Selasa, 06 Juli 2010

Memartabatkan Bahasa Aceh

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni - Opini

BEBERAPA waktu lalu, Serambi Indonesia menyajikan ulasan perihal bahasa Aceh, yaitu tulisan Zulfadli yang berjudul “Penguatan Bahasa Aceh” (5/6/2010) dan Denni Iskandar “Menunda Punahnya Bahasa Aceh” (12/6/2010). Apa yang telah disampaikan tersebut merupakan sebuah kekhawatiran akan nasib bahasa Aceh kini dan masa mendatang. Meski masih belum terlalu mengkhawatirkan, karena dukungan penutur bahasa Aceh di atas satu juta penutur, penutur yang tidak terlalu menyebar, tambah kesetiaan yang lebih dibanding pengguna bahasa minor lainnya di Aceh, penggejalaan peninggalan bahasa Aceh yang lebih besar harus dipikirkan dan diambil langkah-langkah antisipatif dari sekarang. Jika tidak, secara evolutif, bahasa Aceh akan menuju ambang kritis. Tidak menutup kemungkinan, empat sampai lima generasi lagi, bahasa Aceh bisa ‘punah’.

Kunci kelangsungan, dan untuk memartabatkan suatu bahasa pada dasarnya terletak pada penuturnya. Sejauh mana mereka mau mempelajari, menggunakan, dan mentransmisikannya kepada generasi yang lebih muda (Haugen, 1972:57). Hal ini menjadi salah satu penekanan kajian ekologi bahasa. Dalam rujukan lain, istilah ekologi bahasa dikenal dengan ekolinguistik, ekologi linguistik, linguistik ekologi, dan ekologi bahasa/bahasa ekologi (al-Gayoni, 2010: 25-27). Di sisi lain, penggunaan bahasa merupakan soal pilihan dan menjadi hak personal penutur yang bersangkutan. Dalam praktiknya, persoalan penuturan bahasa tidak dapat dipaksakan. Namun begitu, diperlukan upaya penggugahan kepedulian akan pentingnya bahasa ini. Dengan demikian, upaya-upaya tersebut dapat menggugah kesadaran, memengaruhi pola pikir, sikap dan tindakan dari penutur untuk berbahasa Aceh. Sebagai akibatnya, bahasa Aceh akan tetap terpakai dalam masyarakat guyub tuturnya baik di Aceh maupun di luar Aceh.

Perluasan Penggunaan

Untuk memartabatkan bahasa Aceh, diperlukan penggunaan yang lebih luas dari penuturnya terutama di ranah informal, misalnya saat berkomunikasi antarpenutur, dalam lingkungan keluarga, ketetanggaan, keadatan, dan dalam masyarakat. Ketika bahasa Aceh terus menerus digunakan, maka akan terbentuk lingkungan berbahasa. Terlebih lagi, dalam lingkungan yang dwi dan multibahasa. Mau tidak mau, interaksi bahasa, etnik, dan budaya akan terjadi. Sebagai akibatnya, buah interaksi tersebut turut membentuk pola pikir, sikap berbahasa, dan mendorong seseorang untuk dan tidak berbahasa. Selanjutnya, hal tersebut dapat menguatkan bahasa tertentu. Sebaliknya, dapat pula melemahkan, menggusur, bahkan mematikan bahasa yang lain. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (ed) (2001:14), membagi lingkungan ke dalam tiga bentuk, pertama, lingkungan fisik (ragawi) yang mencakupi karakter geografis seperti topografi negara (baik pantai, lembah, dataran tinggi maupun pegunungan, keadaan cuaca, dan jumlah curah hutan). Kedua, lingkungan ekonomis (kebutuhan dasar manusia) yang terdiri atas flora, fauna, dan sumber mineral yang ada pada daerah tersebut. Ketiga, lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun, yang lebih penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar, etika, bentuk organisasi politik, dan seni. Dari ketiganya, lingkungan fisik dan lingkungan sosial sangat memengaruhi realitas keberadaan bahasa.

Di Aceh, setelah tsunami, berlangsung keterbukaan, interaksi, dan percampuran peradaban jilid dua setelah jilid satu, yaitu saat persebaran awal Islam beberapa abad silam. Situasi ekologi bahasa Aceh ini semakin menarik untuk dikaji terutama dari perspektif Ekolinguistik (Ekologi Bahasa). Khususnya, pengaruh pelbagai perubahan lingkungan ragawi (ekologis) saat dan setelah tsunami terhadap bahasa Aceh. Banyak ragam kepandaian (kepantaian) dalam bahasa Aceh yang hilang. Konsekuensinya, rekam jejak ragam kepandaian (kepantaian) tadi tidak lagi terekam dalam ingatan (kognisi) generasi yang lebih muda. Belum lagi, pengaruh lingkungan sosial terhadap bahasa, nilai, ideologi, dan budaya Aceh. Pastinya, pengaruh tersebut akan berdampak lebih besar lagi terhadap bangunan budaya Aceh.

Kebijakan politik

Yang tidak kalah penting dalam memartabatkan bahasa Aceh adalah penguatan melalui lembaga pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Untuk itu, perlu kebijakan (language policy) dan perencanaan bahasa (language planning) sebagai bagian dari ekologi makro kebahasaan dari Pemerintah Aceh. Undang-Undang Pemerintah Aceh sendiri telah memayungi keberadaan bahasa Aceh (bahasa-bahasa daerah di Aceh), terutama di Bab XXXI pasal 221 ayat (4) yang berbunyi “Bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal dan ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan qanun.” Tinggal lagi, perlu kebijakan, perangkat, dan sistem pendukung untuk menginternalisasikan bahasa-bahasa daerah yang ada di Aceh. Untuk mengoptimalkan kebijakan tersebut, perlu partisifasi aktif dari semua pihak khususnya pemerintah kabupaten/kota dan dinas terkait di Aceh. Menyikapi kekhawatiran dan pelbagai perubahan yang terjadi pada bahasa Aceh, terlebih menyangkut kelangsungan bahasa-bahasa minor di Aceh seperti Gayo, Alas, Singkil, Simeule, Kluet, Anak Jameuk, Tamiang, dan lain-lain, sudah saatnya dipertimbangkan pembukaan Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya di perguruan tinggi yang ada di Aceh. Sepengetahuan penulis, sampai saat ini, di Aceh baik di Unsyiah, IAIN Arraniry, Universitas Malikussaleh (Lhokseumawe) maupun di Universitas Gajah Putih (Takengon) masih belum ada fakultas dimaksud.

Di Takengon, tiga tahun yang lalu, wacana pendirian ini sempat muncul dari beberapa personal di luar kampus. Namun, wacana tersebut tidak lagi terdengar. Belakangan, kajian kebahasaan lebih banyak tertuju pada bahasa mayor, yaitu bahasa Aceh. Dan, itu pun masih belum maksimal. Padahal, pluralitas bahasa tersebut merupakan warisan dan menjadi khasanah kekayaan yang tak ternilai harganya bagi Aceh. Warisan kebahasaan tersebut merupakan simbol identitas keacehan. Dalam perkembangan kekinian Aceh, pendirian fakultas tersebut akan semakin relevan dengan adanya Sekolah Tinggi Seni yang akan didirikan di Kabupaten Bener Meriah. Dengan demikian, lulusan Sekolah Tinggi Seni tambah program diploma bahasa lainnya dapat melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Sastra/Ilmu Budaya sebagai salah satu alternatif. Dengan lahirnya fakultas ini, dan dibukanya jurusan Sastra Daerah (Aceh, Gayo, Alas, Singkil, Simeule, Kluet, Anak Jameuk, Tamiang, dan lain-lain), serta sastra yang lain seperti Sastra Indonesia, Sastra Arab, Sastra Belanda, Sastra Inggris, Sastra Jepang, dan Sastra Cina diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan kebahasaan di Aceh.

Disamping itu, putra Aceh tidak perlu lagi menempuh pendidikan serupa ke luar, selain manfaat positif sistemik yang ditimbulkan lainnya. Lebih luas lagi, khasanah kekayaan sastra, sejarah, budaya, lingkungan, dan peradaban Aceh dalam tautannya dengan bahasa akan tetap terpelihara. Lebih penting lagi, akan tetap terwaris, terlebih secara tertulis pada generasi Aceh mendatang.


* Yusradi Usman al-Gayoni, S.S., M. Hum adalah Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah. Spesialisasi Ekolinguistik.

Dimuat di Harian Serambi Indonesia, tanggal 3 Juli 2010 http://serambinews.com/news/view/34075/memartabatkan-bahasa-aceh
Tutur Budaya Gayo Dukung Syariat Islam

*Yusradi Usman al-Gayoni [Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah/Pemerhati Bahasa, Sejarah & Kebudayaan Gayo] | Rabu, 30 Juni 2010

Orang Gayo mengenal adanya tutur, misalnya rekel (orang tuanya entah), entah (orang tuanya munyang), munyang (orang tuanya empu), empu (orang tuanya datu), datu (orang tuanya awan), awan (kakek), ama (bapak), ine (ibu), kumpu (cucu), piut (cicit), dan lain-lain. Tutur adalah panggilan atau sebutan terhadap seseorang yang terikat karena pertalian darah, keluarga, umur, penghormatan, sahabat, teman akrab atau teman biasa (Saleh, 2009:1). Juga, sebagai sistem kekerabatan (Melalatoa, 1982: 406), dan penguat ikatan kekerabatan (Pulungan dalam Syukri, 2009: 165). Sementara itu, istilah be tutur merupakan penggunaan tutur, sistem, bentuk-bentuk atau istilah kekerabatan. Orang Gayo yang mendiami tanoh Gayo di Aceh mengenal beragam bentuk tutur. Aman Pinan (1998: 203-207) membaginya ke dalam 52 bentuk tutur, Mustafa AK (2009: 8) 63 bentuk, sementara Ibrahim (2009, 141-163) menjadi 161 bentuk.

