Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
foto: skyscrapercity.com
Salah satu isu yang hangat dibicarakan banyak pihak dewasa ini adalah soal lingkungan. Betapa tidak, perubahan iklim (climate change) akibat efek rumah kaca berimplikasi pada naiknya permukaan air laut, secara massive sangat memengaruhi kehidupan sosial di kawasan kepantaian termasuk di kawawan pegunungan. Hal tersebut semakin menekan terjadinya pelbagai perubahan ragawi lingkungan. Dengan kata lain, tekanan terhadap lingkungan turut terjadi. Satu diantara perubahan yang paling dirasakan adalah terjadinya pergeseran nilai, norma, dan kultur masyarakat tempatan. Lebih spesifik, terjadi pelbagai perubahan pada bahasa. Bahasa berada diambang kritis, yang semakin sulit untuk “hidup,” bertahan, dan terwaris pada pemakai yang lebih muda. Belum lagi, dengan adanya hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional, dan nasional yang semakin mengkhawatirkan keberadaan bahasa-bahasa minoritas di sebuah kawasan.
Perubahan timbal balik antara lingkungan dan bahasa di atas lah yang coba diakrabi melalui kajian ekolinguistik. Ekolinguistik terbilang baru dalam kajian Linguistik. Dalam istilah lain, kajian ini dikenal pula dengan istilah ekologi bahasa. Sebetulnya ada empat istilah yang merujuk pada kajian ini, yaitu linguistic ecology, ecological linguistics, the ecology of language/language ecology, dan ecolinguistics (Lechevrel, 2009: 5). Sementara itu, dalam bahasa Indonesia dikenal istilah ekologi linguistik, linguistik ekologi, ekologi bahasa/bahasa ekologi, ekologi bahasa, dan ekolinguistik (al-Gayoni, 2010:25). Dalam bahasa lain, dikenal pula istilah Ecologie des langues/Ecologie du langage, Linguistique ecologique, Ecologie linguistique dan Ecolinguistique (Perancis), Okologie der Sprache/sprachologie, Okologische Linguistik, Linguistik Ekologie dan Okolinguistik (Jerman), serta Ecologia des las lenguas, Ecologia linguistic dan Ecolinguistica (Spanyol) (Lechevrel, 2009:5 dalam al-Gayoni, 2010: 26)
Kajian ini ini pertama kali dikenalkan Einar Haugen dalam tulisannya yang bertajuk Ecology of Language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah ekologi bahasa (ecology of language) dari istilah lain yang bertalian dengan kajian ini. Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya, yang mana para pakar bahasa dapat berkerjasama dengan pelbagai jenis ilmu sosial lainnya dalam memahami interaksi antarbahasa (Haugan dalam Fill& Mühlhäusler, 2001:57)
Pengertian Ekolinguistik dan Ekologi
Ekologi bahasa menurut Haugen, adalah
Language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment (Haugen, 1972, dalam Peter, 1996: 57).
Ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antarbahasa yang ada dengan lingkungannya (terjemahan penulis)
Fill (1993:126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.) (2000), mendefinisikan ekolinguistik sebagai berikut.
Ecolinguistics is an umbrella term for ‘[…] all approaches in which the study of language (and languages) is in any way combined with ecology’.
Ekolinguistik merupakan payung istilah terhadap ‘[…] semua pendekatan studi bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikombinasikan dengan ekologi (terjemahan penulis)
Sementara itu, Mühlhäusler, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University, menyebutkan
“Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times” (p.2)
Ekologi adalah studi tentang hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat fungsional. Dua parameter yang hendak kita hubungkan adalah bahasa dan lingkungan/ekologi. Tergantung pada perspektif yang digunakan baik ekologi bahasa maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperlukan bagi kelangsungan mahluk hidup, seperti halnya dengan faktor-faktor yang memengaruhi kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini (hal. 2) (terjemahan penulis)
Crystal (2008: 161-162) dalam kamus A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition, menjelaskan bahwa
ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis – reflecting the notion of ecology in biological studies – in which the interaction between language and the cultural environment is seen as central; also called the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the importance of individual and community linguistic rights, and the role of language attitudes, language awareness, language variety, and language change in fostering a culture of communicative peace.
