Rabu, 09 Juni 2010

Transmisi Kearifan Ekologis

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

foto: iftfishing.com

Perubahan iklim global terus berlangsung. Perubahan tersebut sangat memengaruhi pelbagai kerusakan lingkungan baik di tataran global, kawasan, nasional maupun lokal. Hal itu berpengaruh pula terhadap keberadaan manusia secara keseluruhan. Mengingat perubahan lingkungan yang berlangsung begitu cepat, sudah sepatutnya dilakukan langkah penyelamatan bersama dari semua pihak. Penyelamatan tersebut tentunya harus melibatkan pelbagai pelaku dengan multipendekatan. Salah satu pendekatan tersebut adalah melalui kajian Ekolinguistik. Untuk pertama kali, kajian Ekolinguistik dikenalkan Einar Haugen, tahun 1972. Namun, Haugen lebih menggunakan istilah Ekologi Bahasa (ecology of language) karena pencakupan yang lebih luas di dalamnya. Disamping Ekolinguistik, dikenal pula istilah Ekologi Linguistik, Linguistik Ekologi, Ekologi Bahasa atau Bahasa Ekologi, dan Ekologi Bahasa (al-Gayoni, 2010: 25-27).

Kajian ini melihat tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (Ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (Linguistik). Bahasa sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak manusia. Hal tersebut dapat berimplikasi positif terhadap lingkungan fisik, ekonomis, dan sosial yaitu dengan terpelihara, adanya keseimbangan dan terwarisnya lingkungan yang ada kepada generasi berikutnya. Sebaliknya, dapat pula berdampak negatif dengan terjadinya pelbagai perubahan, ketidakseimbangan, dan kerusakan ekosistem. Dengan demikian, bahasa dapat mengarahkan penggunanya baik untuk hal-hal yang bersifat konstruktif maupun yang bersifat destruktif terkait lingkungan.

Secara tradisional, ekolinguistik dapat dibagi menjadi dua bagiatan utama, yaitu Analisis Wacana Eko-Kritis (Eco-Critical Discourse Analysis) dan Ekologi Linguistik (Linguistic Ecology) (Fill, 1996). Analisis Wacana Eko-Kritis tidak sebatas pada pengaplikasian Analisis Wacana Kritis terhadap tesk yang berkenaan dengan lingkungan dan pihak-pihak yang terlibat di dalam lingkungan dalam pengungkapan ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian ini menyertakan pula penganalisisan pelbagai macam wacana yang berdampak besar terhadap ekosistem mendatang. Misalnya, wacana ekonomi neo-liberal, ketak-terhubungan dari konstruksi kosumerisme, jender, politik, pertanian, dan alam. Disamping itu, Analisis Wacana Eko-Kritis bukan sebatas memokuskan pada penelusuran ideologi-ideologi yang berpotensi merusak, melainkan mencari representasi diskursif yang dapat berkontribusi terhadap keberlangsungan masyarakat secara ekologis

Indonesia sendiri memiliki potensi lingkungan yang luas biasa. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (eds.) (2001:14), menyebut tiga bentuk lingkungan, pertama, lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah negara (baik pantai, lembah, dataran tinggi maupun pegunungan, keadaan cuaca, dan jumlah curah hujan). Kedua, lingkungan ekonomis (kebutuhan dasar manusia) yang terdiri atas fauna, flora, dan sumber mineral yang ada pada daerah tersebut. Ketiga, lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun, yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik, dan seni. Lebih dari itu, Indonesia memiliki banyak etnik yang sudah barang tentu memiliki pelbagai konsep ekologis. Kearifan-kearifan ekologis inilah yang mesti mendapat perhatian serius untuk dikaji.

Masyarakat (etnik) Gayo yang mendiami tanoh Gayo di Aceh misalnya, memiliki konsep, aturan normatif, dan badan tersendiri dalam mengelola dan menyelamatkan lingkungan yang dikenal dengan Sarak Opat. Sarak Opat merupakan sistem pemerintahan tradisional masyarakat Gayo. Sarak berarti lembaga atau unsur, sementara opat berarti empat (bahasa Gayo). Sebelum orang Gayo memeluk agama Islam, unsur tadi hanya tiga, yaitu reje, petue, dan rayat. Unsur imem bertambah setelah Islam masuk dan melembaga dalam masyarakat ini. Keempat unsur utama tersebut adalah reje (raja), imem (imam), petue (orang yang dituakan/cerdik pandai), dan rayat (rakyat/lembaga perwakilan rakyat). Selain itu, masih terdapat unsur lainnya yang membantu tugas-tugas reje, antara lain bedel (wakil raja), banta (sekretaris raja), lebe (wakil imem), seltan (sultan), tengku (tengku), sekulet/sekolat (wakil petue), pengulu (orang yang memerintah di bawah kejurun), harie (orang yang berhubungan dengan hubungan masyarakat), kejurun belang (orang yang mengurus pertanian), pengulu uten (orang yang mengurus kehutanan), pengulu uwer (orang yang mengurus perternakan), pawang deret (orang yang mengurus dengan tata wilayah/di luar tugas pawang yang lain), pawang lut (orang yang mengurus perikanan, kedanauan, dan kelautan), biden (bidan/berhubungan dengan persoalan kesehatan), pengulu rerak (orang yang mengurus dengan irigasi/peraiaran), tomas (orang yang berada di bawah pengulu), toda (orang yang berada di bawah pengulu), dan towa (orang yang berada di bawah pengulu) (al-Gayoni, 2010: 14-16). Kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang deret, dan pawang lut di atas lah yang berhubungan langsung dengan lingkungan.

Selain itu, masyarakat etnik Lio, di Flores mengenal khasanah ungkapan verbal yang memiliki bentuk, mengandung makna, dan memiliki fungsi untuk melestarikan lingkungan diantaranya, pertama, ungkapan yang berfungsi memelihara keserasian hubungan dengan alam semesta terutama dengan Sang Khalik dan dengan leluhur pewaris lahan. Kedua, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan lahan dengan menggunakan teknik tradisional yang mendukung lingkungan. Ketiga, ungkapan yang mengamanatkan pemeliharaan hutan lindung dan sumber air. Keempat, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan pantai dan laut. Kelima, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan dan menjaga kebersamaan dan kesatuan sosial (Mbete, 2002: 174-184). Demikian halnya di Maluku, yang dulunya memiliki tradisi Sasi yaitu pantangan untuk mengekploitasi sumber daya alam pada waktu-waktu tertentu (Kompas, 24 Mei 2010).

Gambaran di atas masih merupakan gambaran kecil kekayaan dan warisan kearifan ekologis yang ada di Indonesia. Bila diselurusi lebih jauh, kearifan-kearifan ekologis tersebut lebih banyak lagi mengingat besarnya potensi keetnikan yang dimiliki bangsa ini. Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh dan diterapkan secara sungguh-sungguh, konsep-konsep dan potensi kearifan ekologis yang demiliki pelbagai etnik yang ada di Indonesia turut serta dalam penyelamatan dan pelestarian lingkungan. Dikarenakan, selama ini, kearifan-kearifan ekologis berbasis kelokalan kerap diabaikan. Sebaliknya, konsep luar yang lebih banyak bersifat abstrak sering dijadikan rujukan. Padahal, konsep tersebut biasanya kurang mendapat tempat karena persoalan mind set, dan mencoloknya perbedaan nilai, ideologi, dan kultur keekologisan. Karenanya, kearifan-kearifan ekologis berbasis kelokalan harus segera dikedepankan dan ditransmisikan kepada generasi muda sekarang dan mendatang.


*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah & Staf Ahli/Asisten Anggota DPD RI asal Aceh