Munculnya tutur dalam masyarakat Gayo tidak berdiri sendiri melainkan ada faktor sosial-budaya yang merangkainya. Hal tersebut tidak terlepas dari nilai budaya Gayo yang terdiri dari pelbagai nilai. Nilai-nilai dimaksud adalah imen (iman) (Ibrahim, 2002: 23), mukemel (harga diri), tertip (tertib), setie (setia), semayang gemasih (kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat (musyawarah), alang tulung (tolong menolong), dan bersikemelen (kompetitif) (Melalatoa dalam Aman Asnah (1996: xii-xiii). Mukemel, tertip, semayang gemasih, bersikemelen tambah imen merupakan penjelmaan tutur. Istilah mukemel (harga diri) dan besikemelen (kompetitif) berasal dari kata kemel (malu). Dapat dimaknai bahwa pengguna tutur akan kemel (malu) bila tidak be tutur atau menggunakan tutur.

Sementara itu, tertip (tertib), yaitu penempatan dan penggunaan tutur pada konteks yang tepat, dan semayang gemasih (kasih sayang) merupakan nilai dan perwujudan kasih sayang yang dikandungi tutur. Pengejawantahan tersebut, secara khusus tergambar dalam proses be tutur dari yang tua ke yang muda. Terakhir, imen merupakan konsep dan penggunaan tutur yang dilandasi dengan etika, norma, dan nilai untuk senantiasa bersikap santun sesuai dengan aturan be tutur. Penggunaan tutur yang baik, benar, dan tepat dengan aturan be tutur, tentunya harus berpijak pada nilai imen (iman). Nilai imen ini tidak terlepas dari Islam. Dengan demikian, terdapat bangunan tutur yang kuat yang mengandung nilai-nilai ketuhanan dan keislaman. Sebagai tambahan, hubungan darah, perkawinan, belah (klan), terjadinya kecelakaan, perkelahian, membantu seseorang, dan mengaposi anak merupakan perangkai sosial yang membentuk tutur dalam masyarakat Gayo (al-Gayoni, 2010: 145)

Perspektif Islam

Dalam masyarakat Gayo, orang yang menggunakan tutur disebut mu agama, mu edet, dan mu peraturen. Dalam hal ini, agama Islam sangat memengaruhi tutur serta kehidupan sosial orang Gayo secara keseluruhan. Namun, prihal tutur, pengaruh tersebut lebih pada pengungkapan dan dalam prilaku be tutur, tidak dalam bentuk-bentuk tutur. Sebaliknya, bentuk ‘tutur keislaman’ muncul dalam penyebutan jabatan yang ada dalam pemerintahan Sarak Opat seperti seltan, imem, lebe, dan tengku. Penggunaan ‘tutur’ yang tepat sangat dianjurkan dalam Islam. Islam mengajarkan agar seseorang berbicara dengan benar atau qaulan sadida (4:9), berbicara dengan bahasa yang menyedapkan hati, tidak menyinggung perasaan atau menyakit perasaan, sesuai dengan kriteria kebenaran, jujur, tidak mengandung kebohongan, dan tidak berpura-pura, disebut dengan qaulan ma’rufa (4:8). Selain itu, Islam juga mengajarkan berbicara efektif, yaitu dengan menggunakan ungkapan yang mengena, mencapai sasaran dan tujuan, atau membekas, bicaranya jelas, terang, dan tepat atau qaulan baligha (4:63). Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan berbicara dengan baik dan pantas, agar orang tidak kecewa, yang disebut dengan qaulan maysura (17:28).

Juga, berbicara dengan kata-kata mulia yang menyiratkan kata yang isi, pesan, cara serta tujuannya selalui baik, terpuji, penuh hormat, mencerminkan akhlak terpuji dan, mulia, dikenal dengan istilan qaulan karima (17:23). Terakhir, agama ini juga mengajarkan umatnya untuk berbicara dengan lembut atau dikenal dengan qaulan layyina (20:44). Nilai-nilai di atas lah yang dikandungi tutur. Karenanya, masyarakat setempat menyebut orang yang be tutur dengan mu agama (orang yang beragama), mu edet atau medet (beradat), dan mu peraturen (memiliki peraturan). Dengan kata lain, konsep tersebut terdapat dalam pengungkapan dan tercermin dalam prilaku be tutur

Harmonisasi Sosial


Sisi lain, penggunaan tutur yang baik, tepat, dan benar dapat mengurangi konflik. Masyarakat tempatan juga merasa dihargai dengan penggunaan tutur tersebut. Demikian pula sesama orang Gayo-nya, saling menghormati dan menghargai prihal penggunaan tutur tersebut. Penggunaan tutur itu menciptakan harmonisasi sosial dalam interaksi sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Lebih kecil lagi, harmonisasi demikian terbentuk pula dalam lingkungan ketetanggaan, keluarga, dan jalinan hubungan antarpersonal sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan. Pada akhirnya, penggunaan tutur ikut mendukung pelaksanaan sya'riat Islam di Aceh. [003]


sumber http://theglobejournal.com/kategori/opini/tutur-budaya-gayo-dukung-syariat-islam.php (dimuat tanggal 30 Juni 2010)