Selasa, 23 Maret 2010

‘Jujang’ & ‘Jangko’ untuk Kemajuan Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Tahun 2009, disepakati sebagai tahun kebangkitan ‘urang’ dan tanoh Gayo. Kesepakatan tersebut lahir dari kesadaran personal melihat realitas masa lalu, kekinian dan kerisauan masa depan ‘tanoh tembuni.’ Pelbagai persoalan melilit tanoh tembuni, dengan asa, harap dan penantian tanoh Gayo yang lebih baik. Kesadaran personal tersebut berujung pada kesadaran kolektif yang lebih luas. ‘Anak negeri’ menyadari betapa rapuhnya bangunan sosial budaya masyarakat Gayo. Eksistensi sosial masyarakat Gayo yang kian kritis di tengah alih budaya yang kurang. Wajah masa lalu yang masih belum terkuak. Yang ada, hanya sisa suhuf-suhuf yang tersebar. Dan, hilang seiring kepergian pelakunya. Akhirnya, kembali menjadi ‘kekeberen’ masa depan, asing bagi penerus dan di negeri ini ‘tanoh Gayo’. Belum lagi, dengan pijakan yang rapuh, bangunan dan wajah budaya Gayo kerap di hempas arus budaya yang cukup deras. Tak mustahil, bangunan budaya masyarakat ini runtuh seketika di tengah perkampungan budaya global.

Semangat kebangkitan tersebut perlu di pelihara, terlebih lagi bagi generasi Gayo yang lebih muda. Begitu juga dengan pemberdayaan kesadaran kolektif masyarakat Gayo harus terus di dorong dengan penyatuan visi bersama ‘be kekire naru.’ Visi bersama tersebut harus mampu menyentuh ‘ate dan ‘rasa’ masyarakat ini, yaitu dengan menyinggung soal eksistensi sosial tadi. Bangsa Gayo adalah bangsa minoritas yang kurang ‘diuntungkan’ dalam rangkaian sejarah. Karenanya, persoalan eksistensi tersebut perlu dikuatkan, ‘ke nge tikik pe, gelah cerdik, lisik, bidik den mersik’. Demikian halnya, dalam tataran misi bersama dan pelaksanaan di lapangan ‘langkah.’ ‘Urang dan tanoh Gayo’ harus bersatu ‘gelah musara.’ Berbicara soal Gayo, adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tidak ada Lut, Deret, Lues, Alas, Serbejadi/Lokop, Kalul, Uken dan Toa. Tidak menjadi soal dan tak bisa dipungkiri adanya perbedaan letak geografis. Namun, perbedaan geografis dengan penyebutan nama yang berbeda kemudian merupakan kekayaan, jati diri dan potensi dalam membangun tanoh Gayo. Perbedaan tersebut harus diterima sebagai sebuah pemberian ‘ethic of dignity,’ bukan sebagai pilihan ‘ethic of choice.’ Oleh karena itu, pelbagai potensi, semangat dan ruh ke-Gayo-an tersebut harus kerap dipertahankan untuk kemajuan dan tanoh Gayo yang lebih baik dalam perspektif yang luas dan berjangka panjang.

Selanjutnya, dalam tataran ‘langkah’ (misi), yang tak kalah penting, adalah prihal kaderisasi. Dalam sejarah organisasi sosial kemasyarakatan, kepemudaan dan kemahasiswaan Gayo sejak tahun 1940-an, rasanya hal ini masih kurang mendapat perhatian lebih. Dalam kurun waktu 70 tahun, kondisi organisasi tanoh Gayo cukup pluktuatif. Ada masa keemasan dengan pencapaian puncak dan sebaliknya masa kegelapan. Organisasi tersebut jatuh terjeramab, tidak lagi mampu bangun dan berjalan tegak. Masa keemasan tersebut ada pada kelahiran generasi 1930/1940-an. Selain itu, terdapat pula masa ‘pengkerdilan,’ dengan senioritas dan didominasi tokoh-tokoh tua. Tidak ada ruang kreasi, pengembangan dan aktulisasi diri bagi yang lebih muda. Akibatnya, roda kaderisasi tidak terjalan, alih generasi terputus dan tanoh Gayo kekurangan tokoh. Tidak ada tokoh alternatif dan sulit melahirkan tokoh baru di tengah kekritisan kondisi tersebut. Masa ini dialami generasi kelahiran 1970-an. Berbeda dengan kondisi sebelumnya, dan menyadari kekurangan dan pengalaman pahit sebelumnya, kelahiran 1970 sampai sekarang tidak lagi berjarak ‘nge murum musara.’ Hal tersebut dapat dilihat dalam pelbagai bentuk kegiatan belakangan. Secara keseluruhan, pang-pang Gayo masih terbatas, berterima dan diperhitungkan di pentas nasional. Terlebih lagi, menyangkut peran serta personal dan kolektif di dunia internasional. Kalau pun ada, jumlahnya masih hitungan jari dengan publikasi yang terbatas dan kurang dikenal masyarakat asalnya ‘urang/tanoh Gayo.’

