Rabu, 28 Maret 2012

Orang Batak Berasal dari Gayo?

MASYARAKAT Batak selama ini berkeyakinan, bahwa orang Gayo itu berasal dari Batak. Demikian pula sebagian masyarakat Gayo, memiliki keyakinan yang sama. Tetapi bagaimana dengan pembuktian ilmiah? Di Gayo ada dua klien (belah). Belah Uken dan Toa. Klien Toa, pada abad ke 16 M, didatangi oleh suku Batak- Karo, yang dikenal dengan sebutan Batak 27. Pada saat Batak 27 datang ke Bebesen, di Gayo sudah lama berdiri kerajaan Linge, Kerajaan Bukit dan Syiah Utama, serta kerajaan kecil lainnya yang merupakan klien (belah) Uken. Datangnya Batak 27 ke wilayah Bebesen, melahirkan sebuah kerajaan baru (kerajaan Cik). Talpan (dari Fak-Fak Dairi), pimpinan Batak 27 ini kemudian masuk islam dan diberi nama Leube Kader. Talpan diangkat menjadi raja pertama Cik Bebesen (1607-1636M). Hingga kini di bekas wilayah kerajaan Cik itu masih terdapat marga seperti Munthe, Melala, Cibro, Tebe dan lainnya. Bagaimana dengan kerajaan sebelum berdirinya kerajaan Cik? Benarkah Orang Gayo berasal dari Batak, atau justru orang Batak berasal dari Gayo. Bukti sejarah yang berhasil dihimpun oleh tim peneliti arkelogi dari Balar Medan, justru membalikan keyakinan orang Batak. Bukan orang Gayo berasal dari Batak, tetapi orang Batak yang berasal dari Gayo? Balai Arkeologi (Balar) Medan sudah melakukan kajian arkelogis, antropologis, maupun etnoarkeologis di dua daerah ini ( Batak dan Gayo). Atas kajian berbagai aspek budaya yang ditemukan dalam penelitian, menunjukkan adanya indikasi yang kuat bahwa aktifitas budaya pra sejarah di Tanoh Gayo, khususnya babakan neolitik (megalitik), lebih tua dibandingkan dengan aktifitas di Tanah Batak. Tim arkeolog Balai Arkeologi (Balar) Medan yang dipimpin Ketut Wiradyana, melakukan penelitian di Aceh Tengah pada tiga loyang (gua/ceruk); Loyang Mendale, Ujung Karang dan Puteri Pukes. Tim Balar Medan ini juga sebelumnya telah melakukan penelitian di Tanah Batak. “Sampai saat sekarang ini saya belum menemukan adanya budaya Dongson (Tanah Batak) di bumi Gayo. Kita akan melakukan kajian lebih mendalam lagi tentang ini,” sebut Ketut, menjawab Waspada, Selasa (10/1) via selular. Menurut Ketut, yang kemudian menerbitkan buku “Merangkai Identitas Gayo”, ada beragam budaya yang dapat dibuktikan dari temuan bersejarah itu. Selain budaya Howabinh, kemudian disusul 3000 tahun sesudahnya kembali masuk budaya Austronesia- Howabin (Sumatralith). Berkemungkinan besar manusia Howabinh yang sudah beraktiftas di sekitar Danau Luttawar, berdampingan hidup dengan pendatang baru Austronesia. Apakah keturunannya ada di Gayo, itu yang perlu pembuktian lebih mendalam. Selain itu ciri ciri budaya Sahuyn-Kalanay (Filipina selatan, Indo Cina) serta bau budaya melayu (Asia Tenggara Daratan, Serawak, Kalimantan) dan budaya Lapita (Indonesia Timur dan Pasifik Barat), juga ada di Gayo. Hasil penelitian radiokarbon, menunjukkan bahwa migrasi beragam budaya ke dataran Tinggi Gayo berlangsung pada awal-awal penutur Astronesia menuju Barat Sumatra. Pada jaman mesolitik itu (7000-5000 tahun yang lalu), budaya Howabinh di Gayo sudah berkembang. Disusul jaman neolitik (3500-3000 tahun lalu) dengan adanya temuan berupa kapak lonjong, gerabah, anyaman dari rotan, serta cangkang hewan lunak, dari hasil penggalian di tiga loyang ini, menandakan adaya budaya berbagai fase di Gayo (Mesolotik dan neolitik). Aktiftas itu terlihat sampai sebelum masuknya Islam di Gayo. Awal-awal tahun Masehi, loyang masih menjadi daerah hunian di tepi danau. Apakah ada hubungannya manusia prasejarah di sana dengan penduduk Gayo sekarang, tes DNA nanti akan membuktikannya, dan dilanjutkan dengan penelitian lebih mendalam, sebut Ketut. Sementara di Tanah Batak didominasi oleh budaya Dongson (salah satu budaya berasal dari Veitnam Utara) yang perkembangannya sekitar 2500 tahun yang lalu. Budaya Dongson ini ditandai dengan adanya logam dan pola hias yang ditemukan di rumah Batak Toba, yang menggambarkan binatang atau manusia dengan hiasan bulu-bulu panjang. Selain itu pada masyarakat Karo dan Nias juga memiliki bentuk hiasan berupa anting-anting yang sama dengan salah satu bentuk hiasan bejana budaya Dongson, yang ditemukan dekat Phonm Penh, Kandal, Kamboja. Menurut tim Balar Medan, budaya besar lainnya yang berkembang di Nias maupun Sumatra Utara adalah budaya Megalitik. Ciri utamanya kepercayaan terhadap roh, adanya kepercayaan akan kehidupan sesudah mati. Budaya Howabinh yang masuk ke Tanah Gayo jauh lebih tua bila dibandingkan dengan budaya Dongson yang masuk ke Tanah Batak. Budaya Howabinh berkisar 7000-5000 tahun yang lalu, sementara budaya Dongson sekitar 3000-2500 tahun yang lalu. Menjawab Waspada, Ketut menjelaskan, bila dihitung generasi, satu generasi itu sekitar 25 tahun. Di Gayo sudah hidup sekitar 296 atau 300 generasi, sementara di Batak berkisar antara 140 generasi. Penemuan situs di Gayo ternyata lebih tua bila dibandingkan dengan Sumatra Utara. Prof. Dr. Bungaran A. Simanjuntak menanggapinya serius. Dalam kata pengantarnya di buku Gayo Merangkai Identitas, Bungaran menyebutkan, tiori selama ini telah dipercayai dan terekam di memori orang Batak, bahwa Gayo itu berasal dari Batak. Gayo dan Alas adalah sub-sub suku bangsa Batak, sebut Bungaran. Namun dengan temuan Balar Medan, tiori ini bisa jungkir balik (masih akan diteliti secara mendalam lagi). Justru suku bangsa Batak berasal dari Gayo. Atau justru bangsa Gayo bukan sub suku bangsa Batak. Bisa jadi sederajat, seayah seibu, orang Gayo yang lebih dahulu datang ke Sumatra, baru disusul suku bangsa Batak. Diharapkan, sebut Bungaran Simanjuntak, perlu adanya penelitian lebih mendalam lagi agar terang benderang. Ini sangat penting untuk diungkap secepatnya. Perbedaan tahun budaya antara Gayo dan Batak terlihat jelas. Temuan arkeolog Balar Medan ini sudah menghilangkan kekeberen (cerita dari mulut ke mulut secara turun temurun) di Gayo. Dimana sebagian orang tua di Gayo dalam kekeberennya menyebutkan bahwa orang Gayo itu berasal dari Batak. Namun bukti ilmiah, setelah tim Balar Medan yang telah menggali tiga loyang di pinggiran Danau Lot Tawar, mematahkan kekeberan itu. Budaya Gayo (Howabinh) jauh lebih tua bila dibandingkan dengan budaya Dongson di Batak. (Bahtiar Gayo)
Sumber : Waspada edisi 11 Januari 2012

Minggu, 25 Maret 2012

Buku 'Tutur Gayo' Segera Terbit dan Dijual Rp. 35. 000

Jakarta | Lintas Gayo – Tak lama lagi, buku “Tutur Gayo” segera diterbitkan. Buku ini berisi tentang pengertian, faktor sosio-kultural munculnya, klasifikasi, pembagian, fungsi, kurangnnya penggunaan, dan adanya bentuk (variasi) tutur baru. Sebab, dalam perkembangan kekinian masyarakat Gayo, tutur kurang dikenal. Bahkan, ada kecenderungan mulai ditinggalkan. “InsyaAllah, akhir bulan ini atau awal April sudah terbit,” kata penulisnya, Yusradi Usman al-Gayoni di Jakarta, Jum’at (23/3/2012).

Namun, kata Yusradi melanjutkan, ada perubahan judul, dari Ekspresi Tutur Gayo jadi Tutur Gayo. Perubahan itu tidak terlepas dari masukan pembaca Lintas Gayo (LG). Dari 50 orang yang disounding-nya, ada 7 orang yang bersedia membantu dan sudah mengirimkan partisifasi donasinya. “Di total-total, alhamdulillah, ada 4 juta. Melihat dana yang masuk, saya tidak tahu pasti, apakah bisa sampai 1000 eks? Mungkin, 500 eks atau kurang. Berapa pun, insyaAllah, tetap kita terbitkan,” katanya bersemangat.

