Rabu, 27 Januari 2010

Tahun Keanekaragaman Hayati dan Identitas Ke-Indonesia-an

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Tahun 2010, oleh PBB ditetapkan sebagai tahun keanekaragaman hayati internasional. Penetapan ini merupakah langkah maju, dan menjadi kebutuhan kekinian terkait perubahan lingkungan dunia. Bila tidak diambil langkah-langkah penyelamatan cepat, maka ekosistem dunia akan bertambah kritis sebagai buah keserakahan pembangunan. Akibatnya, keanekaragaman hayati banyak yang hilang, tambah pelbagai kerusakan berkelanjutan lainnya baik fisik, biologis, maupun sosiologis terhadap kelangsungan hidup manusia dan kebertahanan lingkungan. Perubahan-perubahan tersebut, sudah barang tentu akan mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem.

Peningkatan pemahaman dan penguatan kesadaran publik menjadi keharusan. Karenanya, perlu kajian multidisipliner seperti ilmu alam, sosial, manusia, kebudayaan dan keberagamaannya dalam menyikapi krisis keanekaragaman hayati, dan umumnya lingkungan. Upaya penyadaran tersebut baik secara personal maupun publik, lebih efektif bila digerakkan melalui dunia pendidikan. Dalam tautan tersebut, Ekolinguistik, mencoba menyertakan diri dalam pengkajian lingkungan dalam perspektif linguistik (ilmu bahasa). Ekolinguistik merupakan kajian interdisipliner yang mempelajari hubungan ekosistem dan linguistik. Kajian ini dikenalkan Einar Haugan pada tahun 1972. Haugen mendefinisikan Ekolinguistik “as the study of interactions between any given language and its environment.” Di Indonesia, kajian ini terbilang baru, berkembang tahun 2000-an, khususnya di Universitas Udayana (2006) dan Universitas Sumatera Utara (2009).

Pelbagai perubahan sosio-ekologis sangat memengaruhi penggunaan bahasa, serta perubahan nilai dan budaya dalam sebuah masyarakat. Perubahan tersebut terekam dan tergambar dengan jelas di tataran leksikal dalam bahasa yang digunakan. Sebelumnya, di Indonesia, wacana (tuturan) kebahasaan banyak menyinggung soal kehijauan, kesehatan, dan kenyamanan lingkungan. Namun, dalam perkembangannya, tuturan-tuturan tersebut mengalami perubahan akibat perubahan sosio-ekologis di tingkal lokal dan global. Saat ini, tuturan yang ‘coklat,’ bahkan ‘hitam,’ ‘sakit’ dan ‘tidak nyaman’ yang memerikan kerusakan lingkungan mendominasi ruang kebahasaan, dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Sebagai contoh, kosakata yang berkenaan dengan biota-biota kedanauan seperti nama ikan-ikan endemik, rerumputan, pepohonan, dan lain-lain banyak yang hilang akibat kebijakan pembangungan yang merusak lingkungan. Lebih dari itu, tradisi, lembaga keadatan dan budaya kedanauan tidak lagi di kenal generasi yang lebih muda. Konsekuensinya, secara evolutif, biota-biota kedanauan tambah keanekaragaman hayati yang melingkupi danau akan hilang. Selanjutnya, bahasa yang digunakan sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak penutur bahasa. Pengaruh tersebut dapat berupa dukungan terhadap pemertahanan keseimbangan lingkungan, dan kebalikannya melalui belbagai bentuk mefatora yang digunakan. Misalnya saja, istilah ‘hutan perawan.’ Istilah ini merupakan salah satu bentuk metafora yang ‘menyesatkan.’ Hal tersebut dapat membuka ruang eksploitasi yang berlebihan, tanpa memikirkan kerusakan ekosistem, dampak negatifnya bagi generasi mendatang dan menghijaui hutan-hutan yang sudah lapang. Dewasa ini, muncul istilah baru dan mulai memasyarakat terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan kota besar lainnya, yaitu ‘hutan kota.’ Pemunculan istilah tersebut dilatari situasi ruang kota yang mulai sesak dengan polusi, dan menguatnya tuntutan lingkungan yang hijau, sehat dan nyaman. Tentunya, istilah ‘hutan kota’ memberikan citra dan dampak yang lebih baik bagi manusia sebagai pengguna dan pewaris ekosistem dibanding pemakaian ‘hutan perawan.’

Penetapan tahun keanekaragaman hayati dengan tema “biodiversity is life” cukup sejalan dengan kajian ekolinguistik, terlebih lagi dalam pemertahanan keanekaragaman hayati. Penetapan itu sejalan juga dengan perkembangan isu di dalam negeri prihal pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Informasi Geospasial Nasional di Gedung Kompleks Parlemen. RUU ini berisi penataan ruang nasional sebagai implementasi pembangunan berkelanjutan yang menekankan pertimbangan aspek pengelolaan lingkungan, ekonomi dan aspek sosial sebagai satu kesatuan. Pengelolaan lingkungan yang sehat dan baik yang berpijak pada kearifan-kearifan lokal menjadi semakin penting. Mengingat keanekaragaman hayati merupakan identitas masyarakat tempatan yang memuat nilai-nilai filosofis, ideologis, sosio-ekologis dan kultural keetnikan. Lebih luas lagi, penguatan kesadaran publik melalui pengenalan, pemertahanan dan pewarisan ekosistem kepada generasi mendatang, khususnya prihal keanekaragaman hayati akan semakin memperkuat identitas ke-Indonesia-an di tengah perkampungan dan persaingan budaya global.


* Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara

Senin, 25 Januari 2010

MoU Pemkab Aceh Tengah dengan USU

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 19 Januari 2010, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah menjalin kerjasama dengan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, yang kemudian melahirkan sebuah Memorandum of Understanding (MoU). USU merupakan salah satu perguruan tinggi di Indonesia, terbaik di luar pulau Jawa, peringkat 7 Indonesia dan 3.254 dari 3.776 perguruan tinggi dunia (sampai Januari 2009). Siapa pun penggagasnya, langkah tersebut merupakan sebuah langkah maju dan patut diapresiasi. Salah satu butir kesepakatan tersebut, ialah peningkatan kerjasama di bidang pendidikan, yaitu dengan diterimanya siswa Takengen tanpa tes di USU sebanyak 40 orang. Ke empat puluh mahasiswa tersebut, 10 diantaranya akan dibiayai Pemkab Aceh Tengah, sisanya dengan biaya sendiri. Selain itu, pendidikan S-2 bagi mahasiswa Takengen di USU, yang mulai berjalan pada tahun 2010 (the globe journal, 19/1).

Penulis coba flash back ke belakang, sebagai pertimbangan-pertimbangan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, DPRK, Dinas Pendidikan, pihak sekolah, dan orang tua sebelum kerjasama ini berjalan lebih jauh. Pertimbangan-pertimbangan ini lahir dari pengalaman dan amatan penulis yang berlangsung selama 7 tahun di USU, Medan dan beberapa daerah di Indonesia yang terdapat mahasiswa tanoh Gayo (2002-sekarang). Pada waktu itu, penulis sendiri merupakan salah seorang mahasiswa Pemanduan Minat dan Prestasi (PMP) dari SMA Negeri 1 Bebesen (SMA Negeri 1 Takengen sekarang) di USU. Secara keseluruhan, pada masa tersebut (stambuk 2002) merupakan jumlah terbanyak mahasiswa Takengen (termasuk Bener Meriah sebelum pemekaran) yang masuk ke USU baik melalui jalur PMP, Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru/SPMB (5 orang) maupun melalui jalur ekstensi, sejumlah 3 orang. Secara keseluruhan, jumlah mahasiswa Takengen pada angkatan tersebut lebih dari 40. Seterusnya, sampai tahun 2009, jumlah mahasiswa yang berasal dari Takengen (termasuk Kabupaten Bener Meriah) terus berkurang baik melalui jalur PMP, SPMB, Seleksi Mahasiswa Penerimaan Daerah (SPMPD) dan ekstensi. Dari 1.100 lebih siswa Takengen dan Bener Meriah, melalui jalur SPMB misalnya, tahun 2002 (5 orang), 2003 (2 orang), 2004 (2 orang), 2005-2006 (0), 2007 (1 orang), 2008 (0) dan 2009 (1-2 orang). Dari dua kabupaten tersebut, dari 2003 sampai sekarang, jumlahnya kurang dari 30 mahasiswa. Tidak menutup kemungkinan, jumlahnya di bawah 25 mahasiswa.

Sebagai tambahan, di USU sendiri, terdapat dosen-dosen dan pegawai yang berasal dari tanoh Gayo, untuk dosen, dari Takengen ada 14 orang termasuk Prof. H. Muhammad Daud, S.H. almarhum (sesepuh orang Gayo di Sumut), Gayo Lues 3 orang, sementara itu, total pegawai dari Gayo ada 4 orang. Melihat pentingnya MoU tersebut bagi Kabupaten Aceh Tengah, karenanya ada beberapa pertimbangan yang coba penulis sampaikan. Pertama, perlunya pemberian dan peningkatan pemahaman melalui penelurusan kualitas, kemampuan, minat dan bakat yang benar terhadap pelajar Takengen. Singkatnya, “tidak dipaksakan.” Dalam pembagian jurusan misalnya, tidak memaksakan siswa untuk mengambil jurusan tertentu, katakanlah harus IPA. Namun, menyerahkan sepenuhnya kepada kemauan, pilihan dan keputusan siswa. Begitu juga dalam pemilihan jurusan di perguruan tinggi (sebelum pengiriman berkas), tidak didasarkan pada kemauan guru, orang tua dan unung-unung (ikut-ikutan), melainkan dari hati siswa tadi.

Penulis memperhatikan, pemahaman inilah yang masih kurang dari siswa/i dari tanoh Gayo. Artinya, ada bagian yang kurang berjalan di sekolah, yiatu bagian konseling. Selama ini, dalam prakteknya, konseling ini hanya mengurusi “siswa-siswa bermasalah.” Kalau pun berjalan, informasi yang diberikan berdasarkan pengalaman guru konseling semasa kuliah, tambah dari beberapa guru di sekolah, dan kerap kali tidak mengikuti perkembangan informasi di luar. Selain itu, arahan dari keluarga, lingkungan ketetanggaan, masyarakat dan kemauan siswa dalam mencari informasi, serta menelusuri potensi yang ada pada diri mereka sendiri juga masih kurang. Padahal, dengan masuknya HP sekitar tahun 2003 di Takengon, tambah internet (sekitar 2006), maka pencarian informasi ini semakin mudah. Namun, yang terjadi, pemahaman pelajar Takengen prihal jurusan termasuk akreditasinya masih sangat terbatas. Biasanya (umumnya), pencarian jurusan tersebut baru berlangsung setelah mereka keluar Takengen, sebelum SPMB (sekarang SMPTN) dan saat masuk bimbingan belajar. Bisa dibayangkan hasilnya. Akibat kurangnya pemahaman dengan “pemaksaan,” “salah memilih dan memutuskan,” setelah memasuki perguruan tinggi, beberapa kasus (kebanyakan) ada yang pindah jurusan (sebelumnya S-1 ke D-3), hal itu lebih pada pilihan safety ketimbang drop out (DO), pindah universitas, bahkan ada yang DO yang berujung “pulang kampung.”

Kedua, penyeleksian yang kurang selektif. Walaupun tidak semua sekolah, belbagai kasus yang terjadi sejak tahun 2002 menunjukkan, bahwa proses penyeleksian di sekolah kurang selektif. Penunjukkan siswa tidak didasarkan atas kualitas dan kemampuan. Sebaliknya, lebih karena kedekatan dengan pihak sekolah “orang tuanya guru atau kepala sekolah di sekolah yang bersangkutan, hubungan sesama guru/sekolah,” “tekanan” pihak dinas dan pejabat lokal. Kalau sudah seperti ini, seperti gambaran di atas, pindah jurusan/universitas, bahkan sampai DO tidak bisa dihindarkan. Akibatnya, sekolah yang mengirimkan siswanya melalui jalur PMP (pengiriman) akan mendapat hukuman. Biasanya tidak dikirimi undangan yang sama selama dua tahun. Ketiga, kurangnya jalinan komunikasi antara siswa yang dikirim (termasuk keluarga) dan pihak sekolah, dinas dan pemkab sebagai pihak yang saling berhubungan. Komunikasi tersebut lebih pada progress belajar siswa yang di kirim di perguruan tinggi. Tugas pihak sekolah hanya sebatas mengirimkan siswanya. Tidak ada laporan prihal studi siswa secara keseluruhan, monitoring dan evaluasi. Sekiranya pun ada, hanya sebagian kecil, yang sifanya sebatas komunikasi personal. Tak jarang, ketika pindah jurusan/universitas, bahkan DO terjadi, maka saling lepas tanggung jawab “saling menyalahkan” terjadi “asal pas SMA pe jemen kurang, te dabuh i kirim” ‘pas SMA dulu juga (prestasinya) kurang, (namun) tetap saja di kirim (siswa pengiriman). Hal tersebut terjadi akibat sistem “yang tidak benar” dan “dipaksakan.”

Sebagai tambahan, saat proses kuliah berlangsung, selain pindah jurusan/universitas dan DO, terjadi pula patah tengah (putus kuliah) akibat kurangnya dukungan finansial (gere mu belenye). Tak jarang, dalam kurun waktu 2002-2006, satu dua mahasiswa Takengen ada yang “mengamen,” “mele ku kiri” dan sebagian mencari tambahan biaya pendidikan disamping berkutat di kampus. Keempat, kurangnya reward (penghargaan) kepada pelajar/mahasiswa Takengen yang berprestasi (umumnya tanoh Gayo). Ke depannya, penghargaan ini perlu ditumbuh-kembangkan, sehingga muncul semangat besikemelen (kompetitif dan prestasif dari pelajar dan mahasiswa Takengen). Berbeda dengan daerah lain, yang betul-betul menghargai prestasi pelajar/mahasiswanya dalam pelbagai bentuk, terutama pembebasan biaya kuliah, tambahan besaran nilai beasiswa yang dibuktikan dengan perolehan IP/IPK tinggi dan biaya hidup. Padahal, dari sisi prestasi, mahasiswa Takengen tidak kalah, bahkan mencatat prestasi lebih dan membanggakan. Disamping aktif di pelbagai organisasi kemahasiswaan di fakultas, tingkat universitas serta tingkat nasional, dalam kurum waktu empat tahun (2002-2006), di USU, mahasiswa Takengen ada yang meraih mahasiswa berprestasi, mahasiswa terbaik, tim riset nasional dan pemenang dalam belbagai lomba di tingkat nasional. Bahkan, belakangan (2009), salah seorang mahasiswa Takengen di USU, yaitu Diana Adriani (siswa SMA Negeri 1 Takengen sekarang) mewakili Indonesia dalam ITU TELECOM WORLD 2009 Youth Forum di Geneva, Switzerland.

Harapan penulis, apa yang disampaikan di atas dapat menjadi pertimbangan bagi pengambil keputusan di Takengen, begitu pula Pemkab serumpun lainnya; Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Bener Meriah dalam menata perbaikan dan kamajuan tanoh Gayo. Begitu juga dengan kekurangan-kekurangan yang ada, hendaknya tidak lagi terjadi. Dengan demikian, kerjasama ini dapat berjalan dengan baik, berkesinambungan dan berkelanjutan. Upaya yang sama perlu dilakukan dengan perguruan tinggi lainnya di Indonesia, terutama yang berperingkat satu sampai enam yang ada di pulau Jawa, yaitu UI, UGM, ITB, IPB, UNPAD dan UNDIP. Bahkan, ke depannya perlu didorong kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri, seperti Australia, Amerika & negara-negara Eropa dalam peningkatan pendidikan dan sumber daya manusia Takengen.


*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah dan Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU)


Sumber: Tabloid Gayo Land Edisi VII Thn II 2010, tanggal 26 Januari 2010

Jumat, 08 Januari 2010

‘Greenspeak,’ Menuju Keseimbangan Lingkungan

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Beberapa waktu yang lalu, selama tiga hari, sejak tanggal 9 Desember 2009, Yayasan Leuser Internasional (YLI) memberikan pelatihan bahan ajar lingkungan bagi 49 guru dan pengawas dari Aceh Tengah, dan Bener Meriah di Takengen. Saat bersamaan, YLI mendorong pula terbentuknya eco club di sekolah-sekolah yang ada di Aceh Tengah. Sebelum ini, pemuda Takengen juga mengelar Workshop Lut Tawar, dan membentuk Forum Penyelamat Lut Tawar. Setelah workshop, pelajar SMA Negeri 1 Takengon memprakarsai terbentuknya ‘Pemerhati Muda Lingkungan’ dengan program ‘Bike to School’ dalam rangka mengkampayekan hidup sehat, dan ramah lingkungan.

Apa yang telah dilakukan elemen kepemudaan, dan para pelajar merupakan langkah positif, dalam menggugah kesadaran kolektif sebagai upaya penyelamatan ekosistem Takengen, sebagai bagian dari ekosistem Aceh, dan dunia. Begitu pula dengan upaya YLI yang telah mengadakan pelatihan bahan ajar yang berwawasan lingkungan, bagi tenaga pendidik di Aceh Tengah. Pelatihan ini cukup berarti, dan bernilai, dengan dimasukannya isu lingkungan ke dalam dunia pendidikan. Dikarenakan, dewasa ini, terlebih pascarehab-rekon, lingkungan di Aceh tidak lagi hijau ‘green’ melainkan sudah berubah menjadi cokelat ‘brown,’ merah ‘red,’ bahkan hitam ‘black.’ Perubahan, dan penyusutan ekologis tersebut ditandai dengan aksi penebangan hutan, pencemaran sungai-sungai, dan laut-laut Aceh. Disamping itu, terjadi perubahan tuturan lingkungan yang tergambar di tataran leksikal dari bahasa yang dipakai. Sebelumnya, gunung gemunung dipenuhi hijau pepohonan, kini tinggal tunggul-tunggul. Air yang mengalir ke hilir, dipenuhi sampah dengan bau busuk menusuk, dan berubah jadi hitam pekat akibat terus tercemari

Persoalan prinsip yang harus dipertimbangkan dalam pelatihan tersebut, adalah soal penggunaan bahasa melalui wacana yang berbau lingkungan (environmental discourse) dalam bentuk bahan ajar. Wacana tersebut harus ramah, dan menyehatkan lingkungan. Wacana lingkungan ini sangat memengaruhi rasa, dan logika pelibat wacana tersebut, yaitu tenaga pendidik, tambah anak didiknya. Pada akhirnya, apa yang terekam dalam kognisi mereka, akan memengaruhi sikap, dan tindakan mereka kepada lingkungan. Sekiranya wacananya sehat, maka sikap dan tindakannya terhadap lingkungan pun sehat. Sebaliknya, bila wacana lingkungan lebih pada ekploitatif destruktif, maka yang tejadi juga demikian.

Dengan demikian, wacana lingkungan yang ada dalam bahan ajar harus mampu memelihara, menjaga keseimbangan, dan mewariskan ekosistem yang ada kepada generasi mendatang. Dampak ekologis, dan penggunaan bahasa harus dipertimbangkan dalam teks-teks, dan wacana lingkungan (M.A.K. Halliday, 1990). Dampak dimaksud boleh bersifat negatif, yang tidak terlepas dari ekploitatif destruktif. Kebalikannya, biasa saja bersifat positif, yang menyoalkan tata kelola lingkungan yang baik, sehat, dan terwaris. Secara tidak sadar, kata, atau frasa yang ada dalam wacana lingkungan, dapat menimbulkan ambiguitas, dan multitafsir. Bahkan, membuka ruang kebebasan terhadap perusakan lahan, dan hutan yang ada.

Misalnya saja, istilah ‘hutan perawan.’ Ini merupakan salah satu bentuk metafora yang ‘menyesatkan.’ Hal tersebut dapat membuka ruang eksploitasi yang berlebihan, tanpa memikirkan kerusakan ekosistem, dampak negatifnya bagi generasi mendatang, dan menghijaui hutan-hutan yang sudah lapang. Persoalan-persoalan ini-lah yang coba diakrabi melalui kajian ekolinguistik (ecolinguistics) atau ekologi bahasa (ecology of language), khususnya ‘ekolinguistik kritis.’ Ekolinguistik kritis menyoalkan teks-teks yang berkenaan dengan lingkungan, atau yang kerapa digunakakan aktivis-aktivis lingkungan. Teks-teks tersebut mencoba menyingkap gambaran ideologis masyarakat tempatan, terkait konsep-konsep ekologis baik yang menyehatkan lingkungan, maupun yang merusak lingkungan.

Ekolinguistik, merupakan kajian interdisipliner yang melihat tautan antara ekologi (ekosistem), dan linguistik (ilmu bahasa). Dalam pembahasannya, dan sifatnya yang interdisipliner, kajian ini melibatkan kajian-kajian lain, diantaranya, sosiologi, antropologi, psikologi, dan ilmu politik. Selain aspek sosial, ekolinguistik mempertimbangkan aspek ekologis bahasa yang dipakai penutur dalam sebuah masyarakat (Einar Haugen, 1972). Aspek sosial-ekologis sangat memengaruhi keterpeliharaan, keseimbangan, dan keterwarisan lingkungan bagi generasi mendatang. Ekolinguistik, atau ekologi bahasa, berusaha mewujudkan lingkungan yang sehat, dengan memasukan kearifan-kearifan ekologis lokal ke dalam bahasa tersebut (Mühlhäusler, 1995). Unsur-unsur bahasa yang dimaksud, adalah eko-fonologi, eko-morfologi, eko-sintaksis, dan eko-semantik, yang menjadi bagian dari wacana lingkungan.

Kearifan-kearifan ekologis lokal ini perlu diturut-sertakan dalam wacana lingkungan yang sehat dan hijau (greenspeak), mengingat jiwa (konsep-konsep ideologis, filosofis, sosio-ekologis) masyarakat tempatan terwataki dalam kearifan-kearifan lokal tersebut. Demikian halnya dengan kedekatan emosional baik secara fisik, biologis, maupun sosiologis. Kasus yang terjadi di Lut Tawar misalnya, salah satu danau kebanggaan masyarakat Aceh, penyebab akumulasi kerusakan danau ini (tambah ekosistem Takengen umumnya), adalah kurang diberinya ruang bagi sistem pemerintahan tradisional yang ada di Gayo, Takengon, terlebih-lebih di seputar danau untuk hidup. Lembaga tradisional dimaksud adalah pemerintahan Sarak Opat, tambah bagian-bagian terkait persoalan di atas, khususnya pawang, kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang lut, dan pengulu rerak (al-Gayoni, www.gayolinge.com, 11 November 2009). Sistem keadatan melalui pemerintahan Sarak Opat dengan pelbagai kearifan-kearifan sosio-ekologis lokal yang dimiliki, tidak lagi terpelihara, dan teralih kepada generasi yang lebih muda.

Mengingat pentingnya peran, dan fungsi sosio-ekologis dalam wacana-wacana teks lingkungan, ke depannya, pengkaji bahasa, khususnya ecolinguist, pemerhati, aktivis, dan pengambil keputusan terkait lingkungan, serta pelbagai pihak harus mempertimbangkan sosio-ekologis yang dimiliki masing-masing etnik yang ada di Aceh. Sudah barang tentu, sembilan etnik di Aceh memiliki konsep sosio-ekologis yang berbeda. Belum lagi, ungkapan-ungkapan terkait dari sebelas bahasa daerah di Aceh. Sekiranya, konsep tersebut diberdayakan, akan tercipta sinerjisitas, dan harmonisasi dalam penyelamatan lingkungan Aceh. Terlebih lagi, dalam mewujudkan lingkungan Aceh yang sehat, seimbang, dan terwaris melalui Aceh Green Vision.


*Mahasiswa Pascasarjana Linguistik, Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU)

Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/08/%e2%80%98greenspeak%e2%80%99-menuju-keseimbangan-lingkungan/