Selasa, 07 Agustus 2012

Ini Dia, Tiga Buku Gayo * Berkisah Tentang Tutur, Tarian dan Biografi

Harian Serambi Indonesia Selasa, 7 Agustus 2012 09:11 WIB JAKARTA - Kekayaan kebudayaan Gayo yang dirangkum dalam tiga buku telah diterbitkan di Jakarta. Ini dia ketiga buku tersebut: “Tutur Gayo, Biografi AR Moes Sang Maestro Gayo,” dan “Tari Saman.” Buku-buku tersebut ditulis Yusradi Usman al-Gayoni, kelahiran Bebesen Aceh Tengah 1983, yang menamatkan pendidikan dari pascasarjana jurusan linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Sedangkan buku “Tari Saman” ditulis Drs Ridwan Salam, budayawan Gayo Lues yang juga mantan penari Saman. “Tutur Gayo” merupakan buku berisi tentang istilah kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat Gayo, seperi “awan” (kakek), “anan” (nenek), “aman, ine” (bapak ibu) dan lain-lain. Tapi menurut Yusradi, tutur tersebut sudah banyak ditinggalkan masyarakat. “Masyarakat lebih memilih istilah bapak, ibu, ayah, mama, kakek, nenek dari pada istilah dalam bahasa Gayo,” katanya. Buku tersebut menguraikan kembali istilah tutur Gayo sebagai sebuah kekayaan kebudayaan. Buku lainnya yang ditulis Yusradi adalah biografi tentang maestro musik Gayo, AR Moese. Buku setebal 172 halaman tersebut mencoba mengungkapkan perjalanan karir musisi Gayo yang menciptakan lagu “Tawar Sedenge” yang telah dijadikan lagu wajib oleh Pemkab Aceh Tengah. Moese selain menciptakan lagu-lagu Gayo, juga menciptakan alat musik terbuat dari kalung kerbau “gerantung,” dari perahu bekas yang diberi nama “perajah” dan “jangka” yaitu instrumen musik yang diciptakan dari alat pengiris tembakau. Sementara buku “Tari Saman” ditulis Drs Ridwan Salam, menguraikan tentang sejarah dan filosofi tari Saman yang beberapa waktu lalu telah disahkan sebagai warisan kebudayaan dunia oleh Unesco. “Tidak benar kalau tari Saman itu diciptakan oleh orang bernama Syekh Saman, sama sekali tidak ada hubungannya,” kata Ridwan Salam tentang adanya sementara pandangan seolah-olah tari tersebut diciptakan Syekh Saman. Ridwan Salam mengatakan, tari Saman adalah tari rakyat masyarakat Gayo Lues. “Tarian itu ada sejak masyarakat Gayo Lues ada,” kata Ridwan yang juga dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta. Yusradi Usman al-Gayoni yang juga penulis buku “ekolinguistik” mengatakan banyak sisi lain dari kebudayaan Gayo bisa menjadi sumber penulisan. “Masalahnya kita terkendala dengan penerbitan,” katanya. Ia mengharapkan pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues memberi perhatian untuk penerbitan buku-buku Gayo.(fik) Editor : bakri http://aceh.tribunnews.com/m/index.php/2012/08/07/ini-dia-tiga-buku-gayo (7/8/2012)

Minggu, 05 Agustus 2012

Kepala Pusat Bahasa Apresiasi Kehadiran Buku Ekolinguistik

Jakarta | Lintas Gayo – Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Pusat Bahasa) Kementerian Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Mahsun, mengapresiasi kehadiran buku Ekolinguistik karya putra Gayo,Yusradi Usman al-Gayoni. Prof. Mahsun mendorong akademisi asal Takengon, Aceh ini agar terus menulis. Lebih khusus lagi, soal Ekoliguistik. “Jarang-jarang akademisi yang punya kemampuan menulis,” kata peneliti Genolinguistik (melihat persebaran bahasa dari gen manusia) ini beberapa waktu lalu di Rawamangun, Jakarta Timur. Senada dengan Prof. Dr. Mahsun, apresiasi serupa diberikan pula Dr. F.X. Rahyono, M.Hum, Ketua Departemen Linguistik Universitas Indonesia (UI). “Masih terbatas sekali yang mengkaji bidang ini (Ekolinguistik) di Indonesia,” katanya. Disamping itu, Abdul Rachman Patji, peneliti Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengucapkan terima kasih setelah menerima buku Ekolinguistik dari dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah tersebut. Buku Pertama di Indonesia Secara terpisah, Irham Hanif, Anggota Tim ISBN/Katalog Dalam Terbitan Perpustakaan Nasional RI, mengungkapkan bahwa buku yang mengkaji tautan ekologi dengan linguistik ini merupakan yang pertama di Indonesia. “Sebelumnya, ada soal Psikolinguistik dan cabang linguistik yang lain,” ujarnya. Ditanya soal motivasi penulisan buku tersebut, Yusradi, menuturkan, ingin berkontribusi langsung terhadap pengembangan kajian ini. Khususnya, di Indonesia. Apalagi, literatur-literatur tentang Ekolinguistik masih sangat terbatas. “Buku ini bermula dari tulisan di blog “Mengenal Ekolinguistik” dengan referensi yang lengkap. Ternyata, tulisan ini banyak yang baca. Kemudian, ada pula yang mengutipnya di jurnal dan tugas akhir mahasiswa. Sayangnya, ada yang tidak menyebutkan sumbernya,” akunya agak kecewa. (LG006) Sumber http://www.lintasgayo.com/26970/kepala-pusat-bahasa-apresiasi-kehadiran-buku-ekolinguistik.html (5 Agustus 2012)

Selasa, 31 Juli 2012

"Ekolinguistik" Buku Tentang Lingkungan dan Bahasa

"Ekolinguistik" Buku Tentang Lingkungan dan Bahasa Mon, 07/30/2012 - 05:44 | admin Jakarta, Sumbawanews.com.- Lingkungan kerap kali menjadi isu hangat dan menarik dibicarakan, termasuk perubahan cuaca ekstrim yang terjadi belakangan ini. Buku "Ekolonguistik" karangan Yusradi Usman al-Gayoni, SS, M.Hum; mengupas tentang perubahan iklim dengan ancaman kelangsungan budaya dan peradaban manusia dan alamnya. Media ini merupakan media pertama yang mendapatkan buku tersebut dari penulisnya pada Kamis, 26 Juli 2012 di Komplek Parlemen Senayan Jakarta. Menurut Yusradi menuturkan kepada Sumbawanews.com bahwa buku karangannya merupakan buku pertama di Indonesia mengupas tentang lingkungan dan bahasa (ekolonguistik). Ketua Program Doktor Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D dalam sambutannya di buku Ekolonguistik mengatakan adanya implikasi perubahan ekologi lingkungan manusia karena adanya pergeseran dan disharmoni sosial pada bahasa dan budaya dalam hal ini merosotnya fungsi bahasa-bahasa lokal. Banyak bahasa Daerah di Indonesia semakin sulit hidup dan bertahan. "Kita kehilangan istilah bahasa yang ada dalam laut, air iklim akibatnya kepunahan tengah melanda bahasa-bahasa etnis kita" katanya. Menurut Yusradi dalam bukunya, secara tradisional, ekolonguistik dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu analis wacana eko-kritis dan ekologi linguistik. Wacana eko-kritis tidak terbatas pada pengaplikasian analisis wacana kritis terhadap teks yang berkenaan dengan lingkungan dan pihak-pihak yang terlibat dalam lingkungan dalam pengungkapan ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian yang dilakukannya menyertakan penganalisaan berbagai macam wacana yang berdampak besar terhadap ekosistim mendatang. Misalnya kata Yusradi, wacana ekonomi neo-libaral, ketak-terhubungan dari konstruksi konsumerisme, gender politik pertanian dan alam. Adanya perubahan sosio-ekologis Takengan Kab. Aceh Tengah yang berlangsung diseputar masyarakat di Takengan Kab. Aceh Tengah juga tidak luput dari kajiannya. Dalam hal ini ia mengambil sample dengan kebijakan penggabungan kampung, migran penduduk dari pelbagai kampung seputar danau di Aceh. Sebelumnya, penamaan 128 kampung namun generasi muda Gayo saat ini tidak mengenal nama kampung-kampung tersebut diakibatkan adanya perubahan sosio-ekologis. Demikian juga dalam bidang bahasa yang sangat mempengaruhi pola fikir, sikap, dan pola tindak manusia. Hal tersebut dapat berimplikasi positif terhadap lingkungan fisik, ekonomis dan sosial yaitu dengan terpelihara, adanya keseimbangan dan terwarisnya lingkungan yang ada terhadap generasi berikutnya. Memperkaya bahasa Indonesia menjadi tuntutan mutlak dalam berbangsa dan bernegara. Namun penulis sangat jeli melihat penggunaan bahasa Indonesia yang diharapkan bisa mendunia. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, Yusradi mengkritisi penggunaan bahasa asing sebagai pengganti bahasa Indonesai. Ada baiknya jika istilah asing tidak terdapat dalam bahasa Indonesia maka perlu diganti dengan istilah dalam bahasa daerah gugatnya. Ia memberi contoh penggunaan istilah "tsunami" untuk membahasakan sebuah rangkaian gelombang tinggi yang menjangkau daratan seperti yang terjadi di Aceh tahun 2004 yang lalu. Masyarakat Simeulue; Aceh katanya, mengenal Tsunami dengan istilah "smong". "Jika dalam bahasa Indonesia istilah pengganti kata Tsunami tidak ditemukan maka sudah sepantasnya digunakan istilah "smong" karena saat bersamaan kearifan lokal masyarakat Simeulue turut dihargai," harapnya. (Zainuddin) sumber: http://www.sumbawanews.com/berita/ekolinguistik-buku-tentang-lingkungan-dan-bahasa (31 Juli 2012)

Sabtu, 28 Juli 2012

Tradisi Mendongeng pada Masyarakat Gayo?

