Rabu, 29 Februari 2012

Mengurangi ‘Urang-Urang’ melalui Bahasa

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
.
SALAH satu masalah yang masih mengakar kuat di tanoh Gayo adalah urang-urang. Secara harfiah, urang berarti orang. Namun, dalam bahasa Gayo, pengertiannya lebih luas. Bisa merujuk ke belah (klan), daerah, orang (etnik), dan negara sekaligus. Namun, dalam masyarakat Gayo, konotasinya lebih negatif. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh politik devide at ampera kolonialis Belanda di Gayo, tahun 1901-1942. Bahkan, masih “berpengaruh” sampai sekarang.

Di Takengon, misalnya. Pengaruh urang-urang “uken-toa” ini masih cukup kental. Dan, merupakan masalah yang sensitif. Prof. H. Muhammad Daud, S.H. alm (Guru Besar Kriminologi Universitas Sumatera Utara dan salah satu pendiri SMA Negeri 1 Takengon), menyebutkan (2003), orang-orang yang memelihara uken toa merupakan orang yang tidak beradab. Tak jarang, ungkapnya, isu tersebut disuburkan orang tua (elit politik lokal yang sudah senior). Sementara itu, Yusra Habib Abdul Gani menyebut orang yang ber-uken toa rasis kampungan (2009).

Sebetulnya, masalah ini mencuat sejak abad ke-16. Khususnya, dalam “relasi” kerajaan Bukit (Kebayakan) dengan kerajaan Cik (Bebesen). Sampai akhirnya, terjadilah pembagian daerah kekuasaan. Kemudian, masing-masing “demografis uken toa” berkembang seperti sekarang. Secara khusus, Etnografer Indonesia dan Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia (UI), Prof. M.J. Melatoa alm sempat meneliti masalah ini dan mendokumentasikannya dalam bentuk disertasi yang berjudul Pseudo Moiety Gayo: Satu Analisa tentang Hubungan Sosial menurut Kebudayaan Gayo (1983). Pada waktu itu, beliau melihat adanya paruh yang saling bersaing “uken toa” dalam masyarakat Gayo di Takengon. Lebih khusus lagi, dalam pemerintahan, kegiatan kesenian (didong), dan pertandingan/perlombaan olah raga.

Lebih luas lagi, terefleksi dalam relasi “urang-urangen” antara Lut, Deret, Belang/Lues, Alas, Serbejadi/Lokop, Kalul, dan Lhok Gayo. Dalam kaitan ini, penulis berkeyakinan, orang Gayo di pelbagai daerah persebaran tersebut masih belum sepenuhnya mengenal satu satu lain. Singkatnya, mereka belum lah sehati (sara ate), satu visi (sara kekire), dan satu misi (sara langkah). Apalagi, menyangkut kepentingan (tanoh) Gayo secara menyeluruh dan lebih berjalan masing-masing. Dan, kalau kondisinya terus seperti itu, urang Gayo (secara kolektif) akan sulit berkembang dan maju.

Lagi pula, saat ini, Gayo tidak lagi memiliki tokoh yang sejalan antara hati, pikiran, dan perbuatannya serta berkharisma. Sebelumnya (abad ke-19), Gayo punya Muhammad Hasan Gayo, Ilyas Leube, dan lain-lain. Namun, saat ini?

Solusi?


Salah satu solusi mengurangi masalah ini adalah melalui penggunaan bahasa, yaitu dengan mengganti kataurang jadi ari (dari). Soalnya, bahasa sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak pemakainya. Termasuk, prihal urang-urangan tadi. Dalam hubungan sosial sesama orang Gayo, misalnya. Prihal asalnya, tidak ditanya, “Urang si, ya? (belah atau orang mana dia?)” Sebaliknya, jadi “Ari si asal le? (dari mana asalnya). Contoh lain, dalam perkawinan masyarakat Gayo, kerap ditanya, “Urang sihen si rawan/banan? (Orang mana pengantin laki-laki/perempuannya?) Tapi, diganti, “Ari sihen si rawan/banan?” (Dari mana pengantin laki-laki/perempuannya?) Karena, kata urang ‘berkonotasi’ negatif di dalam masyarakat ini.

Pun demikian, pemakaian bahasa ini merupakan salah satu pendekatan. Namun, pemakaiannya tidak akan berpengaruh apa-apa kalau tidak disinerjikan dengan pendekatan lainnya. Khususnya, dari Pemerintah Kabupaten (Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Kabupaten Bener Meriah) di Gayo, mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, sampai pada penegakan hukum yang terbuka, partisipatif, berkeadilan, dan bermartabat. Juga, dalam penempatan pejabat lokal dalam pemerintahan. Yang dikedepankan adalah kejujuran, kualitas, kemampuan, dedikasi, dan punya rekam jejak (track record) yang baik. Bukan sebaliknya, didasarkan pada kedekatan “pertalian darah,” tim sukses, atau karena hutang budi dan uang saat kampaye serta ber-mind set urang-urang.

Kalau semuanya disinerjikan dengan benar dan baik, masalah urang-urang tersebut bisa dikurangi. Bahkan, dihilangkan untuk jangka panjang. Karena, dalam prosesnya, terjasi cross culture understanding dan saling besikemelen. Pada akhirnya, orang Gayo (secara keseluruhan) pun akan musara, mu nahma, dan mu marwah.


* Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah
Sumber: Media Online Lintas Gayo (29 Februari 2012)
http://www.lintasgayo.com/19929/mengurangi-urang-urang-melalui-bahasa.html

Rabu, 01 Februari 2012

Kearifan Ekologi Gayo yang Hilang

Tanggul Mendale. Berada di bagian barat danau. Pembangunan tanggul tersebut semakin merusak ekosistem Danau Laut Tawar

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Saat kondisi jalan Danau Lut Tawar tidak seperti sekarang, masyarakat Gayo, khususnya seputar danau kerap berjalan kaki menuju kota Takengon. Dan, sebaliknya. Alternatif lain, dengan berkuda atau perahu. Pada saat berjalan kaki, mereka—penduduk—biasa menanam pohon di sepanjang jalan yang dilalui. Salah satunya adalah bambu (uluh). Pun, cuma satu-dua pohon. Namun, kegiatan seperti itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat—khususnya, generasi kelahiran (sebelum) 1930-an—ketika itu. Bisa dibayangkan, berapa banyak pohon yang sudah ditanam? Itulah gambaran kesadaran lingkungan orang tua Gayo zaman dulu.

Kebiasaan itu tidak tumbuh di tengah kekritisan lingkungan. Apalagi, dengan perubahan cuaca (climate change) seperti sekarang. Atau, saat akses terhadap pendidikan semakin. Di tambah lagi, meluasnya link dan net working. Juga, terbukanya informasi dan teknologi. Sebaliknya, kebiasaan tersebut membudaya di tengah segala keterbatasan. Namun, kesadaran, wacana (environmental discourse atau discourses of the environment), dan visi jangka panjang pada lingkungan hijau (ijo) ‘lebih hidup’ pada masa itu.

Selain menanam pohon, menurut M. Jusin Saleh (2009), Sekretaris Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo (MAANGO), dulunya, dalam membuka perkampungan dan perkebunan, masyarakat Gayo diharuskan jauh dari danau (lut). Kampung Bintang, salah satu kampung tua di Takengon, misalnya. Letaknya agak jauh dari danau. Dengan demikian, Danau Laut Tawar tetap—danau kebanggaan masyarakat Gayo dan Aceh—tetap bersih. Dalam arti, tidak tercemari, dangkal, dan rusak baik secara fisik maupun secara sosial. Meski tidak formal dan tertulis, tapi ‘aturan’ itu sangat mengingat (ikatan sosial). Dan, jadi konsensus bersama. Kalau ada yang melanggar, maka akan berlaku sanksi sosial.

Namun, jarang sekali terjadi. Soalnya, masyarakat Gayo sangat menjunjung tinggi budaya kemel (malu) dan musyarawah, saat itu. Karenanya, kemudian muncul filosofi kerakyatakan dan permusyawaratan orang Gayo, yaitu “keramat mupakat, behu ber de dele.” Dalam konteks kekinian kehidupan berbangsa dan bernegara, dikenal dengan istilah 4 pilar bangsa—Pancasila, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika. Pun terjadi, pelakunya akan merasa berjarak dengan sendirinya dalam pergaulan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Selanjutnya, masih menurut Jusin—sapaan M. Jusin Saleh—terkait hutan, masyarakat Gayo biasa menanam jedem (bahasa Gayo). Tanaman ini kerap ditanam di kaki gunung seputar danau. Bagian daunnya yang tebal dan tajam tidak memungkinkan hewan liar untuk memasuki perkebunan penduduk. Disamping itu, karena banyak menyimpan air, saat terjadi kebakaran, apinya tidak serta merta melalap lahan perkebunan, pegunungan, dan perumahan penduduk.

Sarak Opat

Secara kelembagaan, seperti disinggung, ada perangkat pendukung dalam melembagakan nilai-nilai tersebut. Pelembaganya adalah Sarak Opat (sistem pemerintah Gayo) dengan unsur-unsurnya. Lebih khusus, pawang, kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang lut, dan pengulu rerak. Sejak penyeragaman sistem pemerintahan di Indonesia, Sarak Opat sudah digantikan sistem pemerintahan formal. Nilai-nilainya pun tidak lagi ber-intangible. Demikian halnya dengan namanya, kurang dikenal generasi muda Gayo. Dengan kata lain, terjadi penyusutan penamaan dan pemahaman. Karena, istilah-istilah terkait Sarak Opat dan ekologi ke-Gayo-an secara umum makin terdesak dan terpinggirkan oleh isilah baru. Di tambah lagi, dengan pelbagai perubahan sosial-ekologi di tanoh Gayo. Cukup berpengaruh signifikan. Padahal, Sarak Opat begitu efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, ekolog, dan kemasyarakatan.

Begitu pula dengan kearifan-kearifan ekologi, sudah mulai hilang. Pastinya, masih banyak kearifan-kearifan ekologi Gayo yang masih belum tergali. Karenanya, perlu penyelamatan, penelitian, pendokumentasikan, pengenalan, dan pentransmisian Gayo oleh semua pihak pada masa-masa mendatang. Khususnya, oleh orang Gayo dan di tanoh Gayo. Dengan demikian, alih budaya kepada generasi muda akan tetap berjalan. Lebih dari itu, pelbagai kearifan tadi—terutama, dalam ranah kajian lingkungan, ekologi bahasa (ekolinguistik), ekologi sastra (ekosastra), dan ekologi jurnalistik—dapat turut serta dalam penyelamatan, pemeliharaan, dan pelestarian lingkungan. Namun, penyertaan kebijakan baik dari eksekutif maupun legislatif tetap diperlukan. Dengan demikian, semuanya dapat berjalan seiring, fokus, dan maksimal.


*Pengkaji Ekolinguistik/Koordinator Divisi Budaya Forum Penyelamatan Danau Lut Tawar

Sumber: Media Online Lintas Gayo (31 Januari 2012)
http://www.lintasgayo.com/18467/kearifan-ekologi-gayo-yang-hilang.html