Selasa, 06 April 2010

Nasib ‘Melengkan’ di Tanoh Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Berbicara soal sastra lisan, ada sepuluh sastra lisan yang dimiliki orang Gayo, yaitu didong, kekeberen, kekitiken, melengkan, pantun, peribahasa, saer, sebuku, tep onem dan ure-ure. Dari sepuluh sastra lisan yang ada, yang masih bertahan kuat adalah didong, melengkan, dan saer. Dalam khasanah tradisi lisan Indonesia, didong merupakan salah satu sastra lisan yang masih bertahan sampai sekarang, sama halnya dengan wor bagi masyarakat Biak, propinsi Irian Jaya (Simbolon, 1999: 86&88). Sastra lisan Gayo yang salah satunya adalah melengkan menggambarkan jiwa masyarakat Gayo. Juga, menjadi identitas orang Gayo. Melengkan dan sastra lisan Gayo lainnya ikut memerkaya khasanah sastra dan bangunan budaya di Aceh. Belum lagi kandungan sastra lisan dari etnik-etnik lainnya yang mendiami Aceh. Sudah barang tentu, warisan leluhur tersebut menjadi harta yang tak ternilai harganya.

Melengkan

Sesungguhnya kajian sastra lisan Gayo masih cukup terbatas. Belakangan, kajiannya banyak menyinggung soal didong dan saer. Mengingat luasnya kajian sastra lisan Gayo, tulisan ini terbatas pada melengkan. Melengkan dapat diartikan sebagai pidato adat. Usia melengkan sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo. Melengkan lahir dari tuntutan sosial perkawinan dalam masyarakat Gayo. Dalam konteks lebih luas, melengkan lahir dari realitas kehidupan sosial kemasyarakatan dan ‘kenegaraan’ di tanoh Gayo. Melengkan menjadi bagian sub-sistem sarak opat ‘empat unsur pemerintahan di Gayo.’ Dengan begitu, melengkan merupakan satu kelengkapan protokoler pemerintahan sarak opat. Adanya melengkan bertujuan untuk memudahkan proses komunikasi dan diplomasi dengan dunia luar ‘kampung lain.’ Lebih khusus lagi, saat pesta perkawinan berlangsung. Biasanya, melengkan dibawakan oleh pelaku melengkan baik dari pihak mempelai laki-laki ‘aman mayak’ maupun dari pihak mempelai perempuan ‘inen mayak.’ Dalam prosesnya, terjadilah berbalas pidato dengan kandungan sastra Gayo yang bernilai tinggi.

Lazimnya sebuah pidato, melengkan juga terdiri atas tiga bagian, yaitu pembukaan, isi dan penutup. Pembukaan berisi pujian terhadap kebesaran dan mensyukuri nikmat Tuhan. Dilanjutkan dengan shalawat terhadap Nabi Besar Muhammad SAW. Tak ketinggalan, penghormatan kepada langit dan bumi sebagai bagian makrokosmos. Disamping itu, penghormatan kepada tuan rumah ‘mempelai yang di tuju,’ personal, audience ‘yang berhadir’ dan masyarakat, serta kampung layaknya seperti prosesi “kenegaraan.” Persoalan substantif ada pada bagian isi yang menggambarkan kearifan-kearifan lokal, filsafat keadatan, nilai-nilai relijius, sosio-psikologis, ekolinguistik dan “kenegaraan.” Tak hanya itu, melengkan tak terlepas dari filsafat bahasa, semantik, pragmatik dan semiotika. Dengan kata lain, melengkan penuh dengan perumpamaan. Di bagian akhir, ditutup dengan permintaan maaf kepada tuan rumah dan yang berhadir. Disamping itu, memohon keberkahan acara perkawinan tersebut kepada Tuhan.

Keterwarisan Melengkan

Walaupun melengkan tetap dipraktikkan dalam kehidupan sosial masyarakat Gayo, namun banyak terjadi pergeseran nilai kemelengkanan baik simbolik maupun yang menyentuh muatan ‘content.’ Bahkan, keadaannya semakin kritis. Penyebab utama dari kekritisan tersebut dikarenakan terputusnya alih melengkan kepada generasi muda. Hal tersebut umumnya berlangsung pula pada kebudayaan Gayo. Terlebih saat pendudukan Jepang, terjadi pengkerdilan kebudayaan Gayo. Begitu pula saat arus budaya luar dan informasi, serta perkampungan budaya global terjadi. Pijakan kebudayaan Gayo seolah tak lagi mampu menahan budaya yang menghempas tersebut.

Ketidakberalihan melengkan berdampak sistemik jangka panjang pada kelangsungan hidup melengkan. Konsekuensinya, pertama, pelaku melengkan yang sepuh semakin terbatas. Dapat dikatakan, melengkan dalam arti yang sebenarnya bertahan sampai kelahiran 1940 dan 1950-an. ‘Kerapuhan melengkan’ mulai berlangsung sejak kelahiran 1960-an. Dan, ‘kerubuhan melengkan’ tidak bisa dihindarkan sejak kelahiran 1970-an. Dapat kemungkinan ‘kepunahan melengkan’ akan terjadi pada periode kelahiran 1980-an.

Kedua, memudar dan hilangnya ruh melengkan. Ruh tersebut terkait dengan pemaknaan simbolis dan kefilsafatan dengan pelbagai perumpamaan yang dikandungi. Pewaris melengkan dan generasi Gayo dewasa ini tidak lagi cerdik ‘pintar dan bijak.’ Generasi dimaksud adalah kelahiran tahun 1970-an sampai sekarang. Penyebabnya adalah hilangnya sarana berfilsafat, yang salah satunya diajarkan melalui melengkan. Begitu juga dengan semiotika keadatan dan kebudayaan. Mereka tidak lagi mampu menafsirkan wacana-wacana yang mewataki melengkan. Akibatnya, generasi/tanoh Gayo semakin berpikir ‘praktis’ dan ‘instan’ dalam menyikapi belbagai persoalan-persoalan kehidupan.

Ketiga, bercampurnya wacana-wacana kemelengkanan dengan bahasa Indonesia. Pengaruh bahasa Indonesia tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan sosial di tanoh Gayo dan Aceh. Dalam pertumbuh-kembangannya, bahasa ini semakin menunjukkan dominasinya di Aceh. Bahkan, semakin mengkhawatirkan kelangsungan bahasa-bahasa minor di Aceh, seperi bahasa Gayo, Alas, Singkil, Tamiang, Kluet, Anak Jamuek dan Simelue. Dampak yang paling kelihatan yaitu fenomena pencampuran berbahasa ‘code mixing’ sebagai akibat dari interaksi etnik dan kontak budaya di Aceh. Lebih khusus lagi, di tanoh Gayo yang didiami lebih dari delapan suku etnik. Sudah barang tentu, ekologi berbahasa tersebut berpengaruh signifikan terhadap nasib bahasa Gayo dan melengkan. Pengaruh tersebut tidak semata di tataran lingkungan be melengkan ‘ekologi melengkan,’ juga di tataran pola pikir dan sikap pelaku melengkan dan masyarakat Gayo sebagai pewaris melengkan.

Langkah Penyelamatan

Melihat kekritisan, kayanya simbol budaya dan muatan keadatan, sosial, psikologis dan kefilsafatan melengkan, sudah sepatutnya dilakukan langkah penyelamatan. ‘Kerapuhan melengkan’ mulai berlangsung sejak kelahiran 1960-an. Mengingat ‘kerapuhan melengkan’ sudah lama terjadi, yaitu sejak generasi kelahiran 1960-an, bahkan memungkinkan menuju kepunahan. Sebetulnya ‘kepunahan melengkan’ bisa di ulur, dan diberdayakan lagi seperti semula. Hanya saja, perlu langkah dan mekanisme yang cepat, benar, sistematik dan tepat dalam penyelamatan melengkan.

Dua pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan formal dan informal. Pendekatan formal melalui kebijakan yang di ambil pemerintah kabupaten. Kemudian, menginternalkannya dalam dunia pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Intinya, perlu dibangun kebijakan pembangunan kebudayaan Gayo. Sementara itu, dari perspektif keinformalan, perlu partisifasi dan persetalian personal, lembaga keadatan dan masyarakat sebagai pewaris melengkan. Ketika dua pendekatan tersebut sudah terformulasikan dengan baik, benar dan tepat, akan berbuah pada pemberdayaan, keterwarisan dan keterpeliharaan melengkan. Demikian halnya dengan kelangsungan kebudayaan dan keetnikan Gayo.

*Pemerhati Bahasa, Sejarah dan Kebudayaan Gayo (23 Maret 2010)
Sumber: Media Serambi Mekkah (2010)

Campur Alih Bahasa Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni
[Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik USU]
| Jum`at, 02 April 2010

Alih campur bahasa merupakan hal yang lazim dalam masyarakat yang memakai dua (dwi) bahasa dan banyak (multi) bahasa. Dalam perbendaharaan lain, istilah ini dikenal dengan alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing).

Situasi kedwi dan kemultibahasaan ‘ekologi bahasa’ yang demikian kemudian menghadirkan kontak bahasa. Tak sebatas kontak bahasa (language contact), kontak antaretnik (ethnic contact) bahkan kontak budaya (culture contact) pun berlangsung. Alih kode merupakan peristiwa perubahan berbahasa karena tuntutan situasi.

Misalnya, dari bahasa satu ke bahasa lain dikarenakan hadirnya penutur yang kurang (tidak) mengerti bahasa yang dituturkan. Perubahan ragam santai menjadi ragam resmi dalam perkuliahan yang diselingi dengan joke-joke ringan katakanlah. Sementara itu, campur kode adalah masuknya serpihan kata atau frasa dari bahasa satu ke bahasa lainnya. Sebagai akibatnya, terjadi percampuran saat berbahasa dan boleh juga dalam sebuah wacana (discourse). Saat tuturan berlangsung, secara tidak sadar, salah satu penutur mencampur tuturannya dengan kata atau frasa dari bahasa lain, seperti bek kemel-kemel win ‘jangan malu-malu win.’ Kalimat ini menunjukkan code mixing yaitu dengan munculnya kata pengulangan kemel ‘malu’ (bahasa Gayo) dalam kalimat bahasa Aceh di atas. Kata ‘win’ sendiri merupakan bentuk sapaan atau istilah kekerabatan (tutur) untuk memanggil anak laki-laki dalam bahasa Gayo (bagi orang Gayo)

Hoffman (1991:116) menyebut tujuh alasan bagi penutur dwi bahasa untuk bercampur dan beralih kode atau bahasa, adalah untuk (1) membicarakan topik tertentu; (2) mengutip (pernyataan) penutur lain; (3) simpatik terhadap sesuatu; (4) pengisi atau penghubung kalimat; (5) pengulangan yang digunakan untuk klarifikasi; (6) mengklarifikasi isi tuturan bagi interlocutor; dan (7) menyatakan identitas kelompok. Variabel lain yang menjadikan terjadi campur dan alih bahasa, yaitu topik percakapan, partisipan, setting dan keefektifan bahasa (While Hamers dan Blanc, 1987:148). Fishman menegaskan bahwa kondisi tersebut erat hubungannya dengan penutur (siapa), bahasa yang dipakai, lawan tutur, waktu dan tujuan tuturan.

Penelitian Terkait

Satu diantaranya penelitian terkait topik di atas adalah penelitian terhadap 57 mahasiswa Gayo di Universitas Sumatera Utara (USU) pada tahun 2006. Penelitian ini lebih melihat besaran alih dan campur kode dalam rapat organisasi, pertemuan informal di kampus dan di luar kampus. Dan, melihat besaran campur dan alih kode saat penutur non-Gayo ikut serta dalam pertemuan informal di kampus dan di luar kampus.

Dari penelitian tersebut ditemukan, bahwa dalam pertemuan formal (rapat organisasi kemahasiswaan), mereka (mahasiswa Gayo) menggunakan bahasa Gayo 22.8%, bahasa Indonesia 12.27%, sementara 64.9% menggunakan bahasa campuran (Gayo-Indonesia). Dalam pertemuan informal sesama mahasiswa Gayo di kampus, bahasa Gayo dipakai sebanyak 38.58%, 17.53% bahasa Indonesia, dan 43.84 % bahasa campuran.

Bila terdapat penutur yang bukan orang Gayo, dipakai bahasa Gayo sebesar 5.25%, bahasa Indonesia 73.67%, dan 21.04% memakai bahasa campuran. Selanjutnya, bila berlangsung pertemuan di luar kampus, yang menggunakan bahasa Gayo sebesar 56.12%, bahasa Indonesia 12.26%, dan bahasa campuran 31.56%. Sementara itu, bila terdapat penutur yang bukan orang Gayo, maka 10.51% akan berbahasa Gayo, 70.16% bahasa Indonesia, dan 19.28% memakai bahasa campuran (al-Gayoni, 2006: 27-40).

Penelitian tersebut menunjukkan toleransi yang tinggi dari penutur bahasa Gayo kepada penutur non-Gayo dengan terjadinya peralihan ke bahasa Indonesia. Hal yang sama terjadi pada kasus campur kode. Campur kode biasa berlangsung dalam keseharian komunikasi baik di kampus dan di luar kampus, serta dalam rapat-rapat formal organisasi di Ikatan Mahasiswa Takengon-Bener Meriah (IMTA)-Sumut. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan keakraban dan adaptasi sosial antarpenutur di pelbagai tempat dan situasi tersebut. Mahasiswa dari tanoh Gayo di USU sendiri tidak sebatas orang Gayo tetapi terdiri atas mahasiswa non-Gayo. Secara keseluruhan, mereka berjumlah sekitar 120 mahasiswa. Dan umumnya, peralihan itu terjadi dari situasi formal ke informal dan sebaliknya.

Penyebab terjadinya alih dan campur kode pada mahasiswa Gayo di USU tersebut lebih memperhatikan soal penutur (siapa), bahasa yang dipakai, lawan tutur, waktu dan tujuan tuturan sebagaimana pendapat Fishman di atas. Disamping itu, terkait pemakaian bahasa Gayo antarmahasiswa Gayo di USU dan seputar Padang Bulan memperlihatkan bahwa mereka setia berbahasa Gayo. Persoalan identitas menguatkan pemakaian bahasa Gayo.

Dengan demikian, bahasa Gayo dapat membedakan mereka dengan mahasiswa dan etnik lainnya. Selain itu, kebanggaan, penguatan keakraban dan solidaritas sosial turut mendorong pemakaian bahasa Gayo. Bahasa Gayo menjadi simbol sosio-kultural di perantauan. Sebagai tambahan, kebanggaan berbahasa Gayo ini umumnya terjadi di luar Aceh.

Mereka bangga berbahasa Gayo serta identitas keetnikannya. Kondisi tersebut berbeda dengan situasi di tanoh Gayo dan pelbagai titik di Aceh khususnya di Banda Aceh. Umumnya, penutur bahasa Gayo di Aceh lebih berbahasa Indonesia ketimbang bahasa ibunya sendiri. Mereka malu dan gengsi berbahasa Gayo ‘kemel’. Karena, bahasa Indonesia dianggap lebih komunikatif dan berprestise dari bahasa Gayo. Dan, ada kecenderungan khususnya di seputar kota Takengen bahwa bahasa Gayo mulai ditinggalkan penuturnya.

Demian halnya fenomena campur dan alih kode di tanoh Gayo terutama di Takengen. Dari amatan yang dilakukan, secara sadar dan tak sadar, penutur bahasa Gayo di Takengen kerap mencampur tuturannya dengan bahasa Indonesia. Selanjutnya, dengan bahasa Inggris dan istilah-istilah atau serapan kata dari bahasa Arab.

Penyebab pertama karena bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar antaretnik di Takengen. Campur kode dengan bahasa Inggris memiliki prestise lebih. Dan, munculnya campuran tuturan bahasa Arab tidak terlepas dari latar sosio-historis-relijius yang melekat pada daerah ini dan Aceh sebagai daerah syariat Islam. Selain itu, masih ada campuran-campuran bahasa-bahasa daerah lainnya. Namun, masih terbatas dengan situasi tuturan tertentu.

Sumber http://www.theglobejournal.com/kategori/seni-budaya/campur-alih-bahasa--gayo.php (diakses 3April 2010)