Sabtu, 07 Agustus 2010

Smong, Kearifan Ekologi Simeulue

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni
Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah

24 Jul 2010
Hiburan
Media Indonesia


foto: http://qiblati.com/fajar-di-pulau-simeulue.html

Sudah saatnya khazanah lokal digunakan untuk memahami fenomena alam di Tanah Air sebagai hasil budaya yang tidak membuat asing masyarakatnya.

TIDAK banyak yang tahu, apa itu smong? Smong adalah gelombang pasang yang besar seperti halnya tsunami. Pada 1907, smong pernah terjadi di Pulau Simeulue; Provinsi Aceh. Namun, istilah tsunami lebih akrab di telinga masyarakat.Jika mendengar kata tsunami, ingatan kita langsung tertuju ke Aceh. Pada saat smong terjadi, tepatnya pada Jumat, 14 Januari 1907, banyak masyarakat berada di Salur untuk menunaikan ibadah salat Jumat.

Setelah salat Jumat, terjadi gempa sangat kuat. Tak lama kemudian, air laut surut dan masyarakat dengan leluasa mengambil kawanan ikan yang meng-gelepar-gelepar. Dalam hitungan menit, air yang surut kembali dalam wujud gelombang besar. Ia menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya.

Lain masyarakat Banda (Aceh) dengan orang Simeulue yang tidak bisa dilepaskan dari rangkaian sejarah terjadinya smong. Smong senantiasa membekas dalam ingatan masyarakat Simeulue. Pengalaman pahit itu (1907) secara turun-temurun dialihlisankan kepada generasi Simeulue dalam bentuk nafi-nafi.Nafi-nnfi merupakan sastra lisan sekaligus kearifan lokal yang dimiliki orang Simeulue. Smong menjadi tema yang kerap diangkat di dalamnya. Akibatnya, pada saat smong (tsunami) terjadi di Aceh pada 27 Desember 2004, tidak banyak korban yang berjatuhan di Simeulue.

Kekuatan smong

Betapa kuatnya pengaruh smong pada masyarakat ini. Persoalan smong ini akan lebih menarik lagi saat dikaji dan didekati melalui kajian ekologi bahasa/eko-linguistik. Dari per-spektif ekolinguistik, bertahannya suatu bahasa (istilah smong) bergantung pada sejauh mana penuturnya memelajari, memakai, dan mentransmisikan bahasa tersebut (Haugen, 1972).Poin yang ditekankan Haugen, menempatkan smong selalu hidup dalam ruang kehidupan sosial masyarakat Simeulue. Ekologi bahasa mengkaji hubungan/ pengaruh timbal balik antara ekologi dan linguistik (ilmu kebahasaan).

Sapir dalam Fill and Muhlhausler (eds) (20012) mengungkapkan khazanah kosakata dan ungkapan-ungkapan metaforis yang kaya dan lengkap mencerminkan dan merefleksikan perbendaharaan pengetahuan komunitas penutur tentang lingkungan ragawi, sosial, gagasan kolektif, karakter lingkungan hidup, dan kebudayaan para pemilik bahasa itu.

Jika dilihat dari analisis wacana ekokri-tis, ada lima hal yang dikandungi smong, pertama menyangkut pengertian; kedua,karakter atau ciri-ciri; ketiga proses/ daya rusak. Selanjutnya langkah antisipatif warga; dan dampak yang ditimbulkan smong baik secara fisik maupun psikis.Saat smong kedua terjadi pada 27 .Desember 2004 yang lalu, ma-syarakat Simeulue serta-merta berlarian ke tempat yang lebih tinggi. Gempa, surutnya air laut, dan dalam hitungan detik, diikuti dengan gelombang pasang merupakan tanda-tanda yang menyaratkan mereka untuk menyelamatkan diri.

Sebagai akibatnya, korban di tempat itu sangat minim jika dibandingkan dengan titik-titik smong lainnya di Aceh, ditambah negara lain. Smong menggambarkan jiwa yang memuat pengetahuansosioekologis-historis-kultural masyarakat Simeulue terkait dengan manajemen dan risiko bencana. Sayang-n y a , s in ong tidak keluar dari Simeulue. Bahkan, di Aceh, kearifan lokal tersebut kurang dan mungkin tidak dikenal. Kalaulah masyarakat Aceh/ sebagian daerah yang menjadi amukan tsunami mengenal smong, mungkin korban jiwa tidak sampai 236.116 jiwa (Aceh Magazine, Edisi I September 2005).

Menggugat tsunami

Dalam proses menyerap kata-kata asing, penyerapan dilakukan setelah rujukan yang sama tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Dengan adanya istilah smong yang bermakna sama dengan tsunami, kini, sudah saatnya istilah smong dipakai dalam bahasa Indonesia. Tidak sebatas memakai istilah itu, tetapi mengenalkan pula kearifan-kearifan ekologis yang dikandungnya. Momen tsunami dan setelahnya merupakan kesempatan memperkenalkan khazanah kekayaan bahasa Indonesia melalui smong ke dunia.

Langkah itu merupakan salah satu upaya membesarkan dan memarta-batkanbahasa Indonesia. Selaku rakyat Indonesia, pastinya, ada kebanggaan tersendiri saat bahasanya mendunia. Saat yang bersamaan, bahasa daerah, yaitu bahasa dan kearifan lokal masyarakat Simeu-lue, turut dihargai. Di sisi Ulin, dengan memperluas pengenalan smong, kearifan ekologis itu telah turut serta dalam manajemen bencana yang terhitung murah, mudah, efektif, dan efisien.Seharusnya selain dengan penuturan lisan, bisa dilakukan upaya penulisan dan penelitian lanjutan dari sudut pandang yang berbeda, mungkin difilmkan. Untuk yang terakhir, yang menikmatinya akan merasakan langsung dan senantiasa mengingat peristiwa smong. Lebih jauh lagi, mereka akan mendapat pelajaran yang berharga dari smong.

Bertalian dengan bahasan itu, belakangan ini, muncul sebuah gejala meminggirkan bahasa Indonesia. Dalam penyerapan, bahasa asing lebih didahulukan ketimbang penelurusan dalam bahasa daerah.Padahal, Indonesia memiliki laboratorium bahasa yang lengkap di dunia. Sayangnya, potensi kebahasaan tersebut masih belum terjamah. Potensi kebahasaan tersebut malah sebagian berada pada titik kritis menuju ambang kepunahan.

Dengan pengertian lain, yaitu bangsa yang kehilangan jati diri, kepribadian, karakter, dan arah tujuannya. Lebih jauh lagi, bangsa ini semakin mengabaikan keluhuran ketimurannya, dan menerima sesuatu yang datang dari luar terutama dari Barat.Tentu, nasibnya akan lebih memprihatinkan dan tragis lagi. Smong dengan segala kearifannya menjadi saksi ke-tragisan tersebut. Padahal, warisan kebahasaan di negeri ini, dan bahasa Simeule, salah satu dengan smo?i£-nya, mengandung kekayaan dan menjadi identitas khas yang mencirikan keadiluhungan Indonesia di mata dunia. (M-l)


Sumber: http://bataviase.co.id/node/309975 (diakses 07 Agustus 2010)

Selasa, 06 Juli 2010

Memartabatkan Bahasa Aceh

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni - Opini

BEBERAPA waktu lalu, Serambi Indonesia menyajikan ulasan perihal bahasa Aceh, yaitu tulisan Zulfadli yang berjudul “Penguatan Bahasa Aceh” (5/6/2010) dan Denni Iskandar “Menunda Punahnya Bahasa Aceh” (12/6/2010). Apa yang telah disampaikan tersebut merupakan sebuah kekhawatiran akan nasib bahasa Aceh kini dan masa mendatang. Meski masih belum terlalu mengkhawatirkan, karena dukungan penutur bahasa Aceh di atas satu juta penutur, penutur yang tidak terlalu menyebar, tambah kesetiaan yang lebih dibanding pengguna bahasa minor lainnya di Aceh, penggejalaan peninggalan bahasa Aceh yang lebih besar harus dipikirkan dan diambil langkah-langkah antisipatif dari sekarang. Jika tidak, secara evolutif, bahasa Aceh akan menuju ambang kritis. Tidak menutup kemungkinan, empat sampai lima generasi lagi, bahasa Aceh bisa ‘punah’.

Kunci kelangsungan, dan untuk memartabatkan suatu bahasa pada dasarnya terletak pada penuturnya. Sejauh mana mereka mau mempelajari, menggunakan, dan mentransmisikannya kepada generasi yang lebih muda (Haugen, 1972:57). Hal ini menjadi salah satu penekanan kajian ekologi bahasa. Dalam rujukan lain, istilah ekologi bahasa dikenal dengan ekolinguistik, ekologi linguistik, linguistik ekologi, dan ekologi bahasa/bahasa ekologi (al-Gayoni, 2010: 25-27). Di sisi lain, penggunaan bahasa merupakan soal pilihan dan menjadi hak personal penutur yang bersangkutan. Dalam praktiknya, persoalan penuturan bahasa tidak dapat dipaksakan. Namun begitu, diperlukan upaya penggugahan kepedulian akan pentingnya bahasa ini. Dengan demikian, upaya-upaya tersebut dapat menggugah kesadaran, memengaruhi pola pikir, sikap dan tindakan dari penutur untuk berbahasa Aceh. Sebagai akibatnya, bahasa Aceh akan tetap terpakai dalam masyarakat guyub tuturnya baik di Aceh maupun di luar Aceh.

Perluasan Penggunaan

Untuk memartabatkan bahasa Aceh, diperlukan penggunaan yang lebih luas dari penuturnya terutama di ranah informal, misalnya saat berkomunikasi antarpenutur, dalam lingkungan keluarga, ketetanggaan, keadatan, dan dalam masyarakat. Ketika bahasa Aceh terus menerus digunakan, maka akan terbentuk lingkungan berbahasa. Terlebih lagi, dalam lingkungan yang dwi dan multibahasa. Mau tidak mau, interaksi bahasa, etnik, dan budaya akan terjadi. Sebagai akibatnya, buah interaksi tersebut turut membentuk pola pikir, sikap berbahasa, dan mendorong seseorang untuk dan tidak berbahasa. Selanjutnya, hal tersebut dapat menguatkan bahasa tertentu. Sebaliknya, dapat pula melemahkan, menggusur, bahkan mematikan bahasa yang lain. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (ed) (2001:14), membagi lingkungan ke dalam tiga bentuk, pertama, lingkungan fisik (ragawi) yang mencakupi karakter geografis seperti topografi negara (baik pantai, lembah, dataran tinggi maupun pegunungan, keadaan cuaca, dan jumlah curah hutan). Kedua, lingkungan ekonomis (kebutuhan dasar manusia) yang terdiri atas flora, fauna, dan sumber mineral yang ada pada daerah tersebut. Ketiga, lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun, yang lebih penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar, etika, bentuk organisasi politik, dan seni. Dari ketiganya, lingkungan fisik dan lingkungan sosial sangat memengaruhi realitas keberadaan bahasa.

Di Aceh, setelah tsunami, berlangsung keterbukaan, interaksi, dan percampuran peradaban jilid dua setelah jilid satu, yaitu saat persebaran awal Islam beberapa abad silam. Situasi ekologi bahasa Aceh ini semakin menarik untuk dikaji terutama dari perspektif Ekolinguistik (Ekologi Bahasa). Khususnya, pengaruh pelbagai perubahan lingkungan ragawi (ekologis) saat dan setelah tsunami terhadap bahasa Aceh. Banyak ragam kepandaian (kepantaian) dalam bahasa Aceh yang hilang. Konsekuensinya, rekam jejak ragam kepandaian (kepantaian) tadi tidak lagi terekam dalam ingatan (kognisi) generasi yang lebih muda. Belum lagi, pengaruh lingkungan sosial terhadap bahasa, nilai, ideologi, dan budaya Aceh. Pastinya, pengaruh tersebut akan berdampak lebih besar lagi terhadap bangunan budaya Aceh.

Kebijakan politik

Yang tidak kalah penting dalam memartabatkan bahasa Aceh adalah penguatan melalui lembaga pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Untuk itu, perlu kebijakan (language policy) dan perencanaan bahasa (language planning) sebagai bagian dari ekologi makro kebahasaan dari Pemerintah Aceh. Undang-Undang Pemerintah Aceh sendiri telah memayungi keberadaan bahasa Aceh (bahasa-bahasa daerah di Aceh), terutama di Bab XXXI pasal 221 ayat (4) yang berbunyi “Bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal dan ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan qanun.” Tinggal lagi, perlu kebijakan, perangkat, dan sistem pendukung untuk menginternalisasikan bahasa-bahasa daerah yang ada di Aceh. Untuk mengoptimalkan kebijakan tersebut, perlu partisifasi aktif dari semua pihak khususnya pemerintah kabupaten/kota dan dinas terkait di Aceh. Menyikapi kekhawatiran dan pelbagai perubahan yang terjadi pada bahasa Aceh, terlebih menyangkut kelangsungan bahasa-bahasa minor di Aceh seperti Gayo, Alas, Singkil, Simeule, Kluet, Anak Jameuk, Tamiang, dan lain-lain, sudah saatnya dipertimbangkan pembukaan Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya di perguruan tinggi yang ada di Aceh. Sepengetahuan penulis, sampai saat ini, di Aceh baik di Unsyiah, IAIN Arraniry, Universitas Malikussaleh (Lhokseumawe) maupun di Universitas Gajah Putih (Takengon) masih belum ada fakultas dimaksud.

Di Takengon, tiga tahun yang lalu, wacana pendirian ini sempat muncul dari beberapa personal di luar kampus. Namun, wacana tersebut tidak lagi terdengar. Belakangan, kajian kebahasaan lebih banyak tertuju pada bahasa mayor, yaitu bahasa Aceh. Dan, itu pun masih belum maksimal. Padahal, pluralitas bahasa tersebut merupakan warisan dan menjadi khasanah kekayaan yang tak ternilai harganya bagi Aceh. Warisan kebahasaan tersebut merupakan simbol identitas keacehan. Dalam perkembangan kekinian Aceh, pendirian fakultas tersebut akan semakin relevan dengan adanya Sekolah Tinggi Seni yang akan didirikan di Kabupaten Bener Meriah. Dengan demikian, lulusan Sekolah Tinggi Seni tambah program diploma bahasa lainnya dapat melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Sastra/Ilmu Budaya sebagai salah satu alternatif. Dengan lahirnya fakultas ini, dan dibukanya jurusan Sastra Daerah (Aceh, Gayo, Alas, Singkil, Simeule, Kluet, Anak Jameuk, Tamiang, dan lain-lain), serta sastra yang lain seperti Sastra Indonesia, Sastra Arab, Sastra Belanda, Sastra Inggris, Sastra Jepang, dan Sastra Cina diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan kebahasaan di Aceh.

Disamping itu, putra Aceh tidak perlu lagi menempuh pendidikan serupa ke luar, selain manfaat positif sistemik yang ditimbulkan lainnya. Lebih luas lagi, khasanah kekayaan sastra, sejarah, budaya, lingkungan, dan peradaban Aceh dalam tautannya dengan bahasa akan tetap terpelihara. Lebih penting lagi, akan tetap terwaris, terlebih secara tertulis pada generasi Aceh mendatang.


* Yusradi Usman al-Gayoni, S.S., M. Hum adalah Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah. Spesialisasi Ekolinguistik.

Dimuat di Harian Serambi Indonesia, tanggal 3 Juli 2010 http://serambinews.com/news/view/34075/memartabatkan-bahasa-aceh
Tutur Budaya Gayo Dukung Syariat Islam

*Yusradi Usman al-Gayoni [Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah/Pemerhati Bahasa, Sejarah & Kebudayaan Gayo] | Rabu, 30 Juni 2010

Orang Gayo mengenal adanya tutur, misalnya rekel (orang tuanya entah), entah (orang tuanya munyang), munyang (orang tuanya empu), empu (orang tuanya datu), datu (orang tuanya awan), awan (kakek), ama (bapak), ine (ibu), kumpu (cucu), piut (cicit), dan lain-lain. Tutur adalah panggilan atau sebutan terhadap seseorang yang terikat karena pertalian darah, keluarga, umur, penghormatan, sahabat, teman akrab atau teman biasa (Saleh, 2009:1). Juga, sebagai sistem kekerabatan (Melalatoa, 1982: 406), dan penguat ikatan kekerabatan (Pulungan dalam Syukri, 2009: 165). Sementara itu, istilah be tutur merupakan penggunaan tutur, sistem, bentuk-bentuk atau istilah kekerabatan. Orang Gayo yang mendiami tanoh Gayo di Aceh mengenal beragam bentuk tutur. Aman Pinan (1998: 203-207) membaginya ke dalam 52 bentuk tutur, Mustafa AK (2009: 8) 63 bentuk, sementara Ibrahim (2009, 141-163) menjadi 161 bentuk.

Munculnya tutur dalam masyarakat Gayo tidak berdiri sendiri melainkan ada faktor sosial-budaya yang merangkainya. Hal tersebut tidak terlepas dari nilai budaya Gayo yang terdiri dari pelbagai nilai. Nilai-nilai dimaksud adalah imen (iman) (Ibrahim, 2002: 23), mukemel (harga diri), tertip (tertib), setie (setia), semayang gemasih (kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat (musyawarah), alang tulung (tolong menolong), dan bersikemelen (kompetitif) (Melalatoa dalam Aman Asnah (1996: xii-xiii). Mukemel, tertip, semayang gemasih, bersikemelen tambah imen merupakan penjelmaan tutur. Istilah mukemel (harga diri) dan besikemelen (kompetitif) berasal dari kata kemel (malu). Dapat dimaknai bahwa pengguna tutur akan kemel (malu) bila tidak be tutur atau menggunakan tutur.

Sementara itu, tertip (tertib), yaitu penempatan dan penggunaan tutur pada konteks yang tepat, dan semayang gemasih (kasih sayang) merupakan nilai dan perwujudan kasih sayang yang dikandungi tutur. Pengejawantahan tersebut, secara khusus tergambar dalam proses be tutur dari yang tua ke yang muda. Terakhir, imen merupakan konsep dan penggunaan tutur yang dilandasi dengan etika, norma, dan nilai untuk senantiasa bersikap santun sesuai dengan aturan be tutur. Penggunaan tutur yang baik, benar, dan tepat dengan aturan be tutur, tentunya harus berpijak pada nilai imen (iman). Nilai imen ini tidak terlepas dari Islam. Dengan demikian, terdapat bangunan tutur yang kuat yang mengandung nilai-nilai ketuhanan dan keislaman. Sebagai tambahan, hubungan darah, perkawinan, belah (klan), terjadinya kecelakaan, perkelahian, membantu seseorang, dan mengaposi anak merupakan perangkai sosial yang membentuk tutur dalam masyarakat Gayo (al-Gayoni, 2010: 145)

Perspektif Islam

Dalam masyarakat Gayo, orang yang menggunakan tutur disebut mu agama, mu edet, dan mu peraturen. Dalam hal ini, agama Islam sangat memengaruhi tutur serta kehidupan sosial orang Gayo secara keseluruhan. Namun, prihal tutur, pengaruh tersebut lebih pada pengungkapan dan dalam prilaku be tutur, tidak dalam bentuk-bentuk tutur. Sebaliknya, bentuk ‘tutur keislaman’ muncul dalam penyebutan jabatan yang ada dalam pemerintahan Sarak Opat seperti seltan, imem, lebe, dan tengku. Penggunaan ‘tutur’ yang tepat sangat dianjurkan dalam Islam. Islam mengajarkan agar seseorang berbicara dengan benar atau qaulan sadida (4:9), berbicara dengan bahasa yang menyedapkan hati, tidak menyinggung perasaan atau menyakit perasaan, sesuai dengan kriteria kebenaran, jujur, tidak mengandung kebohongan, dan tidak berpura-pura, disebut dengan qaulan ma’rufa (4:8). Selain itu, Islam juga mengajarkan berbicara efektif, yaitu dengan menggunakan ungkapan yang mengena, mencapai sasaran dan tujuan, atau membekas, bicaranya jelas, terang, dan tepat atau qaulan baligha (4:63). Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan berbicara dengan baik dan pantas, agar orang tidak kecewa, yang disebut dengan qaulan maysura (17:28).

Juga, berbicara dengan kata-kata mulia yang menyiratkan kata yang isi, pesan, cara serta tujuannya selalui baik, terpuji, penuh hormat, mencerminkan akhlak terpuji dan, mulia, dikenal dengan istilan qaulan karima (17:23). Terakhir, agama ini juga mengajarkan umatnya untuk berbicara dengan lembut atau dikenal dengan qaulan layyina (20:44). Nilai-nilai di atas lah yang dikandungi tutur. Karenanya, masyarakat setempat menyebut orang yang be tutur dengan mu agama (orang yang beragama), mu edet atau medet (beradat), dan mu peraturen (memiliki peraturan). Dengan kata lain, konsep tersebut terdapat dalam pengungkapan dan tercermin dalam prilaku be tutur

Harmonisasi Sosial


Sisi lain, penggunaan tutur yang baik, tepat, dan benar dapat mengurangi konflik. Masyarakat tempatan juga merasa dihargai dengan penggunaan tutur tersebut. Demikian pula sesama orang Gayo-nya, saling menghormati dan menghargai prihal penggunaan tutur tersebut. Penggunaan tutur itu menciptakan harmonisasi sosial dalam interaksi sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Lebih kecil lagi, harmonisasi demikian terbentuk pula dalam lingkungan ketetanggaan, keluarga, dan jalinan hubungan antarpersonal sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan. Pada akhirnya, penggunaan tutur ikut mendukung pelaksanaan sya'riat Islam di Aceh. [003]


sumber http://theglobejournal.com/kategori/opini/tutur-budaya-gayo-dukung-syariat-islam.php (dimuat tanggal 30 Juni 2010)

Rabu, 09 Juni 2010

Transmisi Kearifan Ekologis

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

foto: iftfishing.com

Perubahan iklim global terus berlangsung. Perubahan tersebut sangat memengaruhi pelbagai kerusakan lingkungan baik di tataran global, kawasan, nasional maupun lokal. Hal itu berpengaruh pula terhadap keberadaan manusia secara keseluruhan. Mengingat perubahan lingkungan yang berlangsung begitu cepat, sudah sepatutnya dilakukan langkah penyelamatan bersama dari semua pihak. Penyelamatan tersebut tentunya harus melibatkan pelbagai pelaku dengan multipendekatan. Salah satu pendekatan tersebut adalah melalui kajian Ekolinguistik. Untuk pertama kali, kajian Ekolinguistik dikenalkan Einar Haugen, tahun 1972. Namun, Haugen lebih menggunakan istilah Ekologi Bahasa (ecology of language) karena pencakupan yang lebih luas di dalamnya. Disamping Ekolinguistik, dikenal pula istilah Ekologi Linguistik, Linguistik Ekologi, Ekologi Bahasa atau Bahasa Ekologi, dan Ekologi Bahasa (al-Gayoni, 2010: 25-27).

Kajian ini melihat tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (Ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (Linguistik). Bahasa sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak manusia. Hal tersebut dapat berimplikasi positif terhadap lingkungan fisik, ekonomis, dan sosial yaitu dengan terpelihara, adanya keseimbangan dan terwarisnya lingkungan yang ada kepada generasi berikutnya. Sebaliknya, dapat pula berdampak negatif dengan terjadinya pelbagai perubahan, ketidakseimbangan, dan kerusakan ekosistem. Dengan demikian, bahasa dapat mengarahkan penggunanya baik untuk hal-hal yang bersifat konstruktif maupun yang bersifat destruktif terkait lingkungan.

Secara tradisional, ekolinguistik dapat dibagi menjadi dua bagiatan utama, yaitu Analisis Wacana Eko-Kritis (Eco-Critical Discourse Analysis) dan Ekologi Linguistik (Linguistic Ecology) (Fill, 1996). Analisis Wacana Eko-Kritis tidak sebatas pada pengaplikasian Analisis Wacana Kritis terhadap tesk yang berkenaan dengan lingkungan dan pihak-pihak yang terlibat di dalam lingkungan dalam pengungkapan ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian ini menyertakan pula penganalisisan pelbagai macam wacana yang berdampak besar terhadap ekosistem mendatang. Misalnya, wacana ekonomi neo-liberal, ketak-terhubungan dari konstruksi kosumerisme, jender, politik, pertanian, dan alam. Disamping itu, Analisis Wacana Eko-Kritis bukan sebatas memokuskan pada penelusuran ideologi-ideologi yang berpotensi merusak, melainkan mencari representasi diskursif yang dapat berkontribusi terhadap keberlangsungan masyarakat secara ekologis

Indonesia sendiri memiliki potensi lingkungan yang luas biasa. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (eds.) (2001:14), menyebut tiga bentuk lingkungan, pertama, lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah negara (baik pantai, lembah, dataran tinggi maupun pegunungan, keadaan cuaca, dan jumlah curah hujan). Kedua, lingkungan ekonomis (kebutuhan dasar manusia) yang terdiri atas fauna, flora, dan sumber mineral yang ada pada daerah tersebut. Ketiga, lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun, yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik, dan seni. Lebih dari itu, Indonesia memiliki banyak etnik yang sudah barang tentu memiliki pelbagai konsep ekologis. Kearifan-kearifan ekologis inilah yang mesti mendapat perhatian serius untuk dikaji.

Masyarakat (etnik) Gayo yang mendiami tanoh Gayo di Aceh misalnya, memiliki konsep, aturan normatif, dan badan tersendiri dalam mengelola dan menyelamatkan lingkungan yang dikenal dengan Sarak Opat. Sarak Opat merupakan sistem pemerintahan tradisional masyarakat Gayo. Sarak berarti lembaga atau unsur, sementara opat berarti empat (bahasa Gayo). Sebelum orang Gayo memeluk agama Islam, unsur tadi hanya tiga, yaitu reje, petue, dan rayat. Unsur imem bertambah setelah Islam masuk dan melembaga dalam masyarakat ini. Keempat unsur utama tersebut adalah reje (raja), imem (imam), petue (orang yang dituakan/cerdik pandai), dan rayat (rakyat/lembaga perwakilan rakyat). Selain itu, masih terdapat unsur lainnya yang membantu tugas-tugas reje, antara lain bedel (wakil raja), banta (sekretaris raja), lebe (wakil imem), seltan (sultan), tengku (tengku), sekulet/sekolat (wakil petue), pengulu (orang yang memerintah di bawah kejurun), harie (orang yang berhubungan dengan hubungan masyarakat), kejurun belang (orang yang mengurus pertanian), pengulu uten (orang yang mengurus kehutanan), pengulu uwer (orang yang mengurus perternakan), pawang deret (orang yang mengurus dengan tata wilayah/di luar tugas pawang yang lain), pawang lut (orang yang mengurus perikanan, kedanauan, dan kelautan), biden (bidan/berhubungan dengan persoalan kesehatan), pengulu rerak (orang yang mengurus dengan irigasi/peraiaran), tomas (orang yang berada di bawah pengulu), toda (orang yang berada di bawah pengulu), dan towa (orang yang berada di bawah pengulu) (al-Gayoni, 2010: 14-16). Kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang deret, dan pawang lut di atas lah yang berhubungan langsung dengan lingkungan.

Selain itu, masyarakat etnik Lio, di Flores mengenal khasanah ungkapan verbal yang memiliki bentuk, mengandung makna, dan memiliki fungsi untuk melestarikan lingkungan diantaranya, pertama, ungkapan yang berfungsi memelihara keserasian hubungan dengan alam semesta terutama dengan Sang Khalik dan dengan leluhur pewaris lahan. Kedua, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan lahan dengan menggunakan teknik tradisional yang mendukung lingkungan. Ketiga, ungkapan yang mengamanatkan pemeliharaan hutan lindung dan sumber air. Keempat, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan pantai dan laut. Kelima, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan dan menjaga kebersamaan dan kesatuan sosial (Mbete, 2002: 174-184). Demikian halnya di Maluku, yang dulunya memiliki tradisi Sasi yaitu pantangan untuk mengekploitasi sumber daya alam pada waktu-waktu tertentu (Kompas, 24 Mei 2010).

Gambaran di atas masih merupakan gambaran kecil kekayaan dan warisan kearifan ekologis yang ada di Indonesia. Bila diselurusi lebih jauh, kearifan-kearifan ekologis tersebut lebih banyak lagi mengingat besarnya potensi keetnikan yang dimiliki bangsa ini. Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh dan diterapkan secara sungguh-sungguh, konsep-konsep dan potensi kearifan ekologis yang demiliki pelbagai etnik yang ada di Indonesia turut serta dalam penyelamatan dan pelestarian lingkungan. Dikarenakan, selama ini, kearifan-kearifan ekologis berbasis kelokalan kerap diabaikan. Sebaliknya, konsep luar yang lebih banyak bersifat abstrak sering dijadikan rujukan. Padahal, konsep tersebut biasanya kurang mendapat tempat karena persoalan mind set, dan mencoloknya perbedaan nilai, ideologi, dan kultur keekologisan. Karenanya, kearifan-kearifan ekologis berbasis kelokalan harus segera dikedepankan dan ditransmisikan kepada generasi muda sekarang dan mendatang.


*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah & Staf Ahli/Asisten Anggota DPD RI asal Aceh

Kamis, 20 Mei 2010

Mengenal Ekolinguistik

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

foto: skyscrapercity.com

Salah satu isu yang hangat dibicarakan banyak pihak dewasa ini adalah soal lingkungan. Betapa tidak, perubahan iklim (climate change) akibat efek rumah kaca berimplikasi pada naiknya permukaan air laut, secara massive sangat memengaruhi kehidupan sosial di kawasan kepantaian termasuk di kawawan pegunungan. Hal tersebut semakin menekan terjadinya pelbagai perubahan ragawi lingkungan. Dengan kata lain, tekanan terhadap lingkungan turut terjadi. Satu diantara perubahan yang paling dirasakan adalah terjadinya pergeseran nilai, norma, dan kultur masyarakat tempatan. Lebih spesifik, terjadi pelbagai perubahan pada bahasa. Bahasa berada diambang kritis, yang semakin sulit untuk “hidup,” bertahan, dan terwaris pada pemakai yang lebih muda. Belum lagi, dengan adanya hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional, dan nasional yang semakin mengkhawatirkan keberadaan bahasa-bahasa minoritas di sebuah kawasan.

Perubahan timbal balik antara lingkungan dan bahasa di atas lah yang coba diakrabi melalui kajian ekolinguistik. Ekolinguistik terbilang baru dalam kajian Linguistik. Dalam istilah lain, kajian ini dikenal pula dengan istilah ekologi bahasa. Sebetulnya ada empat istilah yang merujuk pada kajian ini, yaitu linguistic ecology, ecological linguistics, the ecology of language/language ecology, dan ecolinguistics (Lechevrel, 2009: 5). Sementara itu, dalam bahasa Indonesia dikenal istilah ekologi linguistik, linguistik ekologi, ekologi bahasa/bahasa ekologi, ekologi bahasa, dan ekolinguistik (al-Gayoni, 2010:25). Dalam bahasa lain, dikenal pula istilah Ecologie des langues/Ecologie du langage, Linguistique ecologique, Ecologie linguistique dan Ecolinguistique (Perancis), Okologie der Sprache/sprachologie, Okologische Linguistik, Linguistik Ekologie dan Okolinguistik (Jerman), serta Ecologia des las lenguas, Ecologia linguistic dan Ecolinguistica (Spanyol) (Lechevrel, 2009:5 dalam al-Gayoni, 2010: 26)

Kajian ini ini pertama kali dikenalkan Einar Haugen dalam tulisannya yang bertajuk Ecology of Language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah ekologi bahasa (ecology of language) dari istilah lain yang bertalian dengan kajian ini. Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya, yang mana para pakar bahasa dapat berkerjasama dengan pelbagai jenis ilmu sosial lainnya dalam memahami interaksi antarbahasa (Haugan dalam Fill& Mühlhäusler, 2001:57)


Pengertian Ekolinguistik dan Ekologi


Ekologi bahasa menurut Haugen, adalah

Language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment (Haugen, 1972, dalam Peter, 1996: 57).

Ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antarbahasa yang ada dengan lingkungannya (terjemahan penulis)

Fill (1993:126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.) (2000), mendefinisikan ekolinguistik sebagai berikut.

Ecolinguistics is an umbrella term for ‘[…] all approaches in which the study of language (and languages) is in any way combined with ecology’.

Ekolinguistik merupakan payung istilah terhadap ‘[…] semua pendekatan studi bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikombinasikan dengan ekologi (terjemahan penulis)

Sementara itu, Mühlhäusler, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University, menyebutkan

“Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times” (p.2)

Ekologi adalah studi tentang hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat fungsional. Dua parameter yang hendak kita hubungkan adalah bahasa dan lingkungan/ekologi. Tergantung pada perspektif yang digunakan baik ekologi bahasa maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperlukan bagi kelangsungan mahluk hidup, seperti halnya dengan faktor-faktor yang memengaruhi kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini (hal. 2) (terjemahan penulis)

Crystal (2008: 161-162) dalam kamus A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition, menjelaskan bahwa

ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis – reflecting the notion of ecology in biological studies – in which the interaction between language and the cultural environment is seen as central; also called the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the importance of individual and community linguistic rights, and the role of language attitudes, language awareness, language variety, and language change in fostering a culture of communicative peace.


ekolinguistik (nomina) dalam linguistik, sebuah perhatian– merefleksikan sifat ekologi dalam studi biologis – yang mana interaksi antara bahasa dan lingkungan kultural dilihat sebagai inti: disebut pula dengan ekologi bahasa, ekologi linguistik dan kadang-kadang linguistik hijau. Pendekatan ekolinguistik menyoroti nilai keragaman linguistik di dunia, pentingnya hak linguistik dari individu dan komunitas, peranan sikap, kesadaran, variasi, dan perubahan bahasa dalam mengembangkan sebuah budaya perdamaian yang komunikatif (terjemahan penulis)

Sementara itu, istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos, yang berarti house, man’s immediate surroundings. Ricklefs (1976:1) dalam bukunya The Economy of Nature A Textbook in Basic Ecology mendefinisikan ekologi sebagai berikut

Ecology is the study of plants and animals, as individuals and together in populations and biological communities, in relation to their environments – the physical, chemical, and biological characteristics of their surroundings.

Ekologi merupakan studi yang mempelajari tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewanan sebagai individu dan secara bersamaan dalam populasi dan komunitas biologis dalam kaitannya dengan lingkungannya – fisik, kimia, dan karakteristik biologis lingkungannya (terjemahan penulis)

Disamping itu, Haeckel (1870) dalam Ricklefs (1976:2) menerangkan
“By ecology,” he wrote, “we mean the body of knowledge concerning the economy of nature – the investigation of the total relations of the animal both to its organic and to its inorganic environment; including above all, its friendly and inimcal relation with those animals and plants with ehich it come directly or indirectly in contact – in a word, ecology is the study of all the complex interrelations referred to by Darwin as the conditions of the struggle for existence.”


terkait ekologi, ‘beliau menulis “kita artikan pokok ilmu pengetahuan mengenai ekonomi alam – penelitian hubungan mutlak dari hewan baik lingkungan organik maupun non-organik; termasuk secara keseluruhan, keramahtahamannya dan hubungan inimcal dengan hewan-hewan tersebut dan tanaman-tanaman dengan ehich yang datang dalam kontak secara langsung atau tidak langsung – dalam kata lain, ekologi adalah studi keseluruhan hubungan intra yang kompleks yang dirujuk Darwin sebagai kondisi perebutan eksistensi” (terjemahan penulis)

Dengan demikian, kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik). Lingkungan tersebut adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam sebuah masyarakat. Situasi dwi/multi bahasa inilah yang mendorong adanya interaksi bahasa. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi sosial sangat memengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya (al-Gayoni, 2010:31).


Kajian Ekolinguistik

The discipline of ecolingusitics is traditionally divided into two main branches, eco-critical discourse analysis and linguistic ecology. Eco-critical discourse analysis includes, but is not limited to, the application of critical discourse analysis to texts about the environment and environmentalism, in order to reveal underlying ideologies. In its fullest formation, it includes analysis of any discourse which has potential consequences for the future of ecosystems, such as neoliberal economic discourse and discursive constructions of consumerism, gender, politics, agriculture and nature. Eco-critical discourse analysis does not just focus on exposing potentially damaging ideologies, but also searches for discursive representations which can contribute to a more ecologically sustainable society (Sumber: Wikipedia).

Secara tradisional, ekolinguistik dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu analisis wacana eko-kritis dan ekologi linguistik. Wacana eko-kritis tidak terbatas pada pengaplikasian analisis wacana kritis terhadap teks yang berkenaan dengan lingkungan dan pihak-pihak yang terlibat dalam lingkungan dalam pengungkapan ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian ini menyertakan pula penganalisisan pelbagai macam wacana yang berdampak besar terhadap ekosistem mendatang. Misalnya, wacana ekonomi neo-liberal, ketak-terhubungan dari konstruksi konsumerisme, gender, politik, pertanian dan alam. Disamping itu, wacana eko-kritis bukan sebatas memokuskan pada penulusuran ideologi-ideologi yang berpotensi merusak, melainkan mencari representasi diskursif yang dapat berkontribusi terhadap keberlangsungan masyarakat secara ekologis (Sumber Wikipedia) (terjemahan penulis).

