepreneurship, pendidikan, hukum, advokasi, dan politik, semakin jauh dari harapan. Untuk konteks Indonesia, kita perlu belajar dari suku Toba, Mandailing, dan orang Sulawesi berkenaan dengan pengkaderan ini.

Kedua, kurangnya penyatuan visi dan misi di awal pendirian organisasi (gere sara ate, sara sara, dan sara basa). Kebanyakan pecahnya organisasi tadi, dikarenakan tidak bisa menerima dan mengelola perbedaan yang terjadi. Misalnya, perbedaan pendapat, kekurangan dan kelebihan anggota (merasa diri dan organisasi yang dimasuki paling hebat/superior), terkotak-kotak dalam belah, urang, dan sebagainya. Pecahnya organisasi, yang selanjutnya bermuara pada matinya organisasi, juga dikarenakan karena kepentingan politis (politik praktis). Kadangkala, organisasi yang ada, disilaukan oleh uang, yang dibawa ke dalam politik praktis. Orang-orang yang terlibat di dalamnya juga demikian. Mengaku aktivis “aktivis gadungan, tak punya harga diri.” Namun, untuk saat tertentu, bersedia menggadaikan idealisme-nya hanya karena kepentingan sesaat, uang, dan menyeret anggotanya yang masih lugu, dan tak berdosa. Bisa dibayangkan, kalau orang-orang seperti yang memimpin tanoh Gayo, negeri, dan bangsa ini, apa yang terjadi kemudian? Sikap ini-lah yang mesti dirubah pelaku dan penggiat organisasi Gayo, kalau ingin melahirkan organiasi yang kuat, berciri, ber-marwah, dan bermartabat. Perlu poka pikir, sikap, dan pola tindak, diarahkan untuk saling menutupi, melengkapi dan membantu kelebihan serta kekurangan masing-masing. Sebaliknya, tidak menjelekkan, menjatuhkan, membutuh karakter organisasi dan individu masing-masing.

Padahal, perbedaan itu berkah, kekayaan, modal, dan potensi untuk menguatkan diri, organisasi, nahwa dan marwah ni tanoh tembuni. Terlebih lagi soal urang, ini merupakan penyakit sosial yang paling parah di Gayo. Menurut almarhum Prof. H. Muhammad Dauh, S.H., “Urang-urangen merupakan prilaku manusia yang tidak berperadaban. Uken toa hanya persoalan pertama, dan belakangan yang datang ke tanoh Gayo.” Penulis sepakat dengan almarhum, yang memang dari awal mencoba meminimalkan urang-urangan yang berlebihan. Bagaimana mungkin, tanoh dan urang Gayo bisa maju bila masih terjebak dalam uken toa. Untuk itu, untuk mu-marwah-kan Gayo, dari sekarang, orang Gayo harus berpikir sehat, bersikap sehat, dan bertindak sehat, tidak terjebak dalam belah, dan urang-urangen. Jangan jadikan uken toa sebagai alat, dan kepentingan sesaat, terutama orang-orang yang berkepentingan “politisi busuk”, dan yang berpikir, berorientasi sempit dan bertarget rendah (hanya untuk hari ini, dan besok, golongan, tim sukses, “balas budi,” dan lain sebagainya. Sebaliknya, urang Gayo harus bisa menerima perbedaan, dengan menempatkan segala sesuatu sesuai porsinya. Artinya, menghormati, menghargai, mendasarkan sesuatu berdasarkan kualitas, kompetensi, track record yang bisa diandalkan (i timang beret i juel mu rege), hasil kerja, dan tauladan yang baik. Bukan sebaliknya, berbasis rasa, kedekatan, belah, dan urang-urang. Kenake, ke nge tekek pe kite i donya ni, gelah cerdik, bidik, lisik orom mersik. Sebalik ke mien, enti besisekuten, besituloken, besipengkilen, dan besisengkeliten.

Dari kasus organisasi intra, dan ekstra kampus, bahkan di tingkat nasional, kerap terjadi, tidak adanya yang berperan sebagai pelaku pelanjut dan penerus organisasi. Dari jurusan, dan pola merantau yang ada juga, kita cenderung tertuju pada satu jurusan, dan satu daerah dengan penyebaran , dan penguatan yang kurang. Akibatnya, masyarakat dari daerah ini tidak menyebar, menguat, terspesialisasi, punya nilai tawar yang rendah, lemah dalam kaderisasi/pengkaderan, negosiasi, dan diplomasi. Di USU misalnya, kadang, satu departemen hanya didiami satu orang Gayo. Ketika mencapai posisi puncak, saat domisioner, tidak ada lagi yang melanjutkan, karena tidak ada generasi pelanjut (lost generation). Bahkan, sekiranya pun lebih dari satu orang mahasiswa (mahasiswa yang dari Gayo), biasanya cukup sulit menembus persaingan yang sangat kompetitif. Begitu juga, untuk akademisi, ditambah pegawai. Hari ini, kita patut bersyukur, di USU, dari Takengon saja terdapat 14 dosen termasuk almarhum Prof. H. Muhammad Daud, S.H., dengan 3 pegawai. Namun, akankah ada garansi keberlanjutan regenerasi tanoh/urang Gayo di USU?

Begitu juga untuk konteks organisasi Gayo, harus dipikirkan kader pengganti dan penerus. Tidak menyandarkan pada ketokohan satu orang (pemimpin kharismatik). Dari banyak kasus organisasi Gayo, hal ini kerap terjadi, makanya untuk di Medan, yang dulunya ada sembilan orgnisasi, kini tinggal 3 organisasi yang tersisa. Pemimpin yang besar, adalah ketika dia bisa mewariskan, dan melahirkan pemimpin yang lebih besar darinya. Harapan penulis, tulisan ini dapat menggugah rasa, hati, jiwa, dan logika urang (orang) Gayo, terutama yang mengkhawatirkan regenerasi urang dan tanoh tembuni (enti sawah mate pucuk), khususnya yang bergelut di organisasi Gayo, terlebih lagi IGAMA. Semoga bermanfaat, light the fire within (maaf, penulis lupa, istilah siapa yang terakhir, baca buku Stephen R. Copey)


* Ketua Dewan Pengawas Nasional (DPN) Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris se-Indonesia (HIMABSII) Periode 2005-2007 (dimuat di www.gayolinge.com 10/07/2009)