Jakarta | Lintas Gayo - Selain kaya sejarah, bahasa, sastra, budaya dan dikenal dengan keindahan alamnya, tanoh Gayo juga kaya dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya. Pakar kecantikan Indonesia asal Takengon, tanoh Gayo, Ny. As Jafar, di Jakarta (6/1/2012) menyatakan, ada 160-180 jenis bunga di Takengon. Tahun 1980-an, istri Ahmad Jafar alm itu telah meneliti nama-nama bunga sekaligus tata rias dan adat perkawinan Gayo di Takengon.
“Disamping mengidentifikasi namanya, saya sempat meneliti jenis, pola tumbuh, serta fungsinya. Bahkan, ada beberapa spesies bunga yang hidupnya cuma di Gayo. Selain itu, ada beberapa bunga yang dalam bahasa lokal tidak ditemui istilahnya” ujarnya. Sayangnya, temuan tersebut masih belum terdokumentasi. “Saya sudah mencatatnya. Tapi, lupa nyimpannya dimana. InsyaAllah, coba saya cari lagi,” kata salah pendiri Yayasan Argadia dan Penggagas Pemilihan Putri Citra itu. Di sisi lain, bukunya Upacara Adat Pengantin Gayo (teori) sudah lama terbit—1988—dan dijadikan acuan bagi para perias di seluruh Indonesia. Melalui Ny. As Jafar, tata rias dan upacara adat perkawinan Gayo diperkenalkan secara luas. Lebih dari itu, dua sempol Gayo, yaitu sempol gampang bulet sempelah ilang dan sempol gampang kemang—Gayo pun sudah dibakukan secara nasional, tahun 1985
Selain Ny. As Jafar, tahun 2001, Puspitawi pernah meneliti tentang Pemanfaatan Tumbuhan dalam Kehidupan Komunitas Suku Gayo dan Hubungannya dengan Kelestarian Keanekaramaan Hayati. Hasil penelitian wanita kelahiran Batang Toru, Sumatera Utara itu, menunjukkan, masyarakat Gayo mengenal 181 spesies tumbuhan. 141 spesies diantaranya digunakan sebagai obat-obatan, 99 spesies dimanfaatkan sebagai bahan pangan, 22 spesies sebagai pelengkap dalam upacara adat/kegiatan sosial. Disamping itu, keseluruhan tumbuhan tadi digunakan dalam 142 ragam pemanfaatan, yang meliputi, 68 ragam pangan, 61 ragam obat-obatan/kosmetik, dan 13 pemanfaatan untuk upacara adat/kegiatan sosial.
Lebih lanjut, dijelaskan, di lihat dari bagian/organ tumbuhan yang dimanfaatkan, tumbuhan pangan sebagian besar memanfaatkan buah. Sementara itu, tumbuhan obat-obatan/kosmetik dan tumbuhan bahan pelengkap dalam upacara adat/kegiatan sosial memanfaatkan kombinasi dari pelbagai organ tumbuhan seperti daun, akar, biji, dan kulit. Selain itu, dilihat dari habitatnya, pada umumnya, tumbuhan yang digunakan dalam ketiga pemanfaatan tersebut mudah dijumpai. Sebab, dapat hidup dalam beberapa habitat yang berbeda. Dan, dilihat dari cara pemerolehannya, sebagian besar dari tumbuhan yang dipakai untuk bahan pangan diperoleh dengan melakukan penanaman. Dengan kata lain, tumbuhan yang diperlukan untuk kebutuhan pangan selalu ada (tersedia).
Sementara itu, jelas Alumni SD Negeri 2 Lampahan Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah) itu, kesadaran masyarakat untuk melakukan penanaman dan melestarikannya tumbuhan obat-obatan/kosmetika dan tumbuhan bahan upacara adat/kegiatan sosial masih tergolong rendah. Karena, spesies tumbuhan yang digunakan dalam kedua keperluan tersebut banyak yang memanfaatkan tumbuhan liar.
Antisifasi Kepunahan
Dimintai pendapatnya, Yusradi Usman al-Gayoni, menyebutkan, khasanah kekayaan keanekaragaman hayati di tanoh Gayo, Aceh, sangat bermanfaat bagi kajian ilmu pengetahuan (biologi, etnobotani, ekologi, ekolinguistik [kajian timbal balik peran lingkungan terhadap bahasa], antropologi, dan lain-lain) serta lingkungan. Lebih lanjut, Dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Aceh Tengah yang saat ini bertugas di Jakarta, menjelaskan, dalam konteks Gayo, selain nama dan fungsinya pada sejumlah ranah, keanekaragaman hayati tadi memiliki nilai-nilai—filosofi, kultural, ekologi, relijiusitas, dan lain-lain—yang dirangkainya dan didukung masyarakatnya. Nilai-nilai inilah yang kurang diketahui masyarakat Gayo, terutama generasi mudanya. Ditambah lagi, kesadaran masyarakat Gayo dalam melestarikannya pun relatif rendah.
Pengkaji Ekolinguistik di Indonesia itu, menyimpulkan, terdapat penurunan pemahaman leksikon masyarakat Gayo terhadap keanekaragaman hayati tersebut. Hal itu bisa dilihat dari generasi Gayo (per sepuluh tahun); 1980, 1990, 2000, dan 2010. Karenanya, sarannya, dokumentasi dan publikasi terkait Gayo mesti terus digalakkan. Dalam hal ini, perlu perhatian, partisifasi, dan keseriusan Pemerintah Kabupaten (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah). Selain itu, apa pun yang menyangkut Gayo harus dikenalkan (ditransmisikan), khususnya melalui lembaga pendidikan, semacam muatan lokal. Apalagi, kepada generasi muda sekarang. Kalau tidak, Gayo akan ‘punah’ seiring pergantian waktu (Faiz Akbar/03)
Sumber http://www.lintasgayo.com/17433/gayo-kaya-keanekaragaman-hayati.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar