Selasa, 23 Maret 2010

Gayo, ‘Miskin Dokumentasi’

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Suhuf-suhuf yang tersebar, itulah ungkapan yang tepat bagi Gayo. Istilah Gayo merujuk kepada tiga entitas, yaitu suku/bangsa (urang Gayo), bahasa (basa Gayo) dan tempat yang didiami suku ini (tanoh Gayo). Ungkapan tersebut kerap penulis gunakan saat bercerita soal sejarah Gayo. Banyak hal yang masih belum terkuak menyangkut rangkaian sejarah dan peradaban Gayo. Mulai dari penjejakan awal di Aceh (etnik yang pertama mendiami Aceh), masa prakerajaan, saat kerajaan Linge terbentuk, masa keislaman, masa kolonialis Belanda, Jepang, kemerdekaan, orde lama, orde baru sampai masa reformasi sekarang. Babakan peradaban tersebut turut membentuk karakter yang mencirikan orang Gayo tiap periodenya. Sayangnya, rangkaian sejarah dan peradaban tersebut tidak terdokumentasi, masih menyebar di banyak tempat di negeri ini. Bahkan hilang, akibat terbakar, tertimbun, hanyut, hilang dan terkubur seiring dengan kepergian pelakunya.

Ironisnya lagi, upaya pemerintah Gayo (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Bener Meriah) masih cukup kurang prihal pendokumentasian sejarah dan peradaban Gayo. Indikasinya bisa dilihat dari kurangnya upaya penulisan dan penerbitan buku-buku Gayo yang diinisiasi Pemerintah Gayo dan Dinas terkait. Lebih-lebih lagi Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah. Biasanya, upaya penulisan tersebut dilakukan beberapa personal yang mau menulis. Namun, niat baik dan upaya personal tersebut kurang dihargai Pemerintah Gayo dalam bentuk dukungan anggaran penelitian, penulisan dan penerbitan. Dalam hal penerbitan biografi A.R. Moese tahun lalu misalnya. Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah berasalan, tidak bisa membantu dana penerbitan yang tidak lebih dari 50 juta karena keterbatasan dana. Belum lagi, kurangnya koleksi yang ada pada Perpustakaan dan Badan Arsip Daerah Aceh Tengah. Pastinya, koleksi buku-buku Gayo di tempat tersebut masih bisa di hitung dengan jari.

Sebaliknya, koleksi buku Gayo lebih banyak dikoleksi secara personal dan tersedia di beberapa tempat di luar Gayo, seperti di Banda Aceh, Medan, Jakarta, bahkan di Leiden (Belanda) dan Munich (Jerman). Di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan misalnya, terdapat 30-an koleksi buku Gayo. Juga, terdapat skripsi, tesis dan disertasi yang sudah dalam bentuk digital. Beberapa hari yang lalu, penulis terkejut dan bersukur dapat membaca Potensi Desa dalam Kabupaten Daerah Tk II Aceh Tengah 1980 Hasil Perencanaan Lengkap Kantor Statistik Kab. Aceh Tengah Daerah Istimewa Aceh dan Farm Suverys in Aceh Tengah and Aceh Utara oleh Jos Diederen (Agricultural Economist) di perpustakaan Leiden melalui internet, yang belum tentu masih tersimpan di Pemkab Aceh Tengah. Dalam hal ini, pihak-pihak luar lebih menghargai pendokumentasian Gayo dibanding masyarakat Gayo sendiri, terlebih lagi Pemerintah Gayo-nya.

