Kamis, 28 Juli 2011

Perpustakaan (Taman Baca) Gayo

foto: networkedblogs.com

1. Abd Salam, Ridhwan. 2010. Tari Saman
2. al-Gayoni, Yusradi Usman. 2006. The Use of Vernacular Language Among the Gayonese Students of USU (Skripsi). Medan: Departemen Sastra Inggris USU
3. al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik (Tesis). Medan: Program Pascasarjana USU
4. al-Gayoni, Yusradi Usman. 2012. 7 Tahun Ikatan Mahasiswa Takengon (IMTA)-Sumut (2001-2008). Jakarta Selatan: Pang Linge dan Research Center for Gayo 5. al-Gayoni, Yusradi Usman. 2012. A.R.Moese: Perjalanan Sang Maestro. Jakarta Selatan: Pang Linge dan Research Center for Gayo 6. al-Gayoni, Yusradi Usman. 2012. Ekolinguistik. Jakarta Selatan: Pang Linge dan Research Center for Gayo 7. al-Gayoni, Yusradi Usman. 2012. Tutur Gayo. Jakarta Selatan: Pang Linge dan Research Center for Gayo 8. Aman Faridah, Banta. 1985. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo 3 Kumpulan Didong. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
9. Aman Pinan, A.R. Hakim. 1984. Merkat Jomang Entan Pase. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
10. Aman Pinan, A.R. Hakim. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo Seri IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
11. Aman Pinan, A.R. Hakim. 1986. Mabuk Ni Genye Soyong Ni Ragi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
12. Aman Pinan, A.R. Hakim. 1998. 1001 Petatah Petitih Gayo. Takengon: Panitia Penerbitan Buku Adat dan Budaya Gayo
13. Aman Pinan, A.R. Hakim. 2002. Asal Linge Awal Serule. Takengon: Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah
14. Ara, L.K&Medri. 2009. Ensiklopedi Aceh Adat, Hikayat dan Sastra. Banda Aceh: Yayasan Mata Air Jernih
15. Ara, L.K. 1979. Sebuku Seni Meratap di Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
16. Ara, L.K. 1982. Didong Lakiki. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
17. Ara, L.K. 1982. Kur Lak Lak. Jakarta: Balai Pustaka
18. Ara, L.K. 1996. Namaku Bunga. Jakarta: Balai Pustaka
19. Ara, L.K. 2006. Ekspresi Puitis Aceh Dalam Menghadapi Musibah. Aceh: BRR NAD – Nias
20. Ara, L.K. 2006. Kemilau Bener Meriah. Takengon: Yayasan Mata Air
21. Ara, L.K. 2006. Puisi Didong Gayo. Jakarta: Balai Pustaka
22. Ara, L.K. 2006. Syair Tsunami. Jakarta: Balai Pustaka
23. Ara, L.K. 2006. Tanoh Gayo Dalam Puisi. Takengon: Yayasan Mata Air
24. Ara, L.K. 2007. Sastera Gayo.
25. Asharyadi. 2008. Lingeku Sayang Lingeku Malang. Takengon: Percetakan Karisma
26. Bowen, John Richard. 1991. Sumatran Politics and Poetics, Gayo History, 1900-1989. United States of America: Yale University
27. Bowen, John Richard. 1993. Muslims through Discourse; Religion and Ritual in Gayo Society. West Sussex: Princeton University Press
28. Cut, Rafinis Banta. 2004. Adat Istiadat Budaya Gayo Takengen Neggeri Antara. Takengon: Percetakan Djalil Photo Takengon
29. Dandy, Abdurrahim. 1979. Sejarah Daerah Suku Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
30. Dardanila. 2004. Pronomina Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut (Tesis). Medan: Program Pascasarjana USU
31. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984. Kumpulan Seni Tradisional Gayo Didong. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
32. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1986. Peribahasa Gayo. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
33. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991/1992. Diskripsi Tari Saman. Banda Aceh: Proyek Pembinaan Kesenian Daerah Istimewa Aceh
34. Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1976. Cerita Rakyat Dari Aceh. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI
35. Djamil, M. Junus. Gadjah Putih Iskandar Muda
36. Eades, Domenyk. 2005. A Grammar of Gayo: a Language of Aceh, Sumatra. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies
37. Fischer, H.W. Atjeh, Gajo-En Alaslanden
38. Gayo, M. H. 1983. Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.
39. Gayo, Muhammad Daud. 2011. Otobiografi Menapaki Jalan Berliku Meraih Cita-Cita. Jakarta: Gema Insani
40. Hanafiah, Sulaiman. 1985. Sastra Lisan Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
41. Hasjmy, Ali. 1975. Merah Johan.
42. Hurgronje, C. Snouck (Hatta Hasan Aman Asnah). Masyarakat Dan Kebudayaannya Awal Abad Ke-20. 1996. Jakarta: Balai Pustaka
43. Hurgronje, C. Snouck. 1996. Tanoh Gayo dan Penduduknya: Penerjemah Budiman S. Jakarta: Balai Pustaka
44. Husna, Salwa. 2003. Sistem Morfologi Verba Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut (Tesis). Medan: Program Pascasarjana USU
45. Ibrahim, Mahmud & A.R. Hakim Aman Pinan. 2005. Syariat dan Adat Istiadat Jilid 3. Takengon: Yayasan Maqmam Mahmuda
46. Ibrahim, Mahmud&A.R. Hakim Aman Pinan. 2009. Syariat dan Adat Istiadat Jilid II. Takengon: Yayasan Maqamammahmuda
47. Ibrahim, Mahmud. 2001. Mujahid Dataran Tinggi Gayo. Takengon: Yayasan Maqmam Mahmuda
48. Ibrahim, Mahmud. 2007. Mujahid Dataran Tinggi Gayo. Takengon: Yayasan Maqmam Mahmuda
49. Jafar, AS. 1988. Upacara Adat Pengantin Gayo (teori).
50. Jafar, M. Adat Perkawinan Dalam Masyarakat Gayo Setelah Berlakunya Undang Undang Nomor I Tahun 1974 di Kabupaten Aceh Tengah
51. Jos Diederen (Agricultural Economist). Farm Suverys in Aceh Tengah and Aceh Utara
52. Kadir, Ibrahim & L.K. Ara. 1980. Cencim Pala. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
53. Kadir, Ibrahim, dkk. 1982. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
54. Kantor Statistik Kab. Aceh Tengah DIA . Potensi Desa dalam Kabupaten Daerah Tk II Aceh Tengah 1980 Hasil Perencanaan Lengkap
55. Kasim, Abu & L.K. Ara. 1982. Amruna. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
56. Ketut, Wiradyana dan Taufiqurrahman. 2011. Gayo Merangkai Identitas. Jakarta: Pustaka Obor 57. Kobat, Fatimah. 1987. Kumpulan Cerita Rakyat Gayo. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
58. Latief. AR. Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas. Bandung: Kurnia Bupa
59. Majelis Adat Aceh Negeri Gayo. 2007. Kumpulan Butir – Butir Adat Negeri Linge, Qanun Hukum Adat Gayo, Qanun Organisasi Majelis Adat Aceh Negeri Gayo serta Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat. Takengon: Majelis Adat Aceh Negeri Linge
60. Melalatoa, M.J. 1981. Kebinet Dalam Sastra Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
61. Melalatoa, M.J. 1981. Kebudayaan Gayo. Jakarta: Balai Pustaka
62. Melalatoa, M.J. 1983. Pseudo Moiety Gayo: Satu Analisa tentang Hubungan Sosial menurut Kebudayaan Gayo (Disertasi). Jakarta: Universitas Indonesia
63. Melalatoa, M.J. 2001. Didong Pentas Kreativitas Gayo. Jakarta: Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan dan Yayasan Obor Indonesia berkerjasama dengan Yayasan Sains Estetika dan Teknologi
64. Melalatoa, M.J. et al. 1985. Kamus Bahasa Gayo – Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen pendidikan dan Kebudayaan.
65. Munif, Achmad & Sabiqul Khair S. 2006. Potret Jejak Langkah Seniman Gayo. Yogyakarta: Pusat Studi Kebijakan Daerah
66. Panitia PKA IV Kabupaten Aceh Tengah. 2004. Merah Johan Sulatan Pertama Aceh Darussalam Dengan Gelar Sultan Alaidin Johansyah. Takengon: Panitia PKA IV Kabupaten Aceh Tengah
67. Pulungan, Arifin. Kisah dari Pedalaman, Perang Kemerdekaan RI dalam Daerah Sumatera Utara dan Aceh Menentang Penjajah
68. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1984. Sistem Perulangan Bahasa Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
69. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981. Bahasa Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
70. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985. Kata Tugas Bahasa Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
71. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985. Pemetaan Bahasa Aceh, Gayo dan Alas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
72. Puspitawati. 2001. Pemanfaatan Tumbuhan dalam Kehidupan Komunitas Suku Gayo dan Hubungannya Dengan Kelestarian Keanekaragaman Hayati (Tesis). Medan: Program Pascasarjana USU
73. R, Thantawi. 1996. Kamus Bahasa Indonesia – Bahasa Gayo I. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
74. R, Thantawi. 1996. Kamus Bahasa Indonesia – Bahasa Gayo II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
75. Rais, Yumna Ed. 2008. Prof. Dr. Teungku H. Baihaqi A.K. Langkah-Langkah Perjuangan. Bandung: Tetungi Pasir Mendale
76. Rasyid, Harun & L.K. Ara. 1980. Alam Kubur Saer Saer Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
77. Rasyid, Harun & L.K. Ara. 1982. Tamur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
78. Rauf, Abd & L.K. Ara. 1982. Tajuk Dilem. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
79. S, Desi Ari Natalia. 2008. Deskripsi Tari Guel Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Gayo di Kota Medan (Skripsi). Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi
80. Saleh, M. 2004. Ekosistem Danau Laut Tawar 2000 (Laut Tawar Selayang Pandang/Karakteristik Danau Laut Tawar). Takengon: BAPPEDA Kabupaten Aceh Tengah
81. Soravia, Giulio. 1984. A Sketch of the Gayo Language. Catania University
82. Sufi, Rusdi et all. Perhiasan Wanita Aceh dan Gayo
83. Syukri. 2006. Sarakopat Sistem Pemerintahan Gayo dan Relevansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Hijri Pustaka Utama
84. Tantawi, Isma dan Buniyamin. 2011. Pilar-Pilar Kebudayaan Gayo Lues. Medan: USU Press
85. Tantawi, Isma. 1994. Kumpulan Puisi Gayoku Sayang. Medan: USU Press
86. Wahab, M. Salim. 2003. Sejarah Singkat Terbentuknya Kabupaten Gayo Lues. Belang Kejeren: Pemerintah Daerah Kabupaten Gayo Lues
87. Wahab. M. Salim. Bahasa Gayo Lues. Belang Kejeren: Majelis Pendidikan Daerah
88. Wasis, Andi. Merah Silu, Cerita Rakyat Aceh
89. Yacobi, A.K. 2006. Wali Tengku Tapa Pejuang Dan Kurir Sultan Aceh Melawan Belanda. Jakarta: Yayasan Seulawan RI – 001
90. Zainuddin. 2001. Sistem Nominalisasi Bahasa Gayo (Tesis). Medan: Program Pascasarjana USU

Blang atau Belang (Sebuah Tanggapan untuk Syamsuddin Said)?


Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Penulis kembali merasa tergelitik untuk menulis kembali soal penulisan nama ibu kota Kabupaten Gayo Lues. Terlebih, setelah membaca tulisan Syamsuddin Said dalam Lentayon Edisi II Tahun ke-1 2011. Yang manakah penulisan yang benar, blang atau belang? Persoalan ini menarik dicermati, karena menyangkut tata penulisan yang benar dan baik dalam bahasa Gayo (morfologi bahasa Gayo). Lebih dari itu, kata tersebut mengandung makna filosofis, historis, dan sosio-kultural masyarakat Gayo Lues. Terakhir, meski hanya satu kata, namun identitas orang Gayo ada di dalamnya.

Dewasa ini, di tanoh Gayo cenderung terjadi kesalahan penulisan kata dalam bahasa Gayo, khususnya yang merujuk pada nama tokoh, kampung (daerah), dan nama jalan. Salah satunya adalah penulisan kata blang tadi. Selain itu, ada blang mersa, blang bebangka, dan lain-lain. Kecenderungan kedua adalah adanya pengalihbahasaan kata tertentu dalam bahasa Gayo ke bahasa lain. Misalnya, singah mata→singgah mata, peteri ijo→puteri ijo, atu lintang→batu lintang, dan lain-lain. Apakah penulisan tersebut disengaja atau sebaliknya? Kemudian, apakah karena ketidaktahuan atau ketidakmautahuan?

Berangkat dari hal di atas, nyata sekali kalau, pertama: orang Gayo sendiri kurang mensyukuri warisan leluhur mereka. Kedua, kurang (“tidak”) menghargai bahasa, sejarah, dan budaya mereka sendiri. Pada hakikatnya, mereka yang merendahkan, meninggalkan, dan mengasingkan budayanya sendiri. Hal tersebut lebih disebabkan karena ketidaktahuan dan ketidakmautahuan seperti pertanyaan di atas. Akibatnya, mereka merasa gengsi, malu, inferior, dan permisif. Alhasil, terjadi-lah hal di atas. Lebih luas, dalam berbahasa, mereka (sesama orang Gayo) lebih berbahasa kede (bahasa Indonesia) dibandingkan berbahasa Gayo.

Dalam tulisannya yang bertajuk “Asal Usul Kota BlangKejeren,” Syamsuddin Said menuliskan bahwa kata Blangkejeren’ terdiri dari suku kata, yaitu ‘blang’ dan ‘kejeren’. Akan tetapi, kemudian, lama-kelamaan menjadi satu seperti sekarang ‘Blangkejeren’ (hal 19). Selanjutnya, kemungkinan ‘blangkejeren’ berarti ‘lapangan kejurun’ atau ‘lapangan raja’. Kenapa disebut demikian? Karena zaman dahulu, penguasa tertinggi di Gayo Lues adalah raja dengan gelar kejurun, yaitu kejurun petiambang dan kejurun dagang. Dibawahnya, ada raja, yaitu Raja Bukit, Reje Kemala, dan Raja Kemala Derna. Di bawah itu lagi, ada beberapa raja cik. Ada dugaaan pada setiap tahun, raja-raja di Gayo Lues berkumpul di situ untuk menyaksikan pertunjukkan kesenian rakyat pada hari raya idul fitri (hal 20). Sayangnya, kapan orang Gayo bermigrasi ke sini? Dan kapan “ kota ” ini terbentuk? tidak ditemukan dalam tulisan tersebut. Pastinya, masih menjadi teka-teki gelap sejarah.

Namun, tulisan Syamsuddin Said sangat berharga dan bermanfaat dalam menjejaki asal muasal dan makna kata ‘blangkejeren’. Pertama, terkait penulisan kata ‘blang’ atau ‘belang’, penulis sendiri lebih cenderung ‘belang’ dibandingkan ‘blang.’ Masalah ini, pernah penulis uraikan dalam ‘Lentayon pada Edisi VII Thn III 2009’ yang isinya dikutip sebagai berikut

Dalam konteks morfologi, penulisan kata pada bahasa Gayo, jarang ditemukan pola KK (konsonan-konsonan). Untuk kasus bahasa daerah di Aceh, pola seperti itu dapat kita temukan salah satunya dalam bahasa Aceh. Sebaliknya, dalam bahasa Gayo lebih berpola KV (konsonan vokal) atau VK (vokal konsonan) seperti dalam kata gule, kupi, ume, uwe, dan lain-lain. Dengan demikian, kata blang harusnya ditulis dengan belang. Jadi, Blang Kejeren ditulis menjadi Belang Kejeren. Demikian halnya dengan nama kampung atau tempat yang sebelumnya ditulis dengan kata blang, harusnya ditulis jadi belang.

Lebih lanjut, bila kita merujuk ke Kamus Bahasa Gayo – Indonesia karya Prof. M.J. Melalatoa (Antrofolog UI), tidak ditemukan adanya kata blang tersebut dalam bahasa Gayo. Sebaliknya, yang ada kata belang yang berarti, pertama: lapangan, padang dan kedua: campuran makna (1982:28). Dari kajian fonetik atau bunyi, tekanan suara juga ada pada be bukan bl. Juga, tidak terjadi pelesatan pada kata ini “blang” tapi tetap dilafalkan belang. Jadi, dari mana asal mula kata tersebut? Dan apakah kata blang ini murni bahasa Gayo?

Kedua, dari tulisan Syamsuddin Said pula, penulis beranggapan bahwa ‘kejeren’ berasal dari kata ‘kejurun’ yang merujuk pada ‘kejurun petiambang’ dan ‘kejurun dagang’. Dari kata kejurun→kejeren, bisa dilihat bahwa terjadi inovasi pada kata ‘kejeren’. Tepatnya, pada vokal u→e (kejurun→kejeren). Bagaimana kata tersebut berinovasi? Dan kapan? Hal ini tidak terlepas dari proses awal migrasi orang Gayo ke Gayo Lues (sebelumnya bergabung bersama Kota Cane). Selain itu, dipengaruhi pula oleh kontak bahasa, budaya, etnik, dan lingkungan penutur (orang Gayo) pada masa itu. Dari perspektif linguistik, penelusuran tersebut bisa didalami dari kajian Linguistik Historis Komparatif (LHK) dengan mengkaji-banding kata tadi (kejeren) dengan kata pada bahasa-bahasa lainnya yang bermoyang sama dengan bahasa Gayo.

Ketiga, penulis sepakat dengan pernyataan awal Syamsuddin Said bahwa ‘blangkejeren’ terdiri dari suku kata, yaitu ‘blang’ dan ‘kejeren’. Dari sisi fonologi (bunyi), morfologi (kata), dan semantik (arti/makna), kata tersebut terdiri dari dua suku kata. Dengan demikian, penulisan kata tersebut harus dipisah menjadi ‘belang kejeren’ (bukan ‘blangkejeren’).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ‘belang kejeren’ terdiri atas dua suku kata, yaitu ‘belang’ tambah ‘kejeren’ dan dilafalkan terpisah. Dalam penulisannya, ‘blang’ ditulis ‘belang’ dan ‘blangkejeren’ ditulis terpisah, menjadi ‘belang kejeren’. Selanjutnya, ‘belang’ berarti lapangan atau padang . Sementara, ‘kejeren’ berasal dari kata ‘kejurun’ yang merujuk pada ‘kejurun petiambang’ dan ‘kejurun dagang’. Dengan demikian, kata ‘belang kejeren’ bermakna lapangan atau padang kejurun. Lapangan (belang) tersebut digunakan para raja (kejurun) yang ada di Gayo Lues sebagai tempat untuk berkumpul dalam acara, maksud, dan tujuan tertentu.


* Pengkaji/Pemerhati Bahasa, Kolektor Buku Gayo, dan Ketua Research Center for Gayo

Sumber: Majalah Lentayon, Edisi IV Thn I 2011