ekolinguistik (nomina) dalam linguistik, sebuah perhatian– merefleksikan sifat ekologi dalam studi biologis – yang mana interaksi antara bahasa dan lingkungan kultural dilihat sebagai inti: disebut pula dengan ekologi bahasa, ekologi linguistik dan kadang-kadang linguistik hijau. Pendekatan ekolinguistik menyoroti nilai keragaman linguistik di dunia, pentingnya hak linguistik dari individu dan komunitas, peranan sikap, kesadaran, variasi, dan perubahan bahasa dalam mengembangkan sebuah budaya perdamaian yang komunikatif (terjemahan penulis)
Sementara itu, istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos, yang berarti house, man’s immediate surroundings. Ricklefs (1976:1) dalam bukunya The Economy of Nature A Textbook in Basic Ecology mendefinisikan ekologi sebagai berikut
Ecology is the study of plants and animals, as individuals and together in populations and biological communities, in relation to their environments – the physical, chemical, and biological characteristics of their surroundings.
Ekologi merupakan studi yang mempelajari tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewanan sebagai individu dan secara bersamaan dalam populasi dan komunitas biologis dalam kaitannya dengan lingkungannya – fisik, kimia, dan karakteristik biologis lingkungannya (terjemahan penulis)
Disamping itu, Haeckel (1870) dalam Ricklefs (1976:2) menerangkan
“By ecology,” he wrote, “we mean the body of knowledge concerning the economy of nature – the investigation of the total relations of the animal both to its organic and to its inorganic environment; including above all, its friendly and inimcal relation with those animals and plants with ehich it come directly or indirectly in contact – in a word, ecology is the study of all the complex interrelations referred to by Darwin as the conditions of the struggle for existence.”
terkait ekologi, ‘beliau menulis “kita artikan pokok ilmu pengetahuan mengenai ekonomi alam – penelitian hubungan mutlak dari hewan baik lingkungan organik maupun non-organik; termasuk secara keseluruhan, keramahtahamannya dan hubungan inimcal dengan hewan-hewan tersebut dan tanaman-tanaman dengan ehich yang datang dalam kontak secara langsung atau tidak langsung – dalam kata lain, ekologi adalah studi keseluruhan hubungan intra yang kompleks yang dirujuk Darwin sebagai kondisi perebutan eksistensi” (terjemahan penulis)
Dengan demikian, kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik). Lingkungan tersebut adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam sebuah masyarakat. Situasi dwi/multi bahasa inilah yang mendorong adanya interaksi bahasa. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi sosial sangat memengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya (al-Gayoni, 2010:31).
Kajian Ekolinguistik
The discipline of ecolingusitics is traditionally divided into two main branches, eco-critical discourse analysis and linguistic ecology. Eco-critical discourse analysis includes, but is not limited to, the application of critical discourse analysis to texts about the environment and environmentalism, in order to reveal underlying ideologies. In its fullest formation, it includes analysis of any discourse which has potential consequences for the future of ecosystems, such as neoliberal economic discourse and discursive constructions of consumerism, gender, politics, agriculture and nature. Eco-critical discourse analysis does not just focus on exposing potentially damaging ideologies, but also searches for discursive representations which can contribute to a more ecologically sustainable society (Sumber: Wikipedia).
Secara tradisional, ekolinguistik dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu analisis wacana eko-kritis dan ekologi linguistik. Wacana eko-kritis tidak terbatas pada pengaplikasian analisis wacana kritis terhadap teks yang berkenaan dengan lingkungan dan pihak-pihak yang terlibat dalam lingkungan dalam pengungkapan ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian ini menyertakan pula penganalisisan pelbagai macam wacana yang berdampak besar terhadap ekosistem mendatang. Misalnya, wacana ekonomi neo-liberal, ketak-terhubungan dari konstruksi konsumerisme, gender, politik, pertanian dan alam. Disamping itu, wacana eko-kritis bukan sebatas memokuskan pada penulusuran ideologi-ideologi yang berpotensi merusak, melainkan mencari representasi diskursif yang dapat berkontribusi terhadap keberlangsungan masyarakat secara ekologis (Sumber Wikipedia) (terjemahan penulis).
Haugen (1970) dalam Mbete (2009:11-12) menyebut, ada sepuluh ruang kajian ekologi bahasa, antara lain, pertama linguistik historis komparatif, menjadikan bahasa-bahasa kerabat di suatu lingkungan geografis sebagai fokus kaji untuk menemukan relasi historis genetisnya. Kedua, linguistik demografi, mengkaji komunitas bahasa tertentu di suatu kawasan untuk memerikan kuantitas sumber daya (dan kualitas) penggunaan bahasa-bahasa beserta ranah-ranah dan ragam serta registrasinya (sosiolek dan fungsiolek). Ketiga, sosiolinguistik, yang fokus utama kajiannya atas variasi sistematik antara struktur bahasa dan stuktur masyarakat penuturnya. Keempat, dialinguistik, yang memokuskan kajiannya pada jangkauan dialek-dialek dan bahasa-bahasa yang digunakan masyarakat bahasa, termasuk di habitat baru, atau kantong migrasi dengan dinamika ekologinya. Kelima, dialektologi, mengkaji dan memetakan variasi-variasi internal sistem bahasa. Keenam, filologi, mengkaji dan menjejaki potensi budaya dan tradisi tulisan, propeknya, kaitan maknawi dengan kajian dan atau kepudaran budaya, dan tradisi tulisan lokal. Ketujuh, linguistik preskriptif, mengkaji daya hidup bahasa di kawasan tertentu di kawawan tertentu, pembakuan bahasa tulisan dan bahasa lisan, pembakuan tata bahasa (sebagai muatan lokal yang memang memerlukan kepastian bahasa baku yang normatif dan pedagogis). Kedelapan, glotopolitik, mengkaji dan memberdayakan pula wadah, atau lembaga penanganan masalah-masalah bahasa (secara khusus pada era otonomi daerah, otonomi khusus, serta pendampingan kantor dan atau balai bahasa). Kesembilan, etnolinguistik, linguistik antrofologi ataupun linguistik kultural (cultural linguistics) yang membedah pilih-memilih penggunaan bahasa, cara, gaya, pola pikir dan imajeri (Palmer, 1996 dalam Mbete, 2009), dalam kaitan dengan pola penggunaan bahasa, bahasa-bahasa ritual, kreasi wacana iklan yang berbasiskan bahasa lokal. Kesepuluh, tipologi, membedah derajat keuniversalan dan keunikan bahasa-bahasa. Berdasarkan cakupan ekolinguistik di atas, penelitian ini berhubungan erat dengan ekologi sosial yang membahas sosiolinguistik dan etnolinguistik.
Hubungan Bahasa dan Lingkungan
Terdapat hubungan yang nyata prihal pelbagai perubahan ragawi lingkungan terhadap bahasa dan sebaliknya. Dalam tulisannya Language and Environment, Mühlhäusler (hal. 3) menyebut, ada empat yang memungkinkan hubungan antara bahasa dan lingkungan. Semuanya menjadi subjek yang berbeda dari kajian linguistik pada satu waktu, atau pada waktu yang lain. Keempat hubungan tersebut adalah (1) Language is independent and self-contained (Chomsky, Cognitive Linguistics); (2) Language is constructed by the world (Marr); (3) The world is constructed by language (structuralism and post structuralism); (4) Language is interconnected with the world – it both constructs and is constructed by it but rarely independent (ecolinguistics).
Di Takengen, Kabupaten Aceh Tengah, khususnya di seputar Lut Tawar (Danau Lut Tawar) misalnya. Sebelumnya, penamaan kampung di seputar danau sebanyak 128 kampung (Saleh, 2009). Tetapi, saat ini, masyarakat Gayo, khususnya generasi muda tidak lagi mengenal nama-nama tempat tersebut. Hal tersebut terjadi karena adanya pelbagai perubahan sosio-ekologis yang berlangsung pada masyarakat seputar danau, seperti kebijakan penggabungan kampung, migrasi penduduk dari pelbagai kampung seputar danau baik di Aceh maupun ke luar Aceh khususnya ke Kabupaten Bener Meriah, bencana alam dan lain-lain (al-Gayoni, www.gayolinge.com, 24 Desember 2009). Karenanya, terdapat hubungan yang nyata terkait pelbagai perubahan ekologis terhadap bahasa. Lebih luas lagi, perubahan-perubahan ekologis tersebut turut memengaruhi nilai, ideologi dan budaya sebagai bagian dari identitas keetnikan sebuah masyarakat (al-Gayoni, 2010: 35-36).
Sebaliknya, bahasa sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak manusia. Hal tersebut dapat berimplikasi positif terhadap lingkungan fisik, ekonomis, dan sosial yaitu dengan terpelihara, adanya keseimbangan dan terwarisnya lingkungan yang ada kepada generasi berikutnya. Sebaliknya, dapat pula berdampak negatif dengan terjadinya pelbagai perubahan, ketidakseimbangan, dan kerusakan ekosistem. Dengan demikian, bahasa dapat mengarahkan penggunanya baik untuk hal-hal yang bersifat konstruktif maupun yang bersifat destruktif terkait lingkungan (al-Gayoni, 2010: 36).
DAFTAR PUSTAKA
A. Creese, P. Martin and N. H. Hornberger (eds.). 2008. Encyclopedia of Language and Education 2nd Edition, Volume 9: Ecology of Language, i-vi. Springer Science+Business Media LLC
Adisaputera, Abdurrahman. 2009. “Potensi Kepunahan Bahasa Pada Komunitas Melayu Langkat Di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.” LOGAT Journal Ilmiah Bahasa dan Sastra. Volume No. 1 April Tahun 2009
Ak, Mustafa. 2009. “Tutur dan Keharmonisan Dalam Rumah Tangga.” Tabloid Ara News. Edisi 01-Tahun Ke-1, Januari 2009
Akbar, Osra M., et all. 1985. Pemetaan Bahasa Aceh, Gayo, dan Alas. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan..
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2006. The Use of Vernacular Language Among the Gayonese Students of Sumatera Utara University (Skripsi). Medan: Departemen Sastra Inggris USU
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Bahasa Kaya yang akan Punah.” Bahan Talk Show Radio Amanda Takengen, 20 Agustus 2009
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “’Greenspeak,’ Menuju Keseimbangan Lingkungan.” Tabloid Gayo Land Edisi VI Thn II 2010, tanggal 9 Januari 2010
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Ditinggalkannya Bahasa Gayo.” www.gayolinge.com (27 Juli 2009)
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Ekologi Sosial Bertutur di Gayo.” www.gayolinge.com (8 Desember 2009) diakses 10 Desember 2009
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Fenomena Bertutur dalam Masyarakat Gayo.” Budaya Melayu Serumpun Kajian Linguistik, Sastra, Seni, dan Sosiobudaya (eds.) Tengku Silvana Sinar & Muhammad Takari. Hal. 270-282
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Hubungan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terhadap Pengurangan Kosa Kata Bahasa Daerah.” 2008
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Konsep Sosio-Ekologis Masyarakat Gayo dalam Pemeliharaan Ekosistem.” www.gayolinge.com (24 Desember 2009) diakses 26 Desember 2009
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. Bertutur di Tanoh Gayo. Takengen: Komunitas VisTaGa
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. Keterwarisan Bahasa Gayo. Takengen: Komunitas VisTaGa
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Campur Alih Bahasa Gayo.” www.theglobejournal.com (2 April 2010)
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Pengajaran Bahasa Berbasis Budaya.” www.theglobejournal.com (20 Februari 2010)
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. “Serial Petatah Petitih Gayo.” http://kenigayo.wordpress.com/2010/02/22/serial-petatah-petitih-gayo/ (22 Februari 2010)
al-Gayoni, Yusradi Usman. 2010. Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik (Tesis). Medan: Sekolah Pascarjana USU.
Aman Pinan, A.R. Hakim. 1993. 1001 Petatah Petitih Gayo. Takengon: Panitia Penerbitan Buku Adat dan Budaya Gayo
Aman Pinan, A.R. Hakim. 1998. Hakikat Nilai – Nilai Budaya Gayo Aceh Tengah. Takengon: Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah
Arka, I Wayan. “Kompleksitas pemertahanan dan revitalisasi bahasa minoritas di Indonesia: Pengalaman Proyek Dokumentasi Rongga, Flores”
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Aceh Tengah. 2009. Aceh Tengah Dalam Angka 2009. Takengen: BPS Kabupaten Aceh Tengah berkerjasama dengan BAPPEDA Kabupaten Aceh Tengah
Baihaqi A.K., et all. 1981. Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Bastardas-Boada, Albert. “Language Planning and Language Ecology: Towards a Theoretical Integration.” Conference 30 Years of Language and Ecology, Graz, Austria, 2000.
Bastardas-Boada, Albert. 1995. “Language Management and Language Behavior Change: Policies and Social Persistence.” International Journal of Catalan Culture, Vol. IX, n. 2, 1995
Bastardas-Boada, Albert. 2004. “Linguistic Sustainability for a Multilingual Humanity.” the plenary speech for the X Linguapax Congress on ‘Linguistic Diversity, Sustainability and Peace’, Forum 2004, Barcelona.
Bastardas-Boada, Albert. 2005. “Linguistic Sustainability and Language Ecology.” Language & Ecology Maret 2005
Bernard, Spolsky. 1998. Sociolinguistics. New York: Oxford University Press
Blommaert, Jan. 2005. Discourse A Critical Introduction. States of America: Cambridge University Press
Bowen, John R. 1991. Sumatran Politics and Poetics: Gayo History, 1900-1989. United States of America: Yale University
Bowen, John R. 1993. Muslims through Discourse. United Kingdom: Princeton University Press
Bowers, C.A. 2009. “The Language of Ecological Intelligence.” Language & Ecology Vol. 3 No. 1 2009
Bowers, C.A. 2010. “The Insights of Gregory Bateson on the Connections between language and the ecological crisis.” Language & Ecology Vol. 3 No. 2 2010
Coupland, Nikolas. 2007. Style Language Variation and Identity Key Topics in Sociolinguistics. United Kingdom: Cambridge University Press
Crystal, David. 2000. Language Death. United Kingdom: Cambridge University Press
Crystal, David. 2008. A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing
Dardanila. 2006. Pronomina Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut (Tesis). Medan: Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
De, Ani Kumar&Arnab Kumar De. 2009. Environtment and Ecology. New Delhi: New Age International P Limited Publishers
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981. Bahasa Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1985. Kata Tugas Bahasa Gayo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Dillon, Denise. 2010. “People, environment, language and meaning: values in nature and the nature of ‘values.” Language and Ecology Vol. 3 No. 2 2010
Downes, William. 1984. Language and Society. Great Britain: The Chaucer Press.
Eades, Domenyk. 2005. A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra. Australia. Pacific Linguistics Research School of Pacific and Asian Studies
Fasold, Ralph. 1990. Sociolinguistics of Language. United Kingdom: Blackwell Publishing
Fill, Alwin and Peter Mühlhäusler. 2001. The Ecolinguistics Reader Language, Ecology and Environment. London: Continuum
Gargan, Michelle. 2007. “Magic Romance: on Perfume, Language and Environment.” Language & Ecology 2007
Gaur, R.C. 2008. Basis Environmental Engineering. New Delhi: New Age International P Limited Publishers
Grabowski, Ian. 2007. “Consumed by consumerism: the persuasive discourse of financial institutions. Language & Ecology Vol. 2 No. 2 2007
Haenn, Nora and Ricard R. Wilk. 2006. The Environment in Anthropology A Readear in Ecology, Culture, and Sustainable Living. United States of America: New York University Press
Halliday, M. A. K. 2001 “New Ways of Meaning: The Challenge to Apllied Linguistics” dalam Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (eds.) The Ecolinguistics Reader Language, Ecology and Environment. London and New York: Continuum.
Hellinger, Marlis & Anne Pauwels. 2005. Handbook of Language and Communication Diversity and Change. United States of America: Lawrence Erlbaum Associates
Hickey, Leo and Miranda (eds.). 2005. Stewart. Politeness in Europe. Great Britain: The Cromwell Press
Huebner, Thom (ed.). 1996. Sociolinguistic Perspectives Papers on Language in Society, 1959-1994 Charles A. Ferguson. New York: Oxford University Press
Hurgronje, C. Snouck. 1996. Masyarakat Gayo dan Kebudayaan Awal Abad ke-20; Penerjemah Hatta Hasan Aman Asnah. – Cet 1 – Jakarta: Balai Pustaka (235-239)
Hurgronje, C. Snouck. 1996. Tanoh Gayo dan Penduduknya: Penerjemah Budiman S. Jakarta: Balai Pustaka
Hymes, Dell. 1974. Foundations in Sociolinguistics An Ethnographic Approach. Philadelpia: University of Pennsylavania Press
Ibrahim, Idris., et all. 1984. Sistem Perulangan Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Ibrahim, Mahmud. 2002. Syariat dan Adat Istiadat Jilid I. Takengen: Yayasan Maqamam Mahmuda
Ibrahim, Mahmud. 2009. Syariat dan Adat Istiadat Jilid II. Takengen: Yayasan Maqamam Mahmuda
Kuha, Mai. 2009. “Uncertainty about causes and effects of global warming in U.S. news coverage before and after Bali.” Language & Ecology Vol. 2 No. 4 2009
Lechevrel, Nadege. “The Interwined Histories of Ecolinguistics and Ecological Approaches of Language (s) Historical and Theoretical Aspects of a Research Paradigm”
Lindo, Anna Vibeke and Jeppe Bundsgaard (eds). 2000. Dialectical Ecolinguistics Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Austria: Univerisity of Odense Research Group for Ecology, Language and Ecology
Madjid, M. Dien. 2010. “Spektrum: Kebesaran Gayo Dalam Sejarah.” Makalah Seminar Expo Budaya Lueser 2010, Takengen, 27-29 Maret 2010.
Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MAANGO). “Struktur Organisasi Dan Tata Kerja Kerajaan di Bumi Gayo.”
Majelis Adat Aceh Negeri Gayo (MAANGO). 2007. Kumpulan Butir-Butir Adat Negeri Linge, Qanun Hukum Adat Gayo, Qanun Organisasi Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo serta Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat. Takengen: MAANGO
Makam, Ibrahim., et all. 1985. Kata Tugas Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Mbete, Aron Meko dan Abdurrahman Adisaputera. 2009. “Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat Pada Komunitas Remaja Di Stabat, Langkat.”
Mbete, Aron Meko. 2002. “Ungkapan-Ungkapan Dalam Bahasa Lio Dan Fungsinya Dalam Melestarikan Lingkungan.” Linguistika, Vol. 19 No. 17, September 2002.
Mbete, Aron Meko. 2009. “Refleksi Ringan Tentang Problematika Keetnikan dan Kebahasaan dalam Perspektif Ekolinguistik.” Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III, USU Medan, 25 April 2009
Mbete, Aron Meko. 2009. “Selayang Pandang Tentang Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan Yang Prospektif.” Bahan Untuk Berbagi Pengalaman Kelinguistikan Dalam Matrikulasi Program Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2009
Melalatoa, M.J. 1981. Kebudayaan Gayo. Jakarta: Balai Bahasa
Melalatoa, M.J. 1985. Kamus Bahasa Gayo – Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Moeliono, Anton, et all. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Mufwene, Salikoko S. 2004. The Ecology of Language Evolution. United Kingdom: Cambridge University Press
Mühlhäusler, Peter and Ade Peace. “Discourse of Ecotourism: the Case of Fraser Island, Queensland.” Univeristy of Adelaide.
Mühlhäusler, Peter and Adrian Peace. “Environmental Discourse.” University of Adelaide
Mühlhäusler, Peter. “Creating Ecological Links through Language on Pitcairn and Norfolk.” University of Adelaide
Mühlhäusler, Peter. “Ecolinguistics in the University.”
Mühlhäusler, Peter. “Laguage and Environment.” University of Adelaide
Mühlhäusler, Peter. “Laguage as an Ecological Phenomenon” (For the Linacre Journal: a Review of Research in the Humanities). Adelaide University.
