Selasa, 07 Agustus 2012

Ini Dia, Tiga Buku Gayo * Berkisah Tentang Tutur, Tarian dan Biografi

Harian Serambi Indonesia Selasa, 7 Agustus 2012 09:11 WIB JAKARTA - Kekayaan kebudayaan Gayo yang dirangkum dalam tiga buku telah diterbitkan di Jakarta. Ini dia ketiga buku tersebut: “Tutur Gayo, Biografi AR Moes Sang Maestro Gayo,” dan “Tari Saman.” Buku-buku tersebut ditulis Yusradi Usman al-Gayoni, kelahiran Bebesen Aceh Tengah 1983, yang menamatkan pendidikan dari pascasarjana jurusan linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Sedangkan buku “Tari Saman” ditulis Drs Ridwan Salam, budayawan Gayo Lues yang juga mantan penari Saman. “Tutur Gayo” merupakan buku berisi tentang istilah kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat Gayo, seperi “awan” (kakek), “anan” (nenek), “aman, ine” (bapak ibu) dan lain-lain. Tapi menurut Yusradi, tutur tersebut sudah banyak ditinggalkan masyarakat. “Masyarakat lebih memilih istilah bapak, ibu, ayah, mama, kakek, nenek dari pada istilah dalam bahasa Gayo,” katanya. Buku tersebut menguraikan kembali istilah tutur Gayo sebagai sebuah kekayaan kebudayaan. Buku lainnya yang ditulis Yusradi adalah biografi tentang maestro musik Gayo, AR Moese. Buku setebal 172 halaman tersebut mencoba mengungkapkan perjalanan karir musisi Gayo yang menciptakan lagu “Tawar Sedenge” yang telah dijadikan lagu wajib oleh Pemkab Aceh Tengah. Moese selain menciptakan lagu-lagu Gayo, juga menciptakan alat musik terbuat dari kalung kerbau “gerantung,” dari perahu bekas yang diberi nama “perajah” dan “jangka” yaitu instrumen musik yang diciptakan dari alat pengiris tembakau. Sementara buku “Tari Saman” ditulis Drs Ridwan Salam, menguraikan tentang sejarah dan filosofi tari Saman yang beberapa waktu lalu telah disahkan sebagai warisan kebudayaan dunia oleh Unesco. “Tidak benar kalau tari Saman itu diciptakan oleh orang bernama Syekh Saman, sama sekali tidak ada hubungannya,” kata Ridwan Salam tentang adanya sementara pandangan seolah-olah tari tersebut diciptakan Syekh Saman. Ridwan Salam mengatakan, tari Saman adalah tari rakyat masyarakat Gayo Lues. “Tarian itu ada sejak masyarakat Gayo Lues ada,” kata Ridwan yang juga dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta. Yusradi Usman al-Gayoni yang juga penulis buku “ekolinguistik” mengatakan banyak sisi lain dari kebudayaan Gayo bisa menjadi sumber penulisan. “Masalahnya kita terkendala dengan penerbitan,” katanya. Ia mengharapkan pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues memberi perhatian untuk penerbitan buku-buku Gayo.(fik) Editor : bakri http://aceh.tribunnews.com/m/index.php/2012/08/07/ini-dia-tiga-buku-gayo (7/8/2012)

Minggu, 05 Agustus 2012

Kepala Pusat Bahasa Apresiasi Kehadiran Buku Ekolinguistik

Jakarta | Lintas Gayo – Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Pusat Bahasa) Kementerian Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Mahsun, mengapresiasi kehadiran buku Ekolinguistik karya putra Gayo,Yusradi Usman al-Gayoni. Prof. Mahsun mendorong akademisi asal Takengon, Aceh ini agar terus menulis. Lebih khusus lagi, soal Ekoliguistik. “Jarang-jarang akademisi yang punya kemampuan menulis,” kata peneliti Genolinguistik (melihat persebaran bahasa dari gen manusia) ini beberapa waktu lalu di Rawamangun, Jakarta Timur. Senada dengan Prof. Dr. Mahsun, apresiasi serupa diberikan pula Dr. F.X. Rahyono, M.Hum, Ketua Departemen Linguistik Universitas Indonesia (UI). “Masih terbatas sekali yang mengkaji bidang ini (Ekolinguistik) di Indonesia,” katanya. Disamping itu, Abdul Rachman Patji, peneliti Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengucapkan terima kasih setelah menerima buku Ekolinguistik dari dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah tersebut. Buku Pertama di Indonesia Secara terpisah, Irham Hanif, Anggota Tim ISBN/Katalog Dalam Terbitan Perpustakaan Nasional RI, mengungkapkan bahwa buku yang mengkaji tautan ekologi dengan linguistik ini merupakan yang pertama di Indonesia. “Sebelumnya, ada soal Psikolinguistik dan cabang linguistik yang lain,” ujarnya. Ditanya soal motivasi penulisan buku tersebut, Yusradi, menuturkan, ingin berkontribusi langsung terhadap pengembangan kajian ini. Khususnya, di Indonesia. Apalagi, literatur-literatur tentang Ekolinguistik masih sangat terbatas. “Buku ini bermula dari tulisan di blog “Mengenal Ekolinguistik” dengan referensi yang lengkap. Ternyata, tulisan ini banyak yang baca. Kemudian, ada pula yang mengutipnya di jurnal dan tugas akhir mahasiswa. Sayangnya, ada yang tidak menyebutkan sumbernya,” akunya agak kecewa. (LG006) Sumber http://www.lintasgayo.com/26970/kepala-pusat-bahasa-apresiasi-kehadiran-buku-ekolinguistik.html (5 Agustus 2012)