Haugen (1970) dalam Mbete (2009:11-12) menyebut, ada sepuluh ruang kajian ekologi bahasa, antara lain, pertama linguistik historis komparatif, menjadikan bahasa-bahasa kerabat di suatu lingkungan geografis sebagai fokus kaji untuk menemukan relasi historis genetisnya. Kedua, linguistik demografi, mengkaji komunitas bahasa tertentu di suatu kawasan untuk memerikan kuantitas sumber daya (dan kualitas) penggunaan bahasa-bahasa beserta ranah-ranah dan ragam serta registrasinya (sosiolek dan fungsiolek). Ketiga, sosiolinguistik, yang fokus utama kajiannya atas variasi sistematik antara struktur bahasa dan stuktur masyarakat penuturnya. Keempat, dialinguistik, yang memokuskan kajiannya pada jangkauan dialek-dialek dan bahasa-bahasa yang digunakan masyarakat bahasa, termasuk di habitat baru, atau kantong migrasi dengan dinamika ekologinya. Kelima, dialektologi, mengkaji dan memetakan variasi-variasi internal sistem bahasa. Keenam, filologi, mengkaji dan menjejaki potensi budaya dan tradisi tulisan, propeknya, kaitan maknawi dengan kajian dan atau kepudaran budaya, dan tradisi tulisan lokal. Ketujuh, linguistik preskriptif, mengkaji daya hidup bahasa di kawasan tertentu di kawawan tertentu, pembakuan bahasa tulisan dan bahasa lisan, pembakuan tata bahasa (sebagai muatan lokal yang memang memerlukan kepastian bahasa baku yang normatif dan pedagogis). Kedelapan, glotopolitik, mengkaji dan memberdayakan pula wadah, atau lembaga penanganan masalah-masalah bahasa (secara khusus pada era otonomi daerah, otonomi khusus, serta pendampingan kantor dan atau balai bahasa). Kesembilan, etnolinguistik, linguistik antrofologi ataupun linguistik kultural (cultural linguistics) yang membedah pilih-memilih penggunaan bahasa, cara, gaya, pola pikir dan imajeri (Palmer, 1996 dalam Mbete, 2009), dalam kaitan dengan pola penggunaan bahasa, bahasa-bahasa ritual, kreasi wacana iklan yang berbasiskan bahasa lokal. Kesepuluh, tipologi, membedah derajat keuniversalan dan keunikan bahasa-bahasa. Berdasarkan cakupan ekolinguistik di atas, penelitian ini berhubungan erat dengan ekologi sosial yang membahas sosiolinguistik dan etnolinguistik.


Hubungan Bahasa dan Lingkungan

Terdapat hubungan yang nyata prihal pelbagai perubahan ragawi lingkungan terhadap bahasa dan sebaliknya. Dalam tulisannya Language and Environment, Mühlhäusler (hal. 3) menyebut, ada empat yang memungkinkan hubungan antara bahasa dan lingkungan. Semuanya menjadi subjek yang berbeda dari kajian linguistik pada satu waktu, atau pada waktu yang lain. Keempat hubungan tersebut adalah (1) Language is independent and self-contained (Chomsky, Cognitive Linguistics); (2) Language is constructed by the world (Marr); (3) The world is constructed by language (structuralism and post structuralism); (4) Language is interconnected with the world – it both constructs and is constructed by it but rarely independent (ecolinguistics).

Di Takengen, Kabupaten Aceh Tengah, khususnya di seputar Lut Tawar (Danau Lut Tawar) misalnya. Sebelumnya, penamaan kampung di seputar danau sebanyak 128 kampung (Saleh, 2009). Tetapi, saat ini, masyarakat Gayo, khususnya generasi muda tidak lagi mengenal nama-nama tempat tersebut. Hal tersebut terjadi karena adanya pelbagai perubahan sosio-ekologis yang berlangsung pada masyarakat seputar danau, seperti kebijakan penggabungan kampung, migrasi penduduk dari pelbagai kampung seputar danau baik di Aceh maupun ke luar Aceh khususnya ke Kabupaten Bener Meriah, bencana alam dan lain-lain (al-Gayoni, www.gayolinge.com, 24 Desember 2009). Karenanya, terdapat hubungan yang nyata terkait pelbagai perubahan ekologis terhadap bahasa. Lebih luas lagi, perubahan-perubahan ekologis tersebut turut memengaruhi nilai, ideologi dan budaya sebagai bagian dari identitas keetnikan sebuah masyarakat (al-Gayoni, 2010: 35-36).

Sebaliknya, bahasa sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak manusia. Hal tersebut dapat berimplikasi positif terhadap lingkungan fisik, ekonomis, dan sosial yaitu dengan terpelihara, adanya keseimbangan dan terwarisnya lingkungan yang ada kepada generasi berikutnya. Sebaliknya, dapat pula berdampak negatif dengan terjadinya pelbagai perubahan, ketidakseimbangan, dan kerusakan ekosistem. Dengan demikian, bahasa dapat mengarahkan penggunanya baik untuk hal-hal yang bersifat konstruktif maupun yang bersifat destruktif terkait lingkungan (al-Gayoni, 2010: 36).



DAFTAR PUSTAKA
A. Creese, P. Martin and N. H. Hornberger (eds.). 2008. Encyclopedia of Language and Education 2nd Edition, Volume 9: Ecology of Language, i-vi. Springer Science+Business Media LLC

Adisaputera, Abdurrahman. 2009. “Potensi Kepunahan Bahasa Pada Komunitas Melayu Langkat Di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.” LOGAT Journal Ilmiah Bahasa dan Sastra. Volume No. 1 April Tahun 2009

Ak, Mustafa. 2009. “Tutur dan Keharmonisan Dalam Rumah Tangga.” Tabloid Ara News. Edisi 01-Tahun Ke-1, Januari 2009

Akbar, Osra M., et all. 1985. Pemetaan Bahasa Aceh, Gayo, dan Alas. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan..

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2006. The Use of Vernacular Language Among the Gayonese Students of Sumatera Utara University (Skripsi). Medan: Departemen Sastra Inggris USU

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Bahasa Kaya yang akan Punah.” Bahan Talk Show Radio Amanda Takengen, 20 Agustus 2009

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “’Greenspeak,’ Menuju Keseimbangan Lingkungan.” Tabloid Gayo Land Edisi VI Thn II 2010, tanggal 9 Januari 2010

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Ditinggalkannya Bahasa Gayo.” www.gayolinge.com (27 Juli 2009)

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Ekologi Sosial Bertutur di Gayo.” www.gayolinge.com (8 Desember 2009) diakses 10 Desember 2009

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Fenomena Bertutur dalam Masyarakat Gayo.” Budaya Melayu Serumpun Kajian Linguistik, Sastra, Seni, dan Sosiobudaya (eds.) Tengku Silvana Sinar & Muhammad Takari. Hal. 270-282

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Hubungan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terhadap Pengurangan Kosa Kata Bahasa Daerah.” 2008

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Konsep Sosio-Ekologis Masyarakat Gayo dalam Pemeliharaan Ekosistem.” www.gayolinge.com (24 Desember 2009) diakses 26 Desember 2009

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. Bertutur di Tanoh Gayo. Takengen: Komunitas VisTaGa

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. Keterwarisan Bahasa Gayo. Takengen: Komunitas VisTaGa

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Campur Alih Bahasa Gayo.” www.theglobejournal.com (2 April 2010)

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Pengajaran Bahasa Berbasis Budaya.” www.theglobejournal.com (20 Februari 2010)

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Serial Petatah Petitih Gayo.” http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/22/serial-petatah-petitih-gayo/ (22 Februari 2010)

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik (Tesis). Medan: Sekolah Pascarjana USU.

Aman Pinan, A.R. Hakim. 1993. 1001 Petatah Petitih Gayo. Takengon: Panitia Penerbitan Buku Adat dan Budaya Gayo

Aman Pinan, A.R. Hakim. 1998. Hakikat Nilai – Nilai Budaya Gayo Aceh Tengah. Takengon: Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah

Arka, I Wayan. “Kompleksitas pemertahanan dan revitalisasi bahasa minoritas di Indonesia: Pengalaman Proyek Dokumentasi Rongga, Flores”

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Aceh Tengah. 2009. Aceh Tengah Dalam Angka 2009. Takengen: BPS Kabupaten Aceh Tengah berkerjasama dengan BAPPEDA Kabupaten Aceh Tengah

Baihaqi A.K., et all. 1981. Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Bastardas-Boada, Albert. “Language Planning and Language Ecology: Towards a Theoretical Integration.” Conference 30 Years of Language and Ecology, Graz, Austria, 2000.

Bastardas-Boada, Albert. 1995. “Language Management and Language Behavior Change: Policies and Social Persistence.” International Journal of Catalan Culture, Vol. IX, n. 2, 1995

Bastardas-Boada, Albert. 2004. “Linguistic Sustainability for a Multilingual Humanity.” the plenary speech for the X Linguapax Congress on ‘Linguistic Diversity, Sustainability and Peace’, Forum 2004, Barcelona.

Bastardas-Boada, Albert. 2005. “Linguistic Sustainability and Language Ecology.” Language & Ecology Maret 2005

Bernard, Spolsky. 1998. Sociolinguistics. New York: Oxford University Press

Blommaert, Jan. 2005. Discourse A Critical Introduction. States of America: Cambridge University Press

Bowen, John R. 1991. Sumatran Politics and Poetics: Gayo History, 1900-1989. United States of America: Yale University

Bowen, John R. 1993. Muslims through Discourse. United Kingdom: Princeton University Press

Bowers, C.A. 2009. “The Language of Ecological Intelligence.” Language & Ecology Vol. 3 No. 1 2009

Bowers, C.A. 2010. “The Insights of Gregory Bateson on the Connections between language and the ecological crisis.” Language & Ecology Vol. 3 No. 2 2010

Coupland, Nikolas. 2007. Style Language Variation and Identity Key Topics in Sociolinguistics. United Kingdom: Cambridge University Press

Crystal, David. 2000. Language Death. United Kingdom: Cambridge University Press

Crystal, David. 2008. A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing

Dardanila. 2006. Pronomina Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut (Tesis). Medan: Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

De, Ani Kumar&Arnab Kumar De. 2009. Environtment and Ecology. New Delhi: New Age International P Limited Publishers

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981. Bahasa Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985. Kata Tugas Bahasa Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Dillon, Denise. 2010. “People, environment, language and meaning: values in nature and the nature of ‘values.” Language and Ecology Vol. 3 No. 2 2010

Downes, William. 1984. Language and Society. Great Britain: The Chaucer Press.

Eades, Domenyk. 2005. A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra. Australia. Pacific Linguistics Research School of Pacific and Asian Studies

Fasold, Ralph. 1990. Sociolinguistics of Language. United Kingdom: Blackwell Publishing

Fill, Alwin and Peter Mühlhäusler. 2001. The Ecolinguistics Reader Language, Ecology and Environment. London: Continuum

Gargan, Michelle. 2007. “Magic Romance: on Perfume, Language and Environment.” Language & Ecology 2007

Gaur, R.C. 2008. Basis Environmental Engineering. New Delhi: New Age International P Limited Publishers

Grabowski, Ian. 2007. “Consumed by consumerism: the persuasive discourse of financial institutions. Language & Ecology Vol. 2 No. 2 2007

Haenn, Nora and Ricard R. Wilk. 2006. The Environment in Anthropology A Readear in Ecology, Culture, and Sustainable Living. United States of America: New York University Press

Halliday, M. A. K. 2001 “New Ways of Meaning: The Challenge to Apllied Linguistics” dalam Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (eds.) The Ecolinguistics Reader Language, Ecology and Environment. London and New York: Continuum.

Hellinger, Marlis & Anne Pauwels. 2005. Handbook of Language and Communication Diversity and Change. United States of America: Lawrence Erlbaum Associates

Hickey, Leo and Miranda (eds.). 2005. Stewart. Politeness in Europe. Great Britain: The Cromwell Press

Huebner, Thom (ed.). 1996. Sociolinguistic Perspectives Papers on Language in Society, 1959-1994 Charles A. Ferguson. New York: Oxford University Press
Hurgronje, C. Snouck. 1996. Masyarakat Gayo dan Kebudayaan Awal Abad ke-20; Penerjemah Hatta Hasan Aman Asnah. – Cet 1 – Jakarta: Balai Pustaka (235-239)

Hurgronje, C. Snouck. 1996. Tanoh Gayo dan Penduduknya: Penerjemah Budiman S. Jakarta: Balai Pustaka

Hymes, Dell. 1974. Foundations in Sociolinguistics An Ethnographic Approach. Philadelpia: University of Pennsylavania Press

Ibrahim, Idris., et all. 1984. Sistem Perulangan Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Ibrahim, Mahmud. 2002. Syariat dan Adat Istiadat Jilid I. Takengen: Yayasan Maqamam Mahmuda

Ibrahim, Mahmud. 2009. Syariat dan Adat Istiadat Jilid II. Takengen: Yayasan Maqamam Mahmuda

Kuha, Mai. 2009. “Uncertainty about causes and effects of global warming in U.S. news coverage before and after Bali.” Language & Ecology Vol. 2 No. 4 2009

Lechevrel, Nadege. “The Interwined Histories of Ecolinguistics and Ecological Approaches of Language (s) Historical and Theoretical Aspects of a Research Paradigm”

Lindo, Anna Vibeke and Jeppe Bundsgaard (eds). 2000. Dialectical Ecolinguistics Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Austria: Univerisity of Odense Research Group for Ecology, Language and Ecology

Madjid, M. Dien. 2010. “Spektrum: Kebesaran Gayo Dalam Sejarah.” Makalah Seminar Expo Budaya Lueser 2010, Takengen, 27-29 Maret 2010.

Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MAANGO). “Struktur Organisasi Dan Tata Kerja Kerajaan di Bumi Gayo.”

Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MAANGO). 2007. Kumpulan Butir-Butir Adat Negeri Linge, Qanun Hukum Adat Gayo, Qanun Organisasi Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo serta Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat. Takengen: MAANGO

Makam, Ibrahim., et all. 1985. Kata Tugas Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Mbete, Aron Meko dan Abdurrahman Adisaputera. 2009. “Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat Pada Komunitas Remaja Di Stabat, Langkat.”

Mbete, Aron Meko. 2002. “Ungkapan-Ungkapan Dalam Bahasa Lio Dan Fungsinya Dalam Melestarikan Lingkungan.” Linguistika, Vol. 19 No. 17, September 2002.

Mbete, Aron Meko. 2009. “Refleksi Ringan Tentang Problematika Keetnikan dan Kebahasaan dalam Perspektif Ekolinguistik.” Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III, USU Medan, 25 April 2009

Mbete, Aron Meko. 2009. “Selayang Pandang Tentang Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan Yang Prospektif.” Bahan Untuk Berbagi Pengalaman Kelinguistikan Dalam Matrikulasi Program Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2009

Melalatoa, M.J. 1981. Kebudayaan Gayo. Jakarta: Balai Bahasa

Melalatoa, M.J. 1985. Kamus Bahasa Gayo – Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Moeliono, Anton, et all. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Mufwene, Salikoko S. 2004. The Ecology of Language Evolution. United Kingdom: Cambridge University Press

Mühlhäusler, Peter and Ade Peace. “Discourse of Ecotourism: the Case of Fraser Island, Queensland.” Univeristy of Adelaide.

Mühlhäusler, Peter and Adrian Peace. “Environmental Discourse.” University of Adelaide

Mühlhäusler, Peter. “Creating Ecological Links through Language on Pitcairn and Norfolk.” University of Adelaide

Mühlhäusler, Peter. “Ecolinguistics in the University.”

Mühlhäusler, Peter. “Laguage and Environment.” University of Adelaide

Mühlhäusler, Peter. “Laguage as an Ecological Phenomenon” (For the Linacre Journal: a Review of Research in the Humanities). Adelaide University.
Mühlhäusler, Peter. “Thinking Ecologically.” University of Adelaide

Mühlhäusler, Peter. 1996. Linguistic Ecology Language Ecology and Linguistic Impealism in the Pacific Region. London: Routledge

Murni, Sri Minda. 2009. Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara (Disertasi Doktor). Medan: Program Doktor Linguistik USU

Nettle, Daniel and Suzzane Romaine. 2000. Vanishing Voices the Extinction of the World's Languages. New York: Oxford University Press

Numberi, Freddy. 2009. Perubahan Iklim Implikasinya Terhadap Kehidupan Di Laut, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Fortuna Prima Makmur

Orr, David W. 2004. The Nature of Design Ecology, Culture, and Human Itention. New York: Oxford University Press

Paripurno, Eko Teguh dan Siti Maemunah (eds.). 2009. Datang, Gali &Pergi, Potret Penutupan Tambang di Indonesia. Jakarta: Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

Penelitian Studi Hubungan Pusat dan Daerah Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dengan Universitas Pattimura. 2009. Hak-Hak Adat Kelautan Masyarakat Pesisir Di Provinsi Maluku. Ambon: Lembaga Penelitian Universitas Pattimura

Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU). 2009. Buku Pedoman Tata Cara Penulisan Tesis dan Disertasi 2009. Medan: Program Pascasarjana Linguistik

Ricklefs, Robert E. 1976. The Economy of Nature A Textbook in Basic Ecology. New York: Chiron Press Incorporated

Robinson, W. Peter. 2003. Language in Social Worlds. United Kingdom: Blackwell Publishing

Ross, Don. 2007. “H. sapiens as ecologically special: what does language contribute?” Published in Language Science 29: 710-731, 2007

Saleh, M. Jusin. “Sosial Budaya Masyarakat di Sekitar Danau Laut Tawar.” Makalah Workshop “Selamatkan Danau Laut Tawar.” Op Room Sekdakab Aceh Tengah, Takengen, 22 November 2009

Saleh, M. Jusin. 2009. “Gayo Bertutur”
Sariyan, Awang. 2007. Santun Berbahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Satria, Arif. 2010. “Keadilan Ekologis.” Kompas, 22 April 2010

Saville-Troike, Muriel. 2003. The Ethnography of Communication an Introduction 3rd Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing

Setia, Eddy. 2009. “Bahasa, Ekologi, dan Masyarakat: Upaya Pengayaan Bahasa Nasional.” Makalah dalam Seminar Bahasa&Sastra Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Medan, tanggal 29-31 Desember 2009

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Penerbit Poda

Simbolon, Parakitri T. 1999. Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kedudayaan (PMB)-LIPI dan The Ford Foundation.

Sinar, Tengku Silvana. 2010. “Upaya Penelitian dalam Merawat Kearifan Lokal.” Harian Analisa Medan, 7 Februari 2010

Skutnabb-Kangas, Tove& Robert Phillipson. “Language Ecology.”

Soravia, Guilio. 1984. A Sketch of the Gayo Language. Unpublished Manuscript, Catania: Gruppo Linguistico Catanese Studi Or. No. 1

Stibbe, Arran. 2004. “Environmental Education Across Cultures: Beyond the Discourse of Shallow Environmentalism.” Language and Intercultural Communication. Vol 4 No. 4 2004

Stibbe, Arran. 2005. “Counter-discourses and the relationship between humans and other animals.”

Stibbe, Arran. 2008. “Words and worlds: New Direction for Sustainability Literacy.” Language & Ecology 2008 Vol. 2 No. 3

Sudaryanto. 1993. Metode Dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press

Suparwa, I Nyoman. “Ekologi Bahasa Dan Pengaruhnya Dalam Dinamika Kehidupan Bahasa Melayu Loloan Bali”

Syukri. 2009. Sarakopat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relavansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Hijri Pustaka Utama
van Lier, Leo. 2004. The Ecology and Semiotics of Language Learning A Sociocultural Perspective. United States of America: Kluwer Academic Publishers

Verhagen, Frans C. 2008. Worldviews and Metaphors in the Human-Nature Relationship: an Ecolinguistic Exploration Through the Ages. Language & Ecology Vol. 2 No. 3 2008

Wahab, M. Salim. 2008. Tata Bahasa Gayo Lues. Belangkejeren: Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Kabupaten Gayo Lues

Waton, Fidelis Regi. 2010. “Tahun Diversitas.” Kompas, 19 Januari 2010

Watts, Richard J. 2003. Key Topics in Sociolinguistics Politeness. New York: Cambridge University Press

Wikipedia. 2009. “Ecolinguistics.” http://en.wikipedia.org/wiki/Ecolinguistics (diakses tanggal 24 Desember 2009)

Williams, Rachel. 2007. “On voit grand. Tres grand: Language and the construction of nature across cultures.” Language & Ecology 2007

Wright, Will. 1992. Wild Knowledge Science, Language, and Social Life in a Fragile Environment. United States of America: University of Minnesota Press

Zunino, Francesca. 2009. “Different degrees of natural: New encounters and old discourse of Amazonian original peoples.” Language & Ecology Vol. 2 No. 4 2009



* Dosen STKIP Muhamadiyah Aceh Tengah & Staf Ahli/Asisten Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) asal Aceh

Selasa, 18 Mei 2010

Penyusutan Tutur Dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Penyusutan Tutur Dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik. Untuk menjawab pelbagai persoalan yang ada, digunakan pendekatan interdisipliner sebagai bagian dari kajian makrolinguistik, terutama pendekatan fungsional yang terdapat dalam sosiolinguistik dan linguistik kultural. Lebih khusus lagi, akan digunakan ekolinguistik kritis dalam mendekati dan menyingkap konsep-konsep sosio-kultural, relijius, terlebih ekologis yang kerap dipakai masyarakat Gayo. Kaji-tindak (action research) dipakai dalam penelitian ini dengan berbagai metode, yaitu metode penelitian-survei yang eksploratif, wawancara mendalam (depth interview), pemanfaatan kelompok diskusi kebahasaan (focus group discussion) dengan para penutur asli, pengamatan terlibat atas realitas (fungsi) pemakaian bahasa pada sejumlah ranah pakai (keluarga, ketetanggaan, lingkungan keagamaan, dan lingkungan adat (Sarak Opat), terutama yang terkait dengan sosio-ekologis, dan studi dokumen berkaitan dengan rujukan terutama tentang konsep-konsep ekolinguistik dan bahasa serta masyarakat Gayo. Hasil penelitian ini menemukan bahwa masyarakat Gayo memiliki konsep, bentuk, dan muatan tutur tersendiri. Dalam perkembangannya, tutur tersebut kurang dipakai, bahkan cenderung mulai ditinggalkan. Hal tersebut dilatari dua faktor, yaitu faktor internal yang bersumber dari orang Gayo selaku pengguna tutur. Tutur tidak diajarkan, tidak dipakai, dan tidak dipelajari. Juga, faktor eksternal yang berasal dari luar, yaitu adanya pengaruh pemakaian bahasa Indonesia, perkawinan silang, interaksi budaya, pengaruh media, pendidikan, dan pengaruh perkembangan informasi dan teknologi. Namun, pengaruh yang datang dari luar sangat memengaruhi penyusutan tutur. Hal tersebut semakin menggambarkan ekologi sosial bahasa Gayo, terlebih lagi ekologi be tutur yang ada pada suku ini.


Kata Kunci: Penyusutan, tutur, masyarakat (orang Gayo), ekolinguistik, ekolinguistik kritis, sosio-kultural, Sarak Opat, sosio-ekologis



DAFTAR PUSTAKA

A. Creese, P. Martin and N. H. Hornberger (eds.). 2008. Encyclopedia of Language and Education 2nd Edition, Volume 9: Ecology of Language, i-vi. Springer Science+Business Media LLC

Adisaputera, Abdurrahman. 2009. “Potensi Kepunahan Bahasa Pada Komunitas Melayu Langkat Di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.” LOGAT Journal Ilmiah Bahasa dan Sastra. Volume No. 1 April Tahun 2009

Ak, Mustafa. 2009. “Tutur dan Keharmonisan Dalam Rumah Tangga.” Tabloid Ara News. Edisi 01-Tahun Ke-1, Januari 2009

Akbar, Osra M., et all. 1985. Pemetaan Bahasa Aceh, Gayo, dan Alas. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan..

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2006. The Use of Vernacular Language Among the Gayonese Students of Sumatera Utara University (Skripsi). Medan: Departemen Sastra Inggris USU

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Bahasa Kaya yang akan Punah.” Bahan Talk Show Radio Amanda Takengen, 20 Agustus 2009

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “’Greenspeak,’ Menuju Keseimbangan Lingkungan.” Tabloid Gayo Land Edisi VI Thn II 2010, tanggal 9 Januari 2010

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Ditinggalkannya Bahasa Gayo.” www.gayolinge.com (27 Juli 2009)

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Ekologi Sosial Bertutur di Gayo.” www.gayolinge.com (8 Desember 2009) diakses 10 Desember 2009

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Fenomena Bertutur dalam Masyarakat Gayo.” Budaya Melayu Serumpun Kajian Linguistik, Sastra, Seni, dan Sosiobudaya (eds.) Tengku Silvana Sinar & Muhammad Takari. Hal. 270-282

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Hubungan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terhadap Pengurangan Kosa Kata Bahasa Daerah.” 2008

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Konsep Sosio-Ekologis Masyarakat Gayo dalam Pemeliharaan Ekosistem.” www.gayolinge.com (24 Desember 2009) diakses 26 Desember 2009

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. Bertutur di Tanoh Gayo. Takengen: Komunitas VisTaGa

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. Keterwarisan Bahasa Gayo. Takengen: Komunitas VisTaGa

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Campur Alih Bahasa Gayo.” www.theglobejournal.com (2 April 2010)

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Pengajaran Bahasa Berbasis Budaya.” www.theglobejournal.com (20 Februari 2010)

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Serial Petatah Petitih Gayo.” http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/22/serial-petatah-petitih-gayo/ (22 Februari 2010)

Aman Pinan, A.R. Hakim. 1993. 1001 Petatah Petitih Gayo. Takengon: Panitia Penerbitan Buku Adat dan Budaya Gayo

Aman Pinan, A.R. Hakim. 1998. Hakikat Nilai – Nilai Budaya Gayo Aceh Tengah. Takengon: Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah

Arka, I Wayan. “Kompleksitas pemertahanan dan revitalisasi bahasa minoritas di Indonesia: Pengalaman Proyek Dokumentasi Rongga, Flores”

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Aceh Tengah. 2009. Aceh Tengah Dalam Angka 2009. Takengen: BPS Kabupaten Aceh Tengah berkerjasama dengan BAPPEDA Kabupaten Aceh Tengah

Baihaqi A.K., et all. 1981. Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Bastardas-Boada, Albert. “Language Planning and Language Ecology: Towards a Theoretical Integration.” Conference 30 Years of Language and Ecology, Graz, Austria, 2000.

Bastardas-Boada, Albert. 1995. “Language Management and Language Behavior Change: Policies and Social Persistence.” International Journal of Catalan Culture, Vol. IX, n. 2, 1995

Bastardas-Boada, Albert. 2004. “Linguistic Sustainability for a Multilingual Humanity.” the plenary speech for the X Linguapax Congress on ‘Linguistic Diversity, Sustainability and Peace’, Forum 2004, Barcelona.

Bastardas-Boada, Albert. 2005. “Linguistic Sustainability and Language Ecology.” Language & Ecology Maret 2005

Bernard, Spolsky. 1998. Sociolinguistics. New York: Oxford University Press

Blommaert, Jan. 2005. Discourse A Critical Introduction. States of America: Cambridge University Press

Bowen, John R. 1991. Sumatran Politics and Poetics: Gayo History, 1900-1989. United States of America: Yale University

Bowen, John R. 1993. Muslims through Discourse. United Kingdom: Princeton University Press

Bowers, C.A. 2009. “The Language of Ecological Intelligence.” Language & Ecology Vol. 3 No. 1 2009

Bowers, C.A. 2010. “The Insights of Gregory Bateson on the Connections between language and the ecological crisis.” Language & Ecology Vol. 3 No. 2 2010

Coupland, Nikolas. 2007. Style Language Variation and Identity Key Topics in Sociolinguistics. United Kingdom: Cambridge University Press

Crystal, David. 2000. Language Death. United Kingdom: Cambridge University Press

Crystal, David. 2008. A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing

Dardanila. 2006. Pronomina Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut (Tesis). Medan: Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

De, Ani Kumar&Arnab Kumar De. 2009. Environtment and Ecology. New Delhi: New Age International P Limited Publishers

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981. Bahasa Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985. Kata Tugas Bahasa Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Dillon, Denise. 2010. “People, environment, language and meaning: values in nature and the nature of ‘values.” Language and Ecology Vol. 3 No. 2 2010

Downes, William. 1984. Language and Society. Great Britain: The Chaucer Press.

Eades, Domenyk. 2005. A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra. Australia. Pacific Linguistics Research School of Pacific and Asian Studies

Fasold, Ralph. 1990. Sociolinguistics of Language. United Kingdom: Blackwell Publishing

Fill, Alwin and Peter Mühlhäusler. 2001. The Ecolinguistics Reader Language, Ecology and Environment. London: Continuum

Gargan, Michelle. 2007. “Magic Romance: on Perfume, Language and Environment.” Language & Ecology 2007

Gaur, R.C. 2008. Basis Environmental Engineering. New Delhi: New Age International P Limited Publishers

Grabowski, Ian. 2007. “Consumed by consumerism: the persuasive discourse of financial institutions. Language & Ecology Vol. 2 No. 2 2007

Haenn, Nora and Ricard R. Wilk. 2006. The Environment in Anthropology A Readear in Ecology, Culture, and Sustainable Living. United States of America: New York University Press

Halliday, M. A. K. 2001 “New Ways of Meaning: The Challenge to Apllied Linguistics” dalam Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (eds.) The Ecolinguistics Reader Language, Ecology and Environment. London and New York: Continuum.

Hellinger, Marlis & Anne Pauwels. 2005. Handbook of Language and Communication Diversity and Change. United States of America: Lawrence Erlbaum Associates

Hickey, Leo and Miranda (eds.). 2005. Stewart. Politeness in Europe. Great Britain: The Cromwell Press

Huebner, Thom (ed.). 1996. Sociolinguistic Perspectives Papers on Language in Society, 1959-1994 Charles A. Ferguson. New York: Oxford University Press

Hurgronje, C. Snouck. 1996. Masyarakat Gayo dan Kebudayaan Awal Abad ke-20; Penerjemah Hatta Hasan Aman Asnah. – Cet 1 – Jakarta: Balai Pustaka (235-239)

Hurgronje, C. Snouck. 1996. Tanoh Gayo dan Penduduknya: Penerjemah Budiman S. Jakarta: Balai Pustaka

Hymes, Dell. 1974. Foundations in Sociolinguistics An Ethnographic Approach. Philadelpia: University of Pennsylavania Press

Ibrahim, Idris., et all. 1984. Sistem Perulangan Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Ibrahim, Mahmud. 2002. Syariat dan Adat Istiadat Jilid I. Takengen: Yayasan Maqamam Mahmuda

Ibrahim, Mahmud. 2009. Syariat dan Adat Istiadat Jilid II. Takengen: Yayasan Maqamam Mahmuda

Kuha, Mai. 2009. “Uncertainty about causes and effects of global warming in U.S. news coverage before and after Bali.” Language & Ecology Vol. 2 No. 4 2009

Lechevrel, Nadege. “The Interwined Histories of Ecolinguistics and Ecological Approaches of Language (s) Historical and Theoretical Aspects of a Research Paradigm”

Lindo, Anna Vibeke and Jeppe Bundsgaard (eds). 2000. Dialectical Ecolinguistics Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Austria: Univerisity of Odense Research Group for Ecology, Language and Ecology

Madjid, M. Dien. 2010. “Spektrum: Kebesaran Gayo Dalam Sejarah.” Makalah Seminar Expo Budaya Lueser 2010, Takengen, 27-29 Maret 2010.

Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MAANGO). “Struktur Organisasi Dan Tata Kerja Kerajaan di Bumi Gayo.”

Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MAANGO). 2007. Kumpulan Butir-Butir Adat Negeri Linge, Qanun Hukum Adat Gayo, Qanun Organisasi Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo serta Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat. Takengen: MAANGO

Makam, Ibrahim., et all. 1985. Kata Tugas Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Mbete, Aron Meko dan Abdurrahman Adisaputera. 2009. “Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat Pada Komunitas Remaja Di Stabat, Langkat.”

Mbete, Aron Meko. 2002. “Ungkapan-Ungkapan Dalam Bahasa Lio Dan Fungsinya Dalam Melestarikan Lingkungan.” Linguistika, Vol. 19 No. 17, September 2002.

Mbete, Aron Meko. 2009. “Refleksi Ringan Tentang Problematika Keetnikan dan Kebahasaan dalam Perspektif Ekolinguistik.” Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III, USU Medan, 25 April 2009

Mbete, Aron Meko. 2009. “Selayang Pandang Tentang Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan Yang Prospektif.” Bahan Untuk Berbagi Pengalaman Kelinguistikan Dalam Matrikulasi Program Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2009

Melalatoa, M.J. 1981. Kebudayaan Gayo. Jakarta: Balai Bahasa

Melalatoa, M.J. 1985. Kamus Bahasa Gayo – Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Moeliono, Anton, et all. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Mufwene, Salikoko S. 2004. The Ecology of Language Evolution. United Kingdom: Cambridge University Press

Mühlhäusler, Peter and Ade Peace. “Discourse of Ecotourism: the Case of Fraser Island, Queensland.” Univeristy of Adelaide.

Mühlhäusler, Peter and Adrian Peace. “Environmental Discourse.” University of Adelaide

Mühlhäusler, Peter. “Creating Ecological Links through Language on Pitcairn and Norfolk.” University of Adelaide

Mühlhäusler, Peter. “Ecolinguistics in the University.”

Mühlhäusler, Peter. “Laguage and Environment.” University of Adelaide

Mühlhäusler, Peter. “Laguage as an Ecological Phenomenon” (For the Linacre Journal: a Review of Research in the Humanities). Adelaide University.

Mühlhäusler, Peter. “Thinking Ecologically.” University of Adelaide

Mühlhäusler, Peter. 1996. Linguistic Ecology Language Ecology and Linguistic Impealism in the Pacific Region. London: Routledge

Murni, Sri Minda. 2009. Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara (Disertasi Doktor). Medan: Program Doktor Linguistik USU

Nettle, Daniel and Suzzane Romaine. 2000. Vanishing Voices the Extinction of the World's Languages. New York: Oxford University Press

Numberi, Freddy. 2009. Perubahan Iklim Implikasinya Terhadap Kehidupan Di Laut, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Fortuna Prima Makmur

Orr, David W. 2004. The Nature of Design Ecology, Culture, and Human Itention. New York: Oxford University Press

Paripurno, Eko Teguh dan Siti Maemunah (eds.). 2009. Datang, Gali &Pergi, Potret Penutupan Tambang di Indonesia. Jakarta: Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

Penelitian Studi Hubungan Pusat dan Daerah Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dengan Universitas Pattimura. 2009. Hak-Hak Adat Kelautan Masyarakat Pesisir Di Provinsi Maluku. Ambon: Lembaga Penelitian Universitas Pattimura

Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU). 2009. Buku Pedoman Tata Cara Penulisan Tesis dan Disertasi 2009. Medan: Program Pascasarjana Linguistik

Ricklefs, Robert E. 1976. The Economy of Nature A Textbook in Basic Ecology. New York: Chiron Press Incorporated

Robinson, W. Peter. 2003. Language in Social Worlds. United Kingdom: Blackwell Publishing

Ross, Don. 2007. “H. sapiens as ecologically special: what does language contribute?” Published in Language Science 29: 710-731, 2007

Saleh, M. Jusin. “Sosial Budaya Masyarakat di Sekitar Danau Laut Tawar.” Makalah Workshop “Selamatkan Danau Laut Tawar.” Op Room Sekdakab Aceh Tengah, Takengen, 22 November 2009

Saleh, M. Jusin. 2009. “Gayo Bertutur”

Sariyan, Awang. 2007. Santun Berbahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Satria, Arif. 2010. “Keadilan Ekologis.” Kompas, 22 April 2010

Saville-Troike, Muriel. 2003. The Ethnography of Communication an Introduction 3rd Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing

Setia, Eddy. 2009. “Bahasa, Ekologi, dan Masyarakat: Upaya Pengayaan Bahasa Nasional.” Makalah dalam Seminar Bahasa&Sastra Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Medan, tanggal 29-31 Desember 2009

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Penerbit Poda

Simbolon, Parakitri T. 1999. Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kedudayaan (PMB)-LIPI dan The Ford Foundation.

Sinar, Tengku Silvana. 2010. “Upaya Penelitian dalam Merawat Kearifan Lokal.” Harian Analisa Medan, 7 Februari 2010

Skutnabb-Kangas, Tove& Robert Phillipson. “Language Ecology.”

Soravia, Guilio. 1984. A Sketch of the Gayo Language. Unpublished Manuscript, Catania: Gruppo Linguistico Catanese Studi Or. No. 1

Stibbe, Arran. 2004. “Environmental Education Across Cultures: Beyond the Discourse of Shallow Environmentalism.” Language and Intercultural Communication. Vol 4 No. 4 2004

Stibbe, Arran. 2005. “Counter-discourses and the relationship between humans and other animals.”

Stibbe, Arran. 2008. “Words and worlds: New Direction for Sustainability Literacy.” Language & Ecology 2008 Vol. 2 No. 3

Sudaryanto. 1993. Metode Dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press

Suparwa, I Nyoman. “Ekologi Bahasa Dan Pengaruhnya Dalam Dinamika Kehidupan Bahasa Melayu Loloan Bali”

Syukri. 2009. Sarakopat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relavansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Hijri Pustaka Utama

van Lier, Leo. 2004. The Ecology and Semiotics of Language Learning A Sociocultural Perspective. United States of America: Kluwer Academic Publishers

Verhagen, Frans C. 2008. Worldviews and Metaphors in the Human-Nature Relationship: an Ecolinguistic Exploration Through the Ages. Language & Ecology Vol. 2 No. 3 2008

Wahab, M. Salim. 2008. Tata Bahasa Gayo Lues. Belangkejeren: Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Kabupaten Gayo Lues

Waton, Fidelis Regi. 2010. “Tahun Diversitas.” Kompas, 19 Januari 2010

Watts, Richard J. 2003. Key Topics in Sociolinguistics Politeness. New York: Cambridge University Press

Wikipedia. 2009. “Ecolinguistics.” http://en.wikipedia.org/wiki/Ecolinguistics (diakses tanggal 24 Desember 2009)

Williams, Rachel. 2007. “On voit grand. Tres grand: Language and the construction of nature across cultures.” Language & Ecology 2007

Wright, Will. 1992. Wild Knowledge Science, Language, and Social Life in a Fragile Environment. United States of America: University of Minnesota Press

Zunino, Francesca. 2009. “Different degrees of natural: New encounters and old discourse of Amazonian original peoples.” Language & Ecology Vol. 2 No. 4 2009

The Decreasing of Tutur (terms of address) in Gayonese: an Ecolinguistics Approach

ABSTRACT

This research discusses about the decreasing of Tutur (terms of address) in Gayonese: An Ecolinguistics approach. To explain various problems on Tutur, this research uses interdicipline approaches as a part of macrolinguistic discipline, especially functional approaches which is part of sociolinguistics and cultural linguistic. More specifically, critical ecolinguistics will be used to approach and explain the socio-cultural and religious concept. Moreover, ecological concept is more common used among Gayonese. This research uses action research method through an explorative survey, depth interview, focus group discussion with the native speakers, observation on the use of Tutur among Gayonese (family, neighborhood, religious and cultural society (Sarak Opat), especially the one related to socio-ecology and also documents related to the main references on ecolinguistics concepts, language and Gayonese. The results of this research find that Gayonese has concept, structure and content of Tutur. In its development, Tutur is less used and even tends to be left by its speakers. There are two factors caused it; the internal factor which occurs in Gayonese as the user of Tutur. Tutur is not taught, used and learnt. The second are the external factors, such as the influences of the use of Bahasa Indonesia, cross marriage, cultural interaction, mass media, education, and information and technology. However, the external factor mostlyy influences the decreasing of Tutur. This shows more about the socio-ecological aspect of Gayo language, especially the ecology of be Tutur in Gayo.


Key Words: Decreasing, tutur, Gayonese, ecolinguistics, critical ecolinguistics, socio-cultural, Sarak Opat, socio-ecological



BIBLIOGRAPHY

A. Creese, P. Martin and N. H. Hornberger (eds.). 2008. Encyclopedia of Language and Education 2nd Edition, Volume 9: Ecology of Language, i-vi. Springer Science+Business Media LLC

Adisaputera, Abdurrahman. 2009. “Potensi Kepunahan Bahasa Pada Komunitas Melayu Langkat Di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.” LOGAT Journal Ilmiah Bahasa dan Sastra. Volume No. 1 April Tahun 2009

Ak, Mustafa. 2009. “Tutur dan Keharmonisan Dalam Rumah Tangga.” Tabloid Ara News. Edisi 01-Tahun Ke-1, Januari 2009

Akbar, Osra M., et all. 1985. Pemetaan Bahasa Aceh, Gayo, dan Alas. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan..

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2006. The Use of Vernacular Language Among the Gayonese Students of Sumatera Utara University (Skripsi). Medan: Departemen Sastra Inggris USU

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Bahasa Kaya yang akan Punah.” Bahan Talk Show Radio Amanda Takengen, 20 Agustus 2009

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “’Greenspeak,’ Menuju Keseimbangan Lingkungan.” Tabloid Gayo Land Edisi VI Thn II 2010, tanggal 9 Januari 2010

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Ditinggalkannya Bahasa Gayo.” www.gayolinge.com (27 Juli 2009)

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Ekologi Sosial Bertutur di Gayo.” www.gayolinge.com (8 Desember 2009) diakses 10 Desember 2009

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Fenomena Bertutur dalam Masyarakat Gayo.” Budaya Melayu Serumpun Kajian Linguistik, Sastra, Seni, dan Sosiobudaya (eds.) Tengku Silvana Sinar & Muhammad Takari. Hal. 270-282

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Hubungan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terhadap Pengurangan Kosa Kata Bahasa Daerah.” 2008

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Konsep Sosio-Ekologis Masyarakat Gayo dalam Pemeliharaan Ekosistem.” www.gayolinge.com (24 Desember 2009) diakses 26 Desember 2009

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. Bertutur di Tanoh Gayo. Takengen: Komunitas VisTaGa

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. Keterwarisan Bahasa Gayo. Takengen: Komunitas VisTaGa

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Campur Alih Bahasa Gayo.” www.theglobejournal.com (2 April 2010)

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Pengajaran Bahasa Berbasis Budaya.” www.theglobejournal.com (20 Februari 2010)

al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Serial Petatah Petitih Gayo.” http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/22/serial-petatah-petitih-gayo/ (22 Februari 2010)

Aman Pinan, A.R. Hakim. 1993. 1001 Petatah Petitih Gayo. Takengon: Panitia Penerbitan Buku Adat dan Budaya Gayo

Aman Pinan, A.R. Hakim. 1998. Hakikat Nilai – Nilai Budaya Gayo Aceh Tengah. Takengon: Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah

Arka, I Wayan. “Kompleksitas pemertahanan dan revitalisasi bahasa minoritas di Indonesia: Pengalaman Proyek Dokumentasi Rongga, Flores”

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Aceh Tengah. 2009. Aceh Tengah Dalam Angka 2009. Takengen: BPS Kabupaten Aceh Tengah berkerjasama dengan BAPPEDA Kabupaten Aceh Tengah

Baihaqi A.K., et all. 1981. Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Bastardas-Boada, Albert. “Language Planning and Language Ecology: Towards a Theoretical Integration.” Conference 30 Years of Language and Ecology, Graz, Austria, 2000.

Bastardas-Boada, Albert. 1995. “Language Management and Language Behavior Change: Policies and Social Persistence.” International Journal of Catalan Culture, Vol. IX, n. 2, 1995

Bastardas-Boada, Albert. 2004. “Linguistic Sustainability for a Multilingual Humanity.” the plenary speech for the X Linguapax Congress on ‘Linguistic Diversity, Sustainability and Peace’, Forum 2004, Barcelona.

Bastardas-Boada, Albert. 2005. “Linguistic Sustainability and Language Ecology.” Language & Ecology Maret 2005

Bernard, Spolsky. 1998. Sociolinguistics. New York: Oxford University Press

Blommaert, Jan. 2005. Discourse A Critical Introduction. States of America: Cambridge University Press

Bowen, John R. 1991. Sumatran Politics and Poetics: Gayo History, 1900-1989. United States of America: Yale University

Bowen, John R. 1993. Muslims through Discourse. United Kingdom: Princeton University Press

Bowers, C.A. 2009. “The Language of Ecological Intelligence.” Language & Ecology Vol. 3 No. 1 2009

Bowers, C.A. 2010. “The Insights of Gregory Bateson on the Connections between language and the ecological crisis.” Language & Ecology Vol. 3 No. 2 2010

Coupland, Nikolas. 2007. Style Language Variation and Identity Key Topics in Sociolinguistics. United Kingdom: Cambridge University Press

Crystal, David. 2000. Language Death. United Kingdom: Cambridge University Press

Crystal, David. 2008. A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing

Dardanila. 2006. Pronomina Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut (Tesis). Medan: Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

De, Ani Kumar&Arnab Kumar De. 2009. Environtment and Ecology. New Delhi: New Age International P Limited Publishers

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981. Bahasa Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985. Kata Tugas Bahasa Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Dillon, Denise. 2010. “People, environment, language and meaning: values in nature and the nature of ‘values.” Language and Ecology Vol. 3 No. 2 2010

Downes, William. 1984. Language and Society. Great Britain: The Chaucer Press.

Eades, Domenyk. 2005. A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra. Australia. Pacific Linguistics Research School of Pacific and Asian Studies

Fasold, Ralph. 1990. Sociolinguistics of Language. United Kingdom: Blackwell Publishing

Fill, Alwin and Peter Mühlhäusler. 2001. The Ecolinguistics Reader Language, Ecology and Environment. London: Continuum

Gargan, Michelle. 2007. “Magic Romance: on Perfume, Language and Environment.” Language & Ecology 2007

Gaur, R.C. 2008. Basis Environmental Engineering. New Delhi: New Age International P Limited Publishers

Grabowski, Ian. 2007. “Consumed by consumerism: the persuasive discourse of financial institutions. Language & Ecology Vol. 2 No. 2 2007

Haenn, Nora and Ricard R. Wilk. 2006. The Environment in Anthropology A Readear in Ecology, Culture, and Sustainable Living. United States of America: New York University Press

Halliday, M. A. K. 2001 “New Ways of Meaning: The Challenge to Apllied Linguistics” dalam Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (eds.) The Ecolinguistics Reader Language, Ecology and Environment. London and New York: Continuum.

Hellinger, Marlis & Anne Pauwels. 2005. Handbook of Language and Communication Diversity and Change. United States of America: Lawrence Erlbaum Associates

Hickey, Leo and Miranda (eds.). 2005. Stewart. Politeness in Europe. Great Britain: The Cromwell Press

Huebner, Thom (ed.). 1996. Sociolinguistic Perspectives Papers on Language in Society, 1959-1994 Charles A. Ferguson. New York: Oxford University Press

Hurgronje, C. Snouck. 1996. Masyarakat Gayo dan Kebudayaan Awal Abad ke-20; Penerjemah Hatta Hasan Aman Asnah. – Cet 1 – Jakarta: Balai Pustaka (235-239)

Hurgronje, C. Snouck. 1996. Tanoh Gayo dan Penduduknya: Penerjemah Budiman S. Jakarta: Balai Pustaka

Hymes, Dell. 1974. Foundations in Sociolinguistics An Ethnographic Approach. Philadelpia: University of Pennsylavania Press

Ibrahim, Idris., et all. 1984. Sistem Perulangan Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Ibrahim, Mahmud. 2002. Syariat dan Adat Istiadat Jilid I. Takengen: Yayasan Maqamam Mahmuda

Ibrahim, Mahmud. 2009. Syariat dan Adat Istiadat Jilid II. Takengen: Yayasan Maqamam Mahmuda

Kuha, Mai. 2009. “Uncertainty about causes and effects of global warming in U.S. news coverage before and after Bali.” Language & Ecology Vol. 2 No. 4 2009

Lechevrel, Nadege. “The Interwined Histories of Ecolinguistics and Ecological Approaches of Language (s) Historical and Theoretical Aspects of a Research Paradigm”

Lindo, Anna Vibeke and Jeppe Bundsgaard (eds). 2000. Dialectical Ecolinguistics Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Austria: Univerisity of Odense Research Group for Ecology, Language and Ecology

Madjid, M. Dien. 2010. “Spektrum: Kebesaran Gayo Dalam Sejarah.” Makalah Seminar Expo Budaya Lueser 2010, Takengen, 27-29 Maret 2010.

Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MAANGO). “Struktur Organisasi Dan Tata Kerja Kerajaan di Bumi Gayo.”

Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MAANGO). 2007. Kumpulan Butir-Butir Adat Negeri Linge, Qanun Hukum Adat Gayo, Qanun Organisasi Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo serta Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat. Takengen: MAANGO

Makam, Ibrahim., et all. 1985. Kata Tugas Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Mbete, Aron Meko dan Abdurrahman Adisaputera. 2009. “Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat Pada Komunitas Remaja Di Stabat, Langkat.”

Mbete, Aron Meko. 2002. “Ungkapan-Ungkapan Dalam Bahasa Lio Dan Fungsinya Dalam Melestarikan Lingkungan.” Linguistika, Vol. 19 No. 17, September 2002.

Mbete, Aron Meko. 2009. “Refleksi Ringan Tentang Problematika Keetnikan dan Kebahasaan dalam Perspektif Ekolinguistik.” Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III, USU Medan, 25 April 2009

Mbete, Aron Meko. 2009. “Selayang Pandang Tentang Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan Yang Prospektif.” Bahan Untuk Berbagi Pengalaman Kelinguistikan Dalam Matrikulasi Program Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2009

Melalatoa, M.J. 1981. Kebudayaan Gayo. Jakarta: Balai Bahasa

Melalatoa, M.J. 1985. Kamus Bahasa Gayo – Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Moeliono, Anton, et all. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Mufwene, Salikoko S. 2004. The Ecology of Language Evolution. United Kingdom: Cambridge University Press

Mühlhäusler, Peter and Ade Peace. “Discourse of Ecotourism: the Case of Fraser Island, Queensland.” Univeristy of Adelaide.

Mühlhäusler, Peter and Adrian Peace. “Environmental Discourse.” University of Adelaide

Mühlhäusler, Peter. “Creating Ecological Links through Language on Pitcairn and Norfolk.” University of Adelaide

Mühlhäusler, Peter. “Ecolinguistics in the University.”

Mühlhäusler, Peter. “Laguage and Environment.” University of Adelaide

Mühlhäusler, Peter. “Laguage as an Ecological Phenomenon” (For the Linacre Journal: a Review of Research in the Humanities). Adelaide University.

Mühlhäusler, Peter. “Thinking Ecologically.” University of Adelaide

Mühlhäusler, Peter. 1996. Linguistic Ecology Language Ecology and Linguistic Impealism in the Pacific Region. London: Routledge

Murni, Sri Minda. 2009. Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara (Disertasi Doktor). Medan: Program Doktor Linguistik USU

Nettle, Daniel and Suzzane Romaine. 2000. Vanishing Voices the Extinction of the World's Languages. New York: Oxford University Press

Numberi, Freddy. 2009. Perubahan Iklim Implikasinya Terhadap Kehidupan Di Laut, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Fortuna Prima Makmur

Orr, David W. 2004. The Nature of Design Ecology, Culture, and Human Itention. New York: Oxford University Press

Paripurno, Eko Teguh dan Siti Maemunah (eds.). 2009. Datang, Gali &Pergi, Potret Penutupan Tambang di Indonesia. Jakarta: Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

Penelitian Studi Hubungan Pusat dan Daerah Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dengan Universitas Pattimura. 2009. Hak-Hak Adat Kelautan Masyarakat Pesisir Di Provinsi Maluku. Ambon: Lembaga Penelitian Universitas Pattimura

Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU). 2009. Buku Pedoman Tata Cara Penulisan Tesis dan Disertasi 2009. Medan: Program Pascasarjana Linguistik

Ricklefs, Robert E. 1976. The Economy of Nature A Textbook in Basic Ecology. New York: Chiron Press Incorporated

Robinson, W. Peter. 2003. Language in Social Worlds. United Kingdom: Blackwell Publishing

Ross, Don. 2007. “H. sapiens as ecologically special: what does language contribute?” Published in Language Science 29: 710-731, 2007

Saleh, M. Jusin. “Sosial Budaya Masyarakat di Sekitar Danau Laut Tawar.” Makalah Workshop “Selamatkan Danau Laut Tawar.” Op Room Sekdakab Aceh Tengah, Takengen, 22 November 2009

Saleh, M. Jusin. 2009. “Gayo Bertutur”

Sariyan, Awang. 2007. Santun Berbahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Satria, Arif. 2010. “Keadilan Ekologis.” Kompas, 22 April 2010

Saville-Troike, Muriel. 2003. The Ethnography of Communication an Introduction 3rd Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing

Setia, Eddy. 2009. “Bahasa, Ekologi, dan Masyarakat: Upaya Pengayaan Bahasa Nasional.” Makalah dalam Seminar Bahasa&Sastra Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Medan, tanggal 29-31 Desember 2009

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Penerbit Poda

Simbolon, Parakitri T. 1999. Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kedudayaan (PMB)-LIPI dan The Ford Foundation.

Sinar, Tengku Silvana. 2010. “Upaya Penelitian dalam Merawat Kearifan Lokal.” Harian Analisa Medan, 7 Februari 2010

Skutnabb-Kangas, Tove& Robert Phillipson. “Language Ecology.”

Soravia, Guilio. 1984. A Sketch of the Gayo Language. Unpublished Manuscript, Catania: Gruppo Linguistico Catanese Studi Or. No. 1

Stibbe, Arran. 2004. “Environmental Education Across Cultures: Beyond the Discourse of Shallow Environmentalism.” Language and Intercultural Communication. Vol 4 No. 4 2004

Stibbe, Arran. 2005. “Counter-discourses and the relationship between humans and other animals.”

Stibbe, Arran. 2008. “Words and worlds: New Direction for Sustainability Literacy.” Language & Ecology 2008 Vol. 2 No. 3

Sudaryanto. 1993. Metode Dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press

Suparwa, I Nyoman. “Ekologi Bahasa Dan Pengaruhnya Dalam Dinamika Kehidupan Bahasa Melayu Loloan Bali”

Syukri. 2009. Sarakopat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relavansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Hijri Pustaka Utama

van Lier, Leo. 2004. The Ecology and Semiotics of Language Learning A Sociocultural Perspective. United States of America: Kluwer Academic Publishers

Verhagen, Frans C. 2008. Worldviews and Metaphors in the Human-Nature Relationship: an Ecolinguistic Exploration Through the Ages. Language & Ecology Vol. 2 No. 3 2008

Wahab, M. Salim. 2008. Tata Bahasa Gayo Lues. Belangkejeren: Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Kabupaten Gayo Lues

Waton, Fidelis Regi. 2010. “Tahun Diversitas.” Kompas, 19 Januari 2010

Watts, Richard J. 2003. Key Topics in Sociolinguistics Politeness. New York: Cambridge University Press

Wikipedia. 2009. “Ecolinguistics.” http://en.wikipedia.org/wiki/Ecolinguistics (diakses tanggal 24 Desember 2009)

Williams, Rachel. 2007. “On voit grand. Tres grand: Language and the construction of nature across cultures.” Language & Ecology 2007

Wright, Will. 1992. Wild Knowledge Science, Language, and Social Life in a Fragile Environment. United States of America: University of Minnesota Press

Zunino, Francesca. 2009. “Different degrees of natural: New encounters and old discourse of Amazonian original peoples.” Language & Ecology Vol. 2 No. 4 2009

Selasa, 06 April 2010

Nasib ‘Melengkan’ di Tanoh Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Berbicara soal sastra lisan, ada sepuluh sastra lisan yang dimiliki orang Gayo, yaitu didong, kekeberen, kekitiken, melengkan, pantun, peribahasa, saer, sebuku, tep onem dan ure-ure. Dari sepuluh sastra lisan yang ada, yang masih bertahan kuat adalah didong, melengkan, dan saer. Dalam khasanah tradisi lisan Indonesia, didong merupakan salah satu sastra lisan yang masih bertahan sampai sekarang, sama halnya dengan wor bagi masyarakat Biak, propinsi Irian Jaya (Simbolon, 1999: 86&88). Sastra lisan Gayo yang salah satunya adalah melengkan menggambarkan jiwa masyarakat Gayo. Juga, menjadi identitas orang Gayo. Melengkan dan sastra lisan Gayo lainnya ikut memerkaya khasanah sastra dan bangunan budaya di Aceh. Belum lagi kandungan sastra lisan dari etnik-etnik lainnya yang mendiami Aceh. Sudah barang tentu, warisan leluhur tersebut menjadi harta yang tak ternilai harganya.

Melengkan

Sesungguhnya kajian sastra lisan Gayo masih cukup terbatas. Belakangan, kajiannya banyak menyinggung soal didong dan saer. Mengingat luasnya kajian sastra lisan Gayo, tulisan ini terbatas pada melengkan. Melengkan dapat diartikan sebagai pidato adat. Usia melengkan sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo. Melengkan lahir dari tuntutan sosial perkawinan dalam masyarakat Gayo. Dalam konteks lebih luas, melengkan lahir dari realitas kehidupan sosial kemasyarakatan dan ‘kenegaraan’ di tanoh Gayo. Melengkan menjadi bagian sub-sistem sarak opat ‘empat unsur pemerintahan di Gayo.’ Dengan begitu, melengkan merupakan satu kelengkapan protokoler pemerintahan sarak opat. Adanya melengkan bertujuan untuk memudahkan proses komunikasi dan diplomasi dengan dunia luar ‘kampung lain.’ Lebih khusus lagi, saat pesta perkawinan berlangsung. Biasanya, melengkan dibawakan oleh pelaku melengkan baik dari pihak mempelai laki-laki ‘aman mayak’ maupun dari pihak mempelai perempuan ‘inen mayak.’ Dalam prosesnya, terjadilah berbalas pidato dengan kandungan sastra Gayo yang bernilai tinggi.

Lazimnya sebuah pidato, melengkan juga terdiri atas tiga bagian, yaitu pembukaan, isi dan penutup. Pembukaan berisi pujian terhadap kebesaran dan mensyukuri nikmat Tuhan. Dilanjutkan dengan shalawat terhadap Nabi Besar Muhammad SAW. Tak ketinggalan, penghormatan kepada langit dan bumi sebagai bagian makrokosmos. Disamping itu, penghormatan kepada tuan rumah ‘mempelai yang di tuju,’ personal, audience ‘yang berhadir’ dan masyarakat, serta kampung layaknya seperti prosesi “kenegaraan.” Persoalan substantif ada pada bagian isi yang menggambarkan kearifan-kearifan lokal, filsafat keadatan, nilai-nilai relijius, sosio-psikologis, ekolinguistik dan “kenegaraan.” Tak hanya itu, melengkan tak terlepas dari filsafat bahasa, semantik, pragmatik dan semiotika. Dengan kata lain, melengkan penuh dengan perumpamaan. Di bagian akhir, ditutup dengan permintaan maaf kepada tuan rumah dan yang berhadir. Disamping itu, memohon keberkahan acara perkawinan tersebut kepada Tuhan.

Keterwarisan Melengkan

Walaupun melengkan tetap dipraktikkan dalam kehidupan sosial masyarakat Gayo, namun banyak terjadi pergeseran nilai kemelengkanan baik simbolik maupun yang menyentuh muatan ‘content.’ Bahkan, keadaannya semakin kritis. Penyebab utama dari kekritisan tersebut dikarenakan terputusnya alih melengkan kepada generasi muda. Hal tersebut umumnya berlangsung pula pada kebudayaan Gayo. Terlebih saat pendudukan Jepang, terjadi pengkerdilan kebudayaan Gayo. Begitu pula saat arus budaya luar dan informasi, serta perkampungan budaya global terjadi. Pijakan kebudayaan Gayo seolah tak lagi mampu menahan budaya yang menghempas tersebut.

Ketidakberalihan melengkan berdampak sistemik jangka panjang pada kelangsungan hidup melengkan. Konsekuensinya, pertama, pelaku melengkan yang sepuh semakin terbatas. Dapat dikatakan, melengkan dalam arti yang sebenarnya bertahan sampai kelahiran 1940 dan 1950-an. ‘Kerapuhan melengkan’ mulai berlangsung sejak kelahiran 1960-an. Dan, ‘kerubuhan melengkan’ tidak bisa dihindarkan sejak kelahiran 1970-an. Dapat kemungkinan ‘kepunahan melengkan’ akan terjadi pada periode kelahiran 1980-an.

Kedua, memudar dan hilangnya ruh melengkan. Ruh tersebut terkait dengan pemaknaan simbolis dan kefilsafatan dengan pelbagai perumpamaan yang dikandungi. Pewaris melengkan dan generasi Gayo dewasa ini tidak lagi cerdik ‘pintar dan bijak.’ Generasi dimaksud adalah kelahiran tahun 1970-an sampai sekarang. Penyebabnya adalah hilangnya sarana berfilsafat, yang salah satunya diajarkan melalui melengkan. Begitu juga dengan semiotika keadatan dan kebudayaan. Mereka tidak lagi mampu menafsirkan wacana-wacana yang mewataki melengkan. Akibatnya, generasi/tanoh Gayo semakin berpikir ‘praktis’ dan ‘instan’ dalam menyikapi belbagai persoalan-persoalan kehidupan.

Ketiga, bercampurnya wacana-wacana kemelengkanan dengan bahasa Indonesia. Pengaruh bahasa Indonesia tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan sosial di tanoh Gayo dan Aceh. Dalam pertumbuh-kembangannya, bahasa ini semakin menunjukkan dominasinya di Aceh. Bahkan, semakin mengkhawatirkan kelangsungan bahasa-bahasa minor di Aceh, seperi bahasa Gayo, Alas, Singkil, Tamiang, Kluet, Anak Jamuek dan Simelue. Dampak yang paling kelihatan yaitu fenomena pencampuran berbahasa ‘code mixing’ sebagai akibat dari interaksi etnik dan kontak budaya di Aceh. Lebih khusus lagi, di tanoh Gayo yang didiami lebih dari delapan suku etnik. Sudah barang tentu, ekologi berbahasa tersebut berpengaruh signifikan terhadap nasib bahasa Gayo dan melengkan. Pengaruh tersebut tidak semata di tataran lingkungan be melengkan ‘ekologi melengkan,’ juga di tataran pola pikir dan sikap pelaku melengkan dan masyarakat Gayo sebagai pewaris melengkan.

Langkah Penyelamatan

Melihat kekritisan, kayanya simbol budaya dan muatan keadatan, sosial, psikologis dan kefilsafatan melengkan, sudah sepatutnya dilakukan langkah penyelamatan. ‘Kerapuhan melengkan’ mulai berlangsung sejak kelahiran 1960-an. Mengingat ‘kerapuhan melengkan’ sudah lama terjadi, yaitu sejak generasi kelahiran 1960-an, bahkan memungkinkan menuju kepunahan. Sebetulnya ‘kepunahan melengkan’ bisa di ulur, dan diberdayakan lagi seperti semula. Hanya saja, perlu langkah dan mekanisme yang cepat, benar, sistematik dan tepat dalam penyelamatan melengkan.

Dua pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan formal dan informal. Pendekatan formal melalui kebijakan yang di ambil pemerintah kabupaten. Kemudian, menginternalkannya dalam dunia pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Intinya, perlu dibangun kebijakan pembangunan kebudayaan Gayo. Sementara itu, dari perspektif keinformalan, perlu partisifasi dan persetalian personal, lembaga keadatan dan masyarakat sebagai pewaris melengkan. Ketika dua pendekatan tersebut sudah terformulasikan dengan baik, benar dan tepat, akan berbuah pada pemberdayaan, keterwarisan dan keterpeliharaan melengkan. Demikian halnya dengan kelangsungan kebudayaan dan keetnikan Gayo.

*Pemerhati Bahasa, Sejarah dan Kebudayaan Gayo (23 Maret 2010)
Sumber: Media Serambi Mekkah (2010)