Mühlhäusler, Peter. “Thinking Ecologically.” University of Adelaide
Mühlhäusler, Peter. 1996. Linguistic Ecology Language Ecology and Linguistic Impealism in the Pacific Region. London: Routledge
Murni, Sri Minda. 2009. Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara (Disertasi Doktor). Medan: Program Doktor Linguistik USU
Nettle, Daniel and Suzzane Romaine. 2000. Vanishing Voices the Extinction of the World's Languages. New York: Oxford University Press
Numberi, Freddy. 2009. Perubahan Iklim Implikasinya Terhadap Kehidupan Di Laut, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Fortuna Prima Makmur
Orr, David W. 2004. The Nature of Design Ecology, Culture, and Human Itention. New York: Oxford University Press
Paripurno, Eko Teguh dan Siti Maemunah (eds.). 2009. Datang, Gali &Pergi, Potret Penutupan Tambang di Indonesia. Jakarta: Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Penelitian Studi Hubungan Pusat dan Daerah Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dengan Universitas Pattimura. 2009. Hak-Hak Adat Kelautan Masyarakat Pesisir Di Provinsi Maluku. Ambon: Lembaga Penelitian Universitas Pattimura
Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU). 2009. Buku Pedoman Tata Cara Penulisan Tesis dan Disertasi 2009. Medan: Program Pascasarjana Linguistik
Ricklefs, Robert E. 1976. The Economy of Nature A Textbook in Basic Ecology. New York: Chiron Press Incorporated
Robinson, W. Peter. 2003. Language in Social Worlds. United Kingdom: Blackwell Publishing
Ross, Don. 2007. “H. sapiens as ecologically special: what does language contribute?” Published in Language Science 29: 710-731, 2007
Saleh, M. Jusin. “Sosial Budaya Masyarakat di Sekitar Danau Laut Tawar.” Makalah Workshop “Selamatkan Danau Laut Tawar.” Op Room Sekdakab Aceh Tengah, Takengen, 22 November 2009
Saleh, M. Jusin. 2009. “Gayo Bertutur”
Sariyan, Awang. 2007. Santun Berbahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Satria, Arif. 2010. “Keadilan Ekologis.” Kompas, 22 April 2010
Saville-Troike, Muriel. 2003. The Ethnography of Communication an Introduction 3rd Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing
Setia, Eddy. 2009. “Bahasa, Ekologi, dan Masyarakat: Upaya Pengayaan Bahasa Nasional.” Makalah dalam Seminar Bahasa&Sastra Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Medan, tanggal 29-31 Desember 2009
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Penerbit Poda
Simbolon, Parakitri T. 1999. Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kedudayaan (PMB)-LIPI dan The Ford Foundation.
Sinar, Tengku Silvana. 2010. “Upaya Penelitian dalam Merawat Kearifan Lokal.” Harian Analisa Medan, 7 Februari 2010
Skutnabb-Kangas, Tove& Robert Phillipson. “Language Ecology.”
Soravia, Guilio. 1984. A Sketch of the Gayo Language. Unpublished Manuscript, Catania: Gruppo Linguistico Catanese Studi Or. No. 1
Stibbe, Arran. 2004. “Environmental Education Across Cultures: Beyond the Discourse of Shallow Environmentalism.” Language and Intercultural Communication. Vol 4 No. 4 2004
Stibbe, Arran. 2005. “Counter-discourses and the relationship between humans and other animals.”
Stibbe, Arran. 2008. “Words and worlds: New Direction for Sustainability Literacy.” Language & Ecology 2008 Vol. 2 No. 3
Sudaryanto. 1993. Metode Dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press
Suparwa, I Nyoman. “Ekologi Bahasa Dan Pengaruhnya Dalam Dinamika Kehidupan Bahasa Melayu Loloan Bali”
Syukri. 2009. Sarakopat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relavansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Hijri Pustaka Utama
van Lier, Leo. 2004. The Ecology and Semiotics of Language Learning A Sociocultural Perspective. United States of America: Kluwer Academic Publishers
Verhagen, Frans C. 2008. Worldviews and Metaphors in the Human-Nature Relationship: an Ecolinguistic Exploration Through the Ages. Language & Ecology Vol. 2 No. 3 2008
Wahab, M. Salim. 2008. Tata Bahasa Gayo Lues. Belangkejeren: Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Kabupaten Gayo Lues
Waton, Fidelis Regi. 2010. “Tahun Diversitas.” Kompas, 19 Januari 2010
Watts, Richard J. 2003. Key Topics in Sociolinguistics Politeness. New York: Cambridge University Press
Wikipedia. 2009. “Ecolinguistics.” http://en.wikipedia.org/wiki/Ecolinguistics (diakses tanggal 24 Desember 2009)
Williams, Rachel. 2007. “On voit grand. Tres grand: Language and the construction of nature across cultures.” Language & Ecology 2007
Wright, Will. 1992. Wild Knowledge Science, Language, and Social Life in a Fragile Environment. United States of America: University of Minnesota Press
Zunino, Francesca. 2009. “Different degrees of natural: New encounters and old discourse of Amazonian original peoples.” Language & Ecology Vol. 2 No. 4 2009
* Dosen STKIP Muhamadiyah Aceh Tengah & Staf Ahli/Asisten Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) asal Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar