Rabu, 30 September 2009

Perjalanan Panjang SMA Negeri 1 Takengon

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Bicara prihal pendidikan dataran tinggi Gayo, banyak hal yang masih belum terdokumentasi. Rekaman sejarah pendidikan masa lalu daerah ini hilang seiring kepergian pelakunya. Secara umum, tanoh Gayo memang masih kurang dokumentasi tertulis. Sebagai akibatnya, transmisi sejarah, dan budaya secara umum tidak berjalan dengan baik. Salah satu bagian sejarah pendidikan tanoh Gayo ini adalah SMA Negeri 1 Takengon (sebelumnya SMA Negeri 1 Bebesen). Sekolah ini merupakan SMA tertua di dataran tinggi tanoh Gayo. Bahkan, sekolah ini merupakan salah satu SMA tua di Propinsi Aceh

Sebelum sekolah ini berdiri, orang Gayo harus menyekolahkan anaknya ke luar daerah, terutama di Banda Aceh. Dikarenakan, untuk SMA di Aceh, baru ada di Banda Aceh. Padahal, untuk menikmati pendidikan, bukanlah hal yang mudah bagi masyarakat yang mendiami daerah ini. Saat itu, pendidikan harus dibayar mahal dengan kucuran keringat, tetesan air mata dan untaian doa dari para orang tua. Belum lagi, kondisi ekonomi yang sangat sulit ketika itu, terlebih-lebih dengan situasi keamanan Aceh yang tidak menentu.

Namun, kekurangan tersebut tidak menghalangi niat orang tua yang ada di daerah ini untuk menyekolahkan anak-anak-nya. Pada saat itu, orang tua akan malu (kemel) bila anak-anak mereka tidak sekolah. Anak-anak mereka dihantarkan dengan tangisan, dan doa penuh harap saat melepas kepergiaan anak-anaknya. Pendidikan menjadi kebutuhan, dan semacam kompetisi wajib antarorang tua pada waktu itu (besikemelen). Di Takengon sendiri, Sekolah Dasar baru ada tahun 1940-an, Sekolah Menengah Pertama (1946), Sekolah Guru Bawah/SGB (1956), dan Sekolah Guru Atas/SGA (1957). Sementara itu, Perguruan Tinggi Gajah Putih baru berdiri tahun 1986.

Beberapa putra Gayo berhasil melanjutkan SMA-nya ke luar daerah. Setelah menyelesaikan SMA-nya, lalu, mereka melanjutkan kuliah di pulau Jawa. Pada saat kuliah, terdapat program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM), yang bertujuan untuk mengisi kekosongan guru-guru yang ada di daerah, termasuk di Takengon. Sebagai apresiasi dari pemerintah, mereka langsung diangkat sebagai pegawai D2/III. Beberapa mahasiswa dari Takengon yang kuliah di Yogyakarta, dan Bandung yang turut serta dalam program tersebut, antara lain Abdullah Armi, Alim Amin, Mahmut Tamat, Muhammad Daud, M. Yasin Bale, dan lain-lain. Kemudian, mereka kembali ke Takengon, untuk mengisi kekosongan guru, dan mengajar di SGB dan SGA Takengon.

Setelah kegiatan belajar mengajar di SGB, dan SGA berjalan, muncul-lah ide untuk mendirikan SMA di Takengon. Dikarenakan, ketika itu, SMA masih belum ada di Takengon. Seperti digambarkan sebelumnya, dengan segala keterbatasan, anak-anak Takengon, harus melanjutkan SMA-nya ke luar daerah. Melihat kondisi tersebut, suara hati, panggilan jiwa dan tekad dari Abdullah Armi, Alim Amin, Mahmut Tamat, Muhammad Daud, dan M. Yasin Bale tidak bisa terbendung. Pada akhirnya, mereka mendeklarasikan pendirian SMA Aceh Tengah, tepatnya di kediaman M. Yasin Bale, di kampung Bale, pada tangal 5 Agustus 1957.

Upaya sosialisasi pun kemudian dilakukan ke tengah-tengah masyarakat oleh kelima pendiri sekolah ini. Masyarakat Aceh Tengah cukup menyambut baik kehadiran sekolah ini. Cukup disayangkan, sebagian besar lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Takengon telah lebih dahulu melanjutkan SMA-nya ke luar daerah, terutama ke Banda Aceh. Alhasil, hanya tiga belas orang yang mendaftar dan tercatat sebagai angkatan pertama sekolah ini, yaitu Rabumah (Istri Bupati Buchari Isaq), Hamidah (Gunung, Teritit), Salamah (Gunung, Teritit), Maimunah (Anak Khalidin Hakim), Salim (Bintang), Abdul Rauf Abdullah (Bale), Ishaq (Genuren, Bintang), Syafaruddin (Genuren, Bintang), A.R. Hakim Aman Pinan, Aman Duwan, dan Ismail (Bom), Usuluddin (Linge), serta M.S. Mora (Adik Yacob Umar).

Kegiatan belajar mengajar pun mulai berjalan di gedung SGB, dan SGA sampai tahun 1960 (di SLTP Negeri 3 Takengon sekarang). Saat itu, dalam proses belajar mengajar hanya dipakai satu ruangan, dan dilangsungkan sore hari sore hari. Dikarenakan, pada pagi harinya, gedung tadi dipakai SGB dan SGA. Pada tahun yang sama, Sekolah Menengah Atas (SMA) Aceh Tengah ini diresmikan. Sekolah ini lalu dipindahkan ke Sekolah Rakyat Percobaan Indonesia Tionghoa, yang terletak di jalan Pahlawan (lokasi SMA yang sekarang). Sekolah Tionghoa ini memiliki luas 3.183, 97 M2. Pada tanggal 5 Oktober 1959, SMA ini dinegerikan, maka nama sekolah berubah dari SMA Swatentera Laut Tawar menjadi SMA Negeri ABC. Pada tahun 1967, saat M. Johan Alamsyah, nama sekolah ini berubah lagi menjadi SMA Aceh Tengah. Pada masa kepempimpinan Oesman Manaf, tepatnya tahun 1977, berubah lagi menjadi SMA Negeri 1 Takengon.

Pada saat kepemimpinan Drs. M. Amin Tujuh, salah satu kebijakannya adalah, berusaha mengubah bangunan yang berkonstruksi papan menjadi bangunan beton. Namun, rencana tersebut baru terealisasi tahun 1992, pada saat kepemimpinan Drs. Abdullah Seltan. Pada tahun 1997, saat Drs. Beramat Mudereje memimpin sekolah ini, lahir pula kebijakan terkait nomenkelatur sekolah yang disesuaikan dengan letak kecamatan. Dikarenakan sekolah ini terletak di kecamatan Bebesen, secara otomatis sekolah ini berubah menjadi SMU Negeri 1 Bebesen. Pada saat Beramad mengepalai sekolah ini, beliau berhasil membangun ruang kepala sekolah (ruangan sekarang), serta perpustakaan (yang sekarang).

Pada saat Misbahuddin, S.Pd., M.M. memimpin sekolah ini, terjadi pembongkaran kelas IA, IB, IC & ID. Selanjutnya, dibangun gedung permanen berlantai dua dengan jumlah delapan ruangan. Konsekuensinya, laboratorium sekolah harus dibongkar karena perluasan dan pembangunan gedung dimaksud. Selain itu, terdapat ruang multimedia (di bekas perpustakaan). Dari sisi kualitas, pada tahun 2006, sekolah pertama dan tertua ini di tanoh Gayo ini, berhasil masuk sepuluh besar se-Aceh. Masih pada masa kepemimpinan Misbahuddin, tahun 2007, terjadi lagi perubahan nama sekolah ini dari SMA Negeri 1 Bebesen, menjadi SMA Negeri 1 Takengon. Hal ini merupakan beberapa tujuan dan target dari Reuni Akbar dan Ulang Tahun Emas SMA Negeri 1 Takengon (1957-2007), selain memperingati ulang tahun, reuni, mengupayakan dan menghimpun dana untuk perluasan sekolah (di depan Puskesmas), membentuk Ikatan Alumni SMA Negeri 1 Takengon, dan mendokumentasikan sejarah sekolah ini. Namun, ikatan sekolah ini masih belum terbentuk, begitu juga dengan pendokumentasian sejarah sekolah ini, masih belum selesai dibukukan.

Sampai saat ini, sekolah ini, telah dipimpin dua belas kepala sekolah, yaitu Abdullah Abdoerahim (1957-1959), M. Affan Hasan (1959-1960), M. Johan Alamasyah (1960-1970), Oesman Manaf (1970-1978), Ismail Genaf (1978-1983), Abdullah Hakim (1983-1988), Drs. M. Amin Tujuh (1988-1992), Drs. Abdullah Seltan (1992-1996), Drs. Beramad Mudereje (1996-2000), Drs. Jemaris (2000-2002), Drs. Beramad Mudereje (2002-2003), Misbahuddin, S.Pd., M.M. (2003-2009), dan Suryani, S.Pd (Februari 2009-sekarang). Sekolah ini juga menjadi induk beberapa sekolah di Takengon, Aceh Tengah, antara lain: SMA Negeri 1 Pegasing (sekarang SMA Negeri 2 Takengon), SMA Muhammadiyah, SMA Darma Lestari, SMA Silih Nara, SMA Negeri 2 Bebesen (sekarang SMA Negeri 8), dan SMA Negeri Lut Tawar (sekarang SMA Negeri 12 Takengon), dan telah menghasilkan sekitar 10.000 alumni yang bekerja di pemerintahan, dan non-pemerintahan baik di dalam, maupun di luar negeri.


*Angkatan ke-42 SMA Negeri 1 Takengon, Ketua Umum OSIS SMA Negeri 1 Bebesen (2001-2002), dan Ketua Ulang Tahun Emas&Reuni Akbar SMA Negeri 1 Bebesen (SMA Negeri 1 Takengon) tahun 2007. Tulisan ini merupakan bagian (inti) dari buku yang masih belum dirampungkan “50 Tahun SMA Negeri 1 Takengon (1957-2007)”

Senin, 14 September 2009

Mengulur Kepunahan Bahasa Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Sebagaimana halnya mahluk hidup; bahasa juga hidup, berkembang, dan memungkinkan untuk mati. Bahasa perlu tempat atau lingkungan untuk hidup. Diperlukan pula penutur sebagai bagian dari guyup tutur, dan ekosistem yang senantiasa memakai bahasanya. Akibatnya, suatu bahasa akan selalu hidup, terpakai, terpelihara, dan terwaris. Dalam sebuah penelitian (al-Gayoni, 2009) dijelaskan, bahwa umur bahasa Gayo tinggal 47 tahun lagi. Bahasa ini hidup sekitar empat sampai lima dasarwarsa lagi. Setelah itu, bahasa ini akan punah. Bahasa Gayo merupakan sebuah bahasa yang dituturkan orang Gayo, yang ada di Propinsi Aceh. Orang Gayo ini digolongkan ke dalam kelompok Proto Melayu. Sementara itu, bahasanya ber-moyang pada Melayu Polinesia. Dari seluruh titik persebarannya; Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Bener Meriah, dan Nagan Raya, bahasa ini dituturkan tidak lebih dari 500 ribu jiwa.


Tulisan ini lebih banyak dilihat dari perspektif ekolinguistik (ecolinguistics/language ecology), kajian interdisipliner, yang menautkan bahasa dan lingkungannya. Bahasa berperan terhadap kelangsungan, dan keseimbangan lingkungan. Sebaliknya, perubahan berbagai bentuk, dan fungsi lingkungan terekam dengan jelas dalam bahasa. Sejatinya, bahasa merupakaan penggambaran identitas, merekam kearifan-kearifan lokal, konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis dari masyarakat tempatan. Hal yang paling mendasari hal di atas, adalah kurangnya kesadaran, dan kesetiaan penutur bahasa ini dalam menggunakan bahasa Gayo. Bahasa Gayo dianggap tidak komunikatif, tidak prestius, dan tidak ekonomis. Terlebih lagi, lingkungan berbahasa di dataran tinggi tanoh Gayo, khususnya di Takengon menggambarkan ke-dwibahasaan (bilingual), dan ke-multibahasaan (multilingual). Daerah ini didiami lebih dari delapan etnik, mulai Gayo sebagai mayoritas, Aceh, Jawa, Minang, Cina, Melayu, Karo, Toba, Mandailing, Alas, dan lain-lain. Pluralitas etnik; dengan interaksi, dan heterogenitas budaya akan memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak berbahasa penutur Gayo. Sebagai akibatnya, persaingan bahasa tidak bisa dielakkan; ada yang menang, coba bertahan. Sebaliknya, ada pula yang kalah, yang ditandai dengan kurang dipakai, atau hilangnya suatu register untuk ranah tertentu.

Di tanoh Gayo, khususnya di Takengon tadi, transmisi budaya dan bahasa juga kurang berjalan dengan baik dari generasi tua (1920-1960) ke generasi muda (1970-sekarang). Selain itu, ada semacam “dominasi budaya/tokoh tua,” yang kurang melibatkan generasi muda. Akibatnya, dewasa ini, generasi muda semakin “kabur” dan “gelap” melihat realitas budaya tempatan. Orang tua beranggapan, anak-anak akan mendapat pengalaman budaya, terlebih berbahasa Gayo dari lingkugannya secara langsung. Bagaimana mungkin, pembelajaran tersebut dapat berjalan, sementara lingkungannya sudah plural, dan dwi/multi bahasa (bilingual/multilingual). Asumsi yang kurang bijak inilah yang masih melekat dalam mind set, sikap, dan pola tindak orang tua.

Dalam perkembangan, dan pergeseran yang terjadi, bahasa Indonesia turut “membunuh” bahasa Gayo, sebagai salah satu bahasa minor di Aceh. Awalnya, bahasa Indonesia terbatas hanya dipakai dalam ranah formal, yaitu melalui pengajaran dan pembelajaran dalam dunia pendidikan, serta dalam menyambut tamu-tamu daerah. Dalam sejarah awal penggunannya, bahasa ini dipakai secara malu-malu (kemel), canggung (cakah), dan ada rasa ketidakpercayadirian dari penggunannya. Sebaliknya, dewasa ini, penutur bahasa Gayo malah malu, gengsi, canggung, dan tidak lagi percaya diri memakai bahasanya, sebagai buah dari penggunaan bahasa Indonesia yang semakin meluas. Penggunaan tadi tidak saja dalam pendidikan formal, tetapi juga dalam keluarga, lingkungan ketetanggaan, bahkan sudah menembus kampung-kampung yang ada di tanoh Gayo. Referensi yang merujuk pada suatu ragam, dan register untuk ranah tutur tertentu tidak lagi ada. Dengan begitu, bahasa Gayo kehilangan lingkungan yang membuat bahasa ini bisa bernafas, dan bertahan hidup.

Bahasa Gayo hanya dipakai antarorang tua “bahasa generasi tua.” Orang tua (1920-1960) masih berbahasa Gayo kepada anaknya (1970-1980). Namun, “orang tua baru” (1970-sekarang, lebih memilih bahasa Indonesia, meski ada sebagian kecil yang berbahasa Gayo. Sudah dipastikan, anak-anaknya lebih intens lagi dalam penggunaan bahasa Indonesia. Tentu, lingkungan berbahasa Gayo tidak lagi dalam bahasa ibu (mother tongue) terutama di empat kecamatan di Takengon; kecamatan Bebesen, Kebayakan, Lut Tawar, dan kecamatan Pegasing. Kebalikannya, sudah berbahasa Indonesia.

Tanoh Gayo juga miskin dokumentasi tertulis prihal sejarah, bahasa, adat istiadat, resam, peraturan, dan yang berkenaan dengan Gayo. Rujukan-rujukan (situs Gayo) juga lebih banyak di luar tanoh Gayo, terutama di Leiden (Belanda), dan Munich (Jerman). Sayangnya lagi, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah tidak mengarahkan kebijakannya pada pembangunan budaya, terlebih lagi pada soal bahasa dan pendidikan; secara khusus, sebagai perangkat lunak pelaksana pewarisan bahasa ini. Boleh dikatakan, masih belum ada politik berbahasa (language politics), kebijakan berbahasa (language policy), dan perencanaan bahasa (language planning). Kalau pun ada, masih dalam bentuk qanun yang kaku, simbolik, dengan implementasi yang lemah, tidak mampu menyetuh wilayah substantif, yaitu menyangkut nasib, kebertahanan, keberlangsungan, dan keterwarisan bahasa ini. Disamping itu, bahasa Gayo juga kurang diajarkan dalam dunia pendidikan formal, mulai pra-TK (play group) sampai pada pendidikan tinggi.

Melihat realitas bahasa Gayo di atas, kepunahan “kematian” bahasa ini tidak lagi dapat dielakkan. Bahasa Gayo hanya bisa diulur kepunahannya, yaitu dengan penggugahan kesadaran penuturnya, mengajarkan bahasa Gayo, meningkatkan kesetiaan penutur dalam penggunaan bahasa ini dalam konteks yang lebih luas. Memperbanyak dokumentasi tertulis, terutama soal kebahasaan, mengingat semakin berkurangnya generasi tua. Terakhir, menempatkan bahasa Gayo tidak sebatas di keluarga, lingkungan ketetanganggan, dan membentuk lingkungan berbahasa Gayo yang ideal di tanoh Gayo yang dapat dijadikan pilot project. Lebih dari itu, bahasa Gayo harus dipelajari, dan diwariskan dalam dunia pendidikan formal, mulai dari pra-TK (play group) sampai pendidikan tinggi. Peran di atas, sudah barang tentu lebih maksimal dilakukan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dengan berbagai power, policy, financial support, dan perangkat pendukung yang dimilikinya. Pemertahanan ini perlu dilakukan, karena bahasa adalah identas (identity) yang merekam kearifan-kearifan lokal, konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis penuturnya.


*Akademisi/Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (Spesialisasi Ekolinguistik)

Sumber:
http://theglobejournal.co.id 11 September 2009 (diakses 13 September 2009)
www.gayolinge.com 12 September 2009 (diakses 14 September 2009)

Rabu, 02 September 2009

Bahasa Gayo Dimungkinkan Punah

Gayo, merupakan suku yang hidup di tengah Provinsi Aceh. Berada di kawasan Pegunungan di Jantung Aceh. Meski hidup dan berkembang di Aceh, namun karakter dan budaya serta bahasa gayo, berbeda dengan kebanyakan Aceh Pesisir.Meski diakui beberapa kosa kata gayo, merupakan adopsi dari bahasa Aceh.Namun secara keseluruhan, bahasa gayo dan Aceh sangat berbeda. Di era sekarang 2009, kekuatiran akan hilangnya bahasa gayo dari peta dunia, sangat beralasan dan banyak teori yang mendukungnya. Apalagi data UNICEF terakhir menyebutkan banyak bahasa daerah di dunia lenyap karena minoritasnya pengguna bahasa tersebut atau terdegradasi bahasa lain serta sejumlah alasan lainnya. Domenyk Eades, penulis Tata Bahasa Gayo-Inggris, dalam suatu kesempatan beberapa waktu lalu di Takengon menyatakan, saat meneliti bahasa gayo di Takengon, sepuluh tahun silam, bahasa gayo sudah mulai ditinggalkan dengan alasan tidak penting. Alasan tidak menggunakan bahasa gayo karena tidak perlu, dikuatirkan merupakan gejala umum dikalangan masyarakat gayo moderen saat ini. Fakta lainnya, rumah tangga gayo kini, lebih memilih berbahasa Indonesia dengan anak dan keluarganya. Jika penelitian Domenyk Eades itu dilakukan sepuluh tahun silam, tentu sudah banyak orang atau rumah tangga gayo yang anaknya tidak mampu lagi berbahasa gayo. Keadaan ini semakin diperparah karena Pemda Aceh Tengah belum terpikir untuk melestarikan bahasa gayo, entah dengan DPRK yang baru dilantik. Berikut petikan wawancara GAYOlinge dengan Yusradi Usman Algayoni, Akademisi/Peneliti, Pemerhati Muda Kebudayaan Gayo, &mahasiswa Magister Linguistik USU

Gayolinge : Saya mendengar beberapa waktu yang lalu Anda meneliti Ekologi Bahasa Gayo di Takengon, benarkah?
al-Gayoni : Ya, benar, tepatnya tanggal 15-22 Agustus 2009 yang lalu
Gayolinge : Bisa diceritakan lebih lanjut tentang penelitian Anda?
al-Gayoni : Penelitian ini merupakan bagian dari kajian ekolinguistik, cabang baru dalam linguistik
Gayolinge : Ekolinguistik itu apa?
al-Gayoni : Ekolinguistik mempelajari ekosistem, dan linguistik (ilmu bahasa), melihat hubungan keduanya baik dari sisi ekologinya, maupun dari sisi bahasanya. Tapi, saya lebih memofuskan pada ekologsi sosialnya, terkait leksikon bahasa Gayo yang berhubungan dengan tata tutur yang dipakai dalam masyarakat Gayo.
Gayolinge : contoh ril dari hubungan tadi seperti apa?
al-Gayoni : Ada hubungan yang erat antara ekologi, dan linguistik. Misalnya saja, penimbunan yang terjadi di bibir Danau Laut Tawar, berakibat pada kerusakan lingkungan, menjadikan luas danau semakin kurang. Juga, merusak keseimbangan ekosistem danau khususnya. Dari segi bahasanya juga, kebijakan tadi telah menghilangkan register, atau istilah-istilah kedanauan tadi. Bisa dibayangkan, berapa jenis rumput yang ada di seputar danau yang sudah tertimbun? Otomatis, istilah tadi hilang kan? Contoh lain, penimbunan Paya Ilang. Di sini, juga terjadi kerusakan lingkungan, ketidakseimbangan ekosistem, dan hilangnya register (istilah-istilah) yang ada di Paya Ilang, mulai dari nama rumput, jenis burung, ikan, dan lain-lain. Sekarang, di kampung-kampung seputar paya, masih bisa kita nikmati telege (sumur). Jangan harap, sepuluh tahun, atau lima belas tahun lagi akan ada telege. Bahkan, ke depannya, daerah ini akan menjadi kawasan kumuh, dan berpenyakit. Lihat saja, sekiranya hujan, kantor Camat Kecamatan Bebesen langsung banjir, ada genangan air, karena kurang bagusnya penataan tali air, dan tata ruang kota Takengon secara umum.
Gayolinge : Bagaimana menurut pandangan Anda masalah tutur yang ada di Gayo?
al-Gayoni : Saya lihat, Gayo sangat kaya akan register tata tutur (bentuk sapaan, atau sistem kekerabatan). Tutur ini menggambarkan sosio-budaya, relijiusitas, nilai-nilai filosofi, termasuk ekologis yang dimiliki orang Gayo. Saya coba mencari tahu tutur ini lebih dalam, termasuk di dalamnya alasan orang Gayo mulai tidak bertutur
Gayolinge : ekologis, maksudnya?
al-Gayoni : lingkungan (tempat hidupnya bahasa) berpengaruh pada bahasa. Bahasa juga seperti makhluk hidup; tumbuh, berkembang, dan memungkinkan untuk mati. Pertumbuh-kembangan tadi memengaruhi tutur yang dipakai orang Gayo, misalnya, nama tempat bisa menambah variasi dan kekayaan tutur, katakanlah ada orang yang bertanya tentang Win (panggilan untuk laki-laki di Gayo), “Win yang mana?” lantas dijawab, “Win Paya Serngi.” Serta merta orang akan tahu, bahwa yang dimaksud dengan Win Paya Serngi adalah bang Win Ruhdi Bathin. Paya Serngi yang merupakan nama tempat, yang memangaruhi, dan memperkaya penggunaan tutur tadi!
Gayolinge : saya juga mendengar, Anda sempat menjadi salah satu pembicara dalam acara Talk Show Bahasa Gayo yang digelar di Radio Amanda Takengon, tanggal 20 Agustus 2009 yang lalu, dan Anda mengangkat masalah kepunahan bahasa Gayo?
al-Gayoni : iya, benar
Gayolinge : apa dasar Anda mengatakan, bahwa bahasa Gayo akan punah?
al-Gayoni : saya sudah menyampaikan hal ini tiga tahun yang lalu, tepanya tanggal 14 Juli 2006. Waktu itu saya katakan, bahwa bahasa Gayo akan punah 50 tahun lagi. Jadi, umur bahasa Gayo tinggal 47 tahun lagi, atau 4-5 dasawarsa lagi. Beberapa alasan yang saya temukan melalui amatan, tambah penelitian saya beberapa minggu yang lalu adalah; penutur bahasa Gayo yang perkiraan saya jumlahnya tidak lebih dari 500 ribu, kesadaran dan kesetiaan penutur bahasa Gayo sangat memprihatikan terhadap bahasanya. Tapi, tidak ada jaminan jumlah penutur yang besar dapat memerhankan sebuah bahasa. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia juga semakin meluas di tengah-tengah masyarakat terutama di empat kecamatan di kota Takengon, yaitu Bebesen, Kebayakan, Lut Tawar, dan Pegasing, terutama dari orang tua ke anaknya, tambah antaranak-anak. Otomatis, lingkungan berbahasa tidak lagi berbahasa Gayo, tapi lebih berbahasa Indonesia. Bahasa Gayo hanya dipakai antarorang tua, itu juga orang tua kelahiran 1920-an sampai 1960-an. Bahkan, pemakaian bahasa ini sudah menembus ke kampung-kampung yang ada di Takengon, dan tanoh Gayo secara umum. Bahasa Gayo tidak lagi diajarkan di rumah, secara umum, di tanoh Gayo tidak berlangsung transmisi budaya, termasuk di dalamnya transmisi budaya dari generasi tua (1930-1960) ke generasi muda (1970-sekarang). Dalam hal ini, pemerintahan tradisional juga tidak berjalan (Sarak Opat) yang sekarang diperankan Pemerintah Kabupaten, sampai Pemerintah Kampung. Orang tua menilai, bahasa Gayo tidak perlu diajarkan di rumah, dapat diperoleh langsung melalui lingkungannya, ya kalo lingkungannya sudah berbahasa Indonesia, bagaimana mungkin dapat memeroleh bahasa Gayo? Penilain lain yang kurang dari orang tua, bahasa daerah akan menghambat dalam proses pembebelajaran, dan pengajaran di sekolah. Kalau saya malah berpikir sebaliknya, melalui pendekatan kelokalan, salah satunya bahasa Gayo tadi, akan menjadikan proses pengembangan, pembelajaran, dan pengajaran semakin mudah.
Gayolinge : contohnya?
al-Gayoni : misalnya, untuk mengajarkan abjad kepada anak-anak praTK (play group), Y misalnya, dekati saja dari kebiasaan, dan media yang dekat dengan mereka, tunjukkan saya terpel (ketapel). Langsung ditunjukkan pada anak-anak, “huruf Y itu seperti ini.” Pasti anak-anak lebih mudah memahami, mengingat, dan menerapkan pelajaran tersebut. Untuk itu, perlu kemauan belajar yang tinggi, dan kreativitas yang lebih dari tenaga pendidik, selain pengayaan dari metode-metode yang sudah ada. Selain itu, intelegen, secara afektif, dan psikomotorik, anak-anak yang didekati dengan budaya tempatan ini punya nilai lebih dibandingkan anak didik lainnya.
Gayolinge : hal lain yang mendukung kepunahan bahasa Gayo itu apa?
al-Gayoni : secara fisik, dari perspektif ekolinguistik tadi, bahasa Gayo kurang di dukung untuk hidup. Contohnya saja, tahun 1996, saya masih berume (bersawah), dalam arti membantu orang tua saya di sawah. Namun, dalam waktu 13 tahun saja, tidak ada lagi sawah di tempat saya. Karena perubahan cuaca, tidak adanya air, sawah sebagai bagian dari ekosistem, sudah berubah fungsi menjadi lahan perkebunan (senuen mude), dan lahan penyemuren (tempat menjemur kopi), meningkatnya mobilitas penduduk dengan pembangunan rumah, dan tidak adanya (sepengetahuan saya) regulasi dan kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan sawah-sawah di Takengon. Sudah barang tentu, istilah-istilah yang berkenaan dengan prosesi bersawah, mulai dari turunnya perintah dari Kejurun Belang (bagian dari Sarak Opat/sistem pemerintahan tradisional Gayo yang mengurusi prosesi bersawah) sampai jadi beras melalui roda sudah hilang, tidak lagi dikenal generasi yang lebih muda dari saya. Kalau pun mereka tahu, tapi ruhnya kurang, karena mereka tidak mengalami secara langsung. Harusnya pemerintah bisa melindungi tempat-tempat ini, seperti sawah-sawah, paya (payau), bibir Danau Laut Tawar, ceruk Mendale, hutan-hutan di seputar danau, perkampungan adat, perkampungan bahasa, dan lain-lain, tidak “diberangus” untuk kepentingan sesaat, dan “golongan”, dan menimbulkan kerusakan dan bencana pada genenerasi mendatang “kerusakan yang berkelanjutan”.
Gayolinge : lalu, faktor apa lagi?
al-Gayoni : boleh dikatakan, politik berbahasa dari pemkab Aceh Tengah masih tidak ada melalui kebijakan, dan perencanaan bahasa dengan pengajaran, dan pembelajaran bahasa Gayo mulai dari play group sampai pada pendidikan tinggi. Kalau pun ada, masih sangat terbatas. Begitu juga dengan muatan lokal yang lain, seperti seni vokal, tari, lukis, pahat, drama/teater, tata boga, dan tata busana, dan lain-lain. Sayang, daerah kita masih miskin sumber daya manusia, karena tidak adanya kebijakan dan pembangungan manusia Takengon yang berkelanjutan (tanoh Gayo secara umum) melalui pendidikan S-1, S-2, dan S-3, begitu juga pembangunan kebudayaan. Yang saya tahu, baru Drs. H. Mustafa M. Tamy, M.M.,-lah yang punya kebijakan pembangunan manusia Takengon. Tidak usah jauh saya contohkan, untuk linguistik saja kita masih belum punya pakar, yang secara umum bidangnya ada empat, belum lagi yang lain-lain. Beberapa hari setelah pergantian rektor Universitas Gajah Putih, saya sempat menyampaikan kepada bapak Armia, S.E.,M.M. (Ketua Yayasan Universitas Gajah Putih) agar mempertimbangan pembukaan Fakultas Ilmu Budaya, atau Fakultas Sastra di Unversitas Gajah Putih, salah satu jurusan yang dibuka nantinya adalah Sastra Gayo. Hal ini saya sampaikan lagi empat hari sebelum PKA V berlangsung. Waktu itu, beliau sudah di Banda Aceh. Hal itu bertujuan untuk memaksimalkan proses penggalian, pemertahanan, dan pewarisan bahasa Gayo. Pembukaan fakultas ini nantiyan akan bersinergi dengan Institute Kesenian Aceh yang dibuka (ada) di Bener Meriah, tinggal lagi, bagaimana Pemkab Aceh Tengah, dan pihak universitas merespon persoalan dan kebutuhan ini. Karena pengkajian, dan pendokumentasian sejarah, serta apa pun tentang Aceh juga masih belum maksimal dilakukan Unsyiah, dan IAIN Arraniry. Terlebih lagi untuk daerah pedalaman, yang miskin dokumentasi, tradisi menulis, dan penulis, tentu peran ini yang harus dijalankan, dan dimaksimalkan Universitas Gajah Putih, STAI Gajah Putih, dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Takengon. Boleh dibilang, kita masih miskin dokumentasi. Untuk itu, kita harus menuliskan sejarah, dan apa pun menyangkut daerah ini (pendokumentasian). Sekiranya pun ada dokumentasi; situs-situs Gayo yang ada di Leiden (Belanda), dan Munich (Jerman), dan koleksi buku-buku Gayo yang ada di beberapa perpustakaan, dan tempat di Indonesia, saya melihat political will dari pemerintah daerah masih kurang terkait masalah ini. Kalau sudah dari atas kondisinya demikian “miskin kemauan/tindakan”, bagaimana yang di bawah? Saya melihat, kondisinya berbalik sekarang, kesadaran dan kemauan itu tumbuh buttom up, bukan top down. Segelintir orang mulai sadar, dan peduli soal identitas ke-Gayo-an kini, dan ke depan, sayang, mereka tak mampu berbuat lebih, karena hanya bermodalkan semangat.
