Kamis, 28 Juli 2011
Blang atau Belang (Sebuah Tanggapan untuk Syamsuddin Said)?
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Penulis kembali merasa tergelitik untuk menulis kembali soal penulisan nama ibu kota Kabupaten Gayo Lues. Terlebih, setelah membaca tulisan Syamsuddin Said dalam Lentayon Edisi II Tahun ke-1 2011. Yang manakah penulisan yang benar, blang atau belang? Persoalan ini menarik dicermati, karena menyangkut tata penulisan yang benar dan baik dalam bahasa Gayo (morfologi bahasa Gayo). Lebih dari itu, kata tersebut mengandung makna filosofis, historis, dan sosio-kultural masyarakat Gayo Lues. Terakhir, meski hanya satu kata, namun identitas orang Gayo ada di dalamnya.
Dewasa ini, di tanoh Gayo cenderung terjadi kesalahan penulisan kata dalam bahasa Gayo, khususnya yang merujuk pada nama tokoh, kampung (daerah), dan nama jalan. Salah satunya adalah penulisan kata blang tadi. Selain itu, ada blang mersa, blang bebangka, dan lain-lain. Kecenderungan kedua adalah adanya pengalihbahasaan kata tertentu dalam bahasa Gayo ke bahasa lain. Misalnya, singah mata→singgah mata, peteri ijo→puteri ijo, atu lintang→batu lintang, dan lain-lain. Apakah penulisan tersebut disengaja atau sebaliknya? Kemudian, apakah karena ketidaktahuan atau ketidakmautahuan?
Berangkat dari hal di atas, nyata sekali kalau, pertama: orang Gayo sendiri kurang mensyukuri warisan leluhur mereka. Kedua, kurang (“tidak”) menghargai bahasa, sejarah, dan budaya mereka sendiri. Pada hakikatnya, mereka yang merendahkan, meninggalkan, dan mengasingkan budayanya sendiri. Hal tersebut lebih disebabkan karena ketidaktahuan dan ketidakmautahuan seperti pertanyaan di atas. Akibatnya, mereka merasa gengsi, malu, inferior, dan permisif. Alhasil, terjadi-lah hal di atas. Lebih luas, dalam berbahasa, mereka (sesama orang Gayo) lebih berbahasa kede (bahasa Indonesia) dibandingkan berbahasa Gayo.
Dalam tulisannya yang bertajuk “Asal Usul Kota BlangKejeren,” Syamsuddin Said menuliskan bahwa kata Blangkejeren’ terdiri dari suku kata, yaitu ‘blang’ dan ‘kejeren’. Akan tetapi, kemudian, lama-kelamaan menjadi satu seperti sekarang ‘Blangkejeren’ (hal 19). Selanjutnya, kemungkinan ‘blangkejeren’ berarti ‘lapangan kejurun’ atau ‘lapangan raja’. Kenapa disebut demikian? Karena zaman dahulu, penguasa tertinggi di Gayo Lues adalah raja dengan gelar kejurun, yaitu kejurun petiambang dan kejurun dagang. Dibawahnya, ada raja, yaitu Raja Bukit, Reje Kemala, dan Raja Kemala Derna. Di bawah itu lagi, ada beberapa raja cik. Ada dugaaan pada setiap tahun, raja-raja di Gayo Lues berkumpul di situ untuk menyaksikan pertunjukkan kesenian rakyat pada hari raya idul fitri (hal 20). Sayangnya, kapan orang Gayo bermigrasi ke sini? Dan kapan “ kota ” ini terbentuk? tidak ditemukan dalam tulisan tersebut. Pastinya, masih menjadi teka-teki gelap sejarah.