Terkait harga buku itu, Yusradi, mengatakan, akan dijual Rp. 35.000/buku. Hasil penjualan buku tersebut, sambungnya, nantinya akan dipakai untuk menutupi kekurangan dana percetakan. Disamping itu, digunakan buat dana penelitian, pengumpulan bahan-bahan, dan dana awal percetakan buku-buku selanjutnya. Termasuk, dari penulis Gayo lainnya.

Soalnya, ungkapnya lagi, ada satu buku lagi yang sudah rampung ditulisnya. Dan, dua lagi mau rampung. Salah satunya, Kamus Istilah Tutur Gayo (sudah 70%). Akibatnya, kegiatan ini tetap bisa berjalan. Dan, bisa dilakukan secara berkelanjutan. “Kalau biografi pak Moese alm, ‘sudah aman.’ Karena, dana percetakannya sudah dihandle keluarga di Takengon,” ungkapnya. Selanjutnya, sambungnya, penjualan dan pendistribusiannya akan dibantu LG/Forum (For) Lintas Gayo di masing-masing daerah. Atau, langsung ke Reseach Center for Gayo.

“Sebagai ucapan terima kasih, saya akan menyurati donatur melalui RCfG, merincikan donatur dan besaran donasinya, serta menyertakan (mengirimkan) buku tadi. Juga, menjelaskan sejarah RCfG dan kegiatan-kegiatan yang telah dan akan dilakukan RCfG ke depan. Masalahnya, lebih ke persoalan trust (kepercayaan). Ini mesti kita jaga,” sebutnya (Sastra).

Sumber: Media Online Lintas Gayo (24 Maret 2012)

Biografi A.R.Moese “Sang Maestro” Segera Terbit


Takengon | Lintas Gayo - Setelah empat tahun, akhirnya buku biografi A.R. Moese “A.R. Moese Sabdin: Perjalanan Sang Maestro” segera diterbitkan. “InsyaAllah, dalam waktu dekat, biografi almarhum suami saya akan diterbitkan,” kata Ani, isteri Moese di Takengon, Senin (12/3/2012)

Empat tahun lalu, jelas Ani, buku ini seharusnya sudah diterbitkan. Pada waktu itu, ada pihak tertentu yang berkeinginan mencetak buku ini. Sayangnya, tidak jadi. Karena, sudah terlalu lama. Akhirnya, keluarga berinisiatif dan mendanai sendiri biaya percetakan buku ini.

“Secara pribadi dan atas nama keluarga, saya mengucapkan terima kasih banyak kepada Yusradi Usman al-Gayoni, yang telah menulis buku ini. Paling tidak, nantinya, buku ini bisa jadi bahan bacaan keluarga, ” ungkapnya.

Oleh karena keterbatasan dana yang dimiliki keluarga, ungkapnya, buku ini hanya dicetak 500 eks. Karenanya, kalau ada pihak-pihak tertentu yang mau membantu dan ikut berpartisifasi, pihak keluarga tidak menolaknya. “Ike ara si mu bantu, sukur Alhamdulillah, Win,” kata Ani dalam bahasa Gayo, jika kalau ada yang mau membantu, syukur Alhamdulillah, Win.

Dihubungi secara terpisah, Yusradi, mengaku senang atas rencana penerbitan buku tersebut. “Akhirnya, buku saya insyaAllah terbit juga. Pun, harus menunggu empat tahun,” sebutnya.
Moese merupakan tokoh penting dan berkontribusi besar terhadap pertumbuh-kembangan musik di tanoh Gayo. Baginya, Moese adalah bapak musik Gayo. Untuk itu, dedikasi Moese mesti dihargai. Misalnya, sarannya, dengan memakai nama almarhum untuk nama jalan, gedung kesenian, rumah musik, atau nama penghargaan, seperti Moese Award (penghargaan untuk bidang musik).

Ditanya soal motivasi menulis biografi almarhum Moese, Yusradi menyatakan setidaknya dirinya sudah berupaya menyelamatkan sejarah sang maestro tersebut, urang Gayo, dan tanoh tembuni.

“Sejarah Gayo yang banyak tercecer sudah diwariskan dalam bentuk catatan,” kata Yusradi yang mengaku sempat menyampaikan naskah buku ke sejumlah pihak terkait di Provinsi Aceh dan di Aceh Tengah sendiri untuk di cetak namun hingga saat ini belum ada kabar. (Kha A Zaghlul/Red.03)

sumber: http://www.lintasgayo.com/20788/biografi-a-r-moese-sang-maestro-segera-terbit.html