Gayolinge : faktor lain?
al-Gayoni : ya, pengaruh heterogenitas, dan interaksi budaya yang berlangsung di tanoh khususnya, dan tanoh Gayo umumnya. Melalui interaksi budaya, akan terjadi persaingan budaya, dalam hal ini, bahasa; ada yang menang, bertahan, sebaliknya, ada yang kalah. Pengaruh lain, bahasa Indonesia turut serta “membunuh” bahasa Gayo, termasuk bahasa-bahasa minor lainnya di Aceh, seperti Alas, Singkil, Simeule, Tamiang, Anak Jameuk, dan lain-lain.
Gayolinge : jadi, upaya apa yang harus dilakukan untuk memertahankan, dan mewariskan bahasa ini,?
al-Gayoni : kita hanya bisa mengulur waktu kepunahan bahasa Gayo, ya, mudah-mudahan saja tidak punah. Yang paling efektif, dan harus dengan segera kita lakukan, adalah pendokumentasian bahasa Gayo. Begitu juga untuk sejarah, dan yang bertalian dengan Gayo, harus dituliskan. Pembabakan sejarah di tempat kita tak ubahnya seperti masa Usman bi Affan, masih mengumpulkan suhuf-suhuf al-Quran. Begitu juga kita, kita masih mengumpulkan suhuf-suhuf sejarah Gayo yang tersebar di negeri penuh misteri ini. Untuk memartabatkan bahasa Gayo, paling tidak, diperlukan empat pola yaitu pola pikir, pola sikap, pola tutur, dan pola tindak. Pola pikir diwujudkan dengan kesadaran berbahasa Gayo termasuk segala konsep, perencanaan, kebijakan dan politik berbahasa. Pola sikap, menyangkut sikap dan kesetiaan penutur bahasa ini berkenaan dengan pemakaian bahasa Gayo. Pola tutur, dihubungkan dengan penggunaan yang meluas dari bahasa Gayo dalam pelbagai peristiwa tutur dalam masyarakat. Pola tindak merupakan akumulasi ketiga pola yang diwujudkan dengan pemeraktekan berbahasa; membuat model bahasa (lingkungan berbahasa Gayo yang ideal), memertahankan, melestarikan, dan mewariskan bahasa Gayo pada generasi berikutnya. Sekiranya penutur bahasa Gayo sudah jauh dari empat pola di atas (meninggalkan bahasa Gayo), maka akan hilanglah bahasa Gayo. Kalau bahasa Gayo hilang, maka hilang pula-lah orang Gayo sebagai sebuah bangsa. Karena, bahasa Gayo merupakan identitas terakhir orang Gayo sendiri yang di dalamnya tersimpan kekayaan kearifan lokal, sosio-budaya, religius, fiolosofi, dan ekologis.
Gayolinge : saat ini, bagaimana Anda melihat, dan harapan Anda terhadap bahasa Gayo?
al-Gayoni : saya cukup sedih, dan prihatin, karena bahasa Gayo sudah ditinggalkan. Orang Gayo kemel (malu) dan tidak berbahasa Gayo antarsasama orang Gayo. Bahasa, dan budaya Gayo sangat kaya, tapi sayang orang Gayo kurang menyadari, menggali, dan mendokumnetasikannya. Saya tidak menyalahkan sepenuhnya penutur Gayo, karena ini soal hak, dan pilihan, terlebih kondisinya seperti yang sudah saya jelaskan. Harapan saya, bahasa Gayo tidak hilang, karena seperti saya katakan, bahasa Gayo merekam kearifan lokal, sosio-budaya, religius, fiolosofi, dan ekologis yang diwariskan muyang datu pada generasi Gayo saat ini. Dalam bayangan saya, suatu saat, meski sudah kritis keadaannya, bahasa Gayo bisa menjadi pengantar bahasa ilmu pengetahun dan pengembangan dalam segala hal khususnya di tanoh Gayo, terlebih-lebih di Takengon, sebagai daerah induk dari daerah Gayo lainnya. Dengan begitu, prestise, dan nilai ekonomis bahasa ini akan ada. Perlu kerja keras ke arah itu, terutama dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dalam menyiapkan perangkat lunaknya (SDM yang berkualifikasi S-1, S-2, dan S-3), terlebih Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai leading sector, DPRK dalam hal pembuatan regulasi, pihak perguruan tinggi: Universitas Gajah Putih, STAI Gajah Putih, dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Takengon selaku akademisi, dan semua pihak tentunya.
Gaylinge : pesan Anda?
al-Gayoni : “Bohmi, asal ke nerah pari, dan duduk te seni, turah mukarat kite ni, gere nguk ne areh-areh. Si penting seni, hana si lepas kite bueten, kite bueten areh-areh. Gelah kite tegeren semangat, kur mi semangat te urang Gayo, gelah mu betehi diri, kemel, mu kemel, dan besikemelen kite, hususe ku si me mude, turah mulei mu nulis kite, hanah pe i tulis we renye ketiti osop kite, orom sejarah te, berejen ya.”

Sumber: www.gayolinge.com (diakses 2 September 2009)