Namun, tulisan Syamsuddin Said sangat berharga dan bermanfaat dalam menjejaki asal muasal dan makna kata ‘blangkejeren’. Pertama, terkait penulisan kata ‘blang’ atau ‘belang’, penulis sendiri lebih cenderung ‘belang’ dibandingkan ‘blang.’ Masalah ini, pernah penulis uraikan dalam ‘Lentayon pada Edisi VII Thn III 2009’ yang isinya dikutip sebagai berikut
Dalam konteks morfologi, penulisan kata pada bahasa Gayo, jarang ditemukan pola KK (konsonan-konsonan). Untuk kasus bahasa daerah di Aceh, pola seperti itu dapat kita temukan salah satunya dalam bahasa Aceh. Sebaliknya, dalam bahasa Gayo lebih berpola KV (konsonan vokal) atau VK (vokal konsonan) seperti dalam kata gule, kupi, ume, uwe, dan lain-lain. Dengan demikian, kata blang harusnya ditulis dengan belang. Jadi, Blang Kejeren ditulis menjadi Belang Kejeren. Demikian halnya dengan nama kampung atau tempat yang sebelumnya ditulis dengan kata blang, harusnya ditulis jadi belang.
Lebih lanjut, bila kita merujuk ke Kamus Bahasa Gayo – Indonesia karya Prof. M.J. Melalatoa (Antrofolog UI), tidak ditemukan adanya kata blang tersebut dalam bahasa Gayo. Sebaliknya, yang ada kata belang yang berarti, pertama: lapangan, padang dan kedua: campuran makna (1982:28). Dari kajian fonetik atau bunyi, tekanan suara juga ada pada be bukan bl. Juga, tidak terjadi pelesatan pada kata ini “blang” tapi tetap dilafalkan belang. Jadi, dari mana asal mula kata tersebut? Dan apakah kata blang ini murni bahasa Gayo?
Kedua, dari tulisan Syamsuddin Said pula, penulis beranggapan bahwa ‘kejeren’ berasal dari kata ‘kejurun’ yang merujuk pada ‘kejurun petiambang’ dan ‘kejurun dagang’. Dari kata kejurun→kejeren, bisa dilihat bahwa terjadi inovasi pada kata ‘kejeren’. Tepatnya, pada vokal u→e (kejurun→kejeren). Bagaimana kata tersebut berinovasi? Dan kapan? Hal ini tidak terlepas dari proses awal migrasi orang Gayo ke Gayo Lues (sebelumnya bergabung bersama Kota Cane). Selain itu, dipengaruhi pula oleh kontak bahasa, budaya, etnik, dan lingkungan penutur (orang Gayo) pada masa itu. Dari perspektif linguistik, penelusuran tersebut bisa didalami dari kajian Linguistik Historis Komparatif (LHK) dengan mengkaji-banding kata tadi (kejeren) dengan kata pada bahasa-bahasa lainnya yang bermoyang sama dengan bahasa Gayo.
Ketiga, penulis sepakat dengan pernyataan awal Syamsuddin Said bahwa ‘blangkejeren’ terdiri dari suku kata, yaitu ‘blang’ dan ‘kejeren’. Dari sisi fonologi (bunyi), morfologi (kata), dan semantik (arti/makna), kata tersebut terdiri dari dua suku kata. Dengan demikian, penulisan kata tersebut harus dipisah menjadi ‘belang kejeren’ (bukan ‘blangkejeren’).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ‘belang kejeren’ terdiri atas dua suku kata, yaitu ‘belang’ tambah ‘kejeren’ dan dilafalkan terpisah. Dalam penulisannya, ‘blang’ ditulis ‘belang’ dan ‘blangkejeren’ ditulis terpisah, menjadi ‘belang kejeren’. Selanjutnya, ‘belang’ berarti lapangan atau padang . Sementara, ‘kejeren’ berasal dari kata ‘kejurun’ yang merujuk pada ‘kejurun petiambang’ dan ‘kejurun dagang’. Dengan demikian, kata ‘belang kejeren’ bermakna lapangan atau padang kejurun. Lapangan (belang) tersebut digunakan para raja (kejurun) yang ada di Gayo Lues sebagai tempat untuk berkumpul dalam acara, maksud, dan tujuan tertentu.
* Pengkaji/Pemerhati Bahasa, Kolektor Buku Gayo, dan Ketua Research Center for Gayo
Sumber: Majalah Lentayon, Edisi IV Thn I 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
a nge ruh ya bang,,,
BalasHapus