Selasa, 31 Juli 2012

"Ekolinguistik" Buku Tentang Lingkungan dan Bahasa

"Ekolinguistik" Buku Tentang Lingkungan dan Bahasa Mon, 07/30/2012 - 05:44 | admin Jakarta, Sumbawanews.com.- Lingkungan kerap kali menjadi isu hangat dan menarik dibicarakan, termasuk perubahan cuaca ekstrim yang terjadi belakangan ini. Buku "Ekolonguistik" karangan Yusradi Usman al-Gayoni, SS, M.Hum; mengupas tentang perubahan iklim dengan ancaman kelangsungan budaya dan peradaban manusia dan alamnya. Media ini merupakan media pertama yang mendapatkan buku tersebut dari penulisnya pada Kamis, 26 Juli 2012 di Komplek Parlemen Senayan Jakarta. Menurut Yusradi menuturkan kepada Sumbawanews.com bahwa buku karangannya merupakan buku pertama di Indonesia mengupas tentang lingkungan dan bahasa (ekolonguistik). Ketua Program Doktor Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D dalam sambutannya di buku Ekolonguistik mengatakan adanya implikasi perubahan ekologi lingkungan manusia karena adanya pergeseran dan disharmoni sosial pada bahasa dan budaya dalam hal ini merosotnya fungsi bahasa-bahasa lokal. Banyak bahasa Daerah di Indonesia semakin sulit hidup dan bertahan. "Kita kehilangan istilah bahasa yang ada dalam laut, air iklim akibatnya kepunahan tengah melanda bahasa-bahasa etnis kita" katanya. Menurut Yusradi dalam bukunya, secara tradisional, ekolonguistik dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu analis wacana eko-kritis dan ekologi linguistik. Wacana eko-kritis tidak terbatas pada pengaplikasian analisis wacana kritis terhadap teks yang berkenaan dengan lingkungan dan pihak-pihak yang terlibat dalam lingkungan dalam pengungkapan ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian yang dilakukannya menyertakan penganalisaan berbagai macam wacana yang berdampak besar terhadap ekosistim mendatang. Misalnya kata Yusradi, wacana ekonomi neo-libaral, ketak-terhubungan dari konstruksi konsumerisme, gender politik pertanian dan alam. Adanya perubahan sosio-ekologis Takengan Kab. Aceh Tengah yang berlangsung diseputar masyarakat di Takengan Kab. Aceh Tengah juga tidak luput dari kajiannya. Dalam hal ini ia mengambil sample dengan kebijakan penggabungan kampung, migran penduduk dari pelbagai kampung seputar danau di Aceh. Sebelumnya, penamaan 128 kampung namun generasi muda Gayo saat ini tidak mengenal nama kampung-kampung tersebut diakibatkan adanya perubahan sosio-ekologis. Demikian juga dalam bidang bahasa yang sangat mempengaruhi pola fikir, sikap, dan pola tindak manusia. Hal tersebut dapat berimplikasi positif terhadap lingkungan fisik, ekonomis dan sosial yaitu dengan terpelihara, adanya keseimbangan dan terwarisnya lingkungan yang ada terhadap generasi berikutnya. Memperkaya bahasa Indonesia menjadi tuntutan mutlak dalam berbangsa dan bernegara. Namun penulis sangat jeli melihat penggunaan bahasa Indonesia yang diharapkan bisa mendunia. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, Yusradi mengkritisi penggunaan bahasa asing sebagai pengganti bahasa Indonesai. Ada baiknya jika istilah asing tidak terdapat dalam bahasa Indonesia maka perlu diganti dengan istilah dalam bahasa daerah gugatnya. Ia memberi contoh penggunaan istilah "tsunami" untuk membahasakan sebuah rangkaian gelombang tinggi yang menjangkau daratan seperti yang terjadi di Aceh tahun 2004 yang lalu. Masyarakat Simeulue; Aceh katanya, mengenal Tsunami dengan istilah "smong". "Jika dalam bahasa Indonesia istilah pengganti kata Tsunami tidak ditemukan maka sudah sepantasnya digunakan istilah "smong" karena saat bersamaan kearifan lokal masyarakat Simeulue turut dihargai," harapnya. (Zainuddin) sumber: http://www.sumbawanews.com/berita/ekolinguistik-buku-tentang-lingkungan-dan-bahasa (31 Juli 2012)

Sabtu, 28 Juli 2012

Tradisi Mendongeng pada Masyarakat Gayo?

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni* Laura Numeroff, pengarang dan ilustrator cerita anak terlaris versi New York Times, mengatakan, membacakan dongeng untuk anak selama 20 menit dapat meningkatkan kecerdasan anak dalam membaca dan menulis. Bahkan, 20 menit mendongeng setara dengan sekurang-kurangnya belajar 10 hari di sekolah. Dalam masyarakat Gayo (etnik di Aceh), istilah dongeng disebut kekeberen. Kekeberen, satu dari sepuluh sastra lisan yang ada di sana, berakar dari kata keber yang berarti kabar, berita atau kisah. Tradisi ini dilakoni orang tua atau kakek-nenek kepada anak-anak dan cucu-cucunya sebelum tidur dan dilakukan pada malam hari. Dengan demikian, kekeberen dengan pelbagai bentuk, muatan, dan simbolnya merupakan penggambaran, pengabaran, dan pengisahan cerita tertentu baik yang terjadi pada masa lalu maupun yang terjadi sekarang. Misalnya, cerita tentang sejarah Gayo, kearifan lokal dan bertalian dengan kehidupan sosial masyarakat Gayo. Selain itu, sejak masuknya Islam ke daerah ini—Gayo dan Aceh, ceritanya pun banyak mengangkat prihal Islam: sejarah Islam, nabi-nabi, sahabat, dan lain-lain. Namun, ceritanya tetap mengandung pengajaran moral (moral teaching), pembangunan karakter, bagian dari pendidikan anak usia dini (PAUD), dan pendidikan informal tempo dulu. Sebagai akibatnya, anak-anak diharapkan dapat mengambil hikmah dan pelajaran penting dari kekeberen tersebut. Dalam arti, dapat membedakan salah-benar dan baik-buruk serta tahu nilai-nilai relijius dan sosio-kultural masyarakat setempat. Alhasil, mereka dapat menyikapi hidup dengan benar, baik, bijak, dan terarah. Lebih khusus, seperti kata Laura Numeroff, kekeberen dapat meningkatkan kecerdasan anak dalam menulis dan membaca. Kondisi Kekeberen Kekeberen sudah mulai berkurang dalam masyarakat Gayo. Bahkan, dapat dikatakan ‘sudah punah.’ Kalau pun ada, pelaku dan pendengarnya sudah sangat terbatas. Adanya di kampung-kampung (desa) yang tidak tersentuh budaya luar (terisolasi). Itu juga langka. Karena, tanoh Gayo merupakan daerah yang multietnik, budaya, dan multibahasa. Hampir semua sisi demografis di tanoh Gayo menunjukkan kemajemukan. Dari garis waktu, tradisi ini kemungkinan bertahan sampai tahun 1990-an. Saat ini, kekeberen sudah digantikan televisi—filem, video, game, atau komputer—dan internet—game online, facebook, twitter, dan lain-lain. Baik orang tua maupun anak-anak lebih memilih nonton televisi. Padahal, kalau tidak diawasi dan dibatasi, televisi akan berdampak negatif bagi tumbuh-kembang anak-anak. Selain itu, anak-anak disibukkan dengan pengerjaan tugas-tugas sekolah. Akibatnya, tak ada lagi kesempatan mendengarkan kekeberen. Di waktu yang tersisa, mereka langsung istirahat dan tidur Terputusnya Transmisi Budaya Disamping pengaruh media-teknologi-informasi—eksternal, khususnya televisi dan internet, perkawinan silang serta percampuran budaya, ‘punahnya’ kekeberen disebabkan karena makin berkurangnya pelakunya—internal. Pada umumnya, mereka sudah berusia lanjut. Jumlahnya pun sangat terbatas. Kemampuan orang tua yang sekarang juga kurang dalam ber-kekeberen. Selain itu, ceritanya tidak lagi mengangkat nilai-nilai relijius, moral, etika, sejarah Gayo, dan kearifan lokal. Namun, lebih diangkat dari televisi “tayangan sinetron dan gosip” yang nilai-nilai edukasinya cenderung kurang. Penyebab utama dari ketidak-berlangsungan kekeberen adalah akibat tidak berjalannya transmisi budaya dari generasi tua ke generasi yang muda. Sebagai akibatnya, generasi muda khususnya yang lahir tahun 1980-an sampai sekarang tidak tahu menahu prihal sejarah, sastra lisan—kekeberen salah satunya, adat istiadat, norma, dan kebudayaan setempat. Lebih dari itu, meski tidak semuanya, tapi anak-anak (generasi) sekarang kurang mempelajari warisan budaya Gayo. Sebab, tidak adanya motivasi, arahan, dan tidak terbentuknya lingkungan ke arah dimaksud. Salah satu asumsi yang salah dari orang tua selama ini adalah anak-anak akan mendapatkan pengalaman langsung dari interaksi budaya sehari-hari dari lingkungan sekitarnya. Selain itu, pengajaran budaya tidak perlu diajarkan secara formal dan secara informal. Di luar itu, masih kuatnya ‘dominasi’ tokoh tua (senioritas budaya) dimana yang muda kurang diikutsertakan. Konsekuensinya, putusnya transmisi budaya tidak bisa dielakkan. Pengetahuan dan pengalaman kebudayaan pun makin berjarak, sehingga generasi muda Gayo sekarang makin kabur dan gelap melihat realitas sejarah dan budayanya, khususnya kekeberen. Disamping itu, pendokumentasian Gayo, termasuk kekeberen juga masih kurang “miskin dokumentasi.” Selama ini, transmisi budaya hanya dilakukan secara lisan dengan frekuensi yang terbatas. Kelemahan metode ini, kurang bertahan lama. Saat pelakunya uzur, maka pengetahuan budaya Gayo ikut hilang. Apalagi, saat pelakunya meninggal, pengetahuan dan pengalaman budaya tadi ikut terkubur bersamaan dengan pelakunya. Kemudian, tradisi dan yang mau menulis terutama dari ‘generasi (orang) tua’ relatif masih kurang. Hal itu makin menambah rumitnya persoalan ini. Belakangan—akhir tahun 1970-an dan tahun 1980-an—sudah dilakukan pendokumentasian sastra lisan Gayo, termasuk kekeberen. Pun jumlahnya masih terbatas. Namun, dokumentasinya ‘tidak ada’ di Takengon dan di daerah Gayo lainnya (Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, Lokop/Serbejadi-Aceh Timur, Kalul-Aceh Tamiang, dan Lhok Gayo-Aceh Barat Daya). Kebalikannya, dokumentasi tadi “kekeberen” ada di luar Aceh, terutama di Medan, Jakarta (pulau Jawa), dan di luar negeri (Leiden dan Munich). Sayangnya lagi, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah “Pemerintah Gayo” kurang menggali, mendokumentasi, memelihara, dan melestarikan sejarah yang dimiliki suku ini. Singkatnya, dari sisi internal, kekeberen ‘tidak lagi’ diajarkan, dipelajari, dan dipraktikkan. Padahal, kekeberen dan sastra lisan Gayo lainnya berpotensi jadi sarana pembelajaran dan pemertahanan bahasa Gayo. Demikian halnya umumnya dengan kebudayaan Gayo. Kekeberen membuka ruang hidup, berkembang, dan dipakainya bahasa Gayo yang diprediksikan akan punah. Karena, bahasa perlu lingkungan untuk hidup. Juga, lingkungan yang senantiasa hijau, asri, dan terjaga. Dengan demikian, lingkungan ikut merumahi bahasa. Peran itulah yang dilakukan kekeberen. Kekeberen mengemban misi kebudayaan, yaitu mengenalkan dan mempertahankan budaya Gayo dengan segala muatan didalamnya, seperti nilai-nilai filsafat, sosio-kultural, relijius, ekologi, ekologi bahasa, dan lain-lain. Melihat kayanya nilai yang dikandungi kekeberen, sudah semestinya dilakukan upaya penyelamatan dari semua pihak, khususnya yang ada di tanoh Gayo, yaitu dengan menggali dan mengumpulkan kembali, mengajarkan serta melestarikannya. Juga, dikemas dalam bentuk yang lebih modern, dalam bentuk cerita dan komik bergambar, audio, visual, dan digital. Kalau tidak, kekeberen yang merupakan cerita sebelum tidur “dongeng” akan berakhir pula dengan cerita (kekeberen) saat ini dan pada masa-masa mendatang. *Founder/Ketua Research Center for Gayo Sumber: KORAN BUDAYA SEULAWAH Edisi 02 Minggu 11 Juli 2012 Halaman 21