Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni - Opini
BEBERAPA waktu lalu, Serambi Indonesia menyajikan ulasan perihal bahasa Aceh, yaitu tulisan Zulfadli yang berjudul “Penguatan Bahasa Aceh” (5/6/2010) dan Denni Iskandar “Menunda Punahnya Bahasa Aceh” (12/6/2010). Apa yang telah disampaikan tersebut merupakan sebuah kekhawatiran akan nasib bahasa Aceh kini dan masa mendatang. Meski masih belum terlalu mengkhawatirkan, karena dukungan penutur bahasa Aceh di atas satu juta penutur, penutur yang tidak terlalu menyebar, tambah kesetiaan yang lebih dibanding pengguna bahasa minor lainnya di Aceh, penggejalaan peninggalan bahasa Aceh yang lebih besar harus dipikirkan dan diambil langkah-langkah antisipatif dari sekarang. Jika tidak, secara evolutif, bahasa Aceh akan menuju ambang kritis. Tidak menutup kemungkinan, empat sampai lima generasi lagi, bahasa Aceh bisa ‘punah’.
Kunci kelangsungan, dan untuk memartabatkan suatu bahasa pada dasarnya terletak pada penuturnya. Sejauh mana mereka mau mempelajari, menggunakan, dan mentransmisikannya kepada generasi yang lebih muda (Haugen, 1972:57). Hal ini menjadi salah satu penekanan kajian ekologi bahasa. Dalam rujukan lain, istilah ekologi bahasa dikenal dengan ekolinguistik, ekologi linguistik, linguistik ekologi, dan ekologi bahasa/bahasa ekologi (al-Gayoni, 2010: 25-27). Di sisi lain, penggunaan bahasa merupakan soal pilihan dan menjadi hak personal penutur yang bersangkutan. Dalam praktiknya, persoalan penuturan bahasa tidak dapat dipaksakan. Namun begitu, diperlukan upaya penggugahan kepedulian akan pentingnya bahasa ini. Dengan demikian, upaya-upaya tersebut dapat menggugah kesadaran, memengaruhi pola pikir, sikap dan tindakan dari penutur untuk berbahasa Aceh. Sebagai akibatnya, bahasa Aceh akan tetap terpakai dalam masyarakat guyub tuturnya baik di Aceh maupun di luar Aceh.
Perluasan Penggunaan
Untuk memartabatkan bahasa Aceh, diperlukan penggunaan yang lebih luas dari penuturnya terutama di ranah informal, misalnya saat berkomunikasi antarpenutur, dalam lingkungan keluarga, ketetanggaan, keadatan, dan dalam masyarakat. Ketika bahasa Aceh terus menerus digunakan, maka akan terbentuk lingkungan berbahasa. Terlebih lagi, dalam lingkungan yang dwi dan multibahasa. Mau tidak mau, interaksi bahasa, etnik, dan budaya akan terjadi. Sebagai akibatnya, buah interaksi tersebut turut membentuk pola pikir, sikap berbahasa, dan mendorong seseorang untuk dan tidak berbahasa. Selanjutnya, hal tersebut dapat menguatkan bahasa tertentu. Sebaliknya, dapat pula melemahkan, menggusur, bahkan mematikan bahasa yang lain. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (ed) (2001:14), membagi lingkungan ke dalam tiga bentuk, pertama, lingkungan fisik (ragawi) yang mencakupi karakter geografis seperti topografi negara (baik pantai, lembah, dataran tinggi maupun pegunungan, keadaan cuaca, dan jumlah curah hutan). Kedua, lingkungan ekonomis (kebutuhan dasar manusia) yang terdiri atas flora, fauna, dan sumber mineral yang ada pada daerah tersebut. Ketiga, lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun, yang lebih penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar, etika, bentuk organisasi politik, dan seni. Dari ketiganya, lingkungan fisik dan lingkungan sosial sangat memengaruhi realitas keberadaan bahasa.
Di Aceh, setelah tsunami, berlangsung keterbukaan, interaksi, dan percampuran peradaban jilid dua setelah jilid satu, yaitu saat persebaran awal Islam beberapa abad silam. Situasi ekologi bahasa Aceh ini semakin menarik untuk dikaji terutama dari perspektif Ekolinguistik (Ekologi Bahasa). Khususnya, pengaruh pelbagai perubahan lingkungan ragawi (ekologis) saat dan setelah tsunami terhadap bahasa Aceh. Banyak ragam kepandaian (kepantaian) dalam bahasa Aceh yang hilang. Konsekuensinya, rekam jejak ragam kepandaian (kepantaian) tadi tidak lagi terekam dalam ingatan (kognisi) generasi yang lebih muda. Belum lagi, pengaruh lingkungan sosial terhadap bahasa, nilai, ideologi, dan budaya Aceh. Pastinya, pengaruh tersebut akan berdampak lebih besar lagi terhadap bangunan budaya Aceh.
Kebijakan politik
Yang tidak kalah penting dalam memartabatkan bahasa Aceh adalah penguatan melalui lembaga pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Untuk itu, perlu kebijakan (language policy) dan perencanaan bahasa (language planning) sebagai bagian dari ekologi makro kebahasaan dari Pemerintah Aceh. Undang-Undang Pemerintah Aceh sendiri telah memayungi keberadaan bahasa Aceh (bahasa-bahasa daerah di Aceh), terutama di Bab XXXI pasal 221 ayat (4) yang berbunyi “Bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal dan ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan qanun.” Tinggal lagi, perlu kebijakan, perangkat, dan sistem pendukung untuk menginternalisasikan bahasa-bahasa daerah yang ada di Aceh. Untuk mengoptimalkan kebijakan tersebut, perlu partisifasi aktif dari semua pihak khususnya pemerintah kabupaten/kota dan dinas terkait di Aceh. Menyikapi kekhawatiran dan pelbagai perubahan yang terjadi pada bahasa Aceh, terlebih menyangkut kelangsungan bahasa-bahasa minor di Aceh seperti Gayo, Alas, Singkil, Simeule, Kluet, Anak Jameuk, Tamiang, dan lain-lain, sudah saatnya dipertimbangkan pembukaan Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya di perguruan tinggi yang ada di Aceh. Sepengetahuan penulis, sampai saat ini, di Aceh baik di Unsyiah, IAIN Arraniry, Universitas Malikussaleh (Lhokseumawe) maupun di Universitas Gajah Putih (Takengon) masih belum ada fakultas dimaksud.
Di Takengon, tiga tahun yang lalu, wacana pendirian ini sempat muncul dari beberapa personal di luar kampus. Namun, wacana tersebut tidak lagi terdengar. Belakangan, kajian kebahasaan lebih banyak tertuju pada bahasa mayor, yaitu bahasa Aceh. Dan, itu pun masih belum maksimal. Padahal, pluralitas bahasa tersebut merupakan warisan dan menjadi khasanah kekayaan yang tak ternilai harganya bagi Aceh. Warisan kebahasaan tersebut merupakan simbol identitas keacehan. Dalam perkembangan kekinian Aceh, pendirian fakultas tersebut akan semakin relevan dengan adanya Sekolah Tinggi Seni yang akan didirikan di Kabupaten Bener Meriah. Dengan demikian, lulusan Sekolah Tinggi Seni tambah program diploma bahasa lainnya dapat melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Sastra/Ilmu Budaya sebagai salah satu alternatif. Dengan lahirnya fakultas ini, dan dibukanya jurusan Sastra Daerah (Aceh, Gayo, Alas, Singkil, Simeule, Kluet, Anak Jameuk, Tamiang, dan lain-lain), serta sastra yang lain seperti Sastra Indonesia, Sastra Arab, Sastra Belanda, Sastra Inggris, Sastra Jepang, dan Sastra Cina diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan kebahasaan di Aceh.
Disamping itu, putra Aceh tidak perlu lagi menempuh pendidikan serupa ke luar, selain manfaat positif sistemik yang ditimbulkan lainnya. Lebih luas lagi, khasanah kekayaan sastra, sejarah, budaya, lingkungan, dan peradaban Aceh dalam tautannya dengan bahasa akan tetap terpelihara. Lebih penting lagi, akan tetap terwaris, terlebih secara tertulis pada generasi Aceh mendatang.
* Yusradi Usman al-Gayoni, S.S., M. Hum adalah Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah. Spesialisasi Ekolinguistik.
Dimuat di Harian Serambi Indonesia, tanggal 3 Juli 2010 http://serambinews.com/news/view/34075/memartabatkan-bahasa-aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar