Sabtu, 07 Agustus 2010

Smong, Kearifan Ekologi Simeulue

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni
Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah

24 Jul 2010
Hiburan
Media Indonesia


foto: http://qiblati.com/fajar-di-pulau-simeulue.html

Sudah saatnya khazanah lokal digunakan untuk memahami fenomena alam di Tanah Air sebagai hasil budaya yang tidak membuat asing masyarakatnya.

TIDAK banyak yang tahu, apa itu smong? Smong adalah gelombang pasang yang besar seperti halnya tsunami. Pada 1907, smong pernah terjadi di Pulau Simeulue; Provinsi Aceh. Namun, istilah tsunami lebih akrab di telinga masyarakat.Jika mendengar kata tsunami, ingatan kita langsung tertuju ke Aceh. Pada saat smong terjadi, tepatnya pada Jumat, 14 Januari 1907, banyak masyarakat berada di Salur untuk menunaikan ibadah salat Jumat.

Setelah salat Jumat, terjadi gempa sangat kuat. Tak lama kemudian, air laut surut dan masyarakat dengan leluasa mengambil kawanan ikan yang meng-gelepar-gelepar. Dalam hitungan menit, air yang surut kembali dalam wujud gelombang besar. Ia menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya.

Lain masyarakat Banda (Aceh) dengan orang Simeulue yang tidak bisa dilepaskan dari rangkaian sejarah terjadinya smong. Smong senantiasa membekas dalam ingatan masyarakat Simeulue. Pengalaman pahit itu (1907) secara turun-temurun dialihlisankan kepada generasi Simeulue dalam bentuk nafi-nafi.Nafi-nnfi merupakan sastra lisan sekaligus kearifan lokal yang dimiliki orang Simeulue. Smong menjadi tema yang kerap diangkat di dalamnya. Akibatnya, pada saat smong (tsunami) terjadi di Aceh pada 27 Desember 2004, tidak banyak korban yang berjatuhan di Simeulue.

Kekuatan smong

Betapa kuatnya pengaruh smong pada masyarakat ini. Persoalan smong ini akan lebih menarik lagi saat dikaji dan didekati melalui kajian ekologi bahasa/eko-linguistik. Dari per-spektif ekolinguistik, bertahannya suatu bahasa (istilah smong) bergantung pada sejauh mana penuturnya memelajari, memakai, dan mentransmisikan bahasa tersebut (Haugen, 1972).Poin yang ditekankan Haugen, menempatkan smong selalu hidup dalam ruang kehidupan sosial masyarakat Simeulue. Ekologi bahasa mengkaji hubungan/ pengaruh timbal balik antara ekologi dan linguistik (ilmu kebahasaan).

Sapir dalam Fill and Muhlhausler (eds) (20012) mengungkapkan khazanah kosakata dan ungkapan-ungkapan metaforis yang kaya dan lengkap mencerminkan dan merefleksikan perbendaharaan pengetahuan komunitas penutur tentang lingkungan ragawi, sosial, gagasan kolektif, karakter lingkungan hidup, dan kebudayaan para pemilik bahasa itu.

Jika dilihat dari analisis wacana ekokri-tis, ada lima hal yang dikandungi smong, pertama menyangkut pengertian; kedua,karakter atau ciri-ciri; ketiga proses/ daya rusak. Selanjutnya langkah antisipatif warga; dan dampak yang ditimbulkan smong baik secara fisik maupun psikis.Saat smong kedua terjadi pada 27 .Desember 2004 yang lalu, ma-syarakat Simeulue serta-merta berlarian ke tempat yang lebih tinggi. Gempa, surutnya air laut, dan dalam hitungan detik, diikuti dengan gelombang pasang merupakan tanda-tanda yang menyaratkan mereka untuk menyelamatkan diri.

Sebagai akibatnya, korban di tempat itu sangat minim jika dibandingkan dengan titik-titik smong lainnya di Aceh, ditambah negara lain. Smong menggambarkan jiwa yang memuat pengetahuansosioekologis-historis-kultural masyarakat Simeulue terkait dengan manajemen dan risiko bencana. Sayang-n y a , s in ong tidak keluar dari Simeulue. Bahkan, di Aceh, kearifan lokal tersebut kurang dan mungkin tidak dikenal. Kalaulah masyarakat Aceh/ sebagian daerah yang menjadi amukan tsunami mengenal smong, mungkin korban jiwa tidak sampai 236.116 jiwa (Aceh Magazine, Edisi I September 2005).

Menggugat tsunami

Dalam proses menyerap kata-kata asing, penyerapan dilakukan setelah rujukan yang sama tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Dengan adanya istilah smong yang bermakna sama dengan tsunami, kini, sudah saatnya istilah smong dipakai dalam bahasa Indonesia. Tidak sebatas memakai istilah itu, tetapi mengenalkan pula kearifan-kearifan ekologis yang dikandungnya. Momen tsunami dan setelahnya merupakan kesempatan memperkenalkan khazanah kekayaan bahasa Indonesia melalui smong ke dunia.

Langkah itu merupakan salah satu upaya membesarkan dan memarta-batkanbahasa Indonesia. Selaku rakyat Indonesia, pastinya, ada kebanggaan tersendiri saat bahasanya mendunia. Saat yang bersamaan, bahasa daerah, yaitu bahasa dan kearifan lokal masyarakat Simeu-lue, turut dihargai. Di sisi Ulin, dengan memperluas pengenalan smong, kearifan ekologis itu telah turut serta dalam manajemen bencana yang terhitung murah, mudah, efektif, dan efisien.Seharusnya selain dengan penuturan lisan, bisa dilakukan upaya penulisan dan penelitian lanjutan dari sudut pandang yang berbeda, mungkin difilmkan. Untuk yang terakhir, yang menikmatinya akan merasakan langsung dan senantiasa mengingat peristiwa smong. Lebih jauh lagi, mereka akan mendapat pelajaran yang berharga dari smong.

Bertalian dengan bahasan itu, belakangan ini, muncul sebuah gejala meminggirkan bahasa Indonesia. Dalam penyerapan, bahasa asing lebih didahulukan ketimbang penelurusan dalam bahasa daerah.Padahal, Indonesia memiliki laboratorium bahasa yang lengkap di dunia. Sayangnya, potensi kebahasaan tersebut masih belum terjamah. Potensi kebahasaan tersebut malah sebagian berada pada titik kritis menuju ambang kepunahan.

Dengan pengertian lain, yaitu bangsa yang kehilangan jati diri, kepribadian, karakter, dan arah tujuannya. Lebih jauh lagi, bangsa ini semakin mengabaikan keluhuran ketimurannya, dan menerima sesuatu yang datang dari luar terutama dari Barat.Tentu, nasibnya akan lebih memprihatinkan dan tragis lagi. Smong dengan segala kearifannya menjadi saksi ke-tragisan tersebut. Padahal, warisan kebahasaan di negeri ini, dan bahasa Simeule, salah satu dengan smo?i£-nya, mengandung kekayaan dan menjadi identitas khas yang mencirikan keadiluhungan Indonesia di mata dunia. (M-l)


Sumber: http://bataviase.co.id/node/309975 (diakses 07 Agustus 2010)