Senin, 20 April 2009

OEP 2002

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni*


Tempat ini
Membawa ku
Melayang
Pergi jauh
Mengenang
Saat ku kemari
Saat itu
Jejalanan
Bangunan
Pepohonan
Gegunungan kokoh
Tanah
Rumput hijau
Batu cadas
Embun kelabu
Mentari
Bersembunyi di balik awan
Tak bersinar seperti biasa
Meyaksikan kami
Wajah-wajah sedih
Takut,
Dengan simpul senyum yang berat
Pengakuan terpaksa
Mengiringi hari-hari itu
Wajah-wajah itu
Hadir
Semakin jelas
Saat ku melintasi tempat itu
Ku dibawa kembali
Dengan riuh tawa
Lisan yang sombong
Ejekan
Makian
Cercaan
Tak peduli
Yang penting Engkau senang
Melepas semua
Memuaskan keinginan
Jemarimu angkuh
Menunjuk siapa saja
Menyaksikan kami
Seolah bersalah
Hina
Tak layak jadi manusia
Tengah malam
Gelap gulita
Menyisakan suara alam
Dan suara-suara yang menyeramkan
Sesak
Dengan degup kencang
Ketakutan membayangi
Wajah-wajah bengis
Beringas
Dan seram
Terus menghantui
Sampai terkapar
Seolah tak bernyawa
Panik
Takut
Tak tahu
Harus berbuat apa
Pagi damai berselimut duka
Datang
Menyapa tubuh lelah
Angin berhembus
Menyejukkan semua
Belum lagi bernapas
Namun sudah tersentak
Dibawa
Dipaksa dengan kejam
Dengan mata terpejam
Tertutup
Hanya pasrah
Menerima
Dan berdoa
Selamatkan kami Tuhan
Air dingin
Membasahi tubuh-tubuh
Yang tak kuasa
Menggigil
Mengusik lamunan
Kebersamaan
Dan kehangatan
Yang tersisa
Hanya ikatan jemari
Tolong
Jangan lepaskan aku
Kuatkan aku
Ku mohon
Dan jalani semua
Air mata
Mengalir
Dan jatuh
Meresap di celah
Di celah-celah pasir yang dingin
Yang mengharap kehangatan
Dari mentari
Di balik gegunungan
Air bening kembali tumpah
Terus mengalir
Jatuh
Dan jatuh
Mengisi ruang
Bebatuan terjal
Tanah
Pasir
Mengikuti garis alam
Dan bermuara
Ke titik yang luas
Mata bening
Tak kuasa
Menyaksikan
Tubuh-tubuh kedinginan
Menggigil
Menggetarkan gigi
Dan seluruh tubuh
Di tengah air
Gemericik air menghempas tubuh
Yang tak lagi kuat
Kaki
Tak lagi berpijak
Berusaha mencari pijakan
Untuk mengokohkan diri
Suara keras mengisi ruang
Memecah sepi
Mengalahkan riak
Deru angin
Tertawa puas
Melihat wajah-wajah lugu
Dengan mata sayu
Air bening tumpah
Bersatu
Di hening air yang luas
Sementara
Mata berbinar
Menyaksikan
Tertuju pada
Tubuh-tubuh mungil
Menggigil
Membuat Engkau lupa
Engkau ingin terus
Dan terus
Sesukamu
Sampai Engkau puas
Tertawa
Di tengah asa
Air mata
Dan jiwa yang semakin kering
Hentikan semua ini
Ingin rasanya
Meronta
Menolak
Berontak
Namun
Mulut terkunci
Tak mampu bicara
Jemari
Tak kuasa bergerak
Kaki
Tak lagi melangkah
Yang ada
Hanya kebeningan
Kebodohan
Kekonyolan
Menerima
Dan pasrah
Menyaksikan
Mendengar
Merasa
Dengan hati yang miris
Jiwa yang kerdil
Walau
Ingatan mulai membeku
Namun berusaha merekam
Mencatat kisah
Kepedihan
Kenangan pahit
Hari kelam
Yang senantiasa membekas
Dalam ingatan ku
Dan kami yang menjadi saksi
Saat itu


*Danau Toba Parapat, 18 April 2009 (15.00)

Selasa, 07 April 2009

“Penjualan Aset Panti Asuhan Budi Luhur” Mengabaikan “Suara?”

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)


Buat bang Wan Win Nur dan ama Muchtaruddin Gayo, MBA, ingin saya sampaikan bahwa ‘semua pihak’ yang ada di tanoh Gayo terutama di kabupaten Aceh Tengah dan kabupaten Bener Meriah prihatin dan sedih prihal ‘penjualan’ tanah Panti Asuhan Budi Luhur. Kalau dikatakan ‘masyarakat kita’ kurang peduli, pernyataan tersebut kurang bijak rasanya. Karena kepedulian tersebut muncul setelah ‘kita’ melihat, mendengar, dan merasakan langsung persoasalan yang dihadapi. Dalam hal ini, ‘masyarakat’ yang ada di Takengon belum mengetahui dan merasakan masalah ini. Terlebih lyang saya dengar di seputar panti tidak tahu mengenai ‘penjualan’ tanah panti tersebut. Jadi, informasi ‘penjualan’ panti ini terkesan sangat tertutup, tidak disosialisasikan lebih awal, diminta masukan dan feed back dari masyarakat terutama penghuni, pengelola dan alumni panti. Wajar saja bila kita terlbih alumni panti menaruh curiga kepada ‘pihak-pihak’ yang ‘menjual tanah’ tersebut.

Saya juga dulu, tahun 1996-1999 sering bermain-main ke Panti Asuhan Budi Luhur meski bukan sebagai anak panti. Karena saya punya beberapa teman yang dari panti di SLTP Negeri 2 Bebesen (sekarang SMP Negeri 10 Takengon), antara lain: Anwar Sadar, Mahdi Fitra, Syah Purnama dan Syarifuddin, dan barangkali masih ada yang lain. Kebetulan saya dekat dengan mereka. Saya tidak tahu persis, dimana mereka sekarang? Saya berharap, mereka juga ‘berpendidikan tinggi’ sehingga bisa berbuat lebih terutama ‘saat-saat seperti ini’ ‘mereka, siapa pun cukup dibutuhkan’. Selanjutnya, mereka sering membantu orang tua saya terutama pada hari Minggu di kebun yang ada di Daling, kec. Bebesen ‘mulelang, nebes dan nangkuh kupi’. Kini, kenangan tersebut sudah tertimbun dengan tanah. Kebun itu kini sudah tertutup longsor, 9 Desember 2007, saat saya kembali dari Malang, Jawa Timur. Terakhir saya ketemu dengan Syarifuddin di Pertamina, dia kerja disana, tahun 2008 yang lalu. Ketika ditanya, dimana Anwar Sadar, Mahdi Fitra dan Syahpurnama, Saref (panggilan Syarifuddin) juga putus komunikasi dengan mereka.

Dari kebun Daling, biasaya kami mandi bersama di Tamak Pejebe, irigasi yang ada dekat Koramil kec. Bebesen (sekarang kampus Empus Talu). Kami pun lomba renang, tak ubahnya seperti atlet renang yang lain. Di tamak Pejebe ini pula riwayat saya hampir tamat. Saya hampir tenggelam karena kecapean terlebih kerja ‘mulelang’ dari pagi sampe sore di kebun. Begitu kami melompat ke tamak, saya pun berada paling depan. Namun, saat kembali, mereka lebih dulu menyentuh bangunan irigasi, saya tertinggal jauh (kalah), yang kelihatan hanya tangan saya yang mengharap pertolongan. Awalnya, mereka ketawa melihat tangan saya tertinggal di atas dengan sesekali kepala umcul ke atas. Mereka ‘Anwar Sadar, Mahdi Fitra dan Syapurnama’ mengira kalau saya main-main. Terakhir, mereka pun menceburkan diri lagi, menolong dan ‘memapah’ saya keluar dari ‘kolam renang’ tersebut (terima kasih sahabat dan saudaraku). Di atas jalan menuju kampung Empus Talu (sekarang), tepatnya di bagian irigasi tadi, kami tertawa lepas, “hahaha,” memecah kesepian mengenang peristiwa yang baru saja terjadi, sebelum suara azan magrib berkumandang. Saya berharap, suatu saat nanti ‘kami’ bisa reuni lagi, paling tidak ‘berenang bersama lagi’. Begitu juga halnya, dengan alumni SLTP Negeri 2 Bebesen. Minimal, saya bisa berkomunikasi dan berbicara langsung via HP dengan keempat sahabat saya tersebut.

Di mata saya, ‘mereka’ anak panti punya kepekaan sosial dan empati yang cukup tinggi, punya skill, suka menolong, setia dan berkarakter kuat. Hal tersebut, bisa dilihat pada teman-teman saya ketika itu. Diantara mereka berempat. Saya sangat dekat dengan Mahdi Fitra. Terlebih, garis keturunan dari pihak ‘pedeh’ kita sama, sama-sama berasal dari Isaq (salah satu kerajaan Islam di tanoh Gayo). Tentu, bentukan dan akumulasi karakater tersebut tidak terlepas dari pola asah dan asuh yang berlaku di panti tersebut. Wujud karakter tersebut, bisa saya lihat di sekolah (STLP Negeri 2 Bebesen), Panti Asuhan Budi Luhur, dan di rumah saya ‘saat kami berkumpul dan belajar bersama.’

Pada tanggal 27 Maret 2009 – 4 April 2009, orang tua saya datang ke Medan. Saya sempat menanyakan mengenai isu yang sedang berkembang di Takengon terutama masalah panti tadi. Orang tua saya tadi tidak tahu prihal ‘penjualan’ tersebut. Yang diketahui hanya pembangunan dan peresmian gedung baru. Kemasan dan peresmian bangunan megah tersebut ternyata menutupi danmengalahkan isu ‘penjualan tanah panti tadi.’ Tidak menutup kemungkinan, masyarakat yang ada di Takengon juga hanya mengetahui sebatas pembangunan dan peresmian panti seperti halnya orang tua saya tadi. Disinilah kita menaruh kecurigaan. Memunculkan banyak pertanyaan dan asumsi. Pertama, kenapa masyarakat kita sampai tidak mengetahui masalah ‘penjualan tersebut’? Hal ini tidak terlepas dari kurangnya penyebaran informasi. Jangankan masyarakat Takengon secara keseluruhan, rayat, masyarakat seputar panti saja mungkin tidak tahu. Ini hal yang aneh, ‘semacam ada kesengajaan dan pembiaran.’ Salah satu pihak yang berperan dalam penyebaran informasi ini adalah pers yang ada di ‘negeri yang penuh misteri’ ini. Dari sekian banyak media di Takengon yang saya ikuti, hanya dua media yang berani memuat pemberitaan masalah ini; www.gayolinge.com dan the globe journal.

Di sisi lain, media ini hanya dibaca oleh peselancar di internet. Dengan kata lain, pembacanya cukup terbatas ‘orang-orang yang aktif berinternet’. Lebih-lebih di Takengon, ketersediaan, minat dan frekuensi berinternet masih kecil ‘hanya seputar kota Takengon’. Pun kalau ada pemberitaan melalui Humas Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Majalah Teganing ditambah situs (milik Pemkab), tentu pemberitaannya hanya menyinggung soal keberhasilan pemerintah kabupaten. Konon lagi, yang saya dengar, pers di negeri Adi Genali ini kerap menerima ‘amplop’ dari pemerintah, pejabat dan politisi lokal. Apakah hal itu benar? Perlu penelitian dan pembuktian lebih lanjut. Tapi, dari dari pemberitaan yang ada, kalau yang muncul hanya sisi positifnya saja, rasanya pemberitaan tersebut kurang berimbang dan objektif?

‘Masyarakat kita’ juga cenderung pasif dalam mengkristisi proses pembangunan yang berjalan ‘kehilangan daya kritis’. Dalam perencanaan awal, proses, monitoring dan evaluasi mereka sering tidak dilibatkan. Kadangkala, walau sudah mengkebiri hak dan mengorbankan mereka, itu tidak menjadi soal buat mereka, yang penting ‘keriliken gere mupengkil’, bisa makan dan hidup buat besok. Begitulah pola pikir, sikap dan tindak sehari-hari ‘masyarakat kita’. Hal tersebut tidak terlepas dari lingkungan yang terbentuk, ada sub-sistem sosial yang tidak berjalan, kurangnya minat baca, pencarian dan penyebaran informasi yang terjadi. Sudah barang tentu, pola pikir seperti ini harus diubah, dengan pola pikir yang kritis,cerdas, bijak dan mengedepankan nurani.

Pihak yang lain yang cukup berperan dalam hal penyebaran informasi dan pencerdasan masyarakat adalah pendidikan tinggi dengan mahasiswanya. Di Takengon saat ini, paling tidak ada tiga pendidikan tinggi yaitu Universitas Gajah Putih, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih, dan Sekolah Tinggi Muhammadiyah (Ilmu Hukum ditambah Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Dalam peran dan kapasitasnya, pendidikan tinggi tadi mengkaji dan memberikan pertimbangan kritis terkait ‘penjulan aset panti tersebut’. Mahasiswa sendiri sebagai bagian dari kampus yang harusnya beperan sebagai agent of change dan social control, dalam kasus ini, kurang berjalan. Saya tidak tahu persis, apakah mereka tidak tahu persoalan ini. Tapi mustahil, mahasiswa bisa luput dari isu ini. Namun, yang saya lihat, mahasiswa Takengon (yang kuliah di Takengon dan yang kuliah di luar) juga kadang terkotak-kotak dengan beragama kepentingan. Cenderung diam ‘daya kritis dan idealisme mereka tergadaikan’ dengan sebab dan ‘faktor pendukung tertentu’. Masih banyak lagi sub-sistem sosial lain yang tidak berjalan seperti tengku (MUI), lembaga kepemudaan, LSM, lembaga adat, dan lain-lain. Minimal, mereka mempertanyakan dan menuntut penjelasan proses ‘penjualan’ tersebut.

Kedua, pun harus ada transaksi penjualan untuk penyertaan modal di BPD Aceh. Yang menjadi pertanyaan, kenapa harus ‘Panti Asuhan Budi Luhur’ yang dijual? Mungkin, salah satu alasannya adalah ke-strategis-an tempat ini. Menurut hemat saya, masih banyak tempat yang lebih strategis dibanding panti ini. Misalnya saja, Dinas Koperasi, Perdagangan, Perindustrian dan Sumber Daya Mineral atau tempat lain yang merupakan aset pemkab. Selain dekat, bila ini yang ‘dijual,’ bisa jadi lebih mahal, tidak terlalu bermasalah dan tidak memunculkan tanggapan dan asumsi yang berlebihan. Bila alternatif di atas yang dilepas ‘kantor pemerintahan’ harganya pun bisa lebih tinggi. Akibatnya, dana penyertaan pemkab pun semakin besar.

Pun, kalau bangunan panti ini mengganggu pembangunan jangka panjang Takengon masa depan, terkait tata ruang kota terutama jalan utama misalnya, yang pada akhirnya harus ‘dilepaskan’ ke pihak lain, di sinilah proses sosialisasi tadi diperlukan dengan pelibatan semua pihak terutama pihak panti. Kalau semuanya dilalui dengan proses sosialisasi dan musyawarah yang adil, bijak dan partisipatif, tentu tidak akan menyisakan masalah. Namun, yang kedua ini, tidak terlalu menjadi persoalan. Bagaimana pun, pertimbangan ‘sejarah dan jati diri’ juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah kabupaten. Saya lihat, pertimbangan ini masih jauh dari harapan. Banyak sekali bangunan-bangunan lama yang kini sudah digantikan dengan bangunan baru. Padahal, itu masa lalu kita, yang dengan masa lalu, kita ada sekarang, begitu juga dengan panti ini. Sudah barang tentu, menjadi kewajiban kita terutama pemerintah kabupaten untuk mempertahanan dan mengurus apa pun yang menyangkut panti ini.

Pertanyaan lain, kenapa pemkab harus menyertakan modal-nya di BPD Aceh Cabang Takengon? Bagaimana mekanisme dan keterbukaan pengelolaan penyertaan keuangan ini kepada publik? Apakah tidak ada jalan lain yang bisa diupayakan dalam peningkatan modal dan PAD? Sebaliknya, kalau sekiranya pemkab tidak turut serta dalam penyertaan modal di bank ini, apakah akan berpengaruh signifikan terhadap stabilitas keamanan, sosial dan ekonomi Takengon baik secara mikro maupun secara makro? Yang pada akhirnya, kenapa sampai harus ‘melepas’ panti ini? Yang pasti, penyertaan modal ini merupakan sebuah kebijakan yang baik dan positif bagi perkembangan perekonomian Takengon. Namun, program dan kebijakan yang baik tidak selamanya menghasilkan hal dan berdampak baik bila prosesnya ‘kurang baik’. Dalam arti, tingkat analisis, sosialisasi, pelibatan masyarakat (yang berhubungan dengan panti), monitoring dan evaluasi cukup kurang.

Merunut kembali persoalan ini, ada tiga pihak utama yang bertanggung jawab prihal penjualan ini. Pertama, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Aceh Tengah yang kini dipimpin oleh Drs. Tengku Albar. Dinas ini berhubungan langsung dan bertanggung jawan penuh terhadap kelangsungan panti ini. Seperti pertanyaan sebelumnya, kenapa dinas menjatuhkan pilihannya pada Panti Asuhan Budi Luhur pun kalau harus panti yang ‘dijual’? Padahal, masih banyak ‘panti’ di Aceh Tengah, yang mungkin tempatnya lebih strategis lagi dari Panti Asuhan Budi Luhur dan lebih dekat ke BPD Aceh Cabang Takengon (kantor yang sekarang). Terlepas, adanya bangunan baru dan apa yang tengah diupayakan oleh dinas dan pemkab, ini persoalan lain yang harus dipisahkan dengan soal ‘penjualan’ tanah panti tadi. Dalam hal ini, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Aceh Tengah harus professional dalam mengklasifikasi ‘membeda & memilah’ dan menganalisis kedua persoalan di atas. Yang lebih aneh lagi, Kepala Unit Pelayanan Teknis Panti Asuhan Budi Luhur yaitu Ali Husin, S.Ag tidak tahu persis dan tidak pernah diajak bicara atau bermusyawarah oleh atasanya, dalam hal ini Drs. Tengku Albar (baca ANTARA PEDULI DAN UPETI, KONTROVERSI “PENJUALAN ASET PANTI ASUHAN BUDI LUHUR” www.gayolinge.com). Apakah pengakuan dari kepala UPT PABL tersebut benar atau sebaliknya? Kita tidak tahu pasti. Tapi, kedengaran sangat janggal. Logikanya, selaku penghuni rumah, mustahil sekali kita tidak tahu, orang luar yang datang dan apa yang direncanakan dan yang akan dibangun di rumah kita?

Kedua, sudah barang tentu, pemerintah kabupaten Aceh Tengah, yang dalam hal ini diwakili oleh Ir. H. Nasaruddin, M.M. Bupati Aceh Tengah, selaku reje, merupakan pemutus akhir dalam hal ‘penjualan aset panti’ ini. Selaku bagian dari masyarakat, kita mendudukung apa pun yang direncanakan dan dilakukan oleh pemerintah kabupaten sepanjang untuk kemaslahatan rayat dan tanoh tembuni ‘dirasakan kebermanfaatannya’. Pertanyaan, kenapa harus aset panti ini yang ‘dijual’? kembali muncul terlebih lagi ada bangunan masjid waqaf di dalamnya. Yang penting lagi, panti ini mencatatkan sejarah dalam Museum Rekor Tanoh Gayo yang telah banyak berbuat untuk anak yatim piatu di tanoh Gayo (tidak sebatas Takengon, tapi juga dari Gayo Lues, Bener Meriah dan daerah lain). Selain itu, tanah yang ada sejak tahun 1948 tersebut merupakan harta agama atau baitul mal. Dengan begitu, perlu dipertahankan aset sejarah dan bentuk aslinya. Lebih dari itu, panti ini akan sangat sempit nantinya, bila ‘dilepas seluas +/- 5000 meter, yang mana lahan panti ini tinggal 4000 meter (70% untuk bangunan/2800 meter dan sisanya, 1200 M untuk perkarangan).

Ketiga, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten. Setelah diperoleh kesepakatan dalam hal ‘penjualan’ aset panti ini di tingkat eksekutif, akhirnya akan disetujui dan ditetapkan oleh legislatif (DPRK). Seperti halnya eksekutif, kenapa legislatif sampai menyetujui dan mengesahkan ‘penjualan aset’ ini? Apakah mereka juga tidak mengkaji secara dini dan menyeluruh masalah ini, cross check ke pihak panti ‘penghuni, pengelola dan alumni panti’ ini? Atau ada bargaining tersendiri dibalik ‘penjualan’ tadi? Kita, tidak tahu pasti dibalik proses pengesahan ini. Dari kasus ini, menjadi pertimbangan penuh bagi kita ‘pemilih atau rayat yang mendiami daerah ini,’ ke depannya, untuk memiliki ‘yang dipilih’ yang sungguh-sungguh memiliki kepekaan dan kesensitifan sosial yang tinggi, yang ‘benar-benar melihat,’ ‘mendengar,’ ‘merasa dan bernurani’ terlebih tanggal 9 April 2009 ini, kita akan memilih wakil kita di DPR dan DPD. Dengan demikian, yang terpilih akan berjuang untuk kita ‘rayat dan tanoh tembuni.’ Bukan sebaliknya, berjuang untuk diri, rasa,kedekatan dan lingkup ‘kekitaan dan dengan sekat yang terbatas.’

Melalui tulisan, diharapkan kepada ketiga pelaku utama di atas untuk dapat mengkaji kembali ‘prihal pelepasan aset tersebut’ dengan mencari lokasi yang lebih strategis lagi. Dengan demikian, ‘aliran sejarah dan amal’ pengamal pada panti ini tetap berjalan sebagaimana mestinya dan sampai waktu yang ditentukan. Pun ‘aliran sejarah’ panti ini hilang dengan ‘penjualan aset panti ini,’ tapi tidak ada yang mampu menghilangkan sejarah dari pelaku dan yang pernah tinggal di panti tersebut.

Inengku

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Majalah Bulanan Lentayon Negeri Seribu Bukit Edisi IV Thn III 2009)


Ketika ku hadir menangis
Engkau tersenyum haru
Ketika ku dahaga
Engkau beri aku air kehidupan
Saat ku lapar
Engkau beri aku makanan terbaik yang pernah ada
Ketika aku kedinginan
Engkau dekap aku dengan kehangatan cintamu
Ketika ku resah
Engkau selalu bersamaku
Ketika ku ketawa
Engkau tersenyum bahagia
Ketika mentari menyentuh tubuhku
Engkau selimuti diriku dengan upuh panyang itu

Ketika ku tumbuh
Engkau bentuk jiwaku
Ketika ku berjalan dan jatuh
Engkau peluk erat diriku dengan tetesan ari matamu
Ketika aku tidak tahu
Engkau ajarkan aku pelajaran hidup sehingga aku tahu arti sebuah kehidupan
Ketika pagi datang
Engkau berkata, ”wet-wet, semiang-semiang”
Ketika hari berganti
Engkau senantiasa mengingatkan, ”semiang, ngaji, nye belejer”
Ketika semangat ku hampa
Engkau datang dan berkata, ”anak ku, kamu bisa”...

Ketika kami ingin sesuatu
Engkau daki gunung-gunung itu
Ketika kami ingin sesuatu
Engkau tuai padi-padi itu
Ketika kami ingin sesuatu
Engkau jajakan hasil keringatmu di tengah gelapnya pagi
Semata agar kami bisa tersenyum

Ketika ku jauh darimu
Bibirmu kerap berucap, ”lindungi anak ku ya Tuhan”
Ketika engkau teringat padaku
Engkau bersimpuh dihadap-Nya dan berdoa penuh harap
”Berilah kesehatan, kemudahan dan pertolongan-Mu pada anak ku”

Ine...aku rindu kehangatan mu
Ine...aku rindu belaian kasih sayang mu
Ine..aku ingin bersimpuh di kaki mu

Dalam kesendirianku, ku terus mengingat petuahmu
“Gelah kemel anak ku,”
“Gelah i desi untungmu...bayak bajungku,”
“Gelah makal mas pirak ku”
“Karena kam daling pelongenku.”

Ya Tuhan...
Berilah hal yang terbaik bagi ama inengku...dan kami



*Malang, 2 Agustus 2007 (11.30-00.00)

Siapakah Aku?

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Majalah Bulanan Lentayon Negeri Seribu Bukit Edisi IV Thn III 2009)



Aku tahu
Namun, aku hanya mengetahui kekurangan orang lain

Aku bisa merasakan
Namun, ku tak pernah peduli terhadap orang lain

Aku mendengar
Namun, keluh kesah orang lain selalu ku abaikan

Aku melihat
Namun, ku kerap menutup mata terhadap sekelilingku

Aku berpetuah
Namun, lisanku kerap meyakitkan orang lain

Aku sadar
Namun, ku tak pernah menyadari diriku

Aku berpijak
Namun, ku berdiri di atas pijakan yang rapuh

Aku kerap mengulurkan tangan
Namun, ku senantiasa menanti uluran tangan orang lain

Aku menghargai orang
Namun, ku kerap merendahkan orang lain

Sebenarnya,
Siapakah aku?



*Takengon, 2 Febuari 2008 (17.00)

Tidak Kah Kita Sadar?

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni*
(Majalah Bulanan Lentayon Suara Negeri Seribu Bukit Edisi V Thn III 2009)



Tidak-kah kita sadar?
Kita mengaku pewaris negeri ini
Tapi kita memberangus warisan terdahulu
Kita mengaku sebagai anak negeri
Tapi kita tak tahu apa-apa

Tidak-kah kita sadar?
Kita juga punya masa lalu
Tapi kita tak pernah menelususi-nya
Masa lalu kita hilang
Tapi kita membiarkannya

Tidak-kah kita sadar?
Kita punya cerita masa lalu
Tapi masih dalam suhuf-suhuf yang tersebar
Kita punya kekeberen
Terakhir, semua berakhir jadi kekeberen

Tidak-kah kita sadar?
Kita tahu kekurangan kita
Tapi kita tak pernah mau belajar
Kita punya kelebihan
Tapi kita asik bergelimang di dalamnya

Kita tahu
Tapi tak tahu
Karena memang kita tak mau tahu

Kita punya hati
Tapi tak bernurani
Karena memang kita tak punya nurani


* Takengon, 8 Maret 2008 (15.58)

Sirine Yang Menyusahkan

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni*
Majalah Bulanan Lentayon Suara Negeri Seribu Bukit Edisi V Thn III 2009


Di tengah jalan yang sesak
Perlahan dan merayap
Terlihat muka-muka capai
Harusnya engkau juga bersabar
Ikut merasakan penatnya jalan ini

Namun..sirine mu pun engkau bunyikan
Membuat yang lain takut tak menentu
Mereka pun terdesak ke tepi
Lebih baik mengalah, pikirnya
Daripada dibesarkan, yang berujung tiada arti

Aku bertanya, dalam hatiku
Penguasa mana gerangan yang lewat?
Sampai harus mengkebiri hak khalayak

Engkau bukanlah seorang pengayom
Engkau bukanlah penertib jalan
Engkau bukan pula tempat mengadu

Sebaliknya
Engkau pembuat masalah
Hal buruk pula yang engkau contohkan
Tiada arti bila kami mengadu padamu
Bukan simpati yang kau tebarkan
Namun kekerdilan jiwa
Tanpa martabat dan harga diri
Itulah yang engkau tampilkan



*Malang, 22 September 2007 (11.00)

Menentukan Pilihan

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Majalah Lentayon Suara Negeri Seribu Bukit, Edisi V Thn III 2009)



Tak lama lagi, pelajar SMA di daerah ini, kabupaten Gayo Lues akan menghadapi ujian akhir nasional (UAN). Selanjutnya, diantara mereka ada yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi baik di Aceh maupun di luar Aceh. Yang menjadi persoalan, sudahkah mereka mengetahui jurusan dan perguruan tinggi yang akan mereka ambil? Ada dua kemungkinan jawaban dari pertanyaan ini, kemungkinan pertama sudah ada yang mengetahui, kedua sebaliknya. Persoalan ini tidak semata menyangkut perguruan tinggi dan jurusan. Lebih dari itu, perlu pertimbangan-pertimbangan lain yang selama ini luput dari perhatian terutama pelajar kita.

Selama ini, banyak pelajar yang berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam tidak mengetahui pilihan dan perguruan tinggi yang akan mereka masuki. Fenomena ini, penulis amati sejak tahun 2002 sampai sekarang. Mereka tidak mengetahui alasan dan motivasi mengambil jurusan pilihan mereka. Kebanyakan dari mereka lebih mengambil jurusan tertentu karena faktor ikut-ikutan. Selain itu, biasanya mereka mengikuti kemauan orang tua. Misalnya, orang tua memaksaksakan anaknya harus mengambil jurusan kedokteran. Anak tadi hanya menuruti kemauan orang tua mereka. Padahal, kualitas dan kemampuan mereka sangat jauh dari harapan, tapi tetap juga dipaksanakan. Begitu juga untuk jurusan dan kasus lain yang kerap terjadi pada pelajar atau mahasiswa kita di perantauan.

Yang terjadi kemudian adalah drop out (putus kuliah) atau pindah ke jurusan lain. Untuk yang terakhir, biasanya dari S-1 ke D-3 untuk menghindari drop out tadi. Kalau hal ini yang terjadi, pelajar yang bersangkutan akan dirugikan dari sisi waktu, energi dan pemikiran. Yang paling merasakan dampak ini adalah orang tua yang pelajar tadi; kekecewaan, malu, stress, terlebih lagi finansial yang telah dikeluarkan.

Saat masih di SMA, penulis juga melihat sebuah kecenderungan, pelajar dari daerah kita lebih diarahkan ke jurusan IPA. Padahal, belum tentu bakat, minat, kemampuan, kualitas, arah dan rencana ke depan pelajar tadi sesuai dengan jurusan yang diambil. Kemungkinan, hal yang kurang bijak ini masih berlangsung sampai sekarang. Tidak sebatas di sekolah, hal ini juga terjadi di keluarga. Orang tua juga cenderung memaksanakan kehendak agar anaknya mengambil jurusan IPA. Dengan dengan, jurusan IPA lebih prestius, wah, berpeluang dan memiliki masa depan yang lebih dibanding jurusan lain. Sebaliknya, jurusan IPS atau bahasa adalah jurusan sampah, siswa yang bandel, memiliki IP jongkok dan beragama image buruk lainnya.

Yang terjadi kemudian, saat kuliah, pelajar yang sebelumnya berlatar IPA mengambil jurusan non-IPA saat kuliah. Sebetulnya hal ini tidak menjadi persoalan yang berarti. Akan tetapi, alangkah baiknya, sejak awal pelajar kita diberikan pemahaman dini dan menyeluruh mengenai jurusan yang akan mereka ambil.

Alasan utama yang mendasari permasalahan ini adalah kurangnya informasi dan pemahaman yang diterima oleh pelajar di daerah kita. Ironisnya, mereka juga tidak berinisiatif untuk mencari informasi lebih yang mereka perlukan. Ini menjadi bukti bahwa ada sebuah sistem yang kurang berjalan dengan baik di sekolah prihal penjurusan. Harusnya, masalah ini telah berlangsung sejak pelajar kita masih duduk di kelas satu SMA. Paling tidak, ada informasi awal kepada para pelajar. Berbeda dengan kondisi sebelumnya, saat ini, pelajar kita dapat dengan mudah mengatasi permasalahan ini yaitu dengan meng-akses internet. Hasilnya, tidak terjadi gap informasi seperti kejadian-kejadian sebelumnya.

Untuk itu, pelajar-pelajar yang ada di negeri seribu satu bukit ini, perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum menentukan pilihan nantinya. Pertama, jurusan dan perguruan tinggi yang akan dimasuki. Tentu, ini hal pertama yang harus diketahui termasuk di dalamnya peringkat jurusan dan perguruan tinggi yang bersangkutan. Dengan begitu, persiapan pun dapat dilakukan dengan matang. Kedua, mengetahui dan memahami gambaran mata kuliah dan silabus dari jurusan yang diambil. Akibatnya, kita dengan mudah mengetahui hubungan mata kuliah tadi dengan perkembangan dan perubahan yang akan terjadi. Karena banyak mata kuliah terlebih silabus tadi yang tidak ada hubungan dan manfaatnya ke peluang kerja atau dalam menyikapi perubahan yang terjadi di kemudian hari. Lebih jauh, kita dapat membandingkan hal tersebut dengan perguruan tinggi lain. Namun, kenyataaan di lapangan, banyak diantara pelajar kita yang kerap mengabaikan, bahkan tidak mengetahui masalah ini.

Ketiga, pelajar di tempat ini mesti mengetahui pula keluaran dari jurusan ini (out put). Dengan pemahaman lain, poin ini berhubungan dengan peluang, dunia kerja, persaingan, dan gambaran umum setelah mereka tamat kuliah. Ini perlu dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh pelajar kita. Terlebih lagi, dengan keterbatasan mind set, peluang dan kesempatan kerja dewasa ini. Harapan penulis, pelajar dari negeri ini dapat mempertimbangkan, menentukan dan menetapkan pilihan sesuai dengan keinginan, kemampuan dan peta hidup yang telah mereka buat sehingga hal-hal yang kurang bijak di atas terjadi dan terulang kembali.

Senin, 06 April 2009

Garis – Garis Besar Sejarah HIMABSII

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni
(Pasar VI Padang Bulan Medan, 5 April 2009)


HIMABSII atau Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris se-Indonesia merupakan sebuah organisasi yang mewadahi seluruh jurusan bahasa dan sastra Inggris se-Indonesia. Pada tahun 1988, dirasakan perlu komunikasi antarmahasiswa bahasa dan sastra Inggris se-Indonesia sehingga diadakanlah pertemuan rutin setiap dua tahun sekali dengan tujuan untuk mempererat hubungan persaudaraan/silaturrahmi dan saling tukar informasi antarmahasiswa jurusan bahasa dan sastra Inggris se-Indonesia dan daerah serta perguruan tinggi yang berbeda. Juga, untuk pengembangan ilmu pengetahun dan kebudayaan seiring dengan perkembangan bangsa. Pertemuan ini selanjutnya dikenal dengan Temu Kerja Komparatif (TKK). Temu Kerja Komparatif inilah sebagai cikal bakal lahirnya Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris se-Indonesia (HIMABSII).

Pada tanggal 21-27 Mei 1993, dalam Temu Kerja Komparatif (TKK) IV mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Inggris se-Indonesia di Universitas Hasanuddin Ujung Pandang disepakati beberapa hal yaitu pembentukan Himpunanan Mahasiswa Sastra Inggris se-Indonesia (HIMSII), penetapan AD/ART HIMSII, dan menunjuk Ikatan Mahasiswa Sastra Inggris (IMSI) Universitas Sumatera Utara (USU) sebagai penyelenggara Musyawarah Nasional (Munas) I di Medan.

Pada tanggal 1-8 Mei 1995 diadakan Musyawarah Nasional I HIMSII di USU Medan yang dihadiri 11 perguruan tinggi se-Indonesia (UGM, UNS, UI, UNAND, USU, UBH, UNIKA ST. THOMAS, UNHAS, UNDIP dan UNIVERSITAS DHARMA AGUNG). Dalam Munas I ini disepakati pendirian HIMSII pada tanggal 23 Mei 1993 di Ujung Pandang dan disahkan pada tanggal 4 Mei 1995. Pada saat yang bersamaan, ditetapkan Badan Pimpinan HIMSII Periode 1995-1997 sebagai berikut:

Ketua Umum : Agus Dwi Priyanto (UNS)
Sekretaris Umum : Ari Susanti
Bendahara Umum : Faisal (UNS)

Kepengurusan periode ini berusaha untuk menjalankan roda organisasi tapi komunikasi dan masalah keungan menjadi kendala utama bagi HIMSII ditambah belum adanya legalisasi dari DIKTI. Selanjutnya, pada tanggal 26 Februari - 3 Maret 1997 diadakan kembali Musyawarah Nasional II HIMSII oleh Ikatan Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris (IMAJI) Fakultas Sastra UGM Yogyakarta sebagaimana ditetapkan dalam Munas I di Medan. Pertemuan ini dihadiri oleh 15 utusan perguruan tinggi se-Indonesia dan terpilih susunan Badan Pelaksana Nasional HIMSII Periode 1997-1999 sebagai berikut:

Ketua Umum : Putra Dewangga (UNAND)
Sekretaris Umum : Armdy (UNAND)
Wakil Sekretaris Umum : Sandra Nahdar (UNAND)
Bendahara Umum : Tommy (UNS)
Wakil Bendahara Umum : Benny Kurniawan (UNAND)

Pengurus periode ini lebih menekankan pada konsolidasi dan sosialisasi serta kaderisasi HIMSII. Namun, gejolak ekonomi dan politik berskala nasional di akhir tahun 1997 dan sepanjang tahun 1998 sampai selesainya pemilu 1999 membuat organisasi ini sedikit vakum.

Pada tanggal 24-26 Oktober 1999, Munas III HIMSII diadakan yang dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris (HIMASING) UBH yang dihadiri 17 perguruan tinggi se-Indonesia. Sejak Munas III, terjadi perubahan nama HIMSII menjadi Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris se-Indonesia (HIMABSII) karenanya masuknya FKIP jurusan bahasa Inggris ke dalam HIMSII disamping pembagian wilayah HIMSII berdasarkan propinsi yang ada di Republik Indonesia (sebelumnya dibagi atas wilayah I, II, III dan IV berdasarkan kondisi regional anggota) dan ditetapkannya Universitas Sanata Dharma sebagai penyelenggara Munas IV. Susunan Pengurus Periode ini sebagai berikut:

Ketua Umum : Citra Ayu (UBH)
Sekretaris Umum : Dedy Kurniawan (UNAND)
Irvantra Padang (UNAND ) hasil reshuffle
Bendahara Umum : Bakri Yusuf (UBH)

2 tahun kemudian, diselenggarakan Munas IV di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan terbentuk sususan kepengurusan sebagai berikut:

Ketua Umum : Fima Rosyidah (UNY)
Sekretaris Umum : Bambang Teja Basuki (UNY)
Sekretaris I : Oktarianti (UGM)
Bendahara Umum : Alloysius Ditto (USD)
Koordinator Pengembangan Organisasi : Bonivasius DP (USD)
Koordinator kajian dan Informasi : Indrastuti (UNAIR)
Koordinator Pengabdian Masyarakat : Eri Kurniawan (UPI)
Koordinator Pendanaan Organisasi : Iis Rohlia (UAD)

Sebagaimana direkomendasikan dalam Munas IV HIMABSII, maka pada tanggal 15-17 September 2003 diadakan Munas V di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang diselenggarakan oleh English Students’ Association. Munas V ini dikikuti 16 perguruan tinggi (40 peserta).

Beberapa keputusan yang dihasilkan dalam Munas V di Bandung, antara lain:

1. Penetapan Ketua Dewan Pimpinan Pusat HIMABSII Periode 2003/2005 yang diketuai oleh Jaka Pratama dari Universitas Pendidikan Indonesia
2. Penetapan Ketua Dewan Pengawas Periode 2003/2005 yang diketuai oleh Jaswadi dari Universitas Negeri Jember
3. Penetapan Munas VI HIMABSII di Propinsi Jawa Timur dengan tuan rumah Universitas Negeri Jember
4. Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan Garis Besar Haluan Organisasi Periode 2003/2005 serta rekomendasi dari peserta Munas V.

Susunan Pengurus HIMABSII Periode 2003/2005 adalah sebagai berikut:

Ketua : Jaka Pratama (Universitas Pendidikan Indonesia)
Sekretaris : Nurul Anwar (Universitas Islam Nusantara)
Bendahara : Wilan Nurhayati (STKIP Bale Bandung)
Kadiv. Kesekretariatan : Arie Firmansyah
(Universitas Pendidikan Indonesia)
Kadiv. DPO : Deden Rahmat Hidayat
(Universitas Pendidikan Indonesia)
Kadiv Danus : Zulkifli (Universitas Sumatera Utara)
Kadiv Komunikasi : Andika Priadi Putra (Universitas Sanata Dharma)

Pada tanggal 3-4 Maret 2004 Dewan Pimpinan Pusat melaksanakan Musyawarah Kerja Nasional V di Universsitas Islam Nusantara dan dihadiri oleh 22 universitas se-Indonesia. Pada periode inilah cita-cita panjang HIMABSII terwujud yaitu terbitnya SK HIMABSII sebagai satu-satunya himpunan mahasiswa yang mewadahi seluruh hima/hmj bahasa Inggris se-Indonesia dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi

Pada tanggal 23-26 September kembali digelar Musyawarah Nasional VI HIMABSII di Universitas Jember Jawa Timur oleh English Departmen Student Association (EDSA) Universitas Jember seperti yang direkomendasikan pada Munas sebelumnya. Peserta yang hadir pada penyelenggaran Munas VI terdiri dari 25 utusan perguruan tinggi se-Indonesia.

Keputusan-keputusan yang ditetepakan dalam Munas VI HIMABSII antara lain:

1. Penetapan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) HIMABSII Periode 2005-2007 yang diketuai oleh Widi Najmuddin dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
2. Penetapan Ketua Dewan Pengawas Nasional HIMABSII Periode 2005-2005 yang diketuai oleh Yusradi Usman Al-Gayoni dari Universitas Sumatera Utara (USU)
3. Penyelenggaran Munas VII HIMABSII di pulau Sulawesi

Pada periode ini, terbentuk empat Dewan Pimpinan Daerah (DPD) baru di Indonesia (sebelumnya hanya terdapat dua DPD: DPD Propinsi Jawa Barat dan DPD Propinsi Jawa Tengah) yaitu DPD HIMABSII Propinsi Sumatera Utara, DPD HIMABSII Propinsi DKI Jakarta, DPD HIMABSII Propinsi Kalimantan Tengah dan DPD HIMABSII Propinsi Kalimatan Selatan. Juga, terlaksananya Seminar & Lokakarya Nasional HIMABSII yang diadakan di Universitas Negeri Jakarta, tanggal 4-6 Desember 2006 untuk membahas AD ART HIMABSII

Tanggal 6-9 September 2009, kembali dilangsungkan Munas VII di Palu sebagaimana hasil Munas VI Jember di atas. Beberapa ketetapan yang dihasilkan dalam Munas ini, antara lain:
1. Penetapan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) HIMABSII Periode 2007-2009 oleh Adli Azhari Rokan dari Universitas Sumatera Utara (USU)
2. Penetapan Ketua Dewan Pengawas Nasional HIMABSII Periode 2005-2005 oleh Tazzaka Singgih dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
3. Universitas Syiahkuala sebagai penyelenggara Musyawarah Nasional VIII HIMABSII pada bulan September 2009 di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam

Dalam perjalanannya, karena kesibukan dan tidak bisa fokusnya Ketua DPP; Adli Azhari Rokan, sehingga terjadi pengalihan tugas kepada Feragiarti (sebelumnya Sekretaris) sebagai pelaksana tugas ketua. Pada periode ini, juga terbentuk 2 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) baru di Indonesia, yang salah satunya adalah DPD HIMABSII Propinsi Sumatera Barat (Sumbar). Kemungkinan, masih ada lagi terbentuk DPD baru di daerah. Selain itu, terjadi pengunduran dan pergantian tempat Munas VIII dari Aceh ke Banjarmasin. Pergantian ini akibat ketidaksiapan panitia Munas di Aceh. Munas VIII ini insyaAllah akan diadakan di Gedung Kopertis UNISKA, tanggal 6 April 2010, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.


Referensi:
o LPJ Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Periode 2003 – 2005
o Media Komunikasi HIMABSII
o Mengenal HIMABSII Dari Dekat (Jaka Pratama & Arie Firmansyah)
o Perjalanan Panjang HIMABSII di Indonesia (Yusradi Usman al-Gayoni)
o Musyawarah Nasional VI HIMABSII (Yusradi Usman al-Gayoni)
o HIMABSII & Musyawarah VII Palu (Yusradi Usman al-Gayoni)
o LPJ Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Periode 2005 – 2007
o HIMABSII & Menejemen Dalam Konteks Kekinian EDSA (HMJ Bahasa Inggris STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah) (Yusradi Usman al-Gayoni)
o Sejarah Singkat HIMABSII (Adli Azhari Rokan)

Kamis, 02 April 2009

Tari Punca Utama

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Pemerhati sejarah, bahasa dan budaya Aceh, & Ketua Yayasan Pusat Kajian Kebudayaan Gayo, Medan, Sumatera Utara)


Tari punca utama merupakan salah satu tari yang ada di Aceh. Tari ini merupakan gabungan dari tiga tari sekaligus yaitu tari resam berume, top pade dan tarik pukat. Tari resam berume sendiri merupakan tarian ini dalam tari ini. Munculnya tari ini dalam khasanah seni tari di Aceh tidak terlepas dari penyelenggarakan Pekan Kebudayaan Aceh I (PKA), 1958 dan Kongres Pemuda I yang dilaksanakan di Bandung, Oktober 1958.

Pekan Kebudayaan Aceh (PKA)

Untuk pertama kali, tahun 1958, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) digelar di Kota Raja, (sekarang Banda Aceh). Dalam PKA ini, setiap kabupaten yang ada di Aceh menunjukkan kekayaan budaya yang ada di daerah masing-masing berupa seni tari, seni musik, seni ukir dan lain-lain. PKA ini kemudian menjadi semacam tradisi yang sampai hari ini tetap diadakan oleh Pemerintah Aceh. Dalam PKA pertama ini, kabupaten Aceh Tengah berhasil tampil sebagai juara umum, dengan menjuarai seluruh bidang yang diperlombakan termasuk seni musik dan seni tari.

Beberapa bulan setelah PKA, pemerintah Daerah Istimewa Aceh mendapat undangan untuk mementaskan kesenian daerah dalam rangka kongres pemuda I yang berlangsung di Bandung, Oktober 1958. Berkaitan dengan hal tersebut, sebagai pemenang bidang musik dan tari, tim kesenian kabupaten Aceh Tengah mendapat kehormatan untuk mewakili Aceh dalam kongres tersebut. Selanjutnya, tim ini pun diundang ke Kota Raja untuk melakukan serangkaian latihan persiapan. Pada saat latihan ini, muncul-lah iniasif mereka; Sadimah Sabdin, Jamilah Sabdin, Siti Hajar, Rohana, Upik Diniar, Zaleha, Fatimah dan Chadidjah R (puteri), S Kilang, Saifoeddin Kadir (Zuska), Bona Kasim, Banta Tjoet, Zulthain, Asri, Yus dan Agam (putra) (Zuska, 2008) untuk menciptakan tari baru dari Aceh yang belum pernah dipentaskan sebelumnya. Pada akhirnya, terciptalah tari resam berume. Tambahan pula, dalam PKA yang dilangsungkan sebelumnya, tim tari dari dataran tinggi tanoh Gayo ini menampilkan tarian tuak kukur (mumiyo), jang jingket (munyemur) dan sek kesek uwi (nutu temping).
Lirik, notasi dan gerakan tari ini pun tercipta seketika dengan kerjasama yang baik dari semua anggota tari ini. Untuk notasi lagu diserahkan kepada A.R. Moese (almarhum), gerakan tari kepada Sadimah Sabdin, dan lain-lain, mementara lirik lagu ditugasi kepada S. Kilang, Zuska, dan lain-lain. Setelah selesai, mereka kemudian mengoreksi dan mencocokan hasil yang ada dengan gerakan, lirik lagu, dan lain-lain secara bersama-sama. Sudah barang tentu, hal tersebut harus sesuai dengan isi dan pesan yang hendak disampaikan yaitu prosesi bersawah di tanoh Gayo, Aceh.

Setelah dilakukan beberapa kali latihan dan dianggap siap, tim tari resam berume ini ditunjukkan ke publik Kota Raja pertama kali sebelum ke Bandung. Alhasil, audience yang menyaksikan tarian ini diantaranya pejabat pemerintahan Propinsi Nanggrose Aceh Darusalam, kalangan militer, pengusaha, pelaku kesenian dan budaya, dan lain sebagainya benar-benar kagum, terkesima dan memberikan applause yang luar biasa terhadap tarian ini. Kemudian, letnan kolonel Syamaun Gaharu, yang turut menyaksikan secara langsung penampilan tari resam berume ini mengusulkan agar tari ini digabungkan dengan dua tari Aceh lainnya yaitu tari top pade dan tarik pukat. Syamaun Gaharu sendiri merupakan Panglima Komando Daerah Militer Aceh. Pada saat yang bersamaan, propinsi Daerah Istimewa Aceh dipimpin oleh Prof Ali Hajimi selaku guberner waktu itu. Akhirnya, panitia khusus yang mengurusi tarian ini ditambah pemerintah Aceh menyetujui usul panglima kodam tersebut. Tari ini kemudian dikenal dengan tari punca utama, tarian yang terdiri atas tari resam berume, top pade dan tarik pukat. Setelah itu, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh mendatangkan Usman Gumanti, konsultan tari dari negeri jiran, Malaysia untuk menata hal-hal teknis menyangkut pementasan tari ini nantinya.


Kongres Pemuda I

Akhirnya, pada malam penutupan kongres, tari punca utama pun dipentaskan di hadapan seluruh perwakilan pemuda dari berbagai daerah di tanah air. Moese menyanyi solo dengan alunan nada-nada gitar serta suara tenornya, sebagai tanda tari punca utama dimulai yang mana tari resam berume sebagai intro. Peserta kongres hanyut dalam pementasan tersebut. Rasa haru, bahagia dan bangga menyelumi raut wajah para penari panca utama (Al-Gayoni, 2008). Peserta kongres berdiri sembari menepuk tangan sebagai wujud rasa kagum dan apresiasi mereka sebelum tarian ini selesai. Marwah Aceh terangkat ke permukaan melalui tari ini dengan pemberitaan di berbagai media cetak ketika itu. Khusus resam berume, Sadimah, salah satu penari resam berume dan punca utama mengatakan bahwa resam berume merupakan tari pertama yang menggambarkan prosesi bersawah sebelum tarian serupa muncul di Indonesia (wawancara tanggal 2 Februari 2008 di Belang Mersa, Takengon, Aceh)

Dari kongres pemuda di Bandung, mereka lalu melakukan pementasan di Istana Bogor di hadapan presiden Sukarno ketika itu. Tak ketinggalan, presiden Sukarno pun turut memberikan penghargaan atas terciptanya tarian ini. Setelah itu, tarian ini kembali ditunjukkan di Bali, juga di Pakistan dengan beberapa tarian Aceh lainnya. Tambahan pula, ketika itu, tari punca utama menjadi kebanggaan kodam I Iskandar Muda (Zuska, 2008).

Saat ini, kita tidak lagi pernah mendengar dan menyaksikan tari punca utama dalam berbagai pentas seni dan budaya yang berlangsung di Aceh. Padahal, tarian ini menjadi kekayaan tersendiri bagi sejarah dan perkembangan tari di Aceh. Ketiga tari tadi berisi tentang sejarah, kearifan nilai-nilai lokal serta mengandung filsafat yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Tari punca utama dengan rangkaian tarian di dalamnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat dan Aceh. Lebih dari itu, tari ini telah mengangkat nahma dan marwah Aceh baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional.

Mengingat terbatasnya referensi dan dokumentasi menyangkut tarian ini, ke depan, pemerintah Aceh melalui dinas dan pihak-pihak terkait perlu menggali lebih lanjut, mendokumentasi dan memperkenalkan kembali tarian ini sebagai upaya pemertahanan dan pelestarian tarian punca utama ini.

Awan Yusrizal Dalam Penyelamatan Lingkungan di kabupaten Bener Meriah

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Agustus 2008)


“Yusrizal Peroleh Piagam Lingkungan,” begitulah salah satu berita yang dimuat di halaman Harian Serambi Indonesia Edisi Senin, 4 Agustus 2008 yang lalu. Meski berita ini sudah lama dimuat tapi isu dan isinya ‘lingkungan hidup’ masih tetap diberbincangkan dan tetap menarik untuk dibahas sampai hari ini. Dalam usianya yang sudah mencapai 70 tahun, masih tergurat kekhawatiran dari muka awan, kakek yang tinggal di Dusun Uning Baru, kampung Meriah Jaya, kecamatan Timang Gajah, kabupaten Bener Meriah. Hal ini dibuktikannya dengan pemberian 1000 pohon kepada Kapolres Persiapan Bener Meriah, Kompol Isfar Mukhtarudin sebagai dukungan penanaman seribu pohon di kabupaten Bener Meriah.

Dalam usianya, 70 tahun, Yusrizal melihat begitu banyak perubahan lingkungan yang terjadi di daerahnya, dataran tinggi tanoh Gayo terutama kabupaten Bener Meriah, yang dulunya masih bergabung dengan kabupaten induk, Aceh Tengah. Melihat keadaan inilah, nurani awan Yusrizal tergerak untuk berbuat lebih untuk menyelamatkan lingkungan tanoh Gayo. Betapa tidak, di tahun 1960-an, tubuh tanoh Gayo masih diselimuti dengan rerimbunan uyem, pinus mercusi. Kuyu ni depik, angin pertanda musim depik mulai berhembus menusuk tulang belulang masyarakat yang mendiami daerah ini, Takengon & Bener Meriah. Kini, uyem banyak yang hilang, hutan – hutan banyak yang gundul dan berubah fungsi. Angin pertanda musim depik tidak lagi datang menghiasi musik depik, ikan khas danau ini.

Lebih dari itu, debit air Danau Laut Tawar sudah berkurang dari biasanya. Di atas kertas, danau ini melalui weh, sungai Pesangan berfungsi sebagai daerah penyanggga bagi kabupaten lain yang ada di Aceh. Tetapi, pada kenyataannya, aliran – aliran sungai yang menuju danau ini tidak lagi mampu mengairi masyarakatnya khususnya yang ada di Takengon, kabupaten Aceh Tengah, air sudah mulai berkurang dan susah didapatkan. Pun, kalau ada, masyarakat harus bergiliran dalam mendapatkannya. Satu hari mendapat pasokan air, tiga sampai empat hari harus bersabar untuk tidak mendapat air dari perusahaan air di daerah tersebut, sebuah kondisi yang cukup kontras. Ini akibat dari pengabaian nilai – nilai kearifan lokal, penebangan hutan sembarangan, aturan hutan yang dibuat kerap dan untuk dilanggar serta hukum yang tidak tegas terhadap pelaku illegal logging, pengawasan dan evaluasi yang kurang dari sistem yang ada.

Belajar dari Awan Yusrizal
Melihat kondisi di atas, kita, masyarakat Aceh baru terhenyak ketika danau ini benar – benar kering. Kita baru sadar ketika gunung – gunung dan isinya menimpakan bencana pada kita. Lebih dari itu, generasi mendatang mengutuk perbuatan kita dan generasi pendahulunya. Ironisnya, kita hanya sadar seketika tanpa niat dan usaha perbaikan sama sekali (dikutip dari buku A.R. Moese; Perjalan Hidup, Karya & Dedikasi). Berbeda dengan awan Yusrizal, kekhawatiran jiwa dan ketidaktenangan hatinya dalam melihat lingkungan sekelilingya, menggerakan dirinya untuk berbuat dengan menanam dan menyumbangkan berbagai jenis pohon yang dimilikinya. Apa yang dilakukan awan Yusrizal cukup relevan dengan kebijakan gubernur Aceh sekarang, Irwandi Yusuf dalam penyelamatan hutan dan lingkungan yang ada di Aceh melalui visi Aceh Green Vision-nya. Bahkan bangsa kita, Indonesia dan dunia pun menaruh perhatian penting pada masalah ini dengan menempatkan ‘penyelamatan lingkungan’ ini sebagai isu sentral di tengah memanas-nya bumi kita (global warning) saat ini.

Apa yang dilakukan awan Yusrizal sepatunya menjadi contoh buat kita. Pertama, seorang awan, di tengah usiannya yang lanjut, masih memikirkan, memberikan tauladan dengan langkah ril terhadap penyelamatan alam tanoh Gayo dan Aceh. Barangkali, bagi sebagian pihak, jumlah 1000 tanaman yang disumbangkannya terlalu kecil. Namun, 1000 pohon tadi akan memberikan manfaat jangka panjang bagi kelangsungan generasi dan ekosistem negeri, bangsa, dan bumi ini terlebih kondisi ekonomi awan Yusrizal, bukan berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas.

Dewasa ini, kita cukup sulit menemukan ‘suri tauladan’ dalam kehidupan kita sehari-hari seperti yang dicontohkan awan Yusrizal tadi. Seringkali, kita hanya melihat dan menilai seseorang berdasarkan jejeran gelar akademis, jabatan, ketokohan, retorika yang miskin tindakan, dan lain-lain terutama yang bertautan dengan isu ini. Atau kebanyakan dari kita baru bertindak bila ada momen perangkai yang tepat seperti peringatan hari lingkungan hidup, penanaman pohon, dan lain-lain. Dengan demikian, secara serentak kita pun tak mau ketinggalan dalam kegiatan tersebut tanpa ada keberlanjutan yang berkesinambungan. Berbeda dengan yang kita lihat kebanyakan, awan Yusrizal langsung berbuat dengan mengabaikan hal-hal di atas.

Kedua, awan Yusrizal benar – benar ikhlas berbuat dengan niat yang terjaga semata – mata mengharap keridhoan Tuhan sang pencipta. Tak pernah terbesit di benak orang seperti Yusrizal mengharap penghargaan dan imbalan dari apa yang telah dia lakukan. Akan tetapi, karena kegigihannya dan menyangkut apa yang telah dilakukannya, dia pun kemudian mendapat penghargaan lingkungan dari Kapolres Persiapan Bener Meriah. Jauh berbeda dengan realitas hari ini, kita akan berpikir panjang memberi yang menjadi miliki kita kepada orang lain, mempertimbangkan ukuran materi yang akan didapatkan terlebih dahulu, riya, takabur, sombong dan mengharap penghargaan dari apa yang kita perbuat.

Ketiga, sosok awan Yusrizal yang langka kita temui, tidak berpikir sesaat. Namun, pikiran, tujuannya jauh melewati batas – batas waktu, yaitu bagi generasi – generasi setelahnya. Bukan pinus, kayu mahoni yang dia sumbangkan, tapi tanaman yang menghasilkan buah seperti durian, alpukat, jeruk dan lain-lain. Awan Yusrizal paham dan menyadari, buah ini tidak semata menyelamatkan kelangsungan lingkungan dan membuat Aceh hijau (Aceh green). Lebih dari itu, ke depannya tanaman ini akan berbuah dan dapat dinikmati oleh kumpu, cucu, peyut, cicit dan generasi seterusnya.

Menanti Yusrizal Baru
Melihat besarnya kontribusi yang diberikan awan Yusrizal bagi kelangsungan lingkungan dan generasi Aceh mendatang, sosok seperti Yusrizal-lah yang patut mendapat penghargaan, “Aceh Green Award," “Global Warning Award” dan penghargaan apa pun namanya. Kita berharap, apa yang dilakukan awan Yusrizal dapat memberikan ruh, semangat dan motivasi tersendiri bagi pelaku penyelamatan lingkungan, masyarakat Aceh dan bangsa ini untuk berbuat lebih dalam menjaga, menyelamatan dan melestarikan hutan. Kita berharap, akan datang Yusrizal – Yusrizal baru dalam ruang penyelamatan hutan dan lingkungan hari ini, besok dan dalam pergantian hari –hari mendatang.

Dua Tahun Baru: Momen Refleksi Diri

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Januari 2009)


Masih segar dalam ingatan kita; peringatan tahun yang telah meninggalkan kita; tahun baru masehi & tahun baru hijriyah. Tahun yang telah meninggalkan sejumlah kenangan bagi kita, masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam. Ada hal yang berbeda bila kita lihat dari dua peringatan dua tahun baru tersebut baik dari persiapan, pelaksanaan dan dampak peringatannya. Untuk tahun baru masehi, masyarakat dengan serta merta dan tumpah ruah merayakannya, sementara tahun baru Islam (tahun baru hijriyah) diperingati sekedarnya saja. Bisa jadi, hanya sebagian kecil masyarakat saja yang mengetahui tahun baru Islam ini karena larut dengan peringatan tahun baru masehi. Hal tersebut agak berlawanan dengan daerah kita sebagai “negeri yang bersyariat.” Mudah-mudahan, dua tahun baru tadi dapat menjadi renungan bagi kita terkait makna esensial dan satu tahun yang telah kita lalui. Dengan demikian, peringatan tahun baru Islam lebih semarak, berarti, berkesan dan meninggalkan makna terhadap perubahan diri, keluarga dan masyarakat Aceh pada masa-masa mendatang.

Dua tahun baru tersebut haruslah menjadi pelajaran bagi kita semua. Peringatan dua tahun tadi bukan hanya dimaknai sebatas seremoni (tradisi) belaka melainkan perlu dipahami esensi dari dua tahun baru tadi yaitu dengan refleksi diri akan perjalanan hidup dan sisa-sisa kehidupan kita serta proyeksi ke depan termasuk persoalan “hidup setelah mati.” Konsekuensinya, kita dapat secara sungguh-sungguh hijrah menuju keadaan yang lebih baik secara personal maupun dalam tataran masyarakat menuju Aceh yang lebih aman, damai, adil, sejahtera, ‘maju, bersyariat dan beradad’ serta bermartabat

Kita harus senantiasa bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa di tengah sisa umur yang kita miliki. Paling tidak kita masih diberikan kesempatan untuk menjalani hidup dan dan memperbaiki diri. Wujud syukur tadi dapat kita wujudkan dengan peningkatan ibadah, perbaikan dan menyiapkan diri untuk menghadap-Nya “ketika ajal menjemput pada saatnya nanti”. Lebih dari itu, wujud hubungan vertikal kepada Tuhan dapat kita terapkan dengan menciptakan kesalehan sosial yaitu dengan pengaplikasian nilai-nilai Tuhan dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Dengan demikian, Islam &syariat Islam, tidak hanya kita pahami sebatas hubungan vertikal kepada Tuhan; mengucapkan dua kalimat syahadat, salat, puasa, zakat dan haji, ‘terjebak dalam syariat Islam yang semu’, tetapi juga diwujudkan dengan hubungan antarindividu yang baik dalam masyarakat, membersihkan diri, hati dan lingkungan serta alam sekitar kita, menciptakan ekonomi yang berpihak pada tingkat yang paling bawah dengan bersendikan syariah, the real syariat Islam, pemberdayaan perempuan dan pemuda, dan lain-lain. Dengan begitu, tujuan dan pencapaian perubahan tadi pun semakin mudah, terencana, terarah, terukur dan maksimal dalam upaya penciptaan kebermaknaan dalam masyarakat.

Kebersihan lingkungan sekitar kita misalnya, hal ini menjadi cermin dari hati, diri, masyarakat dan pemahaman kita menyangkut agama ini. Padahal, agama, tradisi, norma dan cerminan adat istiadat masyarakat kita yang ada di Aceh, menekankan betapa pentingnya arti kebersihan. Namun, kebersihan lingkungan dan tempat-tempat publik di sekitar kita masih jauh dari konsep yang telah diajarkan agama dan apa yang telah diwariskan leluhur kita. Belum lagi, persoalan perbaikan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, penyelamatan hutan Aceh, pemaksimalan syariat Islam, Aceh pasca rekonstruksi dan rehabilitasi, serta persoalan-persoalan lain yang perlu mendapat perhatian dan penanganan serius dari semua pihak sebagai satu sistem yang saling mendukung dan melengkapi.

Lebih jauh lagi kita perhatikan, rasa kekeluargaan semakin berkurang dalam kehidupan kita sehari-hari. Dari hari ke hari, masyarakat semakin apatis, napsi-napsi dan individualistis menyangkut keadaan sekelilingnya. Hal ini tidak terlepas pula dari trauma kolektif mereka sebelumnya; perjalanan konflik panjang Aceh. Lebih-lebih pada peringatan tahun baru hijriah ini, kita pun dikejutkan dengan serangan udara Israel terhadap saudara-saudara kita yang ada di Palestina. Bagaimanapun, kita sangat mengutuk dan menyayangkan aksi Israel tersebut. Kini saatnya, kita mengulurkan tangan dengan berbagai bantuan sebagai wujud solidaritas kita dan menghanturkan do’a bagi masyarakat Palestina terlebih lagi kita, masyarakat Aceh.

Selanjutnya, Keadaan ekonomi pun semakin senjang; yang kaya semakin kaya dan sebaliknya, mengedepankan dan berkiblat pada materi dengan menguatnya sistem kapitalis dan keadaan ini menjadi hal yang biasa, jadi pembiaran begitu saja. Nilai-nilai agama dan kearifan lokal pun tidak mampu berbuat banyak. Bahkan, sebagai pewarisnya, kita menjadikannya sebatas hiasan lisan, wacana dan menjadi pajangan yang tiada arti dan tak mampu menggugah dan menciptakan efek perubahan yang kita harapkan. Lebih dari itu, kita semakin jauh dan miskin dalam bertindak dalam upaya penggalian, penyelamatan, pelestarian dan menerapkan kearifan nilai-nilai yang sarat dengan nilai ‘filosofis praktis’ serta mewujudkan perbaikan-perbaikan dan perubahan tadi.

Kemudian, dalam kesempatan dua tahun baru ini, kita harus dapat mengevaluasi diri terhadap perjalanan masa lalu kita, “apa yang telah kita perbuat?” dan merumuskan arah hidup kita yang kita tuju dengan berbagai alternatif dan resiko yang akan kita hadapi, bekal, strategi yang telah kita siapkan yaitu “investasi, tabungan amal dan jadi sungai manfaat bagi sekeliling kita”. Evaluasi ini tidak terbatas pada hubungan kita kepada Tuhan tapi juga dengan sesama manusia “masyarakat” untuk menciptakan kesalehan sosial dalam masyarakat. Untuk mewujudkan perubahan dan perbaikan yang diharapkan, kita kembali lagi kepada masyarakat yang mendiami negeri Merah Johan ini (peletak fondasi awal kesultanan Aceh Darussalam); seberapa besar kemauan kita untuk mewujudkan perubahan tadi. Karena tidak ada yang mampu menciptakan perubahan dan perbaikan selain kemauan yang tinggi dan optimalisasi ikhtiar dari masyarakat yang mendiami daerah ini.

Untuk hijrah dan menciptakan perubahan menuju kondisi yang lebih baik dalam masyarakat kita, diperlukan kemauan yang sungguh-sungguh, kecepatan, pemikiran, energi, materi, pemaksimalan usaha, harmonisasi antarberbagai komponen dan evaluasi yang berkelanjutan terhadap hari-hari yang telah kita jalani dari seluruh sub-sub sistem yang dari sistem kemasyarakatan yang ada baik reje (eksekutif), petue (tokoh-tokoh masyarakat), imem (ulama) maupun rayat (legislatif sebagai refresentasi dari rakyat termasuk di dalamnya rakyat itu sendiri). Kita harus melihat kekurangan dan kelemahan kita masing-masing sehingga kita dapat memulai dan memperbaharui diri dari lingkup yang paling serderhana dan kecil.

Biasanya kita senantiasa luput dari hal di atas “melihat kekurangan diri”, kita hanya melihat kekurangan, kelemahan, mencela, menyalahkan serta menuntut orang lain untuk berbuat dan memberi, jangan tanya orang lain tapi tanya diri kita, “Apa yang telah kita beri dan perbuat untuk orang lain?” Dalam menyikapi masalah juga, yang kerap terjadi adalah melihat segala sesuatunya hanya dari sisi kita, pemahaman yang parsial, bukan dari sudut orang lain dan tidak secara menyeluruh (holistik). Hal lain yang diperlukan untuk menjadikan kita dan Aceh lebih baik adalah kerjasama semua pihak, saling menutupi kekurangan dan berbagi kelebihan satu sama lain dengan menanggalkan management yang berbasis rasa dan kedekatan. Namun, lebih pada pendambaan tata kelola yang berdasarkan kualitas, kemampuan, jujur, terbuka, mencerminkan nilai-nilai ketuhanan dan profesional. Karenanya, perlu perubahan mind set, visi, sikap dan tindakan yang lebih humanis “alang tulung beret bebantu,” saling membantu dengan tidak besengkeliten, saling menjatuhkan, mencerca dengan ke-kurang-bijakan dan ke-tidaksantunan, budaya-budaya yang tidak sehat, primordial yang berlebihan serta karakter ditambah sikap negatif lainnya.

Kita berusaha dan berdoa dengan penuh harap, mudah-mudahan hari-hari yang akan kita jalani mendatang, tahun 2009 dengan sisa-sisa napas yang kita miliki, dapat memberikan makna dan arti tersendiri bagi diri, keluarga, masyarakat, perbaikan Aceh, bangsa, negara dan umat ini. Pada akhirnya, kita dapat menciptakan kebermaknaan sesuai dengan peran dan fungsi kita masing-masing dalam mengangkat marwah dan martabat negeri ini pada pergantian hari-hari yang akan datang, semoga.

Krisis Air Di Negeri Peyangga Air

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni


Engon ko so tanoh Gayo
Si megah mu reta dele
Rum batang uyem si ijo kupi bakoe

Terjemahan:
Lihatlah (sana) tanoh, tanah Gayo
Yang dikenal dengan harta yang melimpah
Dengan pinus mercusi nan hijau, kopi serta tembakaunya

Itulah gambaran kekayaan tanoh Gayo; Takengon, Lokop/Serbejadi (Aceh Timur), Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Tamiang, Gayo Lues dan Bener Meriah seperti yang terdapat dalam salah satu karya Abdurrahman Moese, bapak musik Gayo, dalam lagu Tawar Sedenge (Penawar Dunia). Selain uyem, pinus mercusi, kupi, kopi dan bako, tembakau, tanoh Gayo juga memiliki danau yang menjadi kebanggaan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Danau Laut Tawar. Danau ini juga menjadi penyangga kebutuhan air bagi beberapa kabupaten di pesisir Aceh melalui weh, aliran sungai Pesangan.

Namun, kita akan mengalami hal yang kontras, negeri yang kaya dengan kekayaan alamnya, ditambah pesona danau dengan legenda Malim Dewa-nya, di sisi lain, masyarakat yang mendiami daerah ini tidak mendapat kebutuhan air yang cukup bagi ‘anak negeri’ yang mendiami daerah dengan kisah putri bungsu ini. Kurangnya pasokan air kerap dirasakan oleh masyarakat tanoh Gayo, dalam hal ini Takengon. Sebagai akibatnya, mereka harus mendapatkan air secara bergiliran untuk jangka waktu dua sampai tiga hari. Saat pasokan air datang, masyarakat bisa menikmati air tersebut, dan sebaliknya tiga hari berikutnya, masyarakat harus bersabar untuk tidak mendapat air. Bahkan di beberapa kampung, desa pasokan air ini tidak datang sampai empat hari?

Kondisi ini terjadi pula pada hari raya, 1 Oktober 2008 yang lalu. Di tengah subuh buta, ditambah udara yang di dingin dengan hembusan angin Danau Laut Tawar pagi, jema rawan, kaum adam harus antri di berawang, pemandian laki-laki di menasah untuk mandi satu syawal. Tidak hanya jema rawan, jema banan, pihak perempuan juga mengalami hal yang sama. Lebih dari itu, ibu – ibu juga kewalahan mengatasi air untuk menghidangkan air minum, plus mencuci gelas, piring dan peralatan dapur lainnya pada momen syawal tersebut.

Khusus pada hari tersebut, seharusnya masyarakat tidak perlu mengantri di berawang – berawang untuk mandi hari raya dan kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan di dapur terutama dalam menghadapi tamu yang datang dalam kesempatan lebaran tadi. Dengan demikian, pemerintah daerah melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Tawar dapat mempersiakan kondisi ini jauh hari. Tapi, itulah yang terjadi di Takengon. Bila kita menelusuri lebih jauh prihal krisi air di atas, tentu ada kekurangan atau kesalahan sub-sistem dari sistem yang ada, dalam hal ini Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Tawar.
Untuk menyikapi permasalahan di atas, ada empat pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan fungsi dan peran yang berbeda; pertama, pihak PDAM Tirta Tawar yang bertanggung jawab penuh sebagai pengelola kebutuhan air masyarakat di daerah ini. Secara internal, lembaga ini harus melakukan evaluasi menyangkut tata kelola lembaga (clean and good management), pelayanan kepada pelanggan, distribusi air ke rumah – rumah penduduk termasuk kualitas air, dan lain – lain. Dengan begitu, uang air yang dibayarkan masyarakat tiap bulannya sesuai dengan pelayanan yang diberikan ‘baik, ramah dan profesional’. Begitu juga halnya dengan kualitas air yang terima masyarakat, harus betul-betul bersih, tidak kotor dengan bau yang tidak enak. Pun, kalau ada kekurangan dalam hal anggaran, fasilitas kelembagaan atau peralatan di lapangan misalnya, secara langsung lembaga ini bisa langsung membicarakannya dengan pemerintah daerah, sebagai salah satu stakeholder dari perusahaan ini. Dengan demikian, akan terjadi komunikasi yang baik antara perusahaan ini dan pemerintah daerah. Sebagai akibatnya, permasalahan-permasalahan yang menyangkut kebutuhan air masyarakat dapat dikurangi pada hari-hari mendatang. Sama hal dengannya pemerintah daerah, PDAM Tirta Tawar harus senantiasa membangun komunikasi yang berkelanjutan dengan pelanggan, bila terdapat ketimpangan-ketimpangan di lapangan, misalnya keterlambatan pembayaran air, dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan kelangkaan tadi, pun kalo pun harus ada giliran dalam pembagian air, tentu harus diatur dengan baik, bijak; dengan memperhatikan kepentingan publik, terbuka dan profesional. Akibatnya, masyarakat tetap dapat menikmati air meskipun dalam distribusinya harus digilir. Yang terjadi malah sebaliknya, masyarakat memang mendapat air, katakanlah untuk kebutuhan sehari, sebagai gantinya masyarakat harus kekurangan air selama dua, tiga bahkan lebih. Hal inilah yang harus disikapi dengan bijak, terbuka, profesional dan adil oleh PDAM Tirta Tawar. Lembaga ini harus benar – benar melayani pelanggannya dengan ‘hati’ dan profesional termasuk dengan memperhatikan kualitas air yang didistribusikan kepada masyarakat. Lebih dari itu, untuk mengantisifasi kelangkaan air, sudah waktunya pemerintah daerah kabupaten Aceh Tengah membangun sistem perairan yang lebih baik seiring dengan meningkatnya kebutuhan, pertumbuhan dan perkembangan masyarakat terutama di tiga kecamatan pada masa-masa mendatang yaitu di seputar kota Takengon yaitu kecamatan Kebayakan, kecamatan Bebesen dan kecamatan Lut Tawar.

Kedua, pemerintah daerah kabupaten Aceh Tengah sendiri. Pemerintah selaku reje, pembuat, dan penentu kebijakan perlu bersikap keras dan tegas kepada PDAM Tirta Tawar bila lembaga ini tidak mampu berjalan seperti yang diharapkan. Di awal masa jabatan Kepala PDAM Tirta Tawar misalnya, perlu dibuat kontrak politik dengan dedikasi penuh untuk menjadikan lembaga ini ‘bersih, terbuka, adil dan profesional’ dalam memajukan tata kelola perairan di Takengon. Dengan demikian, ada tanggung jawab moral horizontal kepada masyarakat sebagai pelanggan tetap PDAM Tirta Tawar, begitu juga tanggung jawab vertikal kepada reje, yaitu bupati kabupaten Aceh Tengah. Begitu juga halnya dengan kepala daerah, dapat mengganti pimpinan lembaga ini, setelah mengevaluasi, turut ke lapangan dan bila dalam prakteknya tidak sesuai dengan perjanjian seperti yang tertuang dalam fakta integritas di awal kontrak tadi.


Ketiga, pengawasan yang betul – betul dari DPRK Aceh Tengah. Saat ini, pengawasan agak langka pada lembaga ini. Hal ini dilihat dari keluh kesah masyarakat, namun lembaga ini kurang pro aktif menyikapi persoalan ini. Tentu, untuk pilkada legislatif mendatang (2009), hal ini, masalah perairan menjadi salah satu isu sentral dalam duduk tidaknya calon legislatif di DPRK, selain persoalan bagaimana mengangkat harkat, martabat dan marwah urang Gayo, yang tinggal di Takengon dan tanoh Gayo secara umum di pentas nasional dan di dunia internasional. Karena kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh DPRK, ke depannya, lembaga ini juga perlu mendapat pengawasan dari rakyat.

Keempat, rayat, masyarakat Takengon, terutama pelanggaan PDAM Tirta Tawar harus semakin jeli, cerdas dan kritis dalam menyikapi kesulitan air di daerah ini. Masyarakat perlu mengingatkan secara langsung PDAM Tirta Tawar, berkomunikasi dengan pemerintah daerah dan DPRK Aceh Tengah. Selama ini, kita melihat masyarakat cukup bersabar, memilih mengalah dan diam menyangkut program-program dan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan mereka. Ke depannya, pola pikir dan kebiasaan ini harus dirubah untuk melakukan kontrol yang lebih terhadap kebijakan pemerintah. Konsekuensinya, akan ada kehati-hatian dari pemerintah terutama dari PDAM Tirta Tawar sebelum mengimplementasikan sebuah kebijakan. Lebih dari itu, masyarakat akan senantiasa dilibatkan dalam setiap kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pengevaluasian program-program pemerintah dan perusahaan daerah ini. Bila jalur komunikasi yang ditempuh mengalami kebuntuan, masyarakat perlu menggelar "demo besar – besaran" untuk memberikan preasure, tekanan selaku masyarakat yang telah terzholimi.

Kita berharap, ke depannya, kejadian ini ‘kelangkaan air’ tidak lagi terjadi di negeri Adi Genali ini. Tentunya, dengan peningkatan pelayanan dengan mengedepankan ‘hati, keterbukaan, profesionalitas dan adil’ kepada pelanggan air ini. Ironis sekali, daerah yang menjadi penyangga air bagi beberapa kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam, namun pada kenyataannya tidak dapat mampu menyangga kebutuhan air bagi masyarakatnya sendiri.

Menguak Tabir Gelap Negeriku

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(www.gayolinge.com, 31 Mei 2007)


Gayo merupakan salah satu etnik grup yang mendiami kepulauan nusantara persisnya di dataran tinggi tanoh Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam; Takengon (Aceh Tengah), Kotacane (Aceh Tenggara), Lokop (Aceh Timur), Kalul (Aceh Taming), Gayo-Alas (Aceh Tenggara) & Bener Meriah. Nilai, sikap dan tingkah laku mereka senantiasa mengendap dalam tingkah dan pola kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, hal tersebut menghasilkan peradaban suku ini baik fisik maupun non-fisik yang membedakannya dengan suku lainnya yang ada di Indonesia.

Suku ini (Gayo) menduduki pulau Sumatera sejak 2500 SM beserta sekelompok etnik lainnya seperti Batak, Alas & Karo sebelum etnik-etnik lainnya hadir . Kelompok ini disebut juga dengan melayu tua atau ‘proto Melayu’. Dalam sebuah cacatan, disebutkan bahwa suku Gayo ‘urang Gayo’ dan beberapa anggota melayu tua lainnya berasal dari hindia belakang. Melihat bentuk fisik dan bahasa yang dimiliki antaranggota melayu tua di atas, semakin menguatkan asal muasal bahwa mereka berasal dari hindia belakang. Bahasa Toba dan bahasa Karo dengan bahasa Gayo, misalnya, menunjukkan banyak persamaan dari aspek morfologi. Persamaan tersebut kian nyata ketika didalami dari kajian linguistik historis dan linguistik komparatif dari ketiga bahasa itu khususnya.

Dalam falsafah masyarakat dataran tinggi tanoh Gayo sendiri dikenal istilah yang terdengar dan mengendap di tengah-tengah masyarakat yaitu ‘Awal Linge Asal Serule’. Penggalan falsafah tersebut mensyaratkan perjalanan sejarah panjang mengenai keberadaan etnik ini. Lebih dari itu, falsafah ini merefleksikan sejarah Gayo, Linge, Serule (salah satu kampung tua di dataran tinggi tanoh Gayo), kedatangan dan perkembangan Islam di Aceh, dan bagaimana kerajaan Linge ini, kemudian melahirkan raja-raja di pesisir Aceh seperti Meurah Putih & Meurah Hitam, Meurah Ibrahim, Meurah Pupuk, Meurah Johan sebagai sultan pertama kerajaan Aceh Darussalam (601 – 633/1203-1235M), Meurah Silu sebagai Raja Islam yang termasyur (622-688 H/1225-1263M), dan lain-lain.
Meski sudah mendapat gambaran singkat menyangkut sejarah suku yang mendiami dataran tinggi tanah Gayo ini, namun kita perlu melihat kembali, mengkaji serta membandingkan sejarah terbentuknya negeri ini; Linge (Gayo), Kutereje dan Aceh dari lembaran sejarah yang terjadi. Pendekatan dan pengkajian yang dimaksud, sudah barang tentu tidak hanya dilihat dari satu sisi saja melainkan dari semua sisi dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu yang ada dan pendekatan yang menyeluruh, ketika nilai, sikap dan kebiasaan itu menjadi norma dan adat dalam masyakakat. Pada akhirnya, hal tersebut terakumulasi dalam peradaban masyarakat Gayo itu sendiri; bagaimana sejarah awal orang Gayo mendiami Sumatera? Apakah mereka telah lebih dahulu Islam atau mereka menerima Islam belakangan seperti pendapat secara umum selama ini? Bagaimana sejarah Linge sendiri yang sampai melahirkan raja-raja pesisir Aceh seperti yang disebutkan di atas? Tentu pertanyaan terakhir merupakan sumbangsih terbesar etnik ini terhadap Aceh dan kepulauan ini; ketika turunan raja Linge ‘reje Linge’ berhasil menjadi sultan pertama kerajaan Aceh Darussalam serta raja-raja di pesisir Aceh. Lebih dari itu, sebagai peletak pondasi awal kesultan Aceh, sultan ini juga turut serta dalam penyeberan Islam di Aceh ketika itu.

Pekerjaan sejarah Gayo yang masih tersisa tersebut perlu kita sikapi dengan langkah praktis dengan pengkajian, penelitian dan pendokumentasian sejarah. Cukup rasanya menjadi pengalaman pahit bagi masyarakat dataran tinggi tanah Gayo saat kita kesulitan mendapatkan informasi tentang daerah ini terutama sejarah dan kultur masyarakat Gayo itu sendiri. Karenanya, menjadi keharusan bagi kita untuk mengkaji lembaran-lembaran sejarah Gayo melalui suhuf-suhuf yang masih tersebar dimana suku ini pernah hidup dan menghasilkan sebuah peradaban sehingga tabir gelap negeri ini bisa terkuak, ‘genap si mulo, ageh si belem’

Peringatan Hari Pahlawan: Sebuah Catatan

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Pemerhati sejarah, bahasa dan budaya Gayo, & Ketua Yayasan Pusat Kajian Kebudayaan Gayo, Medan, Sumatera Utara)


Semestinya kita tidak semata mempelajari sejarah, namun kita bisa belajar dari sejarah. Akibatnya, kita bisa melihat realitas sejarah dengan bijak,mengahargai apa yang telah dihantarkan dan diberikan pendahulu kita kepada kita hari ini... Al-Gayoni

Tulisan ini lebih melihat, memaknai sekaligus mengkritisi peringatan hari pahlawan secara umum. Secara khusus, tulisan ini lebih menyentuh realitas peringatan hari pahlawan yang ada di dataran tinggi tanoh Gayo khususnya Takengon dan Bener Meriah. Hampir tiap tahun kita memperingati hari pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November. Seperti yang sering kita dengar, peringatan ini sendiri bertujuan untuk mengenang perjuangan para pahlawan atau orang – orang yang telah berjuang sampai kemudian kita ‘merdeka’. Timbul pertanyaan kemudian, “Apakah kegiatan ini hanya sebatas mengenang jasa dan para pahlawan yang telah gugur?” Lalu, “Apa dampak kegiatan ini bagi para pejuang yang masih hidup, keluarga yang ditinggalkan, pelaku kegiatan ini dan umumnya masyarakat kita?”

Kalau kita perhatikan sepintas, kegiatan ini lebih bersifat ceremoni, ‘tradisi yang diada-akan karena keterpaksaan,’ menghabiskan dana, ‘mencitrakan diri’ seolah pejuang yang sesungguhnya dan menghabiskan energi. Meski lebih bersifat subjektif, tapi itulah kenyataan yang penulis lihat. Bukan berarti penulis anti dan menolak pelaksanaan kegiatan ini. Namun, yang kita harapkan adalah keberlanjutan dari kegiatan ini yaitu upaya untuk penghargaan jasa-jasa pahlawan dalam konteks yang sebenarnya terutama bagi pejuang yang masih hidup, keluarga dan penghargaan-penghargaan bagi pejuang lain dalam ruang lingkup yang lebih luas. Misalnya saja, pejuang atau tokoh dalam dunia agama, pendidikan, budaya, sejarah, seni, dan lain-lain.

Salah satu makna dari peringatan ini bagi kita; reje, petue, imem dan rayat bila dihubungkan dalam realitas peringatan hari pahlawan di Takengon, Aceh dan bangsa ini secara umum, adalah nilai – nilai perjuangan pahlawan atau perjuangan itu sendiri yaitu rela berkorban dengan ‘tidak mengorbankan orang lain’, terdepan (lisik, bidik, cerdik, dan mersik), dalam hal ini totalitas untuk melayani rayat, rakyat ‘bukan untuk dilayani,’ menjaga kepentingan generasi mendatang dengan pembangunan yang berkelanjutan, ramah lingkungan dan partisipatif. Begitu juga halnya dengan petue, imem dan rayat, berkorban dengan totalitas, konsisten, fokus dan maksimal dalam memberikan yang terbaik terhadap perkembangan, pertumbuhan dan kemajuan negeri Adi Genali ini dengan peran, fungsi dan wewenang masing-masing.

Kedua, melalui kegiatan ini, kita masih perlu dan harus kembali ke masa lalu dalam proses penggalian, pemeliharaan, pendokumentasian dan pelestarian sejarah perjuangan negeri ini menuju kemerdekaan. Yang ingin penulis tekankan disini bahwa kita tidak mesti larut dengan kegemilangan sejarah masa lalu, namun lebih pada penyelamatan perjalanan sejarah dalam bentuk pendokumentasian tertulis dan visual. Dikarenakan catatan sejarah dari daerah ini masih cukup kurang bila dibandingkan dengan daerah lain, boleh dikatakan dokumentasi dan referensi secara umum tentang Gayo masih sangat terbatas. Penulis melihat satu hal yang positif bahwa pemerintah daerah telah menambalkan nama –nama pahlawan atau orang – orang yang telah berjasa bagi daerah ini untuk nama jalan seperti Adi Genali, Mersa, Sengeda, M. Hasan Gayo, Abu Bakar atau yang lebih dikenal dengan Aman Dimot, (pemakaian nama Aman Dimot ini perlu diselurusi ulang kebenarannya), Nurdin Sufi, Gempar Alam, dan lain-lain. Dengan demikian, nama-nama ini akan terus melekat dalam ingatan orang yang melewati jalan ini. Tidak cukup sampai disitu, harus ada informasi tambahan prihal siapa itu Adi Genali, Munyang Mersa, M. Hasan Gayo yang dikemas dalam muatan sejarah lokal daerah, yang kemudian diajarkan kepada generasi-generasi muda di dunia pendidikan. Akibatnya, generasi muda kita hari ini dan di kemudian hari dapat menghargai apa yang telah diberikan pada mereka hari ini. Barangkali, inilah salah satu faktor, kenapa kita kurang menghargai apa yang telah dihantarkan dan diberikan orang lain kita terutama para pendahulu kita, cenderung berpikir subjektif, suka menjeneralkan dalam melihat permasalahan karena memang kekurangbijakan dan ketidakinginantahuan kita terhadap sejarah.

Penggalian nilai-nilai kepahlawanan, perjuangan dan sejarah yang penulis maksud adalah dengan penulusan kembali sejarah masa lalu secara sungguh-sungguh, fokus dan maksimal. Misalnya, melalui penulisan dan penerbitan buku-buku, seminar, dan lain-lain. Tanggal 19 Februari 2008 yang lalu misalnya, pemerintah daerah kita telah mengadakan seminar nasional Abu Bakar atau Aman Dimot serta mengupayakan almarhum menjadi Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Lebih dari itu, kita perlu mengupayakan upaya yang sama terhadap tokoh-tokoh kita pada masa lalu (masa peperangan zaman kolonialis Belanda dan Jepang) seperti Wali Tengku Tapa (kurir kesultanan Aceh ketika itu), Onot Pejebe, Tengku Ilyas Leube, dan lain-lain. Selain itu, pemerintah daerah sendiri perlu memberikan penghargaan yang sama terhadap tokoh-tokoh yang telah mengharumkan nama daerah ini, A.R. Moese misalnya, ditetapkan sebagai bapak musik Gayo, dan dalam bidang lain dengan tokoh yang berbeda. Untuk itu, legislatif, DPRK Aceh Tengah perlu menunjukkan inisiatif dalam membuat aturan menyangkut nama-nama penghargaan sesuai dengan kebutuhan, substansi dan tujuan dari penghargaan tadi. Misalnyanya saja, Teganing Awards untuk pelaku musik, dan lain-lain.

Dalam hal pemberian nama-nama jalan, penulis melihat terdapat beberapa kesalahan, yang dalam hal ini menggunakan nama-nama pahlawan atau orang-orang yang telah berjasa terhadap daerah ini. Tapi kita; reje, petue, imem, dan rayat hanya diam, padahal kita sadar dan tahu hal itu salah. Sebagai contoh, dalam penulisan peteri ijo, kenapa mesti diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi puteri hijau?. Padahal, kekeberen, cerita peteri ijo ini cukup populer di dan dari daerah kita. Namun, peteri ijo tinggal kekeberen tanpa makna, bekas dan upaya penyelamatan dari masyarakat pewarisnya. Contoh lain, belang mersa menjadi blang mersa (kesalahan penulisan), singah mata jadi singgah mata. Jangan – jangan, akibat kekurangtahuan, ketidakingintahuan, ketidakpedulian sekaligus kesalahan yang dibuat-buat, nantinya Takengon ditulis jadi take dan gone, supaya kelihatan lebih prestius, pake bahasa Inggris. Kampung Ketol jadi desa cacing, jamur laya jadi rumah setan, dan lain-lain. Kesalahan ini kembali pada dangkalnya pengetahuan kita mulai dari reje, petue, imem dan rayat, dalam hal ini, kita semua salah; tidak mau tahu dan menganggap hal ini, hal yang sepele. Berkaitan dengan hal ini pula, menujukan betapa rapuh sikap berbahasa urang, orang Gayo, kurang peduli terhadap pemakaian, penyelamatan dan pelestarian bahasa itu sendiri. Kembali lagi, memang kita tidak punya kepedulian dan tidak mau tahu. Melalui tulisan ini, penulis mengharapkan reje atau eksekutif, pemerintah daerah kabupaten Aceh Tengah lebih maksimal dalam penggalian, penyelamatan dan pelestarian apa yang kita miliki saat ini (sejarah, adat istiadat, budaya, warisan peradaban fisik, dan lain-lain) dengan upaya-upaya yang ril seperti perubahan nama-nama jalan yang salah tadi, dan lain sebagainya.

Ketiga, mempertahanan situs sejarah yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan pembangunan museum Gayo, paling tidak musuem sementara. Dengan demikian, warisan sejarah dapat ditempatkan dalam museum ini. Generasi kita juga terlebih dalam dunia pendidikan tidak hanya belajar sebatas teori, tapi dapat langsung melihat secara visual di musem, dan mendengar penuturan langsung menyangkut nilai – nilai perjuangan pahlawan dan menyangkut sejarah masa lalu daerah ini. Wacana pembangunan museum ini sebetulnya sudah lama diwacanakan, bahkan sebelum penulis lahir, tahun 1983. Tetapi cukup disayangkan, sampai tulisan ini dibuat museum yang diharapkan tidak jadi dan harus kembali diwacakan lagi oleh penulis dan terus menjadi muatan wacana sampai pada akhirnya urang, orang benar-benar hilang dari peradaban. Wacana tadi lebih menjadi pemanis bibir, pemenuh lembar-lembar kertas rekomendasi tanpa aplikasi dan miskin keberlanjutan.

Upaya yang paling minimal sekali adalah mempertahankan arsitek dan gedung-gedung sejarah yang ada. Hari ini, masyarakat Takengon tidak lagi bisa melihat gedung tua di depan Kodim yang erat hubungannya dengan detik-detik awal proklamasi di Takengon, beberapa bangunan lama yang sarat nilai sejarah, yang sekarang digantikan dengan bangunan baru yang tidak punya nilai sama sekali. Jangankan untuk menggali, menyelamatkan dan melestarikan, mempertahankan yang ada saja kita tidak mampu. Kiranya tidak berlebihan rasanya penulis mengatakan hal demikian. Hal ini tentu dikarenakan minimnya wawasan sejarah masa lalu kita menyangkut diri, urang, orang Gayo, sejarah lokal dan warisan peradaban masa lalu yang sampai ke tangan kita hari ini.

Hal lain yang patut menjadi perhatian kita adalah terkadang pendokumentasian sejarah daerah ini tidak terlepas dari rasa suka dan tidak suka serta sarat dengan kepentingan. Kalau suka, maka sejarah pun ditulis dan sebaliknya. Tidak menutup kemungkinan ada penggalan sejarah yang terpotong, tidak ditulis dan dengan sengaja tentunya. Seharusnya, kita bisa lebih bijak dan melihat secara objektif dari sejarah yang ada. Dengan begitu, kita bisa belajar dari kekurangan dan kelebihan pendahulu kita pada masa lalu. Yang kurang (kurang baik) tetap kurang, sementara yang lebih, memang lebih dan harus kita akui kelebihannya. Dalam hal ini, kita tidak hanya mempelajari sejarah tapi kita bisa belajar dari sejarah untuk menumbuhkan kearifan diri.

Di akhir tulisan ini, kembali penulis tegaskan bahwa saat ini kita harus secara sungguh – sungguh menyelamatkan aset sejarah, dalam lingkup yang lebih kecil adalah perjuangan pendahulu-pendahulu kita pada era Belanda dan Jepang. Paling tidak, saat ini kita masih memiliki pelaku peristiwa tersebut, yang menjadi saksi hidup. Satu per satu, mereka pun akan mengikuti pendahulu mereka. Kalau itu yang terjadi, maka kita akan kehilangan sejarah yang sesungguhnya menyangkut risalah perjuangan mereka. Makanya, kita perlu memaksimalkan kembali energi kita dalam upaya penulusan, pendokumentasian, pelestarian dan penyelematan aset yang berharga ini. Sebagai akibatnya, generasi kita pada masa mendatang dapat belajar dan mengetahui lebih tentang perjalanan masa lalu pendahulu mereka.

Mengoptimalkan Pariwisata Takengon

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(www.gayolinge.com, 17 September 2007)


Tidak bosan-bosannya, penulis menyikapi dunia pariwisata dataran tinggi tanoh Gayo,dalam hal ini Takengon untuk menuju pariwisata dunia “Takengon; Toward World Tourism Destination” seperti yang pernah penulis wacanakan dalam majalah bulanan Teganing Edisi Maret & Mei. Tulisan tersebut kembali dimuat di media on line ini; www.gayolinge.com (Juni). Siapa pun yang membaca dua tulisan yang terdahulu, “Takengon; Menuju Pariwisata Dunia, Sebagai Sumbangsih Pemikiran & Takengon; Menuju Pariwisata Dunia, Implikasi Positif& Negatif” mungkin akan berpikir bahwa terlalu muluk menjadikan Takengon sebagai pariwisata dunia. Namun, tidak ada salahnya bila kita membentangkan visi ‘mimpi’ dengan tetap bersandar pada realitas yang ada. Ketika kita membentangkan visi ‘Takengon; Menuju Pariwisata Dunia, segala potensi dan kemampuan kita akan diarahkan untuk mewujudkan impian tersebut. Tinggal lagi, apakah kita punya willing (kemauan) yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan hal tersebut? The tuture belong to those who believe in the beauty of their dream (Eleanor Rosevelt).

Takengon sendiri yang dikenal sebagai daerah pengunungan nan sejuk, memiliki potensi untuk menjadi ikon pariwisata dunia, seperti yang sudah diwacakan sebelumnya, misalnya dengan kekayaan warisan budaya, wajah negeri yang indah terutama dengan danau yang mungil ‘Danau Laut Tawar’, sikap masyarakat tempatan yang ramah, dan lain-lain. Potensi tersebut merupakan sebuah modal yang tak ternilai dan dapat menjadi daya tarik serta pendukung pariwisata.

Di sisi lain, kita perlu mencermati berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada. Kecil memungkinan, daerah ini bisa menjadi arus pariwisata dunia tanpa menutupi dan memperbaiki kekurangan yang ada. Untuk mengoptimalkan pengembangan pariwisata dataran tinggi tanoh Gayo, ada beberapa hal mendasar dan merupakan perioritas yang harus kita lakukan dengan serta merta. Pertama, perlu sebuah kejelasan perihal ‘jenis pariwisata yang hendak kita kembangakan’. Dalam beberapa diskusi menyangkut pariwisata Takengon yang hendak dikembangkan, penulis kerap mendengar konsep ‘wisata islami’. Masih belum jelas, apa sebetulnya wisata islami tersebut?Apakah jenis wisata ini berhubungan dengan perilaku masyarakat dataran tinggi tanah Gayo yang betul-betul islami dan berbeda tempat lain di belahan bumi? Untuk yang pertama ini, kita harus melihat realitas sosial yang ada di masyarakat. Bagaimana kecenderungan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Gayo dewasa ini, yang kadangkala semakin jauh dari aturan Islam dan adat itu sendiri.

Kemudian, apakah pertanyaan di atas lebih mengarah pada destinasi pawisata Takengon sendiri yaitu ‘bukti-bukti sejarah yang mendukung sejarah dan perkembangan Islam di Gayo, Aceh & nusantara’? Dengan kata lain, penulis menyebutnya ‘situs Gayo-Islam’ sehingga dapat menumbuhkan keingintahuan pengunjung. Untuk yang pertanyaan ini, masih memungkinkan dengan keseriusan pemerintah daerah dalam menggali situs-situ sejarah Islam- Gayo tersebut. Dengan adanya spesifikasi jenis pariwisata yang akan dikembangkan, kita bisa lebih memokuskan perencanaan, waktu, energi, finansial dan sumber daya manusia serta faktor-faktor pendukung lainnya. Dari kesepakan tersebut, kita akan menghasilkan motto (brand) yang menjadi ciri khas wisata daerah kita, misalnya, “Takengon; Kota Indah, Wisata Dunia” meski realitas di lapangan, Takengon menunjukan jenis dan potensi wisata yang banyak. Meski demikian, semua potensi wisata tersebut tetap mendukung satu sama lainnya menuju visi pariwisata Takengon tadi. Menyangkut moto, sebagai perbandingan, Malaysia dikenal dengan ‘Malaysia, Trully Asia’, Malang; Kota Bunga, Semarang Pesona Asia, dan lain-lain, bagaimana dengan Takengon?.


Kedua, anggaran; masalah anggaran mutlak diperlukan saat kita mengembangkan sektor ini. Kecil kemungkinan, sektor ini dapat berjalan dengan baik tanpa di dukung dengan kucuran anggaran yang cukup. Disinilah, kita melihat political will dari pemerintah daerah, apakah kita benar-benar ingin mengangkat sektor ini ‘pro tourism’. Dengan anggaran yang mendukung, pengembangan sumber daya manusia pariwisata Takengon dan wisata daerah ini akan lebih maksimal dan sebaliknya.

Ketiga, pembenahan infrastruktur dan suprastruktur yaitu ‘dengan lebih mengutamakan kualitas dua hal tersebut’. Infrastruktur mencakup jaringan jalan, telekomunikasi, listrik, air bersih, rumah sakit, dan lain-lain. Sementara, akomodasi, restauran, hiburan, sovenir, merupakan beberapa bagian dari suprastruktur. Saat ini, kita memiliki dua jalan alternatif menujut tanoh Gayo ‘Takengon’ yaitu jalan Takengon-Bireun dan jalan Takengon-Belang Kejeren. Bahkan kita telah memiliki bandar udara ‘Rembele’ (sekarang ada di kabupaten Bener Meriah) yang merupakan salah satu warisan Drs. H. Mustafa M. Tamy, MM saat beliau menjadi bapak rakyat di ‘negeri penuh misteri ini.’ Dengan demikian, dataran tinggi tanoh Gayo dapat lebih mudah dicapai (access). Untuk jaringan jalan, penulis lebih mempertimbangkan kualitas jalan yang ada. Tentu hal ini, kemudian bertautan dengan tingkat kenyaman, keselamatan dan kepuasan wisatawan. Tidak jarang, jalan menuju daerah kita dan jalan-jalan yang melintasi Danau Laut Tawar, kita dapati ‘kubangan aspal’. Belum lagi, rerumputan liar yang kadang tumbuh subur di bibir jalan. Hal-hal kecil seperti ini, mungkin diluar perhatian kita. Namun, hal sepele di atas berujung pada tingkat keselamatan dan kepuasan wisatawan serta menentukan apakah mereka kembali berkunjung atau mengurungkan niatnya untuk kembali ke daerah kita (repeat visitor). Begitu juga halnya dengan infrastruktur dan suprastruktur yang lain, harus benar-benar mendapat perhatian serius dari pemerintah sebagai policy maker.

Keempat; promosi, kita melihat faktor ini menempati urutan paling bawah dari semua faktor yang ada, layaknya seperti ‘ampung-ampung pulo’. Jangankan destinasi wisata Takengon, masyarakat di luar Takengon dan Aceh sampai tidak mengenal urang Gayo. Seolah, segala sesuatu di daerah tumbuh dan mati dengan sendirinya tanpa perhatian dan sentuhan yang serius dari pemerintah. Dengan lemahnya dan pasif-nya promosi yang dilakukan, sektor ini semakin terpuruk dan jauh tertinggal dari daerah lain. Pencapaian promosi tentang potensi dan destinasi wisata yang kita miliki, bertautan erat dengan kucuran anggaran dana yang disediakan pemerintah. Juga, keberhasilan ini ditentukan oleh sumber daya manusia yang mau, mampu, berkualitas, kreatif, serta bervisi pada kepariwisataan Takengon ‘sehingga pariwisata kita tidak jalan di tempat’. Kita tidak mau, masyarakat kita bertindak sebatas pelaku pinggiran. Kita tidak mau, masyarakat kita menjadi tamu di negerinya sendiri. Karenanya, kita perlu memberikan ruang, memberdayakan dan memanusiakan masyarakat setempat (Al Gayoni).

Keempat hal di atas, merupakan hal mendasar dan prioritas yang harus dibenahi pemerintah, swasta dan penggiat pariwisata di dataran tinggi tanoh Gayo. Sebagai akibatnya, sektor pariwisata Takengon dapat keluar dari kemunduran dan keterpurukan dan optimal menuju, “Takengon; Kota Indah, Wisata Dunia”. Akankah dunia pariwisata kita tetap seperti ampung-ampung pulo?

Takengon, Menuju Pariwisata Dunia: Implikasi Positif dan Negatif

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Majalan Bulanan Teganing, Mei 2007)


Seperti dipaparkan pada tulisan terdahulu “Takengon; Menuju Pariwisata Dunia, Sebagai Sumbangsih Pemikiran”, Takengon, menyimpan dan merupakan daerah yang sangat potensial dalam pengembangan pariwisata menuju pariwisata dunia. Namun, usaha ke arah ini masih terasa belum maksimal. Hal ini bisa kita lihat dari minimnya wisatawan yang melangkahkan kakinya ke daerah ini. Minimnya kedatangan mereka tidak terlepas dari promosi serta dukungan kucuran anggaran dari pemerintah daerah (goodwill). Selain itu, juga masih belum jelas jenis pariwisata seperti apa yang hendak kita kembangkan ke depan. Padahal, daerah ini, dataran tinggi tanoh Gayo, dapat memungkinkan pengembangan multidestinasi wisata pada saat yang bersamaan seperti wisata budaya, wisata konvensi, cagar alam, wisata vilgrim dan adventure tourisme. Berhasil tidaknya “industri pariwisata Takengon”, lebih tergantung pada pemerintah daerah sebagai dicision maker yaitu dinas pariwisata karena mereka-lah yang lebih mengetahui perubahan lima tahun mendatang.

Secara umum, keberhasilan pengembangan industri pariwisata Takengon ini, pada akhirnya akan memperkenalkan dan mempromosikan budaya Gayo serta budaya dari etnik yang mendiami daerah ini, Aceh, Jawa, Padang, Cina, Karo, Toba, Mandailing, Sunda, dan lain-lain. Multikultural ini merupakan modal dan kekayaan tersendiri yang dimiliki Aceh Tengah. Lebih dari itu, akan tercipta mutual understanding karena wisatawan akan melihat dan merasakan langsung panorama alam yang tertata elok serta kekayaan budaya baik fisik maupun non-fisik swiss-nya Indonesia ini.

Disamping itu, buah dari pengembangan ini akan berdampak pada perluasan lapangan kerja. Tetapi, keterciptaan lapangan pekerjaan ini tidak akan berarti “berbuah sia-sia” bila sumber daya tempatan atau lokal hanya melihat, tidak reaktif, menunggu serta menjadi objek dari pariwisata itu sendiri. Oleh sebab itu, dari sekarang, kita “pemerintah dan swasta” harus meyiapakan generasi penerus Gayo yang bervisi pada Tuhan, berwawasan global, dinamis, dan siap pakai dalam semua sektor terlebih pada industri pariwisata. Selanjutnya, ekonomi mikro melalui usaha kecil menengah akan bergerak dan terdorong naik seperti pengrajin kerawang, keni, alas, bawar dan souvenir-souvenir lainnya. Akibatnya, taraf hidup individu dan masyarakat terutama di seputar daerah pariwisata akan meningkat. Akhirnya, hal di atas akan berakumulasi pada peningkatan pendapatan daerah.

Kurang lengkap dan tidak tidak fair rasanya kalau kita hanya mengkaji dampak positif terlebih manfaat ini hanya dirasakan segelintir individu atau kelompok tertentu “memperkaya diri”. Jika pengembangan ini tidak ditata dengan baik dan tidak diserahkan pada ahlinya, maka akan menghasilkan pembangunan yang tidak terarah, salah satunya adalah lingkungan kumuh dengan tata ruang perkotaan yang semeraut. Sebaliknya, pengembangan yang dimaksud harus ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan tidak mengeyampingkan kebutuhan serta hajat hidup generasi penerus negeri ini. Cukup rasanya dan bisa menjadi hikmah bagi kita dari bencana beruntun yang kita hadapi belakangan ini. Hal tersebut sudah barang tentu tidak terlepas dari kebijakan yang salah, sesaat, serakah serta dosa kemanusiaan dan peradaban yang kita perbuat. Kedua, penataan yang tidak benar dari pariwisata akan menghasilkan lingkungan yang kotor. Kita bisa lihat bagaimana wajah kota Takengon saat ini, sampah bertebaran dimana-dimana, rerumputan liar menghiasi pinggir jalan, dan lain-lain meski kebijakan “Takengon Kota Berlian” sudah hadir. Jauh sebelum manusia memikirkan, Allah SWT sudah lebih dahulu merancang kehidupan yang komprehensif bagi manusia terutama prihal urgensi kebersihan. Namun demikian, konsep luhur Tuhan serta kebijakan yang dihasillam jauh dari perilaku kita, malah bangsa-bangsa yang membelakangi Tuhan, dewasa ini menerapkan konsep-konsep yang dihasilkan-Nya.

Ketiga, pariwisata akan berimplikasi pada westernisasi (nagative behaviours, attitudes & habbits), dekadensi moral, hedonisme, materialisme, konsumtif serta terjangkitnya wabah penyakit baru seperti virus HIV AIDS akibat free sex. Keempat, akan menurunkan norma adat dan agama. Hari ini, kita bisa melihat banyak pergeseran-pergeseran nilai dan perubahan mendasar terjadi pada masyarakat kita yang mengabaikan perintah Tuhan dan nilai-nilai agama, menghalalkan semua cara meski nurani tidak membenarkan, idealisme yang tergadaikan, membuat hukum tapi kemudian sebagai pelanggar, disamping adat dan budaya yang sudah terkikis jauh dari tempatnya, seolah tidak ada lagi ruang Tuhan di nurani kita.

Selanjutnya, budaya hanya dijadikan sebagai komoditi, segala sesuatu dihitung berdasarkan angka matematis yaitu untung dan rugi terutama “jatah pribadi”. Kita memang mempraktekan hasil kreasi datu-datu kita dahulu seperti tari Guel, Bines, Saman, Doding, Resama Berume…namun hakekatnya atau secara substansi kita tidak tahu lagi makna filosofis dan historis yang terkandung di dalamnya, terlebih generasi sekarang. Lebih jauh, kita mengaku sebagai orang Gayo tapi kita tidak sadar diri…siapa diri kita sebenarnya, sungguh betapa hati tersayat, tragis dan ironis melihat realitas ini. Nantinya, masyarakat kita akan asing di negeri sendiri dan mengganggap budayanya inferior saat pengembangan ini hanya dilihat dari sisi ekonomi, tidak ramah lingkungan dan dipandang hanya sebagai komoditi.

Harapan penulis, para pembaca dapat mengambil hikmah dalam mengkonsumsi tulisan ini terlebih decision maker dengan bercermin pada realitas sosial hari ini dan masa lalu, “genap si mulo agih si belem”. Dengan demikian, langkah-langkah yang diambil betul-betul berangkat dari perenungan dan pergulatan pikiran yang matang, dengan pendekatan komprehensif yang melibatkan masyarakat luas seperti seperti ulama, budayawan, pakar pariwisata serta akademisi. Konsekuensinya, semua akan merasakan buah jangka panjang dari pengembangan sektor ini.

Takengon: Menuju Pariwisata Dunia, Sebagai Sumbangsih Pemikiran

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Majalah Bulanan Teganing, Maret 2007)


Takengon merupakan salah destinasi wisata di Aceh dan Indonesia. Daerah ini menyimpan begitu banyak rangkaian sejarah dalam lembaran sejarah ‘negeri Malikussaleh dan Iskandar Muda’ serta bangsa ini. Bagaimana seorang raja ‘reje Linge’ berhasil menurunkan Meurah Johan dengan gelar ‘Sultan Alaidin Johansyah’ sebagai sultan pertama kesultanan Aceh Darussalam, Empu Beru, Raja Linge XIII (panglima kerajaan Aceh) serta keturunan reje-reje Linge (raja) lainnya yang tersebar di berbagai pelosok negeri, Syeh Sirajuddin, Wali Tengku Tapa (kurir kerajaan Aceh), Aman Dimot (salah satu pejuang Gayo), Radio Rimba Raya (suara kemerdekaan RI), Masjid Quba Bebesen (salah satu masjid bersejarah bangsa ini), dan lain-lain.

Wajah negeri ini begitu memukau dengan Danau Laut Tawar-nya yang dikelilingi gunung-gunung yang indah dengan hiasan pinus mercusi, Loyang Koro, Ujung Baro, Ujung Kalang, Pante Menye, Putri Pukes, Pantan Terong, bangungan-bangunan bersejarah yang bercerita masa lalu pada kita seperti sisa-sisa kerajaan Linge, Bukit, Syiah Utama dan Cik Bebesen, Buntul Kubu, umah Reje Ilang, dan lain-lain. Kandungan alamnya juga menyimpan kekayaan yang tidak habis-habisnya misalnya emas, uranium, kopi Gayo. Negeri yang melahirkan raja-raja di pesisir ini, juga popular dengan daerah multikultural ‘Indonesia mini’ dan didiami lebih dari tujuh etnikgrup mulai dari Gayo, Aceh, Jawa, Padang, Cina dan sederetan suku lainnya. Mereka ‘anak negeri’ hidup damai dan saling mengisi serta berbagi satu sama lain. Lebih dari itu, negeri ini ‘tanah Gayo’ memiliki warisan budaya yang senantiasa hidup dan mengendap dalam masyarakatnya seperti tari guel, tari resam berume, didong, syair Gayo, kekeberen, melengkan, sebuku, tep onem, ure-ure, kekitiken, makanan, rumah tradisional &senjata yang menjadi cirri khas bangsa ini, kerawang gayo, keni, alas Gayo (Tikar), dan lain-lain.

Tentu hal di atas; site attraction dan event attraction disamping accessibilities (tersedinya sarana transfortasi) serta amenities (infrastruktur dan suprastruktur) menjadi penentu dalam penataan dan pengembangan ‘dunia pariwisata dataran tinggi tanoh Gayo’ mendatang. Namun, diperlukan goodwill dari pemerintah terlebih bupati terpilih dengan participate planning (planning, organizing, monitoring & evaluation). Artinya, masyarakat termasuk kalangan akademisi di Takengon terutama Perguruan Tinggi Gajah Putih harus dilibatkan dalam ‘perencaan partisipatif’ ini. Dengan demikian, mereka turut serta dalam merencanakan kebijakan terlebih rekomendasi ilmiah, yang bukan hanya berisi tentang dampak positif melainkan dampak negatif yang ditimbulkan. Pada akhirnya, kita tidak hanya mengejar ‘pengayaan pendapatan daerah’ dengan ‘memiskinkan jiwa’ masyarakat sekitar daerah pariwisata dan menjadikan mereka sebagai komiditi ‘masyarakat yang kehilangan jati diri’, kebijakan sesaat yang merugikan, tapi masyarakat tadi dapat merasakan arti dan manfaat langsung dari pengembangan ini dengan ‘konsep dan pembangunan dunia pariwisata Gayo yang berkelanjutan’.

Keberhasilan pengembangan sektor pariwisata ini (industri pariwisata) harus didukung dengan anggaran yang memadai (good finance support) seperti yang dilakukan pemerintah Bali dan Malaysia. Mustahil Takengon dapat menjadi daerah tujuan wisata berkelas dunia “Takengon Towards World Tourism Destination” tanpa ditopang dengan dana yang cukup kecuali ‘hanya sepintas wacana’. Lebih jauh, kita perlu mempersiapkan sumber daya manusia (human resources) terkait masalah ini ‘tenaga dan ahli pariwisata’ dan tidak salah menempatkan orang. Sumber daya kita ‘sumber daya lokal’ nantinya tidak hanya termangu melihat, sebagai objek pendatang dan wisatawan serta berada pada level yang paling bawah karena kendala pendidikan dan minim-nya skill yang mereka miliki. Tetapi, mereka harus diberdayakan serta terlibat langsung dalam menentukan kebijakan dan berperan aktif di lapangan. Tenaga ini tidak hanya tahu tentang masalah kepariwisataan; penetapan pasar, mengetahui keinginan pasar, spesialisasi produk, penyesuaian marketing dan penetepan harga tetapi juga faham tentang kultur lokal dan destinasi pariwisata di Takengon. Disamping itu, mereka tidak kaku dengan perkembangan teknologi dan informasi, paling tidak, cepat dan mudah beradaptasi serta memiliki kemampuan bahasa asing yang siap pakai dan layak jual.

Selanjutnya, pemerintah perlu menjaga stabilitas politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, birokrasi yang tidak berbelit dan iklim investasi yang sehat serta bekerjasama dengan pihak swasta (fatnership). Kita bisa melihat bagaimana terutama stabilitas politik yang kurang sehat dan keamanan ‘konflik’ mempengaruhi dunia pariwisata kita. Akibat stabilitas politik yang tidak menentu serta tidak adanya jaminan keamanan menjadikan wisatawan ‘domestik dan asing’ enggan melangkahkan kakinya ke daerah kita. Untuk tahun 2004 saja, misalnya, di Hotel Renggali sebagai hotel berkelas di Takengon, dari 30 kamar yang tersedia, terdapat sejumlah 1.917 wisatawan domestik yang menginap di hotel ini dan tanpa wisatawan asing (BAPPEDA, 2005: 200). Tentu jumlah pengunjung ini masih kecil bila dibandingkan dengan daerah lain. Karenanya, perlu usaha ril dan sungguh-sungguh dari pemerintah dan pengusaha perhotelan yang ada di Takengon untuk mendatangkan wisatawan khususnya dengan kedatangan international NGO saat ini. Momen emas ini harus betul-betul dapat dimafmaafkan oleh pemerintah dan pihak swasta termasuk pengusaha perhotelan dan pariwisata. Akhirnya, nanti peningkatan income perkapita, perluasan lapangan kerja dan pendapatan daerah dapat kita capai.

Terakhir, perlu kegiatan promosi dari pemerintah, dalam hal ini dinas pariwisata yaitu dengan menjadikan “Takengon Towards World Tourism Destination” (Takengon Menuju Daerah Tujuan Wisata Dunia)‘. Hal ini dapat dilakukan dengan advertising yaitu menetapkan calender of event 2007; pacuan kuda, lomba perahu, atraksi budaya, misalnya. Juga melalui sales support seperti brosur, direst-mail, folder, leaflets, booklets, guide book, display material-air liner dan travel agent.

Penulis berharap “Takengon Towards World Tourism Destination” dapat menjadi bahan pertimbangan bagi eksekutif ‘dinas pariwisata’ dalam menata wajah dan mengembangkan dunia pariwisata negeri ini seriring dengan datangnya hari-hari baru mendatang di Aceh Tengah.