Persoalan lain adalah jauhnya jarak waktu ke belakang dalam mengungkap sejarah Gayo, kurangnya pelaku sepuh yang paham Gayo dan masih terbatasnya orang-orang Gayo yang mau menulis. Untuk yang pertama, bisa disiasati dengan kajian arkeologis. Kini, sejarah Gayo mulai terkuak dengan adanya penemuan kehidupan purbakala di Perlak yang berusia 6000 tahun dan Ceruk Mendale dengan usia 3500 tahun. Artefak kepurbakalaan di Perlak dimungkinkan memiliki tautan yang erat dengan keberadaan suku Gayo. Selain masuk dalam wilayah persebaran Gayo (Perlak, Lokop/Serbejadi dan Pulo Tige di Aceh Tumur), daerah ini (Perlak) dimungkinkan sebagai titik awal orang Gayo saat mendiami Aceh sebelum ke wih ni Gayo (hulu sungai Peusangan). Tinggal lagi, perlu sinerjisitas dari Pemerintah Gayo, arkeolog, peneliti, akademisi dengan pihak-pihak yang sadar dan peduli sejarah dan peradaban di Gayo dalam menyikapi kekeritisan bangunan sejarah, budaya dan peradaban Gayo saat ini.

‘Pakat Murum’ Peradaban

Melihat kekritisan peradaban yang dialami Gayo dewasa ini, perlu dilakukan ‘pakat murum’ peradaban. Pakat murum peradaban dimaknai sebagai upaya penguakan sejarah dan peradaban Gayo melalui bedah dan penelitian bersama dengan melibatkan banyak pihak dengan belbagai lintas disiplin ilmu. Selanjutnya, dilakukan upaya pendokumentasian, pensosialisasian dan pengalihbudayaan kepada generasi Gayo yang lebih muda. Upaya ini akan lebih maksimal kiranya dilakukan Pemerintah Gayo. Dalam hal ini, diinisasi Pemerintah Aceh Tengah selaku induk dengan melibatkan ketiga daerah lainnya, yaitu Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Bener Meriah serta pelbagai pihak secara personal dan kelembagaan di titik-titik persebaran orang Gayo di Aceh, dan di luar Aceh.

Terlebih, dewasa ini, kesadaran orang Gayo menyangkut eksistensi sosialnya semakin menguat. Hal tersebut di dukung dengan sarana IT melalui jejaring sosial facebook yang semakin meningkatkan komunikasi dan kesadaran sosial orang Gayo. Salah satunya, adalah I Love Gayo yang sampai penulisan ini telah beranggotakan 3.206 orang. Sebelum 2008, komunikasi antarorang Gayo yang di Takengen, Kotacane (Aceh Tenggara), Serbejadi (Aceh Timur), Pulo Tige (Aceh Tamiang), Gayo Lues, Betung (Nagan Raya), Aceh Selatan, Bener Meriah, di hampir semua propinsi Indonesia, bahkan di luar negeri ‘terputus.’ Dan, sebelum tahun 1942, sarana transportasi cukup buruk dari dan ke tanoh Gayo dan masih belum ‘layak’ sampai sekarang. Begitu juga dengan IT, yang baru berkembangan di tahun 2000-an. Puncaknya, kesadaran personal dan kolektif tersebut berbuah dengan kesepakatan tahun kebangkitan orang Gayo pada tahun 2009. Kesadaran kolektif tersebut perlu dipelihara dan ditidaklanjuti dengan belbagai kegiatan menuju perbaikan dan kemajuan Gayo. Salah satunya, melalui pakat murum peradaban tadi.

Disamping rangkaian kegiatan yang sudah disebutkan, yang menjadi penekanan dalam pakat murum peradaban tadi, adalah perlunya penumbuhkembangan aktivitas menulis pada masyarakat Gayo. Satu diantara kekurangan orang Gayo selama ini adalah masih kurangnya aktivitas menulis karena tidak ada upaya yang berkesinambungan dari pemangku keputusan di Gayo. Akibatnya, pengalihperadaban tertulis kepada generasi muda tidak terjadi. Konsekuensi terburuk, sejarah dan rangkaian peradaban Gayo banyak yang hilang. Sudah barang tentu, upaya ini harus bersinerji dari semua pihak dengan penyediaan sarana dan pembentukan lingkungan menulis yang mendukung.

Lebih dari itu, untuk menjaga dan melestarikan suhuf-suhuf peradaban Gayo yang tersebar tadi perlu dikumpul dan disatukan dalam sebuah tempat. Untuk itu, perlu dibangun Museum Gayo yang anggarannya berasal dari pemerintah Gayo (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Bener Meriah), pemerintah Aceh dan pihak luar. Koleksinya bisa berasal dari hasil pengumpulan suhuf-suhuf yang sudah dilakukan, koleksi personal dengan pembayaran yang pantas, Museum Aceh, dan di beberapa perpustakaan dan museum di Indonesia. Bahkan, sampai ke Belanda dan Jerman yang menyimpan situs Gayo, Aceh dan Alas.

Melalui upaya di atas, pengalihan perabadan kepada generasi muda akan dapat berjalan dan maksimal, terlebih saat diinternalkan dalam dunia pendidikan mulai dari tingkat bawah sampai perguruan tinggi. Kalau tidak dengan segera dilakukan, Gayo akan kehilangan jati diri di tengah arah dan pijakan bangunan sosial budaya yang rapuh. Ditambah lagi, hempasan budaya luar yang deras di tengah perkampungan budaya global. Pada akhirnya, Gayo akan menjadi ‘kekeberen’ (dongeng) masa depan dan asing bagi anak negeri (generasi Gayo mendatang) dan di negerinya sendiri.


*Pemerhati Bahasa, Sejarah dan Kebudayaan Gayo.
Sumber: http://gayolinge.com/detail/Opini/L/345-Gayo_Miskin_Dokumentasi (11 Maret 2010)

‘Jujang’ & ‘Jangko’ untuk Kemajuan Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Tahun 2009, disepakati sebagai tahun kebangkitan ‘urang’ dan tanoh Gayo. Kesepakatan tersebut lahir dari kesadaran personal melihat realitas masa lalu, kekinian dan kerisauan masa depan ‘tanoh tembuni.’ Pelbagai persoalan melilit tanoh tembuni, dengan asa, harap dan penantian tanoh Gayo yang lebih baik. Kesadaran personal tersebut berujung pada kesadaran kolektif yang lebih luas. ‘Anak negeri’ menyadari betapa rapuhnya bangunan sosial budaya masyarakat Gayo. Eksistensi sosial masyarakat Gayo yang kian kritis di tengah alih budaya yang kurang. Wajah masa lalu yang masih belum terkuak. Yang ada, hanya sisa suhuf-suhuf yang tersebar. Dan, hilang seiring kepergian pelakunya. Akhirnya, kembali menjadi ‘kekeberen’ masa depan, asing bagi penerus dan di negeri ini ‘tanoh Gayo’. Belum lagi, dengan pijakan yang rapuh, bangunan dan wajah budaya Gayo kerap di hempas arus budaya yang cukup deras. Tak mustahil, bangunan budaya masyarakat ini runtuh seketika di tengah perkampungan budaya global.

Semangat kebangkitan tersebut perlu di pelihara, terlebih lagi bagi generasi Gayo yang lebih muda. Begitu juga dengan pemberdayaan kesadaran kolektif masyarakat Gayo harus terus di dorong dengan penyatuan visi bersama ‘be kekire naru.’ Visi bersama tersebut harus mampu menyentuh ‘ate dan ‘rasa’ masyarakat ini, yaitu dengan menyinggung soal eksistensi sosial tadi. Bangsa Gayo adalah bangsa minoritas yang kurang ‘diuntungkan’ dalam rangkaian sejarah. Karenanya, persoalan eksistensi tersebut perlu dikuatkan, ‘ke nge tikik pe, gelah cerdik, lisik, bidik den mersik’. Demikian halnya, dalam tataran misi bersama dan pelaksanaan di lapangan ‘langkah.’ ‘Urang dan tanoh Gayo’ harus bersatu ‘gelah musara.’ Berbicara soal Gayo, adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tidak ada Lut, Deret, Lues, Alas, Serbejadi/Lokop, Kalul, Uken dan Toa. Tidak menjadi soal dan tak bisa dipungkiri adanya perbedaan letak geografis. Namun, perbedaan geografis dengan penyebutan nama yang berbeda kemudian merupakan kekayaan, jati diri dan potensi dalam membangun tanoh Gayo. Perbedaan tersebut harus diterima sebagai sebuah pemberian ‘ethic of dignity,’ bukan sebagai pilihan ‘ethic of choice.’ Oleh karena itu, pelbagai potensi, semangat dan ruh ke-Gayo-an tersebut harus kerap dipertahankan untuk kemajuan dan tanoh Gayo yang lebih baik dalam perspektif yang luas dan berjangka panjang.

Selanjutnya, dalam tataran ‘langkah’ (misi), yang tak kalah penting, adalah prihal kaderisasi. Dalam sejarah organisasi sosial kemasyarakatan, kepemudaan dan kemahasiswaan Gayo sejak tahun 1940-an, rasanya hal ini masih kurang mendapat perhatian lebih. Dalam kurun waktu 70 tahun, kondisi organisasi tanoh Gayo cukup pluktuatif. Ada masa keemasan dengan pencapaian puncak dan sebaliknya masa kegelapan. Organisasi tersebut jatuh terjeramab, tidak lagi mampu bangun dan berjalan tegak. Masa keemasan tersebut ada pada kelahiran generasi 1930/1940-an. Selain itu, terdapat pula masa ‘pengkerdilan,’ dengan senioritas dan didominasi tokoh-tokoh tua. Tidak ada ruang kreasi, pengembangan dan aktulisasi diri bagi yang lebih muda. Akibatnya, roda kaderisasi tidak terjalan, alih generasi terputus dan tanoh Gayo kekurangan tokoh. Tidak ada tokoh alternatif dan sulit melahirkan tokoh baru di tengah kekritisan kondisi tersebut. Masa ini dialami generasi kelahiran 1970-an. Berbeda dengan kondisi sebelumnya, dan menyadari kekurangan dan pengalaman pahit sebelumnya, kelahiran 1970 sampai sekarang tidak lagi berjarak ‘nge murum musara.’ Hal tersebut dapat dilihat dalam pelbagai bentuk kegiatan belakangan. Secara keseluruhan, pang-pang Gayo masih terbatas, berterima dan diperhitungkan di pentas nasional. Terlebih lagi, menyangkut peran serta personal dan kolektif di dunia internasional. Kalau pun ada, jumlahnya masih hitungan jari dengan publikasi yang terbatas dan kurang dikenal masyarakat asalnya ‘urang/tanoh Gayo.’

Sisi lain, masih banyak yang tercecer dari perjalanan organisasi ini karena miskinnya dokumentasi. Kalau dikalkulasikan, sudah berapa banyak organisasi tanoh Gayo yang muncul sejak tahun 1940-an? Namun, rekam jejak, dinamika dan pluralitas organisasi dan pencapaian personal dan keorganisasian banyak yang hilang seiring pergantian waktu. Padahal, rekam jejak di maksud merupakan salah satu barometer pencapaian dan kontribusi ril masyarakat Gayo pada negeri ini. Sebaliknya, meski terseleksi secara sosial, keberadaan organisasi tersebut menceritakan banyak hal, untuk dijadikan pijakan bagi penerusnya. Sayangnya, cerita tertulis perjalanan organisasi tersebut tinggal angan-angan. Dan, penerus penerus Gayo tidak bisa belajar dari sejarah masa lalu mereka.

Selain kaderisasi dan miskinnya dokumentasi internal, kekurangan lain dari organisasi dan umumnya masyarakat Gayo, adalah kurangnya pengasahan jiwa ‘entrepreneurship.’ Semangat ‘entrepreneurship’ ini kurang ditumbuhkan baik secara personal maupun dalam organisasi. Padahal, dalam kurun waktu sebelumnya (masa penjajahan dari babakan sejarah Gayo), di tanoh Gayo lahir entrepreneur yang cukup dikenal dan tangguh, yaitu Aman Kuba yang pada masanya telah menembus pasar luar negeri. Namun, dalam waktu berikutnya, tanoh Gayo masih belum memiliki dan melahirkan ‘entrepreneur’ dengan ‘social responsibility’ seperti Aman Kuba. Persoalan inilah yang mesti dikuatkan melalui personal dan organisasi Gayo, sehingga ke depannya generasi Gayo bisa kuat secara ekonomi dan manpaatnya berdampak luas bagi ekonomi tanoh Gayo dan Aceh secara keseluruhan.

Dalam kurun waktu terakhir, organisasi Gayo tak ubahnya seperti ‘ampung-ampung pulo’ karena keroposnya kaderisasi, menguatnya urang-urang, keakuan dan semakin apatis terhadap keberadaan organisasi dan nasib urang/tanoh Gayo. Karena, keberadaan organisasi tersebut hanya sebagai pelengkap, tanpa memberikan manfaat yang lebih bagi diri, pengurus dan masyarakat tanoh Gayo. Gambaran tersebut bisa di lihat baik di Gayo maupun di luar tanoh Gayo (di perantauan). Keradaanya hanya sekedar pelengkap eksistensi sosial. Di lain pihak, banyak pula yang hilang akibat seleksi sosial itu sendiri. Namun, dalam implementasi kegiatannya lebih banyak yang bersifat seremoni ‘lahiriah’, salah satunya adalah ‘halalbilhalal’ yang dirangkai dengan pertunjukkan malam kesenian tanoh Gayo seperti tari guel, saman dan didong. Terakhir, kegiatan-kegiatan lahiriah di atas dikemas dalam bentuk Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) yang dilanjutkan dengan pemilihan pengurus baru, yang pertemuannya biasanya berlangsung di awal dan di akhir tahun. Lebih jauh, masih banyak persoalan substantif yang luput perhatian pengurusnya, terutama soal identitas, eksistensi sosial, entrepreneur dan umumnya menyangkut kelangsungan orang Gayo baik di Gayo maupun di luar tanoh Gayo (perantauan).

Karenanya, soal kaderisasi, eksistensi sosial, entrepreneurship, kelangsungan orang Gayo tambah pelbagai persoalan yang melilit tanoh Gayo perlu perhatian serius dari penerus tanoh Gayo hari ini dengan konsep ‘jujang’ dan ‘jangko’ (alang tulung beret be bantu). Secara teknis, orang Gayo perlu menyebar lintas geografis, keilmuan dan profesi. Kuat dan diperhitungkan di bidangnya masing-masing. Sementara, pang-pang Gayo yang lain ‘mu jujang’ dan yang lain ‘mu jangko.’ Setelah itu, perlu di bangun dan dikuatkan pijakan ‘tungkelen’ dengan alih generasi ‘gere mate pucuk’ dengan saling berkomunikasi dan berbagi ‘besitulung tempuhen.’ Selanjutnya, pelbagai potensi tersebut dipusatkan ‘mu tumpu’ ke tanoh Gayo. Pada akhirnya, orang/tanoh Gayo akan punya nilai tawar dan nilai jual lebih ‘i timang beret i juel mu rege.’ Namun demikian, semangat dan ruh kebangkitan perlu terus ditanamkan, komitmen dan konsistensi berbagi dan berbuat perlu senantiasa dijaga, terlebih kepada generasi mudanya. Tidak ada orang lain yang akan memperbaiki orang/tanoh Gayo selain orang Gayo itu sendiri. Kalau tidak demikian, kebangkitan dan kemajuan urang Gayo dan ‘tanoh tembuni’ hanya sebuah keniscayaan.


*Pemerhati Bahasa, Sejarah dan Kebudayaan Gayo
Sumber: www.gayolinge.com (16 Februari 2010)