Minggu, 21 Februari 2010

Pengajaran Bahasa Berbasis Budaya

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Belajar bahasa tidak semata mengenal struktur bahasa. Lebih dari itu, mempelajari eksternal bahasa dan budaya. Nilai-nilai budaya dikenalkan melalui bahasa. Tidak serta merta pembelajar bahasa mengikuti budaya bahasa yang dipelajari dan meninggalkan budaya asalnya. Namun, hal tersebut tidak mustahil terjadi bila tidak dilakukan langkah-langkah antisipatif. Terlebih lagi, dewasa ini, pergeseran nilai, norma dan budaya kian menggejala di tanah air. Keluhuran dan keadiluhungan budaya nasional terus terkikis. Sebelumnya, bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang ramah, santun, memiliki semangat gotong royong dan berbudaya. Namun, pelabelan ini tidak lagi melekat. Kini, keaakraban personal dan kolektif semakin merenggang. Rasa keakuan dan “kedaerahan yang fanatik” semakin menguat. Semangat nasionalisme dengan penguatan integrasi bangsa juga semakin melemah. Orientasi pada materi, hedonis dan instan semakin memenuhi ruang kebudayaan bangsa. Himpitan nilai-nilai keetnikan, tekanan internal budaya nasional dan hempasan budaya global menjadikan pijakan budaya negeri kian rapuh. Tak mustahil, bangunan budaya nasional, seketika dan secara evolutif bisa runtuh.

Karenanya, pijakan bangunan budaya nasional perlu dikuatkan melalui dunia pendidikan. Salah satunya melalui pengajaran bahasa dalam pelbagai tingkatan pendidikan. Pengajaran bahasa kedua yang dipijaki dengan nilai-nilai keetnikan ini perlu, pertama; untuk mengenalkan konsep-konsep filosofis, relijius dan sosio-kultural dari pelbagai etnik di nusantara. Dalam prosesnya, pembelajar bahasa menghargai budaya bahasa kedua dengan tidak mengeyampingkan budaya asalnya (bahasa daerah/bahasa ibu). Sebaliknya, kebanggaan berbahasa akan muncul dari pembelajar bahasa. Mereka akan semakin menyadari khasanah kekayaan budaya keetnikan di nusantara yang merangkai budaya nasional.

Dalam pendekatannya, pengajar bahasa kedua perlu mengetahui latar belakang sosial anak didiknya (baca ekologi pengajaran) khususnya dalam kelas yang memiliki keberagaman ideologi-sosio-kultural. Sudah barang tentu, pertemuan dan interaksi bahasa tambah budaya tersebut (keberagamaan situasi) tidak bisa dihindarkan. Untuk itu, diperlukan kemauan, komitmen, konsistensi, kreativitas dan kerja keras dari pengajar bahasa terutama dalam pengayaan materi pengajaran bahasa. Dengan demikian, materi pengajaran bahasa kedua dikuatkan pula dengan pengenalan kearifan-kearifan lokal dari pembelajar bahasa. Hal tersebut tidak terlepas dari keseharian dan lingkungan pembelajar bahasa yang mengandung nilai-nilai moral, etika, religius, spiritual, dan sosio-kultural. Dalam pengenalan sebuah kata atau frasa misalnya. Bentukan filosofis, sosio-kultural bahasa kedua tentu berbeda dengan bahasa ibunya. Terlebih-lebih, dalam mempelajari bahasa asing. Konsekuensinya, pembelajar bahasa mengalami hambatan dalam memaknai dan menjiwai kata tersebut. Demikian halnya dalam pengenalan wacana. Sudah barang tentu akan semakin rumit dengan permasalahan yang semakin kompleks.

Dalam pencarian dan pengayaan materi pembelajaran bahasa perlu penyesuaian yang didasarkan pada aspek ekologis (lingkungan berbahasa). Materi di daerah kepulauan dan pesisir akan jauh berbeda dengan daerah penugungan, dan sebaliknya. Lebih khusus lagi, untuk satu daerah saja, perbedaan tersebut akan semakin kelihatan bila dikaji-banding secara mendalam. Lebih dari itu, soal penyampaian dan perkembangan pembelajar bahasa harus menjadi perhatian yang sungguh-sungguh. Perlu pendekatan personal yang menyentuh nilai dan rasa dari pembelajar bahasa. Saat yang bersamaan, dedikasi dan loyalitas pengajar bahasa tersebut perlu mendapat perhatian, dukungan dan penghargaan dalam pelbagai bentuk dari semua pihak. Dengan demikian, pengajar bahasa dan umumnya tenaga pendidik dapat fokus dan maksimal dalam menjalankan tugasnya.

Dengan upaya tersebut, proses pembelajaran bahasa semakin interaktif, efektif, efisien dan berdaya guna dalam hal pengenalan budaya. Pembelajar bahasa juga, semakin mudah dalam memahami materi yang diajarkan. Karena tidak lepas dari keseharian dan senantiasa melekat dalam kognisinya. Ekologi pengajaran yang demikian bukan hanya mementingkan aspek kognitif, melainkan menumbungkembangkan aspek motorik, psikomotorik dan afektif anak didik. Pada akhirnya, akan memunculkan generasi bangsa yang berciri, kaya, bangga dan kuat di tengah hempasan arus budaya luar.

Kedua, untuk memertahankan budaya nasional. Di tengah interaksi bahasa, berakibat pada persaingan bahasa, yang berdampak luas pada persaingan budaya secara holistik. Ada bahasa yang menang, bertahan dan kalah. Bahasa yang menang menunjukkan hegenomi dan dominasi dalam penggunaannya. Yang bertahan, dengan pijakan yang rapuh, dengan sekuat tenaga berjalan tertatih dalam mewariskan bahasa dan budaya-nya. Sementara yang kalah, tercancam punah, bahkan hilang dalam persaingan budaya yang berlangsung. Dalam kaitan tersebut, bahasa ibu dengan budaya yang merangkainya senantiasa terlindungi dan bahasa Indonesia dengan setia mendampingi bahasa-bahasa daerah. Sementara itu, bahasa asing berperan dalam pengenalan dan pengkomunikasian bahasa-bahasa daerah dan nasional dalam tataran global.

Ketiga, untuk mewariskan budaya nasional kepada generasi penerus bangsa. Alangkah sayangnya, ratusan bahasa dan kekayaan budaya di tanah air hilang. Terlebih-lebih, dengan perubahan iklim dunia yang turut menekan lingkungan dan mendorong percepatan pelbagai perubahan budaya. Dalam perspektif ekolinguistik, yang menelaah tautan antara ekologi (ekosistem) dan linguistik (ilmu kebahasaan), nilai-nilai kearifan bangsa tadi perlu dikuatkan, yaitu melalui pengajaran dan pembelajaran bahasa. Lebih khusus lagi, pengalihbudayaan yang ditujukan kepada generasi muda. Satu sisi, pembelajar bahasa dikenalkan dengan bahasa dan budaya luar. Di sini lain, mereka tetap menghargai dan menjaga bahasa serta budaya keetnikan dan bangsanya. Dengan begitu, generasi bangsa ini kini dan mendatang semakin kuat dan bangga dengan identitas ke-Indonesian-nya.


*Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara

Sumber: http://v2.theglobejournal.com/kategori/opini/pengajaran-bahasa-berbasis-budaya.php, 20 Februari 2010 (diakses 21 Februari 2010)

Rabu, 10 Februari 2010

Tahun Keanekaragaman Hayati dan Identitas Ke-Indonesia-an

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Tahun 2010, oleh PBB ditetapkan sebagai tahun keanekaragaman hayati internasional. Penetapan ini merupakah langkah maju, dan menjadi kebutuhan kekinian terkait perubahan lingkungan dunia. Bila tidak diambil langkah-langkah penyelamatan cepat, maka ekosistem dunia akan bertambah kritis sebagai buah keserakahan pembangunan. Akibatnya, keanekaragaman hayati banyak yang hilang, tambah pelbagai kerusakan berkelanjutan lainnya baik fisik, biologis, maupun sosiologis terhadap kelangsungan hidup manusia dan kebertahanan lingkungan. Perubahan-perubahan tersebut, sudah barang tentu akan mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem.

Peningkatan pemahaman dan penguatan kesadaran publik menjadi keharusan. Karenanya, perlu kajian multidisipliner seperti ilmu alam, sosial, manusia, kebudayaan dan keberagamaannya dalam menyikapi krisis keanekaragaman hayati, dan umumnya lingkungan. Upaya penyadaran tersebut baik secara personal maupun publik, lebih efektif bila digerakkan melalui dunia pendidikan. Dalam tautan tersebut, Ekolinguistik, mencoba menyertakan diri dalam pengkajian lingkungan dalam perspektif linguistik (ilmu bahasa). Ekolinguistik merupakan kajian interdisipliner yang mempelajari hubungan ekosistem dan linguistik. Kajian ini dikenalkan Einar Haugan pada tahun 1972. Haugen mendefinisikan Ekolinguistik “as the study of interactions between any given language and its environment.” Di Indonesia, kajian ini terbilang baru, berkembang tahun 2000-an, khususnya di Universitas Udayana (2006) dan Universitas Sumatera Utara (2009).

Pelbagai perubahan sosio-ekologis sangat memengaruhi penggunaan bahasa, serta perubahan nilai dan budaya dalam sebuah masyarakat. Perubahan tersebut terekam dan tergambar dengan jelas di tataran leksikal dalam bahasa yang digunakan. Sebelumnya, di Indonesia, wacana (tuturan) kebahasaan banyak menyinggung soal kehijauan, kesehatan, dan kenyamanan lingkungan. Namun, dalam perkembangannya, tuturan-tuturan tersebut mengalami perubahan akibat perubahan sosio-ekologis di tingkal lokal dan global. Saat ini, tuturan yang ‘coklat,’ bahkan ‘hitam,’ ‘sakit’ dan ‘tidak nyaman’ yang memerikan kerusakan lingkungan mendominasi ruang kebahasaan, dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Sebagai contoh, kosakata yang berkenaan dengan biota-biota kedanauan seperti nama ikan-ikan endemik, rerumputan, pepohonan, dan lain-lain banyak yang hilang akibat kebijakan pembangungan yang merusak lingkungan. Lebih dari itu, tradisi, lembaga keadatan dan budaya kedanauan tidak lagi di kenal generasi yang lebih muda. Konsekuensinya, secara evolutif, biota-biota kedanauan tambah keanekaragaman hayati yang melingkupi danau akan hilang. Selanjutnya, bahasa yang digunakan sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak penutur bahasa. Pengaruh tersebut dapat berupa dukungan terhadap pemertahanan keseimbangan lingkungan, dan kebalikannya melalui belbagai bentuk mefatora yang digunakan. Misalnya saja, istilah ‘hutan perawan.’ Istilah ini merupakan salah satu bentuk metafora yang ‘menyesatkan.’ Hal tersebut dapat membuka ruang eksploitasi yang berlebihan, tanpa memikirkan kerusakan ekosistem, dampak negatifnya bagi generasi mendatang dan menghijaui hutan-hutan yang sudah lapang. Dewasa ini, muncul istilah baru dan mulai memasyarakat terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan kota besar lainnya, yaitu ‘hutan kota.’ Pemunculan istilah tersebut dilatari situasi ruang kota yang mulai sesak dengan polusi, dan menguatnya tuntutan lingkungan yang hijau, sehat dan nyaman. Tentunya, istilah ‘hutan kota’ memberikan citra dan dampak yang lebih baik bagi manusia sebagai pengguna dan pewaris ekosistem dibanding pemakaian ‘hutan perawan.’

Penetapan tahun keanekaragaman hayati dengan tema “biodiversity is life” cukup sejalan dengan kajian ekolinguistik, terlebih lagi dalam pemertahanan keanekaragaman hayati. Penetapan itu sejalan juga dengan perkembangan isu di dalam negeri prihal pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Informasi Geospasial Nasional di Gedung Kompleks Parlemen. RUU ini berisi penataan ruang nasional sebagai implementasi pembangunan berkelanjutan yang menekankan pertimbangan aspek pengelolaan lingkungan, ekonomi dan aspek sosial sebagai satu kesatuan. Pengelolaan lingkungan yang sehat dan baik yang berpijak pada kearifan-kearifan lokal menjadi semakin penting. Mengingat keanekaragaman hayati merupakan identitas masyarakat tempatan yang memuat nilai-nilai filosofis, ideologis, sosio-ekologis dan kultural keetnikan. Lebih luas lagi, penguatan kesadaran publik melalui pengenalan, pemertahanan dan pewarisan ekosistem kepada generasi mendatang, khususnya prihal keanekaragaman hayati akan semakin memperkuat identitas ke-Indonesia-an di tengah perkampungan dan persaingan budaya global.


* Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU)

Senin, 08 Februari 2010

Untaian Doa Ku

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Tak kusadari, air bening jatuh ke pipi cucu ku yang baru berumur belasan hari. Waktu berganti begitu cepat, 30 tahun berlalu dan kini ku telah memiliki seorang cucu dari putri sulungku. Air mata yang tumpah mengusik lamunanku, “Sudahlah, bukankah ini kebagahiaanmu?” Di depan ku, sosok bayi mungil, lucu dan cantik memberiku senyum. Senyumnya tak ubahnya seperti ibunya. Seakan dia menghiburku, nek, jangan sedih, kini aku hadir tuk temani nenek. Air bening terus tumpah, kuhadiahi keningnya dengan ciuman hangat dan do’a dari ku. Begitu juga dengan ibu, yang tertidur pulas tepat disamping cucuku.

Ya Tuhan berilah kekuatan, kesabaran dan ketabahan pada anak ku. Jadikanlah dia ibu yang kuat dalam menjalani rumah tangga dan membesarkan anaknya. Di sebelah kiriku, anak ku terbaring lemah akibat operasi caesar. Mereka butuh waktu sehari dari pedalaman hutan Aceh untuk sampai kemari. Di sudut kamar ini terdapat lemari tempat baju ketiga anak-anak ku saat masih masih kecil dulu. Di bagian lain, terdapat foto ketiga anaku ku, dua putri dan satu-satunya putraku dari hasil perkawinan keduaku. Yang satu namanya Sari, yang kedua Rahma dan yang bungsu Win. Aku hanya bisa tersenyum haru melihat dan mengingkat kisahku.

Di tempat tidur ini, ku kerap membangunkan mereka, ketiga anak ku. Bangun, bangun, sholat subuh-subuh. Di sini pula kenangan-kenangan bahagia berlalu seiring pergantian waktu. Namun, kenangan-kenangan indah itu tak kan pernah hilang dari ingatan ku. Masa-masa kecil indah bersama anak-anak dan suamiku. Rasanya ku ingin kembali ke masa itu. Ku merindukan masa-masa itu.

Di tengah pagi buta dengan hembusan angin dingin Danau Laut Tawar membuat mata mereka bertambah melek. Tak jarang, langkah mereka pun semakin berat untuk menghadap Tuhan. Kalo sudah begitu, beberapa potong lidi dengan cepat akan menyambar badan mereka. Terkadang aku kasihan pada mereka. Tapi, aku harus keras yang berbatas pada mereka. Dengan begitu, nanti kehidupan akan lunak pada mereka. “Maafkan mamak nak, mamak harus keras pada kalian. Ini mamak lakukan karena mamak sayang pada kalian,” kataku dalam hati. Sayang kalian masih belum mengerti bahasa hatiku. “Ku yakin kelak kalian akan mengerti hal ini dan kalian akan bertahan di tengah kerasnya hidup,” kembali kata hatiku mencoba menguatkan jiwaku.

Setelah sarapan, tas mereka telah terisi dengan keripik buatan ku. Keripik tadi akan mereka jajakan di sekolah. Aku mencoba mengenalkan kemandirian dengan berwiraswasta sejak dini pada anak-anak ku. Kadang penjualan mereka meningkat dan kadang sebaliknya. Hasil penjualan keripik singkong tadi akan digunakan untuk jajan mereka dan sebagian untuk ditabung. Selepas sarapan, mereka pun pamitan padaku dan sama bapaknya. Dengan berdoa dan melangkahkan kaki kanan, mereka pun keluar rumah. “Kami berangkat pak…mak,” mereka pamit sambil mencium tangan kami satu persatu. “Ya Tuhan, mudahkanlah jalan anak-anak ku dalam menuntut ilmu, yang dengan ilmu-Mu akan menjadikan mereka bijak dalam menjalani hidup, bermanfaat bagi kami, keluarga, agama, umat, kehidupan dunia dan hidup setelah mati, pinta ku lirih dalam hati.

Sengaja ku membawa ketiga anak ku untuk berjualan langsung saat pacuan kuda tradisional berlangsung di Musara Alun. Semua itu untuk mengenalkan hidup yang sebenarnya. Dengan begitu, mereka akan lebih mensyukuri diri dengan apa yang ada pada mereka, tidak menuntut banyak pada orang lain dan dapat berbagi lebih dari apa yang mereka miliki. Tak jarang, ketiga anak ku dapat melihat secara langsung, di tengah keterbatasan mereka, ternyata masih banyak yang kurang beruntung dibandingkan mereka. Berbeda dengan saudara-saudara sepupunya yang lain dari pihak bapaknya, mereka memiliki uang dan fasilitas lebih. Namun, aku yakin satu saat anak-anak akan punya nilai lebih dan mampu bertahan dibandingkan mereka, amin ya Allah, Engkau Yang Maha Mengetahui, harap ku kembali dalam hati.

Lebih dari itu, usai sholat subuh, secara bergantian anak-anak ku menemani ku ke pasar untuk menjajakan sayur-sayuran yang kami tanam di belakang rumah. Kadang-kadang, suami ku mengantarkan kami ke Pasar Inpres, pusat pasar di kota ini. Usai berjualan sayur, kami pun belanja, membeli kebutuhan dapur rumahku. Ku berusaha sebelum jam 7 pagi sudah sampai di rumah sehingga anak-anak ku tidak terlambat ke sekolah.

Hal ini terus berlangsung sampai mereka tamat ES EM PE. Itulah warna hidup yang mereka jalani. Aku berharap mereka dapat merasakan arti hidup yang sebenarnya. Bagi ku hidup adalah perjuangan dan perjuangan adalah hidup itu sendiri. Tentu aku harus mengoptimalkan usahaku, ulet, yakin, berdoa dan berserah pada-Nya. Aku ingin ketiga anak ku lebih dibandingkan aku dan suamiku. Kami tidaklah seberuntung saudara kami yang lain. Aku hanya tamat ES ER, sementara suami ku hanya lepas ES EM A, itu pun tanpa ijazah. Maklum saja, pada masa itu untuk menikmati pendidikan cukup sulit, zaman-zaman Jepang dulu. Begitu juga suami ku. syukur-syukur aku dan suami ku masih diberi kesempatan untuk hidup, beribadah dan berbuat lebih untuk anak-anak kami. Untuk itu, anak-anak kami harus lebih dari kami terutama dari pendidikannya. Untuk pendidikan mereka, apa pun kami upayakan dan lakukan sepanjang sumber dan sifat usaha halal, berkah dan dirihoi Tuhan. Yang pasti yang terbaik buat anak-anak ku.

Satu hal yang patut kami syukuri, mereka memiliki prestasi lebih di sekolahnya. Tak jarang, tiap akhir caturwulan, mereka kerap membawa hadiah berupa trofi, buku dan uang sebagai hadiah dari prestasi yang mereka peroleh. Anak ku, mamak bangga pada kalian. “Teruslah berusaha, jangan patah semangat, mamak yakin kalian bisa,” bisik ku ke telinga mereka. Mereka hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala, “iya mak,” jawab mereka, kami akan berusaha sekuat tenaga.” Di sampingku, suamiku ikut tersenyum. Tak lama, dia pun meninggalkan kami dalam suasana bahagia. Aku tahu, dia tak mampu membendung air matanya kalau melihat suasana seperti ini.

Hampir tiap hari ku mengobarkan api semangat kepada anak-anak ku. “Kamu harus lebih dari saudara sepupu mu yang lain. Coba lihat ibi kul, saudara bapak yang sulung; ama kul; abang bapak yang sulung dan ama ucak kalian, adik bapak yang bungsu. Kalo bapak sama mamak sudah seperti ini, kalian jangan lagi, kalian harus jadi orang” kata ku dengan keras pada mereka.

Kini, ketiga anak ku telah selesai kuliah. Yang sulung tamat D3, dan yang dua lagi sudah tamat ES 1 dan dua ku anak sekarang sedang meneruskan ES 2 mereka di tempat yang berbeda. Awalnya, aku berat mengizinkan mereka. Aku dan suamiku tak sanggup lagi meneruskan sekolah mereka. ES 1 saja aku sudah syukur. Tapi aku tahu keinginan mereka. Mereka pasti akan mengejar keinginan mereka meski jalan yang mereka lalui penuh ujian, tantangan dan penuh harap. Terakhir, aku pun memberikan izin dan do’a pada mereka meski mereka harus menanggung biaya kuliah mereka sendiri. Tuhan Yang Maha Memudahkan urusan hamba-Mu, mudahkan jalan anak-anak ku dalam menuntut ilmu-Mu. Berilah mereka petunjuk, rejeki dan pertolongan Mu. Ya julzalaliwalikram, kepada Mu hamba berserah karena Engkau sebaik tempat berserah dan kembali, jadikan umur ku, suami dan anak-anak ku yang berkah dan dapat berbuat lebih di tengah sisa umur kami ya Tuhan, perkenankanlah doa ku Ya Maha Mendengar dan Merasakan, amin ya rabbalalamin.

Air mata ku kembali tumpah mengingat wajah-wajah mereka. Aku tak kuasa menahan tangis ku saat ku membaca salah satu puisi anak ku yang ada dipelukan putriku yang sulung. Tadinya aku penasaran, coba coba mengambil kertas tadi dan menbacanya pelan-pelan.

Inengku*

Ketika ku hadir menangis
Engkau tersenyum haru
Ketika ku dahaga
Engkau beri aku air kehidupan
Saat ku lapar
Engkau beri aku makanan terbaik yang pernah ada
Ketika aku kedinginan
Engkau dekap aku dengan kehangatan cintamu
Ketika ku resah
Engkau selalu bersamaku
Ketika ku ketawa
Engkau tersenyum bahagia
Ketika mentari menyentuh tubuhku
Engkau selimuti diriku dengan upuh panyang itu

Ketika ku tumbuh
Engkau bentuk jiwaku
Ketika ku berjalan dan jatuh
Engkau peluk erat diriku dengan tetesan ari matamu
Ketika aku tidak tahu
Engkau ajarkan aku pelajaran hidup sehingga aku tahu arti sebuah kehidupan
Ketika pagi datang
Engkau berkata, ”wet-wet, semiang-semiang”
Ketika hari berganti
Engkau senantiasa mengingatkan, ”semiang, ngaji, nye belejer”
Ketika semangat ku hampa
Engkau datang dan berkata, ”anak ku, kamu bisa”...

Ketika kami ingin sesuatu
Engkau daki gunung-gunung itu
Ketika kami ingin sesuatu
Engkau tuai padi-padi itu
Ketika kami ingin sesuatu
Engkau jajakan hasil keringatmu di tengah gelapnya pagi
Semata agar kami bisa tersenyum

Ketika ku jauh darimu
Bibirmu kerap berucap, ”lindungi anak ku ya Tuhan”
Ketika engkau teringat padaku
Engkau bersimpuh dihadap-Nya dan berdoa penuh harap
”Berilah kesehatan, kemudahan dan pertolongan-Mu pada anak ku”

Ine...aku rindu kehangatan mu
Ine...aku rindu belaian kasih sayang mu
Ine..aku ingin bersimpuh di kaki mu

Dalam kesendirianku, ku terus mengingat petuahmu
“Gelah kemel anak ku,”
“Gelah i desi untungmu...bayak bajungku,”
“Gelah makal mas pirak ku”
“Karena kam daling pelongohenku.”

Ya Tuhan...
Berilah hal yang terbaik bagi bapak mamak ku...dan kami

Malang, 2 Agustus 2007 (11.30-00.00)


“Pa udah selesai mak?” tanya suami ku. “Iya,” jawabku. Pagi ni kami mau ke rumah besan dan saudara kami yang lain untuk mengabarkan kalo cucu ku telah di sini. Ya Tuhan, jadikanlah cucu ku anak yang senantiasa menghambakan diri pada DiriMu, berilmu, rendah hati dan diri, lembut, santun, kuat dan berkarakter seperti ibu, ngah dan pun-nya, ucap ku lirih sambil ku daratkan bibirku di dahi-nya, sebelum ku meninggalkan mereka di tengah tidurnya yang lelap.


*Padang Bulan Medan, Awal Maret 2009. Pernah dimuat di Majalah Lentayon, Januari 2010. Cerita ini awalnya mau diperlombakan dalam Lomba Menulis Cerita Pendek 2009 Program Magister dan Doktoral Linguistik USU. Tidak jadi dikirim, karena pesertanya khusus siswa menengah, mahasiswa dan guru bahasa/Sastra Indonesia