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni* Laura Numeroff, pengarang dan ilustrator cerita anak terlaris versi New York Times, mengatakan, membacakan dongeng untuk anak selama 20 menit dapat meningkatkan kecerdasan anak dalam membaca dan menulis. Bahkan, 20 menit mendongeng setara dengan sekurang-kurangnya belajar 10 hari di sekolah. Dalam masyarakat Gayo (etnik di Aceh), istilah dongeng disebut kekeberen. Kekeberen, satu dari sepuluh sastra lisan yang ada di sana, berakar dari kata keber yang berarti kabar, berita atau kisah. Tradisi ini dilakoni orang tua atau kakek-nenek kepada anak-anak dan cucu-cucunya sebelum tidur dan dilakukan pada malam hari. Dengan demikian, kekeberen dengan pelbagai bentuk, muatan, dan simbolnya merupakan penggambaran, pengabaran, dan pengisahan cerita tertentu baik yang terjadi pada masa lalu maupun yang terjadi sekarang. Misalnya, cerita tentang sejarah Gayo, kearifan lokal dan bertalian dengan kehidupan sosial masyarakat Gayo. Selain itu, sejak masuknya Islam ke daerah ini—Gayo dan Aceh, ceritanya pun banyak mengangkat prihal Islam: sejarah Islam, nabi-nabi, sahabat, dan lain-lain. Namun, ceritanya tetap mengandung pengajaran moral (moral teaching), pembangunan karakter, bagian dari pendidikan anak usia dini (PAUD), dan pendidikan informal tempo dulu. Sebagai akibatnya, anak-anak diharapkan dapat mengambil hikmah dan pelajaran penting dari kekeberen tersebut. Dalam arti, dapat membedakan salah-benar dan baik-buruk serta tahu nilai-nilai relijius dan sosio-kultural masyarakat setempat. Alhasil, mereka dapat menyikapi hidup dengan benar, baik, bijak, dan terarah. Lebih khusus, seperti kata Laura Numeroff, kekeberen dapat meningkatkan kecerdasan anak dalam menulis dan membaca. Kondisi Kekeberen Kekeberen sudah mulai berkurang dalam masyarakat Gayo. Bahkan, dapat dikatakan ‘sudah punah.’ Kalau pun ada, pelaku dan pendengarnya sudah sangat terbatas. Adanya di kampung-kampung (desa) yang tidak tersentuh budaya luar (terisolasi). Itu juga langka. Karena, tanoh Gayo merupakan daerah yang multietnik, budaya, dan multibahasa. Hampir semua sisi demografis di tanoh Gayo menunjukkan kemajemukan. Dari garis waktu, tradisi ini kemungkinan bertahan sampai tahun 1990-an. Saat ini, kekeberen sudah digantikan televisi—filem, video, game, atau komputer—dan internet—game online, facebook, twitter, dan lain-lain. Baik orang tua maupun anak-anak lebih memilih nonton televisi. Padahal, kalau tidak diawasi dan dibatasi, televisi akan berdampak negatif bagi tumbuh-kembang anak-anak. Selain itu, anak-anak disibukkan dengan pengerjaan tugas-tugas sekolah. Akibatnya, tak ada lagi kesempatan mendengarkan kekeberen. Di waktu yang tersisa, mereka langsung istirahat dan tidur Terputusnya Transmisi Budaya Disamping pengaruh media-teknologi-informasi—eksternal, khususnya televisi dan internet, perkawinan silang serta percampuran budaya, ‘punahnya’ kekeberen disebabkan karena makin berkurangnya pelakunya—internal. Pada umumnya, mereka sudah berusia lanjut. Jumlahnya pun sangat terbatas. Kemampuan orang tua yang sekarang juga kurang dalam ber-kekeberen. Selain itu, ceritanya tidak lagi mengangkat nilai-nilai relijius, moral, etika, sejarah Gayo, dan kearifan lokal. Namun, lebih diangkat dari televisi “tayangan sinetron dan gosip” yang nilai-nilai edukasinya cenderung kurang. Penyebab utama dari ketidak-berlangsungan kekeberen adalah akibat tidak berjalannya transmisi budaya dari generasi tua ke generasi yang muda. Sebagai akibatnya, generasi muda khususnya yang lahir tahun 1980-an sampai sekarang tidak tahu menahu prihal sejarah, sastra lisan—kekeberen salah satunya, adat istiadat, norma, dan kebudayaan setempat. Lebih dari itu, meski tidak semuanya, tapi anak-anak (generasi) sekarang kurang mempelajari warisan budaya Gayo. Sebab, tidak adanya motivasi, arahan, dan tidak terbentuknya lingkungan ke arah dimaksud. Salah satu asumsi yang salah dari orang tua selama ini adalah anak-anak akan mendapatkan pengalaman langsung dari interaksi budaya sehari-hari dari lingkungan sekitarnya. Selain itu, pengajaran budaya tidak perlu diajarkan secara formal dan secara informal. Di luar itu, masih kuatnya ‘dominasi’ tokoh tua (senioritas budaya) dimana yang muda kurang diikutsertakan. Konsekuensinya, putusnya transmisi budaya tidak bisa dielakkan. Pengetahuan dan pengalaman kebudayaan pun makin berjarak, sehingga generasi muda Gayo sekarang makin kabur dan gelap melihat realitas sejarah dan budayanya, khususnya kekeberen. Disamping itu, pendokumentasian Gayo, termasuk kekeberen juga masih kurang “miskin dokumentasi.” Selama ini, transmisi budaya hanya dilakukan secara lisan dengan frekuensi yang terbatas. Kelemahan metode ini, kurang bertahan lama. Saat pelakunya uzur, maka pengetahuan budaya Gayo ikut hilang. Apalagi, saat pelakunya meninggal, pengetahuan dan pengalaman budaya tadi ikut terkubur bersamaan dengan pelakunya. Kemudian, tradisi dan yang mau menulis terutama dari ‘generasi (orang) tua’ relatif masih kurang. Hal itu makin menambah rumitnya persoalan ini. Belakangan—akhir tahun 1970-an dan tahun 1980-an—sudah dilakukan pendokumentasian sastra lisan Gayo, termasuk kekeberen. Pun jumlahnya masih terbatas. Namun, dokumentasinya ‘tidak ada’ di Takengon dan di daerah Gayo lainnya (Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, Lokop/Serbejadi-Aceh Timur, Kalul-Aceh Tamiang, dan Lhok Gayo-Aceh Barat Daya). Kebalikannya, dokumentasi tadi “kekeberen” ada di luar Aceh, terutama di Medan, Jakarta (pulau Jawa), dan di luar negeri (Leiden dan Munich). Sayangnya lagi, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah “Pemerintah Gayo” kurang menggali, mendokumentasi, memelihara, dan melestarikan sejarah yang dimiliki suku ini. Singkatnya, dari sisi internal, kekeberen ‘tidak lagi’ diajarkan, dipelajari, dan dipraktikkan. Padahal, kekeberen dan sastra lisan Gayo lainnya berpotensi jadi sarana pembelajaran dan pemertahanan bahasa Gayo. Demikian halnya umumnya dengan kebudayaan Gayo. Kekeberen membuka ruang hidup, berkembang, dan dipakainya bahasa Gayo yang diprediksikan akan punah. Karena, bahasa perlu lingkungan untuk hidup. Juga, lingkungan yang senantiasa hijau, asri, dan terjaga. Dengan demikian, lingkungan ikut merumahi bahasa. Peran itulah yang dilakukan kekeberen. Kekeberen mengemban misi kebudayaan, yaitu mengenalkan dan mempertahankan budaya Gayo dengan segala muatan didalamnya, seperti nilai-nilai filsafat, sosio-kultural, relijius, ekologi, ekologi bahasa, dan lain-lain. Melihat kayanya nilai yang dikandungi kekeberen, sudah semestinya dilakukan upaya penyelamatan dari semua pihak, khususnya yang ada di tanoh Gayo, yaitu dengan menggali dan mengumpulkan kembali, mengajarkan serta melestarikannya. Juga, dikemas dalam bentuk yang lebih modern, dalam bentuk cerita dan komik bergambar, audio, visual, dan digital. Kalau tidak, kekeberen yang merupakan cerita sebelum tidur “dongeng” akan berakhir pula dengan cerita (kekeberen) saat ini dan pada masa-masa mendatang. *Founder/Ketua Research Center for Gayo Sumber: KORAN BUDAYA SEULAWAH Edisi 02 Minggu 11 Juli 2012 Halaman 21

Senin, 04 Juni 2012

Telah terbit buku 'Ekolinguistik'

Ekolinguistik Penulis: Yusradi Usman Al-Gayoni Pengantar: Prof. Dr. Aron Meko Mbete (Guru Besar Linguistik Universitas Udayana) Sambutan: Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D (Ketua Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara) Editor: Rina Wahyuni Layout: Rahmadaini Usman Design Cover: Tatema Marunduri Foto Cover: Khalisuddin (Gayo Photography Community) ISBN : 978-602-18086-3-4 Ukuran : xi + 65 hlm; 11 x 21 cm Harga : Rp. 25.000+ongkos kirim dari Tangerang Penerbit : Pang Linge bekerjasama dengan Research Center for Gayo Buku yang merupakan kumpulan pelbagai tulisan dan publikasi Yusradi al-Gayoni ini mengkaji tentang kedudukan, peran, fungsi, serta pengaruh timbal-balik antara ekologi dan linguistik (ilmu bahasa). Karenanya, kajian ini dinamakan ekolinguistik (ecolinguistics). Dalam rujukan lain, dikenal dengan ekologi linguistik (linguistic ecology), linguistik ekologi (ecological linguistics), dan ekologi bahasa/bahasa ekologi (the ecology of language/language ecology). Pun sudah berusia 40 tahun, Ekolinguistik berbilang baru di Indonesia. Secara formal, baru dipelajari sejak tahun 2007. Khususnya, pada program studi S-2 dan S-3 Linguistik. Selain itu, rujukan-rujukan terkait masih sangat terbatas. Oleh sebab itu, buku ini mencoba memberikan pemahaman awal dan menawarkan topik-topik penelitian prihal kajian ini. Di salah satu bagian tulisan "Mengenal Ekolinguistik" ini, misalnya, terkuak adanya hubungan yang nyata terkait pelbagai perubahan ekologi terhadap bahasa. Perubahan-perubahan ekologi tersebut turut memengaruhi nilai, ideologi, dan budaya sebagai bagian dari identitas keetnikan sebuah masyarakat (suku/bangsa). Sebaliknya, bahasa sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak manusia. Hal tersebut dapat berimplikasi positif terhadap lingkungan fisik, ekonomis, dan sosial yaitu dengan terpelihara, adanya keseimbangan dan terwarisnya lingkungan yang ada kepada generasi berikutnya. Kebalikannya, dapat pula berdampak negatif dengan terjadinya pelbagai perubahan, ketidakseimbangan, dan kerusakan ekosistem. Dengan demikian, bahasa dapat mengarahkan penggunanya baik untuk hal-hal yang bersifat konstruktif maupun yang bersifat destruktif terkait lingkungan. Kehadiran buku ini diharapkan bisa bermanfaat, khususnya bagi para pemerhati/pengkaji bahasa, linguis (linguist), ekolinguis (ecolinguist), jurnalis, pakar;pemerhati;aktivis lingkungan, akademisi lintas disiplin ilmu: linguistik, ekologi, ilmu komunikasi, biologi, antropologi, sosiologi, arkeologi, etnobotani, dan lain-lain, serta pelbagai elemen sipil lainnya di Indonesia Pemesanan: Mahara Publishing http://www.facebook.com/groups/244442078996636/

Jumat, 13 April 2012

Buku Biografi A.R.Moese Sudah Terbit

Takengon | Lintas Gayo - Setelah empat tahun (2008), akhirnya biografi musisi Aceh asal Takengon, tanoh Gayo, A.R.Moese, diterbitkan juga. Kepastian ini langsung diperoleh dari keluarga. “Karena keterbatasan dana yang dimiliki keluarga, sementara, kita cetak 1000 eksemplar. Nanti, kita lihat, apakah memungkinkan cetak kedua. Atau, direvisi setelah adanya masukan dari pembaca, tambahan, dan pendalaman data dari penulis,” kata Pia Ardiagarini, anak sulung Moese, di Belang Mersa, Takengon, Kamis (12/4/2012) didampingi anggota keluarga lainnya. Lebih lanjut, ujar Pia menjelaskan, buku yang ditulis Yusradi Usman al-Gayoni ini diterbitkan Pang Lingè dan Research Center for Gayo (RCfG) dengan ISBN 978-602-18086-1-0. Ditanya soal harga, Pia mengungkapkan, buku ini dijual Rp. 50.000,- /buku. “Barangkali, ada yang mau memiliki buku ini, bisa langsung dipesan ke Zola Music Course di Belang Mersa Takengon (rumah alm). Juga, bisa melalui Forum Lintas Gayo (For LG)-lintasgayo@yahoo.com, dan Research Center for Gayo (RCfG) – researchcenterforgayo@yahoo.co.id. Tapi, sementara waktu, kita listing dulu. Soalnya, bukunya masih belum dikirim dari Jakarta,” ungkapnya. Di tempat yang sama, Ani Fatma, istri almarhum, mengungkapkan apresiasi dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada penulis biografi suaminya, Yusradi. “Kalau tidak ditulisnya, sudah hilanglah sejarah Bapakmu. Lebih-lebih, baru bisa terbit sampai empat tahun,” kata Alumni IKIP Medan (UNIMED) ini. “Oya Tuhen mi we mu beles se, Win,” sambungnya dalam bahasa Gayo (Apa yang dia lakukan, Tuhan lagi yang membalasnya, Win). Launching Sementara itu, Muhammad Dirgantara, putra kedua alm, menyebutkan, kemungkinan acara peluncuran sekaligus bedah buku tersebut akan digelar bulan ini juga. “InsyaAllah, coba kita usahakan tanggal 29 ni. Tanggal ini cukup istimewa. Sebab, Bapak lahir tanggal 29 April,” sebutnya. Namun, tergantung situasi juga, sambung putra ketiganya, Muhammad Dirgantara. “Apalagi, situasi Takengon lagi “memanas,”” katanya. Secara teknis, lanjutnya, kita (Zola Music Course) akan berkerjasama dengan Media Online Lintas Gayo terkait peluncuran dan bedah buku ini. (Kha A Zaghlul/red.03)

10 Gempa Terbesar di Dunia Sejak 1900

Setelah gempa 8,7 Skala Richter yang mengguncang Aceh, Sumatera Utara, dan Padang, 12 April 2012 lalu, berikut adalah 10 gempa terkuat yang pernah terekam sejak 1900 sampai sekarang. 22 Mei 1960 - Chile, gempa berskala 9,5 Skala Richter mengguncang Santiago dan Concepcion, menyebabkan gelombang laut dan ledakan gunung api. Sekitar 5000 orang terbunuh dan 2 juta orang kehilangan rumah. 28 Maret 1964 - Alaska, gempa dan tsunami yang terjadi sesudahnya membunuh 125 orang dan menyebabkan kerugian $310 juta. Gempa skala 9,2 SR ini menyerang Alaska dan bagian barat Yukon Territory serta British Columbia di Kanada. 26 December 2004 - Indonesia, gempa 9,1 SR menyerang pesisir Provinsi Aceh di Indonesia, menyebabkan tsunami yang membunuh 226 ribu orang di Indonesia, Sri Lanka, Thailand, India, dan sembilan negara lainnya. 4 November 1952 - Rusia, gempa 9 SR menyebabkan tsunami yang mencapai Kepulauan Hawaii. Tidak ada korban jiwa dalam gempa ini. 11 Maret 2011 - Jepang, gempa 9 SR menyerang Jepang, menyebabkan banyak korban. US Geological Survey memverifikasi gempa terletak di kedalaman 24,3 km dan pusatnya di 130,3 km timur Sendai, di pulau Honshu. Gempa ini adalah yang terkuat yang pernah tercatat di Jepang. Tsunami yang terjadi setelah itu memicu krisis nuklir paling parah dalam 25 tahun terakhir. Lebih dari 15 ribu orang tewas akibat kombinasi gempa dan tsunami. Filipina, Taiwan, dan Indonesia mengeluarkan peringatan tsunami. Peringatan tsunami dari Pacific Tsunami Warning Center mencapai Kolombia dan Peru. 27 Februari 2010 - Chile, gempa 8,8 SR dan tsunami menyebabkan tewasnya 500 orang dan kerusakan $30 miliar, merusak ratusan ribu rumah dan menghancurkan jalan-jalan tol serta jembatan. 31 Januari 1906 - Ekuador, gempa 8,8 SR menyerang pesisir Ekuador dan Kolombia, menyebabkan tsunami yang menewaskan 1000 orang. Getarannya terasa di sepanjang pesisir Amerika Tengah dan bahkan sampai San Francisco dan barat Jepang. 11 April 2012 - Gempa 8,7 SR menyerang Aceh, 495,6 km dari barat daya Banda Aceh. Getarannya terasa sejauh Singapura, Thailand, dan India. 4 Februari 1965 - Alaska, gempa 8,7 SR menghasilkan tsunami yang mencapai 10,7 meter tingginya di Pulau Shemya. 28 Maret 2005 - Gempa 8,6 SR di Nias, Sumatra membunuh 1300 orang. Sumber: Reuters/Situs U.S. Geological Survey Earthquake - http://earthquake.usgs.gov/

Senin, 02 April 2012

Akademisi dari Takengon Tulis Buku Ekolinguistik Pertama di Indonesia

Takengon | Lintas Gayo - Buku Ekolinguistik atau Ekologi Bahasa akan segera terbit. Ekolinguistik merupakan kajian yang melihat hubungan timbal balik antara Ekologi dan Linguistik. Keterangan ini langsung diperoleh dari penulisnya, Yusradi Usman al-Gayoni, melalui sambungan telepon, Senin (2/4/2012). “Sepengetahuan saya, ini buku pertama Ekolinguistik di Indonesia,” ungkapnya. Pun sudah ada sejak 40 tahun lalu, jelas Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah itu, kajian ini baru ada (secara formal) tahun 2007 di Universitas Udayana Bali. Selanjutnya, 2009 di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Namun, kajian, penelian, dan publikasi terkait Ekolinguistik masih sangat terbatas. Beliau mencontohkan, sampai 2010, sajian informasi Ekolinguistik masih sedikit sekali. Termasuk, dalam penelurusan di internet “google,” baru ada 3 halaman. “Mengingat pentingnya kajian ini terhadap lingkungan dan bahasa (lebih luas: nilai, budaya, dan peradaban manusia), masih terbatasnya dan besarnya kebutuhan informasi terkait, makanya saya buat buku ini,” katanya. Namun, dia mengakui, apa yang ada dalam buku itu masih sebatas informasi awal. Dengan demikian, perlu didalami dalam bentuk pelbagai kajian dan penelitian lanjutan oleh akademisi lainnya. Lebih lanjut, dia menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada sang guru, Prof. Aron Meko Mbete yang telah “mengenalkan” kajian ini padanya (Khalisuddin). Sumber: Media Online Lintas Gayo (2/4/2012)

The First Ecolinguistics's Book in Indonesia

Rabu, 28 Maret 2012

Orang Batak Berasal dari Gayo?

MASYARAKAT Batak selama ini berkeyakinan, bahwa orang Gayo itu berasal dari Batak. Demikian pula sebagian masyarakat Gayo, memiliki keyakinan yang sama. Tetapi bagaimana dengan pembuktian ilmiah? Di Gayo ada dua klien (belah). Belah Uken dan Toa. Klien Toa, pada abad ke 16 M, didatangi oleh suku Batak- Karo, yang dikenal dengan sebutan Batak 27. Pada saat Batak 27 datang ke Bebesen, di Gayo sudah lama berdiri kerajaan Linge, Kerajaan Bukit dan Syiah Utama, serta kerajaan kecil lainnya yang merupakan klien (belah) Uken. Datangnya Batak 27 ke wilayah Bebesen, melahirkan sebuah kerajaan baru (kerajaan Cik). Talpan (dari Fak-Fak Dairi), pimpinan Batak 27 ini kemudian masuk islam dan diberi nama Leube Kader. Talpan diangkat menjadi raja pertama Cik Bebesen (1607-1636M). Hingga kini di bekas wilayah kerajaan Cik itu masih terdapat marga seperti Munthe, Melala, Cibro, Tebe dan lainnya. Bagaimana dengan kerajaan sebelum berdirinya kerajaan Cik? Benarkah Orang Gayo berasal dari Batak, atau justru orang Batak berasal dari Gayo. Bukti sejarah yang berhasil dihimpun oleh tim peneliti arkelogi dari Balar Medan, justru membalikan keyakinan orang Batak. Bukan orang Gayo berasal dari Batak, tetapi orang Batak yang berasal dari Gayo? Balai Arkeologi (Balar) Medan sudah melakukan kajian arkelogis, antropologis, maupun etnoarkeologis di dua daerah ini ( Batak dan Gayo). Atas kajian berbagai aspek budaya yang ditemukan dalam penelitian, menunjukkan adanya indikasi yang kuat bahwa aktifitas budaya pra sejarah di Tanoh Gayo, khususnya babakan neolitik (megalitik), lebih tua dibandingkan dengan aktifitas di Tanah Batak. Tim arkeolog Balai Arkeologi (Balar) Medan yang dipimpin Ketut Wiradyana, melakukan penelitian di Aceh Tengah pada tiga loyang (gua/ceruk); Loyang Mendale, Ujung Karang dan Puteri Pukes. Tim Balar Medan ini juga sebelumnya telah melakukan penelitian di Tanah Batak. “Sampai saat sekarang ini saya belum menemukan adanya budaya Dongson (Tanah Batak) di bumi Gayo. Kita akan melakukan kajian lebih mendalam lagi tentang ini,” sebut Ketut, menjawab Waspada, Selasa (10/1) via selular. Menurut Ketut, yang kemudian menerbitkan buku “Merangkai Identitas Gayo”, ada beragam budaya yang dapat dibuktikan dari temuan bersejarah itu. Selain budaya Howabinh, kemudian disusul 3000 tahun sesudahnya kembali masuk budaya Austronesia- Howabin (Sumatralith). Berkemungkinan besar manusia Howabinh yang sudah beraktiftas di sekitar Danau Luttawar, berdampingan hidup dengan pendatang baru Austronesia. Apakah keturunannya ada di Gayo, itu yang perlu pembuktian lebih mendalam. Selain itu ciri ciri budaya Sahuyn-Kalanay (Filipina selatan, Indo Cina) serta bau budaya melayu (Asia Tenggara Daratan, Serawak, Kalimantan) dan budaya Lapita (Indonesia Timur dan Pasifik Barat), juga ada di Gayo. Hasil penelitian radiokarbon, menunjukkan bahwa migrasi beragam budaya ke dataran Tinggi Gayo berlangsung pada awal-awal penutur Astronesia menuju Barat Sumatra. Pada jaman mesolitik itu (7000-5000 tahun yang lalu), budaya Howabinh di Gayo sudah berkembang. Disusul jaman neolitik (3500-3000 tahun lalu) dengan adanya temuan berupa kapak lonjong, gerabah, anyaman dari rotan, serta cangkang hewan lunak, dari hasil penggalian di tiga loyang ini, menandakan adaya budaya berbagai fase di Gayo (Mesolotik dan neolitik). Aktiftas itu terlihat sampai sebelum masuknya Islam di Gayo. Awal-awal tahun Masehi, loyang masih menjadi daerah hunian di tepi danau. Apakah ada hubungannya manusia prasejarah di sana dengan penduduk Gayo sekarang, tes DNA nanti akan membuktikannya, dan dilanjutkan dengan penelitian lebih mendalam, sebut Ketut. Sementara di Tanah Batak didominasi oleh budaya Dongson (salah satu budaya berasal dari Veitnam Utara) yang perkembangannya sekitar 2500 tahun yang lalu. Budaya Dongson ini ditandai dengan adanya logam dan pola hias yang ditemukan di rumah Batak Toba, yang menggambarkan binatang atau manusia dengan hiasan bulu-bulu panjang. Selain itu pada masyarakat Karo dan Nias juga memiliki bentuk hiasan berupa anting-anting yang sama dengan salah satu bentuk hiasan bejana budaya Dongson, yang ditemukan dekat Phonm Penh, Kandal, Kamboja. Menurut tim Balar Medan, budaya besar lainnya yang berkembang di Nias maupun Sumatra Utara adalah budaya Megalitik. Ciri utamanya kepercayaan terhadap roh, adanya kepercayaan akan kehidupan sesudah mati. Budaya Howabinh yang masuk ke Tanah Gayo jauh lebih tua bila dibandingkan dengan budaya Dongson yang masuk ke Tanah Batak. Budaya Howabinh berkisar 7000-5000 tahun yang lalu, sementara budaya Dongson sekitar 3000-2500 tahun yang lalu. Menjawab Waspada, Ketut menjelaskan, bila dihitung generasi, satu generasi itu sekitar 25 tahun. Di Gayo sudah hidup sekitar 296 atau 300 generasi, sementara di Batak berkisar antara 140 generasi. Penemuan situs di Gayo ternyata lebih tua bila dibandingkan dengan Sumatra Utara. Prof. Dr. Bungaran A. Simanjuntak menanggapinya serius. Dalam kata pengantarnya di buku Gayo Merangkai Identitas, Bungaran menyebutkan, tiori selama ini telah dipercayai dan terekam di memori orang Batak, bahwa Gayo itu berasal dari Batak. Gayo dan Alas adalah sub-sub suku bangsa Batak, sebut Bungaran. Namun dengan temuan Balar Medan, tiori ini bisa jungkir balik (masih akan diteliti secara mendalam lagi). Justru suku bangsa Batak berasal dari Gayo. Atau justru bangsa Gayo bukan sub suku bangsa Batak. Bisa jadi sederajat, seayah seibu, orang Gayo yang lebih dahulu datang ke Sumatra, baru disusul suku bangsa Batak. Diharapkan, sebut Bungaran Simanjuntak, perlu adanya penelitian lebih mendalam lagi agar terang benderang. Ini sangat penting untuk diungkap secepatnya. Perbedaan tahun budaya antara Gayo dan Batak terlihat jelas. Temuan arkeolog Balar Medan ini sudah menghilangkan kekeberen (cerita dari mulut ke mulut secara turun temurun) di Gayo. Dimana sebagian orang tua di Gayo dalam kekeberennya menyebutkan bahwa orang Gayo itu berasal dari Batak. Namun bukti ilmiah, setelah tim Balar Medan yang telah menggali tiga loyang di pinggiran Danau Lot Tawar, mematahkan kekeberan itu. Budaya Gayo (Howabinh) jauh lebih tua bila dibandingkan dengan budaya Dongson di Batak. (Bahtiar Gayo)
Sumber : Waspada edisi 11 Januari 2012

Minggu, 25 Maret 2012

Buku 'Tutur Gayo' Segera Terbit dan Dijual Rp. 35. 000

Jakarta | Lintas Gayo – Tak lama lagi, buku “Tutur Gayo” segera diterbitkan. Buku ini berisi tentang pengertian, faktor sosio-kultural munculnya, klasifikasi, pembagian, fungsi, kurangnnya penggunaan, dan adanya bentuk (variasi) tutur baru. Sebab, dalam perkembangan kekinian masyarakat Gayo, tutur kurang dikenal. Bahkan, ada kecenderungan mulai ditinggalkan. “InsyaAllah, akhir bulan ini atau awal April sudah terbit,” kata penulisnya, Yusradi Usman al-Gayoni di Jakarta, Jum’at (23/3/2012).

Namun, kata Yusradi melanjutkan, ada perubahan judul, dari Ekspresi Tutur Gayo jadi Tutur Gayo. Perubahan itu tidak terlepas dari masukan pembaca Lintas Gayo (LG). Dari 50 orang yang disounding-nya, ada 7 orang yang bersedia membantu dan sudah mengirimkan partisifasi donasinya. “Di total-total, alhamdulillah, ada 4 juta. Melihat dana yang masuk, saya tidak tahu pasti, apakah bisa sampai 1000 eks? Mungkin, 500 eks atau kurang. Berapa pun, insyaAllah, tetap kita terbitkan,” katanya bersemangat.

Terkait harga buku itu, Yusradi, mengatakan, akan dijual Rp. 35.000/buku. Hasil penjualan buku tersebut, sambungnya, nantinya akan dipakai untuk menutupi kekurangan dana percetakan. Disamping itu, digunakan buat dana penelitian, pengumpulan bahan-bahan, dan dana awal percetakan buku-buku selanjutnya. Termasuk, dari penulis Gayo lainnya.

Soalnya, ungkapnya lagi, ada satu buku lagi yang sudah rampung ditulisnya. Dan, dua lagi mau rampung. Salah satunya, Kamus Istilah Tutur Gayo (sudah 70%). Akibatnya, kegiatan ini tetap bisa berjalan. Dan, bisa dilakukan secara berkelanjutan. “Kalau biografi pak Moese alm, ‘sudah aman.’ Karena, dana percetakannya sudah dihandle keluarga di Takengon,” ungkapnya. Selanjutnya, sambungnya, penjualan dan pendistribusiannya akan dibantu LG/Forum (For) Lintas Gayo di masing-masing daerah. Atau, langsung ke Reseach Center for Gayo.

“Sebagai ucapan terima kasih, saya akan menyurati donatur melalui RCfG, merincikan donatur dan besaran donasinya, serta menyertakan (mengirimkan) buku tadi. Juga, menjelaskan sejarah RCfG dan kegiatan-kegiatan yang telah dan akan dilakukan RCfG ke depan. Masalahnya, lebih ke persoalan trust (kepercayaan). Ini mesti kita jaga,” sebutnya (Sastra).

Sumber: Media Online Lintas Gayo (24 Maret 2012)

Biografi A.R.Moese “Sang Maestro” Segera Terbit


Takengon | Lintas Gayo - Setelah empat tahun, akhirnya buku biografi A.R. Moese “A.R. Moese Sabdin: Perjalanan Sang Maestro” segera diterbitkan. “InsyaAllah, dalam waktu dekat, biografi almarhum suami saya akan diterbitkan,” kata Ani, isteri Moese di Takengon, Senin (12/3/2012)

Empat tahun lalu, jelas Ani, buku ini seharusnya sudah diterbitkan. Pada waktu itu, ada pihak tertentu yang berkeinginan mencetak buku ini. Sayangnya, tidak jadi. Karena, sudah terlalu lama. Akhirnya, keluarga berinisiatif dan mendanai sendiri biaya percetakan buku ini.

“Secara pribadi dan atas nama keluarga, saya mengucapkan terima kasih banyak kepada Yusradi Usman al-Gayoni, yang telah menulis buku ini. Paling tidak, nantinya, buku ini bisa jadi bahan bacaan keluarga, ” ungkapnya.

Oleh karena keterbatasan dana yang dimiliki keluarga, ungkapnya, buku ini hanya dicetak 500 eks. Karenanya, kalau ada pihak-pihak tertentu yang mau membantu dan ikut berpartisifasi, pihak keluarga tidak menolaknya. “Ike ara si mu bantu, sukur Alhamdulillah, Win,” kata Ani dalam bahasa Gayo, jika kalau ada yang mau membantu, syukur Alhamdulillah, Win.

Dihubungi secara terpisah, Yusradi, mengaku senang atas rencana penerbitan buku tersebut. “Akhirnya, buku saya insyaAllah terbit juga. Pun, harus menunggu empat tahun,” sebutnya.
Moese merupakan tokoh penting dan berkontribusi besar terhadap pertumbuh-kembangan musik di tanoh Gayo. Baginya, Moese adalah bapak musik Gayo. Untuk itu, dedikasi Moese mesti dihargai. Misalnya, sarannya, dengan memakai nama almarhum untuk nama jalan, gedung kesenian, rumah musik, atau nama penghargaan, seperti Moese Award (penghargaan untuk bidang musik).

Ditanya soal motivasi menulis biografi almarhum Moese, Yusradi menyatakan setidaknya dirinya sudah berupaya menyelamatkan sejarah sang maestro tersebut, urang Gayo, dan tanoh tembuni.

“Sejarah Gayo yang banyak tercecer sudah diwariskan dalam bentuk catatan,” kata Yusradi yang mengaku sempat menyampaikan naskah buku ke sejumlah pihak terkait di Provinsi Aceh dan di Aceh Tengah sendiri untuk di cetak namun hingga saat ini belum ada kabar. (Kha A Zaghlul/Red.03)

sumber: http://www.lintasgayo.com/20788/biografi-a-r-moese-sang-maestro-segera-terbit.html

Rabu, 29 Februari 2012

Mengurangi ‘Urang-Urang’ melalui Bahasa

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
.
SALAH satu masalah yang masih mengakar kuat di tanoh Gayo adalah urang-urang. Secara harfiah, urang berarti orang. Namun, dalam bahasa Gayo, pengertiannya lebih luas. Bisa merujuk ke belah (klan), daerah, orang (etnik), dan negara sekaligus. Namun, dalam masyarakat Gayo, konotasinya lebih negatif. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh politik devide at ampera kolonialis Belanda di Gayo, tahun 1901-1942. Bahkan, masih “berpengaruh” sampai sekarang.

Di Takengon, misalnya. Pengaruh urang-urang “uken-toa” ini masih cukup kental. Dan, merupakan masalah yang sensitif. Prof. H. Muhammad Daud, S.H. alm (Guru Besar Kriminologi Universitas Sumatera Utara dan salah satu pendiri SMA Negeri 1 Takengon), menyebutkan (2003), orang-orang yang memelihara uken toa merupakan orang yang tidak beradab. Tak jarang, ungkapnya, isu tersebut disuburkan orang tua (elit politik lokal yang sudah senior). Sementara itu, Yusra Habib Abdul Gani menyebut orang yang ber-uken toa rasis kampungan (2009).

Sebetulnya, masalah ini mencuat sejak abad ke-16. Khususnya, dalam “relasi” kerajaan Bukit (Kebayakan) dengan kerajaan Cik (Bebesen). Sampai akhirnya, terjadilah pembagian daerah kekuasaan. Kemudian, masing-masing “demografis uken toa” berkembang seperti sekarang. Secara khusus, Etnografer Indonesia dan Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia (UI), Prof. M.J. Melatoa alm sempat meneliti masalah ini dan mendokumentasikannya dalam bentuk disertasi yang berjudul Pseudo Moiety Gayo: Satu Analisa tentang Hubungan Sosial menurut Kebudayaan Gayo (1983). Pada waktu itu, beliau melihat adanya paruh yang saling bersaing “uken toa” dalam masyarakat Gayo di Takengon. Lebih khusus lagi, dalam pemerintahan, kegiatan kesenian (didong), dan pertandingan/perlombaan olah raga.

Lebih luas lagi, terefleksi dalam relasi “urang-urangen” antara Lut, Deret, Belang/Lues, Alas, Serbejadi/Lokop, Kalul, dan Lhok Gayo. Dalam kaitan ini, penulis berkeyakinan, orang Gayo di pelbagai daerah persebaran tersebut masih belum sepenuhnya mengenal satu satu lain. Singkatnya, mereka belum lah sehati (sara ate), satu visi (sara kekire), dan satu misi (sara langkah). Apalagi, menyangkut kepentingan (tanoh) Gayo secara menyeluruh dan lebih berjalan masing-masing. Dan, kalau kondisinya terus seperti itu, urang Gayo (secara kolektif) akan sulit berkembang dan maju.

Lagi pula, saat ini, Gayo tidak lagi memiliki tokoh yang sejalan antara hati, pikiran, dan perbuatannya serta berkharisma. Sebelumnya (abad ke-19), Gayo punya Muhammad Hasan Gayo, Ilyas Leube, dan lain-lain. Namun, saat ini?

Solusi?


Salah satu solusi mengurangi masalah ini adalah melalui penggunaan bahasa, yaitu dengan mengganti kataurang jadi ari (dari). Soalnya, bahasa sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak pemakainya. Termasuk, prihal urang-urangan tadi. Dalam hubungan sosial sesama orang Gayo, misalnya. Prihal asalnya, tidak ditanya, “Urang si, ya? (belah atau orang mana dia?)” Sebaliknya, jadi “Ari si asal le? (dari mana asalnya). Contoh lain, dalam perkawinan masyarakat Gayo, kerap ditanya, “Urang sihen si rawan/banan? (Orang mana pengantin laki-laki/perempuannya?) Tapi, diganti, “Ari sihen si rawan/banan?” (Dari mana pengantin laki-laki/perempuannya?) Karena, kata urang ‘berkonotasi’ negatif di dalam masyarakat ini.

Pun demikian, pemakaian bahasa ini merupakan salah satu pendekatan. Namun, pemakaiannya tidak akan berpengaruh apa-apa kalau tidak disinerjikan dengan pendekatan lainnya. Khususnya, dari Pemerintah Kabupaten (Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Kabupaten Bener Meriah) di Gayo, mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, sampai pada penegakan hukum yang terbuka, partisipatif, berkeadilan, dan bermartabat. Juga, dalam penempatan pejabat lokal dalam pemerintahan. Yang dikedepankan adalah kejujuran, kualitas, kemampuan, dedikasi, dan punya rekam jejak (track record) yang baik. Bukan sebaliknya, didasarkan pada kedekatan “pertalian darah,” tim sukses, atau karena hutang budi dan uang saat kampaye serta ber-mind set urang-urang.

Kalau semuanya disinerjikan dengan benar dan baik, masalah urang-urang tersebut bisa dikurangi. Bahkan, dihilangkan untuk jangka panjang. Karena, dalam prosesnya, terjasi cross culture understanding dan saling besikemelen. Pada akhirnya, orang Gayo (secara keseluruhan) pun akan musara, mu nahma, dan mu marwah.


* Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah
Sumber: Media Online Lintas Gayo (29 Februari 2012)
http://www.lintasgayo.com/19929/mengurangi-urang-urang-melalui-bahasa.html

Rabu, 01 Februari 2012

Kearifan Ekologi Gayo yang Hilang

Tanggul Mendale. Berada di bagian barat danau. Pembangunan tanggul tersebut semakin merusak ekosistem Danau Laut Tawar

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Saat kondisi jalan Danau Lut Tawar tidak seperti sekarang, masyarakat Gayo, khususnya seputar danau kerap berjalan kaki menuju kota Takengon. Dan, sebaliknya. Alternatif lain, dengan berkuda atau perahu. Pada saat berjalan kaki, mereka—penduduk—biasa menanam pohon di sepanjang jalan yang dilalui. Salah satunya adalah bambu (uluh). Pun, cuma satu-dua pohon. Namun, kegiatan seperti itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat—khususnya, generasi kelahiran (sebelum) 1930-an—ketika itu. Bisa dibayangkan, berapa banyak pohon yang sudah ditanam? Itulah gambaran kesadaran lingkungan orang tua Gayo zaman dulu.

Kebiasaan itu tidak tumbuh di tengah kekritisan lingkungan. Apalagi, dengan perubahan cuaca (climate change) seperti sekarang. Atau, saat akses terhadap pendidikan semakin. Di tambah lagi, meluasnya link dan net working. Juga, terbukanya informasi dan teknologi. Sebaliknya, kebiasaan tersebut membudaya di tengah segala keterbatasan. Namun, kesadaran, wacana (environmental discourse atau discourses of the environment), dan visi jangka panjang pada lingkungan hijau (ijo) ‘lebih hidup’ pada masa itu.

Selain menanam pohon, menurut M. Jusin Saleh (2009), Sekretaris Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo (MAANGO), dulunya, dalam membuka perkampungan dan perkebunan, masyarakat Gayo diharuskan jauh dari danau (lut). Kampung Bintang, salah satu kampung tua di Takengon, misalnya. Letaknya agak jauh dari danau. Dengan demikian, Danau Laut Tawar tetap—danau kebanggaan masyarakat Gayo dan Aceh—tetap bersih. Dalam arti, tidak tercemari, dangkal, dan rusak baik secara fisik maupun secara sosial. Meski tidak formal dan tertulis, tapi ‘aturan’ itu sangat mengingat (ikatan sosial). Dan, jadi konsensus bersama. Kalau ada yang melanggar, maka akan berlaku sanksi sosial.

Namun, jarang sekali terjadi. Soalnya, masyarakat Gayo sangat menjunjung tinggi budaya kemel (malu) dan musyarawah, saat itu. Karenanya, kemudian muncul filosofi kerakyatakan dan permusyawaratan orang Gayo, yaitu “keramat mupakat, behu ber de dele.” Dalam konteks kekinian kehidupan berbangsa dan bernegara, dikenal dengan istilah 4 pilar bangsa—Pancasila, Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika. Pun terjadi, pelakunya akan merasa berjarak dengan sendirinya dalam pergaulan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Selanjutnya, masih menurut Jusin—sapaan M. Jusin Saleh—terkait hutan, masyarakat Gayo biasa menanam jedem (bahasa Gayo). Tanaman ini kerap ditanam di kaki gunung seputar danau. Bagian daunnya yang tebal dan tajam tidak memungkinkan hewan liar untuk memasuki perkebunan penduduk. Disamping itu, karena banyak menyimpan air, saat terjadi kebakaran, apinya tidak serta merta melalap lahan perkebunan, pegunungan, dan perumahan penduduk.

Sarak Opat

Secara kelembagaan, seperti disinggung, ada perangkat pendukung dalam melembagakan nilai-nilai tersebut. Pelembaganya adalah Sarak Opat (sistem pemerintah Gayo) dengan unsur-unsurnya. Lebih khusus, pawang, kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang lut, dan pengulu rerak. Sejak penyeragaman sistem pemerintahan di Indonesia, Sarak Opat sudah digantikan sistem pemerintahan formal. Nilai-nilainya pun tidak lagi ber-intangible. Demikian halnya dengan namanya, kurang dikenal generasi muda Gayo. Dengan kata lain, terjadi penyusutan penamaan dan pemahaman. Karena, istilah-istilah terkait Sarak Opat dan ekologi ke-Gayo-an secara umum makin terdesak dan terpinggirkan oleh isilah baru. Di tambah lagi, dengan pelbagai perubahan sosial-ekologi di tanoh Gayo. Cukup berpengaruh signifikan. Padahal, Sarak Opat begitu efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, ekolog, dan kemasyarakatan.

Begitu pula dengan kearifan-kearifan ekologi, sudah mulai hilang. Pastinya, masih banyak kearifan-kearifan ekologi Gayo yang masih belum tergali. Karenanya, perlu penyelamatan, penelitian, pendokumentasikan, pengenalan, dan pentransmisian Gayo oleh semua pihak pada masa-masa mendatang. Khususnya, oleh orang Gayo dan di tanoh Gayo. Dengan demikian, alih budaya kepada generasi muda akan tetap berjalan. Lebih dari itu, pelbagai kearifan tadi—terutama, dalam ranah kajian lingkungan, ekologi bahasa (ekolinguistik), ekologi sastra (ekosastra), dan ekologi jurnalistik—dapat turut serta dalam penyelamatan, pemeliharaan, dan pelestarian lingkungan. Namun, penyertaan kebijakan baik dari eksekutif maupun legislatif tetap diperlukan. Dengan demikian, semuanya dapat berjalan seiring, fokus, dan maksimal.


*Pengkaji Ekolinguistik/Koordinator Divisi Budaya Forum Penyelamatan Danau Lut Tawar

Sumber: Media Online Lintas Gayo (31 Januari 2012)
http://www.lintasgayo.com/18467/kearifan-ekologi-gayo-yang-hilang.html

Minggu, 08 Januari 2012

Gayo Kaya Keanekaragaman Hayati

Jakarta | Lintas Gayo - Selain kaya sejarah, bahasa, sastra, budaya dan dikenal dengan keindahan alamnya, tanoh Gayo juga kaya dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya. Pakar kecantikan Indonesia asal Takengon, tanoh Gayo, Ny. As Jafar, di Jakarta (6/1/2012) menyatakan, ada 160-180 jenis bunga di Takengon. Tahun 1980-an, istri Ahmad Jafar alm itu telah meneliti nama-nama bunga sekaligus tata rias dan adat perkawinan Gayo di Takengon.

“Disamping mengidentifikasi namanya, saya sempat meneliti jenis, pola tumbuh, serta fungsinya. Bahkan, ada beberapa spesies bunga yang hidupnya cuma di Gayo. Selain itu, ada beberapa bunga yang dalam bahasa lokal tidak ditemui istilahnya” ujarnya. Sayangnya, temuan tersebut masih belum terdokumentasi. “Saya sudah mencatatnya. Tapi, lupa nyimpannya dimana. InsyaAllah, coba saya cari lagi,” kata salah pendiri Yayasan Argadia dan Penggagas Pemilihan Putri Citra itu. Di sisi lain, bukunya Upacara Adat Pengantin Gayo (teori) sudah lama terbit—1988—dan dijadikan acuan bagi para perias di seluruh Indonesia. Melalui Ny. As Jafar, tata rias dan upacara adat perkawinan Gayo diperkenalkan secara luas. Lebih dari itu, dua sempol Gayo, yaitu sempol gampang bulet sempelah ilang dan sempol gampang kemang—Gayo pun sudah dibakukan secara nasional, tahun 1985

Selain Ny. As Jafar, tahun 2001, Puspitawi pernah meneliti tentang Pemanfaatan Tumbuhan dalam Kehidupan Komunitas Suku Gayo dan Hubungannya dengan Kelestarian Keanekaramaan Hayati. Hasil penelitian wanita kelahiran Batang Toru, Sumatera Utara itu, menunjukkan, masyarakat Gayo mengenal 181 spesies tumbuhan. 141 spesies diantaranya digunakan sebagai obat-obatan, 99 spesies dimanfaatkan sebagai bahan pangan, 22 spesies sebagai pelengkap dalam upacara adat/kegiatan sosial. Disamping itu, keseluruhan tumbuhan tadi digunakan dalam 142 ragam pemanfaatan, yang meliputi, 68 ragam pangan, 61 ragam obat-obatan/kosmetik, dan 13 pemanfaatan untuk upacara adat/kegiatan sosial.

Lebih lanjut, dijelaskan, di lihat dari bagian/organ tumbuhan yang dimanfaatkan, tumbuhan pangan sebagian besar memanfaatkan buah. Sementara itu, tumbuhan obat-obatan/kosmetik dan tumbuhan bahan pelengkap dalam upacara adat/kegiatan sosial memanfaatkan kombinasi dari pelbagai organ tumbuhan seperti daun, akar, biji, dan kulit. Selain itu, dilihat dari habitatnya, pada umumnya, tumbuhan yang digunakan dalam ketiga pemanfaatan tersebut mudah dijumpai. Sebab, dapat hidup dalam beberapa habitat yang berbeda. Dan, dilihat dari cara pemerolehannya, sebagian besar dari tumbuhan yang dipakai untuk bahan pangan diperoleh dengan melakukan penanaman. Dengan kata lain, tumbuhan yang diperlukan untuk kebutuhan pangan selalu ada (tersedia).

Sementara itu, jelas Alumni SD Negeri 2 Lampahan Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah) itu, kesadaran masyarakat untuk melakukan penanaman dan melestarikannya tumbuhan obat-obatan/kosmetika dan tumbuhan bahan upacara adat/kegiatan sosial masih tergolong rendah. Karena, spesies tumbuhan yang digunakan dalam kedua keperluan tersebut banyak yang memanfaatkan tumbuhan liar.

Antisifasi Kepunahan

Dimintai pendapatnya, Yusradi Usman al-Gayoni, menyebutkan, khasanah kekayaan keanekaragaman hayati di tanoh Gayo, Aceh, sangat bermanfaat bagi kajian ilmu pengetahuan (biologi, etnobotani, ekologi, ekolinguistik [kajian timbal balik peran lingkungan terhadap bahasa], antropologi, dan lain-lain) serta lingkungan. Lebih lanjut, Dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Aceh Tengah yang saat ini bertugas di Jakarta, menjelaskan, dalam konteks Gayo, selain nama dan fungsinya pada sejumlah ranah, keanekaragaman hayati tadi memiliki nilai-nilai—filosofi, kultural, ekologi, relijiusitas, dan lain-lain—yang dirangkainya dan didukung masyarakatnya. Nilai-nilai inilah yang kurang diketahui masyarakat Gayo, terutama generasi mudanya. Ditambah lagi, kesadaran masyarakat Gayo dalam melestarikannya pun relatif rendah.

Pengkaji Ekolinguistik di Indonesia itu, menyimpulkan, terdapat penurunan pemahaman leksikon masyarakat Gayo terhadap keanekaragaman hayati tersebut. Hal itu bisa dilihat dari generasi Gayo (per sepuluh tahun); 1980, 1990, 2000, dan 2010. Karenanya, sarannya, dokumentasi dan publikasi terkait Gayo mesti terus digalakkan. Dalam hal ini, perlu perhatian, partisifasi, dan keseriusan Pemerintah Kabupaten (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah). Selain itu, apa pun yang menyangkut Gayo harus dikenalkan (ditransmisikan), khususnya melalui lembaga pendidikan, semacam muatan lokal. Apalagi, kepada generasi muda sekarang. Kalau tidak, Gayo akan ‘punah’ seiring pergantian waktu (Faiz Akbar/03)

Sumber http://www.lintasgayo.com/17433/gayo-kaya-keanekaragaman-hayati.html

Lingkungan Rusak, Bahasa Punah

Takengon | Lintas Gayo – Beberapa waktu yang lalu, terjadi kebarakan di Bur Gayo dan Pendere, Takengon, Kabupaten Aceh Tengah. Selain itu, oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah sedang giat-giatnya menimbun Tanggul Mendale, yang berdampak pada spesies burung yang ada di sana.

Dimintai tanggapannya melalui sambungan telepon (27/9) Yusradi Usman al-Gayoni, pengkaji bahasa Gayo menuturkan, kebakaran dan penimbunan tersebut ikut berdampak pada bahasa. Lebih luas, berdampak pada kebudayaan, ekologi, dan kelangsungan peradaban orang Gayo sendiri.

Pastinya, di gunung (bur: bahasa Gayo) itu, jelas penggiat kajian Ekolinguistik (Ekologi Bahasa) tersebut ada keanekaragaman hayati baik hewan, tumbuhan, maupun mikroorganisme lainnya. Akibat kebakaran itu, tambah bapak Muhammad Faiz Akbar al-Gayoni ini, hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme yang ada pun ikut terbakar dan mati.

Alhasil, sambungnya, untuk jangka panjang, masyarakat Gayo, khususnya generasi yang lebih muda, tidak lagi mengenal istilah-istilah yang bertalian dengan rumput, tanaman, pepohonan, hewan, mikroorganisme, dan lain-lain, khususnya dalam bahasa Gayo. Karena, referen (wujud fisik)-nya tidak ada lagi. Termasuk, kearifan ekologi yang dikandunginya seperti menamam jedem di kaki gunung dan menanam uluh (bambu) di seputar Danau Laut Tawar.

“Soal Tanggul Mendale, kalau kebijakan penimbunan itu tetap diteruskan, khususnya spesies burung-burung di sana akan bermigrasi ke tempat lain,” kata Yusradi. Akibatnya, siklus kehidupan jadi tidak seimbang. Lebih dari itu, panjang Danau Laut Tawar pun semakin mengecil, tercermari, dan rusak. Di sisi lain, katanya, dukungan dokementasi terkait pun belum ada. Lebih disayangkan lagi, Sarak Opat dengan unsur-unsurnya sudah tinggal nama.

Kalau bahasa ini mau selamat, tegasnya, bahasa Gayo harus tetap dipakai, dipelajari, dan diajarkan masyarakat Gayo. Selanjutnya, memperbanyak dokumentasi kebahasaan/kegayoan. Dan terakhir, untuk mendukung pemertahanan bahasa (kebudayaan) Gayo, lingkungan di Takengon dan tanoh Gayo juga mesti diselamatkan agar tetap hijau dan lestari (Khalis)

Sumber http://www.lintasgayo.com/10908/lingkungan-rusak-bahasa-punah.html

Tari Saman atau Saman Gayo?

Yusradi Usman al-Gayoni Pemerhati budaya

“Dalam masyarakat Gayo sendiri, alih budaya lebih sering dilakukan secara lisan daripada tulisan.”

SIDANG ke-6 Komite Antarpemerintah untuk Perlindungan Warisan Budaya Dunia Tak Benda United Nations Educational, Scientifi c and Cultural Organization (UNESCO) di Nusa Dua, Bali, Kamis, 24 November 2011, akhirnya menetapkan Tari Saman sebagai warisan budaya dunia tak benda dari Indonesia.

Sebagai warga negara Indonesia, khususnya masyarakat Gayo dan Aceh, kita patut bersyukur dan berbangga hati atas penetapan tersebut. Di sisi lain, pengakuan itu menjadi tantangan awal dalam melestarikan Tari Saman. Selama ini, terdapat salah pemahaman dan salah mempraktikkan Saman yang dapat ‘mengancam’ keberadaannya. Dengan demikian, pengukuhan Tari Saman menjadi momentum yang tepat untuk meluruskan, menyosialisasikan, mempertahankan, dan melestarikan tarian ini.

Saman Gayo?

Sejak ditetapkan, istilah `Saman Gayo’ semakin menguat ke permukaan publik. Dari garis sejarah, tarian ini memang berasal dari Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Hasil verifikasi UNESCO membuktikan Saman berasal dari Gayo Lues ‘Negeri Seribu Bukit’. Di Gayo Lues, Saman sudah menjadi bagian hidup. Maka itu, kemudian ada pelbagai bentuk Saman, seperti Saman Jejunten, Saman Ngerje, Saman Enjik, Saman Bepukes, Saman Festival, dan Bejamu Saman. Ada pula yang sampai ‘dipertandingkan’, yaitu Saman Serlo Sara Ingi (Saman yang dipertandingkan selama sehari semalam) dan Saman Roa Lo Roa Ingi (Saman yang dipertandingkan selama dua hari dua malam). Lebih dari itu, ini dapat ditarikan khalayak, mulai masyarakat grass root sampai pejabat (berkedudukan sosial lebih). Juga, dari anak-anak, remaja, dewasa sampai orang tua yang sudah renta.
Yang jadi persoalan ialah kata ‘Gayo’ setelah Saman. Apakah penambahan itu perlu? Tambahan kata Gayo melogikakan sesuatu yang ganda dan bermakna jamak. Artinya, ada bentuk Tari Saman yang lain.

Padahal, Saman cuma satu, yaitu Saman yang berasal dari Tanoh Gayo, Kabupaten Gayo Lues. Bila melihat pertalian histori, sosiokultural, religiositas, ekologi (ekologi bahasa), dan semiotika yang dikandunginya serta bukti indikasi geografi s, Tari Tangan Seribu (sebutan dari Ibu Tien Soeharto alm) ini cukup ditulis dengan Tari Saman, tanpa melekatkan kata Gayo. Kalau ditulis Tari Saman Gayo, berarti, kita—masyarakat Indonesia—ikut membenarkan salah pemahaman tadi. Dalam arti, mengakui dan melegitimasi dua atau lebih Saman sekaligus.

Blessing in disguise

Memang, dalam perkembangannya di luar Gayo Lues dan daerah Gayo lainnya, seperti di Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Lokop-Serbejadi (Aceh Timur), Kalul (Aceh Tamiang), Bener Meriah, dan Lhok Gayo (Aceh Barat Daya)–khususnya di pesisir Aceh, pelbagai daerah di Indonesia, dan di belahan dunia lain–Tari Saman sering kali dilakukan perempuan, bercampur laki-laki dengan perempuan, memakai instrumen, penarinya berjumlah genap, tidak berkerawang (berpakaian adat Gayo), dan tidak berlirikkan bahasa Gayo dalam mengungkapkan lagu-lagunya. Selain itu, gerakan-gerakannya pun jauh dari bentuk aslinya.

Tari yang sering ditampilkan itu disebut Ratoh Duek, jenis tari lainnya di Aceh.
Namun, ada ‘untung-ruginya’ dari kesalahan tersebut. Bagaimanapun, Tari Saman dalam posisi yang dirugikan. Sebab, yang ditarikan bukan Tari Saman, tetapi disebut Tari Saman. Lebih-lebih, saat yang menarikannya perempuan atau bercampur laki-laki dengan perempuan, hal itu pastinya sangat bertentangan dengan nilai-nilai adat istiadat masyarakat Gayo. Juga, dengan ajaran agama Islam yang dianut secara fanatik oleh masyarakat Gayo dan Aceh. Dengan begitu, penarian seperti itu ‘haram hukumnya’. Sebaliknya, Ratoh Duek pun merasa rugi, tetapi tetap diuntungkan berupa ‘keuntungan ekonomi’. Sebenarnya di situlah akar persoalannya sehingga sampai terjadi salah pemahaman tadi.

Akan tetapi, bila dikaji lebih bijak, kondisi demikian mendatangkan blessing in disguise. Pada akhirnya, Tari Saman semakin dikenal luas dan mendunia, walaupun muncul kerancuan, kebingungan, dan ‘kesesatan’ pada saat yang bersamaan. Pada akhirnya, UNESCO pun turun langsung melakukan verifi kasi ke Gayo Lues pada 2010. Alhasil, Saman ditetapkan sebagai warisan budaya dunia tak benda beberapa waktu yang lalu.

Meluruskan Saman

Pastinya, pengakuan UNESCO bukanlah tujuan dan target akhir. Sebaliknya, itu menjadi langkah awal dalam penyelamatan dan pelestarian tarian ini. Salah satunya dengan meluruskan salah pemahaman dan salah mempraktikkan itu, yaitu memberikan informasi dan menarikan Saman dengan benar dan baik. Termasuk, perdebatan perihal boleh tidaknya Saman ditarikan perempuan atau bercampur keduanya.

Sebab, hal itu berhubungan dengan kreativitas penyuka dan keberterimaan publik terhadap Tari Saman, apalagi di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya yang merupakan kota urban. Bila dimaklumi, kalaupun diakui UNESCO sudah barang tentu itu melanggar dan ikut mengerdilkan nilainilai yang dikandungi Saman dan adat istiadat serta budaya masyarakat Gayo. Lebih dari itu, persoalan yang sensitif tersebut akan menjadi perdebatan panjang. Oleh sebab itu, perlu penyelesaian yang arif dengan tetap memperhatikan, menghormati, dan menghargai masyarakat Gayo.
Di luar itu, persoalan yang substansial terletak pada masalah minimnya dokumentasi dan publikasi Saman. Kedua persoalan tersebut tidak sebatas pada Saman, tetapi juga menyangkut Gayo secara keseluruhan. Karena itu, salah pemahaman dan salah mempraktikkan tadi bisa saja terjadi akibat kelemahan orang Gayo ‘kurang menulis’. Dalam masyarakat Gayo sendiri, alih budaya lebih sering dilakukan secara lisan daripada tulisan.

Pun demikian, sejauh ini, sudah ada beberapa buku khusus yang mengulas Saman dan ditulis putra Gayo Lues. Di samping itu, semangat dan usaha ke arah itu—dokumentasi dan publikasi—semakin tumbuh dan berkembang saat ini, khususnya pada generasi muda Gayo. Namun, upaya-upaya tersebut mesti terus digalakkan. Apalagi, ini menyangkut Tari Saman. Dengan demikian, kejadian-kejadian yang sudah dipaparkan tidak akan terjadi lagi pada masa-masa mendatang. Semoga!


Sumber: Media Indonesia, 23 Desember 2011, Hal. 26