Minggu, 08 Januari 2012

Gayo Kaya Keanekaragaman Hayati

Jakarta | Lintas Gayo - Selain kaya sejarah, bahasa, sastra, budaya dan dikenal dengan keindahan alamnya, tanoh Gayo juga kaya dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya. Pakar kecantikan Indonesia asal Takengon, tanoh Gayo, Ny. As Jafar, di Jakarta (6/1/2012) menyatakan, ada 160-180 jenis bunga di Takengon. Tahun 1980-an, istri Ahmad Jafar alm itu telah meneliti nama-nama bunga sekaligus tata rias dan adat perkawinan Gayo di Takengon.

“Disamping mengidentifikasi namanya, saya sempat meneliti jenis, pola tumbuh, serta fungsinya. Bahkan, ada beberapa spesies bunga yang hidupnya cuma di Gayo. Selain itu, ada beberapa bunga yang dalam bahasa lokal tidak ditemui istilahnya” ujarnya. Sayangnya, temuan tersebut masih belum terdokumentasi. “Saya sudah mencatatnya. Tapi, lupa nyimpannya dimana. InsyaAllah, coba saya cari lagi,” kata salah pendiri Yayasan Argadia dan Penggagas Pemilihan Putri Citra itu. Di sisi lain, bukunya Upacara Adat Pengantin Gayo (teori) sudah lama terbit—1988—dan dijadikan acuan bagi para perias di seluruh Indonesia. Melalui Ny. As Jafar, tata rias dan upacara adat perkawinan Gayo diperkenalkan secara luas. Lebih dari itu, dua sempol Gayo, yaitu sempol gampang bulet sempelah ilang dan sempol gampang kemang—Gayo pun sudah dibakukan secara nasional, tahun 1985

Selain Ny. As Jafar, tahun 2001, Puspitawi pernah meneliti tentang Pemanfaatan Tumbuhan dalam Kehidupan Komunitas Suku Gayo dan Hubungannya dengan Kelestarian Keanekaramaan Hayati. Hasil penelitian wanita kelahiran Batang Toru, Sumatera Utara itu, menunjukkan, masyarakat Gayo mengenal 181 spesies tumbuhan. 141 spesies diantaranya digunakan sebagai obat-obatan, 99 spesies dimanfaatkan sebagai bahan pangan, 22 spesies sebagai pelengkap dalam upacara adat/kegiatan sosial. Disamping itu, keseluruhan tumbuhan tadi digunakan dalam 142 ragam pemanfaatan, yang meliputi, 68 ragam pangan, 61 ragam obat-obatan/kosmetik, dan 13 pemanfaatan untuk upacara adat/kegiatan sosial.

Lebih lanjut, dijelaskan, di lihat dari bagian/organ tumbuhan yang dimanfaatkan, tumbuhan pangan sebagian besar memanfaatkan buah. Sementara itu, tumbuhan obat-obatan/kosmetik dan tumbuhan bahan pelengkap dalam upacara adat/kegiatan sosial memanfaatkan kombinasi dari pelbagai organ tumbuhan seperti daun, akar, biji, dan kulit. Selain itu, dilihat dari habitatnya, pada umumnya, tumbuhan yang digunakan dalam ketiga pemanfaatan tersebut mudah dijumpai. Sebab, dapat hidup dalam beberapa habitat yang berbeda. Dan, dilihat dari cara pemerolehannya, sebagian besar dari tumbuhan yang dipakai untuk bahan pangan diperoleh dengan melakukan penanaman. Dengan kata lain, tumbuhan yang diperlukan untuk kebutuhan pangan selalu ada (tersedia).

Sementara itu, jelas Alumni SD Negeri 2 Lampahan Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah) itu, kesadaran masyarakat untuk melakukan penanaman dan melestarikannya tumbuhan obat-obatan/kosmetika dan tumbuhan bahan upacara adat/kegiatan sosial masih tergolong rendah. Karena, spesies tumbuhan yang digunakan dalam kedua keperluan tersebut banyak yang memanfaatkan tumbuhan liar.

Antisifasi Kepunahan

Dimintai pendapatnya, Yusradi Usman al-Gayoni, menyebutkan, khasanah kekayaan keanekaragaman hayati di tanoh Gayo, Aceh, sangat bermanfaat bagi kajian ilmu pengetahuan (biologi, etnobotani, ekologi, ekolinguistik [kajian timbal balik peran lingkungan terhadap bahasa], antropologi, dan lain-lain) serta lingkungan. Lebih lanjut, Dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Aceh Tengah yang saat ini bertugas di Jakarta, menjelaskan, dalam konteks Gayo, selain nama dan fungsinya pada sejumlah ranah, keanekaragaman hayati tadi memiliki nilai-nilai—filosofi, kultural, ekologi, relijiusitas, dan lain-lain—yang dirangkainya dan didukung masyarakatnya. Nilai-nilai inilah yang kurang diketahui masyarakat Gayo, terutama generasi mudanya. Ditambah lagi, kesadaran masyarakat Gayo dalam melestarikannya pun relatif rendah.

Pengkaji Ekolinguistik di Indonesia itu, menyimpulkan, terdapat penurunan pemahaman leksikon masyarakat Gayo terhadap keanekaragaman hayati tersebut. Hal itu bisa dilihat dari generasi Gayo (per sepuluh tahun); 1980, 1990, 2000, dan 2010. Karenanya, sarannya, dokumentasi dan publikasi terkait Gayo mesti terus digalakkan. Dalam hal ini, perlu perhatian, partisifasi, dan keseriusan Pemerintah Kabupaten (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah). Selain itu, apa pun yang menyangkut Gayo harus dikenalkan (ditransmisikan), khususnya melalui lembaga pendidikan, semacam muatan lokal. Apalagi, kepada generasi muda sekarang. Kalau tidak, Gayo akan ‘punah’ seiring pergantian waktu (Faiz Akbar/03)

Sumber http://www.lintasgayo.com/17433/gayo-kaya-keanekaragaman-hayati.html

Lingkungan Rusak, Bahasa Punah

Takengon | Lintas Gayo – Beberapa waktu yang lalu, terjadi kebarakan di Bur Gayo dan Pendere, Takengon, Kabupaten Aceh Tengah. Selain itu, oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah sedang giat-giatnya menimbun Tanggul Mendale, yang berdampak pada spesies burung yang ada di sana.

Dimintai tanggapannya melalui sambungan telepon (27/9) Yusradi Usman al-Gayoni, pengkaji bahasa Gayo menuturkan, kebakaran dan penimbunan tersebut ikut berdampak pada bahasa. Lebih luas, berdampak pada kebudayaan, ekologi, dan kelangsungan peradaban orang Gayo sendiri.

Pastinya, di gunung (bur: bahasa Gayo) itu, jelas penggiat kajian Ekolinguistik (Ekologi Bahasa) tersebut ada keanekaragaman hayati baik hewan, tumbuhan, maupun mikroorganisme lainnya. Akibat kebakaran itu, tambah bapak Muhammad Faiz Akbar al-Gayoni ini, hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme yang ada pun ikut terbakar dan mati.

Alhasil, sambungnya, untuk jangka panjang, masyarakat Gayo, khususnya generasi yang lebih muda, tidak lagi mengenal istilah-istilah yang bertalian dengan rumput, tanaman, pepohonan, hewan, mikroorganisme, dan lain-lain, khususnya dalam bahasa Gayo. Karena, referen (wujud fisik)-nya tidak ada lagi. Termasuk, kearifan ekologi yang dikandunginya seperti menamam jedem di kaki gunung dan menanam uluh (bambu) di seputar Danau Laut Tawar.

“Soal Tanggul Mendale, kalau kebijakan penimbunan itu tetap diteruskan, khususnya spesies burung-burung di sana akan bermigrasi ke tempat lain,” kata Yusradi. Akibatnya, siklus kehidupan jadi tidak seimbang. Lebih dari itu, panjang Danau Laut Tawar pun semakin mengecil, tercermari, dan rusak. Di sisi lain, katanya, dukungan dokementasi terkait pun belum ada. Lebih disayangkan lagi, Sarak Opat dengan unsur-unsurnya sudah tinggal nama.

Kalau bahasa ini mau selamat, tegasnya, bahasa Gayo harus tetap dipakai, dipelajari, dan diajarkan masyarakat Gayo. Selanjutnya, memperbanyak dokumentasi kebahasaan/kegayoan. Dan terakhir, untuk mendukung pemertahanan bahasa (kebudayaan) Gayo, lingkungan di Takengon dan tanoh Gayo juga mesti diselamatkan agar tetap hijau dan lestari (Khalis)

Sumber http://www.lintasgayo.com/10908/lingkungan-rusak-bahasa-punah.html

Tari Saman atau Saman Gayo?

Yusradi Usman al-Gayoni Pemerhati budaya

“Dalam masyarakat Gayo sendiri, alih budaya lebih sering dilakukan secara lisan daripada tulisan.”

SIDANG ke-6 Komite Antarpemerintah untuk Perlindungan Warisan Budaya Dunia Tak Benda United Nations Educational, Scientifi c and Cultural Organization (UNESCO) di Nusa Dua, Bali, Kamis, 24 November 2011, akhirnya menetapkan Tari Saman sebagai warisan budaya dunia tak benda dari Indonesia.

Sebagai warga negara Indonesia, khususnya masyarakat Gayo dan Aceh, kita patut bersyukur dan berbangga hati atas penetapan tersebut. Di sisi lain, pengakuan itu menjadi tantangan awal dalam melestarikan Tari Saman. Selama ini, terdapat salah pemahaman dan salah mempraktikkan Saman yang dapat ‘mengancam’ keberadaannya. Dengan demikian, pengukuhan Tari Saman menjadi momentum yang tepat untuk meluruskan, menyosialisasikan, mempertahankan, dan melestarikan tarian ini.

Saman Gayo?

Sejak ditetapkan, istilah `Saman Gayo’ semakin menguat ke permukaan publik. Dari garis sejarah, tarian ini memang berasal dari Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Hasil verifikasi UNESCO membuktikan Saman berasal dari Gayo Lues ‘Negeri Seribu Bukit’. Di Gayo Lues, Saman sudah menjadi bagian hidup. Maka itu, kemudian ada pelbagai bentuk Saman, seperti Saman Jejunten, Saman Ngerje, Saman Enjik, Saman Bepukes, Saman Festival, dan Bejamu Saman. Ada pula yang sampai ‘dipertandingkan’, yaitu Saman Serlo Sara Ingi (Saman yang dipertandingkan selama sehari semalam) dan Saman Roa Lo Roa Ingi (Saman yang dipertandingkan selama dua hari dua malam). Lebih dari itu, ini dapat ditarikan khalayak, mulai masyarakat grass root sampai pejabat (berkedudukan sosial lebih). Juga, dari anak-anak, remaja, dewasa sampai orang tua yang sudah renta.
Yang jadi persoalan ialah kata ‘Gayo’ setelah Saman. Apakah penambahan itu perlu? Tambahan kata Gayo melogikakan sesuatu yang ganda dan bermakna jamak. Artinya, ada bentuk Tari Saman yang lain.

Padahal, Saman cuma satu, yaitu Saman yang berasal dari Tanoh Gayo, Kabupaten Gayo Lues. Bila melihat pertalian histori, sosiokultural, religiositas, ekologi (ekologi bahasa), dan semiotika yang dikandunginya serta bukti indikasi geografi s, Tari Tangan Seribu (sebutan dari Ibu Tien Soeharto alm) ini cukup ditulis dengan Tari Saman, tanpa melekatkan kata Gayo. Kalau ditulis Tari Saman Gayo, berarti, kita—masyarakat Indonesia—ikut membenarkan salah pemahaman tadi. Dalam arti, mengakui dan melegitimasi dua atau lebih Saman sekaligus.

Blessing in disguise

Memang, dalam perkembangannya di luar Gayo Lues dan daerah Gayo lainnya, seperti di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Lokop-Serbejadi (Aceh Timur), Kalul (Aceh Tamiang), Bener Meriah, dan Lhok Gayo (Aceh Barat Daya)–khususnya di pesisir Aceh, pelbagai daerah di Indonesia, dan di belahan dunia lain–Tari Saman sering kali dilakukan perempuan, bercampur laki-laki dengan perempuan, memakai instrumen, penarinya berjumlah genap, tidak berkerawang (berpakaian adat Gayo), dan tidak berlirikkan bahasa Gayo dalam mengungkapkan lagu-lagunya. Selain itu, gerakan-gerakannya pun jauh dari bentuk aslinya.

Tari yang sering ditampilkan itu disebut Ratoh Duek, jenis tari lainnya di Aceh.
Namun, ada ‘untung-ruginya’ dari kesalahan tersebut. Bagaimanapun, Tari Saman dalam posisi yang dirugikan. Sebab, yang ditarikan bukan Tari Saman, tetapi disebut Tari Saman. Lebih-lebih, saat yang menarikannya perempuan atau bercampur laki-laki dengan perempuan, hal itu pastinya sangat bertentangan dengan nilai-nilai adat istiadat masyarakat Gayo. Juga, dengan ajaran agama Islam yang dianut secara fanatik oleh masyarakat Gayo dan Aceh. Dengan begitu, penarian seperti itu ‘haram hukumnya’. Sebaliknya, Ratoh Duek pun merasa rugi, tetapi tetap diuntungkan berupa ‘keuntungan ekonomi’. Sebenarnya di situlah akar persoalannya sehingga sampai terjadi salah pemahaman tadi.

Akan tetapi, bila dikaji lebih bijak, kondisi demikian mendatangkan blessing in disguise. Pada akhirnya, Tari Saman semakin dikenal luas dan mendunia, walaupun muncul kerancuan, kebingungan, dan ‘kesesatan’ pada saat yang bersamaan. Pada akhirnya, UNESCO pun turun langsung melakukan verifi kasi ke Gayo Lues pada 2010. Alhasil, Saman ditetapkan sebagai warisan budaya dunia tak benda beberapa waktu yang lalu.

Meluruskan Saman

Pastinya, pengakuan UNESCO bukanlah tujuan dan target akhir. Sebaliknya, itu menjadi langkah awal dalam penyelamatan dan pelestarian tarian ini. Salah satunya dengan meluruskan salah pemahaman dan salah mempraktikkan itu, yaitu memberikan informasi dan menarikan Saman dengan benar dan baik. Termasuk, perdebatan perihal boleh tidaknya Saman ditarikan perempuan atau bercampur keduanya.

Sebab, hal itu berhubungan dengan kreativitas penyuka dan keberterimaan publik terhadap Tari Saman, apalagi di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya yang merupakan kota urban. Bila dimaklumi, kalaupun diakui UNESCO sudah barang tentu itu melanggar dan ikut mengerdilkan nilainilai yang dikandungi Saman dan adat istiadat serta budaya masyarakat Gayo. Lebih dari itu, persoalan yang sensitif tersebut akan menjadi perdebatan panjang. Oleh sebab itu, perlu penyelesaian yang arif dengan tetap memperhatikan, menghormati, dan menghargai masyarakat Gayo.
Di luar itu, persoalan yang substansial terletak pada masalah minimnya dokumentasi dan publikasi Saman. Kedua persoalan tersebut tidak sebatas pada Saman, tetapi juga menyangkut Gayo secara keseluruhan. Karena itu, salah pemahaman dan salah mempraktikkan tadi bisa saja terjadi akibat kelemahan orang Gayo ‘kurang menulis’. Dalam masyarakat Gayo sendiri, alih budaya lebih sering dilakukan secara lisan daripada tulisan.

Pun demikian, sejauh ini, sudah ada beberapa buku khusus yang mengulas Saman dan ditulis putra Gayo Lues. Di samping itu, semangat dan usaha ke arah itu—dokumentasi dan publikasi—semakin tumbuh dan berkembang saat ini, khususnya pada generasi muda Gayo. Namun, upaya-upaya tersebut mesti terus digalakkan. Apalagi, ini menyangkut Tari Saman. Dengan demikian, kejadian-kejadian yang sudah dipaparkan tidak akan terjadi lagi pada masa-masa mendatang. Semoga!


Sumber: Media Indonesia, 23 Desember 2011, Hal. 26