Sisi lain, masih banyak yang tercecer dari perjalanan organisasi ini karena miskinnya dokumentasi. Kalau dikalkulasikan, sudah berapa banyak organisasi tanoh Gayo yang muncul sejak tahun 1940-an? Namun, rekam jejak, dinamika dan pluralitas organisasi dan pencapaian personal dan keorganisasian banyak yang hilang seiring pergantian waktu. Padahal, rekam jejak di maksud merupakan salah satu barometer pencapaian dan kontribusi ril masyarakat Gayo pada negeri ini. Sebaliknya, meski terseleksi secara sosial, keberadaan organisasi tersebut menceritakan banyak hal, untuk dijadikan pijakan bagi penerusnya. Sayangnya, cerita tertulis perjalanan organisasi tersebut tinggal angan-angan. Dan, penerus penerus Gayo tidak bisa belajar dari sejarah masa lalu mereka.

Selain kaderisasi dan miskinnya dokumentasi internal, kekurangan lain dari organisasi dan umumnya masyarakat Gayo, adalah kurangnya pengasahan jiwa ‘entrepreneurship.’ Semangat ‘entrepreneurship’ ini kurang ditumbuhkan baik secara personal maupun dalam organisasi. Padahal, dalam kurun waktu sebelumnya (masa penjajahan dari babakan sejarah Gayo), di tanoh Gayo lahir entrepreneur yang cukup dikenal dan tangguh, yaitu Aman Kuba yang pada masanya telah menembus pasar luar negeri. Namun, dalam waktu berikutnya, tanoh Gayo masih belum memiliki dan melahirkan ‘entrepreneur’ dengan ‘social responsibility’ seperti Aman Kuba. Persoalan inilah yang mesti dikuatkan melalui personal dan organisasi Gayo, sehingga ke depannya generasi Gayo bisa kuat secara ekonomi dan manpaatnya berdampak luas bagi ekonomi tanoh Gayo dan Aceh secara keseluruhan.

Dalam kurun waktu terakhir, organisasi Gayo tak ubahnya seperti ‘ampung-ampung pulo’ karena keroposnya kaderisasi, menguatnya urang-urang, keakuan dan semakin apatis terhadap keberadaan organisasi dan nasib urang/tanoh Gayo. Karena, keberadaan organisasi tersebut hanya sebagai pelengkap, tanpa memberikan manfaat yang lebih bagi diri, pengurus dan masyarakat tanoh Gayo. Gambaran tersebut bisa di lihat baik di Gayo maupun di luar tanoh Gayo (di perantauan). Keradaanya hanya sekedar pelengkap eksistensi sosial. Di lain pihak, banyak pula yang hilang akibat seleksi sosial itu sendiri. Namun, dalam implementasi kegiatannya lebih banyak yang bersifat seremoni ‘lahiriah’, salah satunya adalah ‘halalbilhalal’ yang dirangkai dengan pertunjukkan malam kesenian tanoh Gayo seperti tari guel, saman dan didong. Terakhir, kegiatan-kegiatan lahiriah di atas dikemas dalam bentuk Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) yang dilanjutkan dengan pemilihan pengurus baru, yang pertemuannya biasanya berlangsung di awal dan di akhir tahun. Lebih jauh, masih banyak persoalan substantif yang luput perhatian pengurusnya, terutama soal identitas, eksistensi sosial, entrepreneur dan umumnya menyangkut kelangsungan orang Gayo baik di Gayo maupun di luar tanoh Gayo (perantauan).

Karenanya, soal kaderisasi, eksistensi sosial, entrepreneurship, kelangsungan orang Gayo tambah pelbagai persoalan yang melilit tanoh Gayo perlu perhatian serius dari penerus tanoh Gayo hari ini dengan konsep ‘jujang’ dan ‘jangko’ (alang tulung beret be bantu). Secara teknis, orang Gayo perlu menyebar lintas geografis, keilmuan dan profesi. Kuat dan diperhitungkan di bidangnya masing-masing. Sementara, pang-pang Gayo yang lain ‘mu jujang’ dan yang lain ‘mu jangko.’ Setelah itu, perlu di bangun dan dikuatkan pijakan ‘tungkelen’ dengan alih generasi ‘gere mate pucuk’ dengan saling berkomunikasi dan berbagi ‘besitulung tempuhen.’ Selanjutnya, pelbagai potensi tersebut dipusatkan ‘mu tumpu’ ke tanoh Gayo. Pada akhirnya, orang/tanoh Gayo akan punya nilai tawar dan nilai jual lebih ‘i timang beret i juel mu rege.’ Namun demikian, semangat dan ruh kebangkitan perlu terus ditanamkan, komitmen dan konsistensi berbagi dan berbuat perlu senantiasa dijaga, terlebih kepada generasi mudanya. Tidak ada orang lain yang akan memperbaiki orang/tanoh Gayo selain orang Gayo itu sendiri. Kalau tidak demikian, kebangkitan dan kemajuan urang Gayo dan ‘tanoh tembuni’ hanya sebuah keniscayaan.


*Pemerhati Bahasa, Sejarah dan Kebudayaan Gayo
Sumber: www.gayolinge.com (16 Februari 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar