Kamis, 02 April 2009

Dua Tahun Baru: Momen Refleksi Diri

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Januari 2009)


Masih segar dalam ingatan kita; peringatan tahun yang telah meninggalkan kita; tahun baru masehi & tahun baru hijriyah. Tahun yang telah meninggalkan sejumlah kenangan bagi kita, masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam. Ada hal yang berbeda bila kita lihat dari dua peringatan dua tahun baru tersebut baik dari persiapan, pelaksanaan dan dampak peringatannya. Untuk tahun baru masehi, masyarakat dengan serta merta dan tumpah ruah merayakannya, sementara tahun baru Islam (tahun baru hijriyah) diperingati sekedarnya saja. Bisa jadi, hanya sebagian kecil masyarakat saja yang mengetahui tahun baru Islam ini karena larut dengan peringatan tahun baru masehi. Hal tersebut agak berlawanan dengan daerah kita sebagai “negeri yang bersyariat.” Mudah-mudahan, dua tahun baru tadi dapat menjadi renungan bagi kita terkait makna esensial dan satu tahun yang telah kita lalui. Dengan demikian, peringatan tahun baru Islam lebih semarak, berarti, berkesan dan meninggalkan makna terhadap perubahan diri, keluarga dan masyarakat Aceh pada masa-masa mendatang.

Dua tahun baru tersebut haruslah menjadi pelajaran bagi kita semua. Peringatan dua tahun tadi bukan hanya dimaknai sebatas seremoni (tradisi) belaka melainkan perlu dipahami esensi dari dua tahun baru tadi yaitu dengan refleksi diri akan perjalanan hidup dan sisa-sisa kehidupan kita serta proyeksi ke depan termasuk persoalan “hidup setelah mati.” Konsekuensinya, kita dapat secara sungguh-sungguh hijrah menuju keadaan yang lebih baik secara personal maupun dalam tataran masyarakat menuju Aceh yang lebih aman, damai, adil, sejahtera, ‘maju, bersyariat dan beradad’ serta bermartabat

Kita harus senantiasa bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa di tengah sisa umur yang kita miliki. Paling tidak kita masih diberikan kesempatan untuk menjalani hidup dan dan memperbaiki diri. Wujud syukur tadi dapat kita wujudkan dengan peningkatan ibadah, perbaikan dan menyiapkan diri untuk menghadap-Nya “ketika ajal menjemput pada saatnya nanti”. Lebih dari itu, wujud hubungan vertikal kepada Tuhan dapat kita terapkan dengan menciptakan kesalehan sosial yaitu dengan pengaplikasian nilai-nilai Tuhan dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Dengan demikian, Islam &syariat Islam, tidak hanya kita pahami sebatas hubungan vertikal kepada Tuhan; mengucapkan dua kalimat syahadat, salat, puasa, zakat dan haji, ‘terjebak dalam syariat Islam yang semu’, tetapi juga diwujudkan dengan hubungan antarindividu yang baik dalam masyarakat, membersihkan diri, hati dan lingkungan serta alam sekitar kita, menciptakan ekonomi yang berpihak pada tingkat yang paling bawah dengan bersendikan syariah, the real syariat Islam, pemberdayaan perempuan dan pemuda, dan lain-lain. Dengan begitu, tujuan dan pencapaian perubahan tadi pun semakin mudah, terencana, terarah, terukur dan maksimal dalam upaya penciptaan kebermaknaan dalam masyarakat.

Kebersihan lingkungan sekitar kita misalnya, hal ini menjadi cermin dari hati, diri, masyarakat dan pemahaman kita menyangkut agama ini. Padahal, agama, tradisi, norma dan cerminan adat istiadat masyarakat kita yang ada di Aceh, menekankan betapa pentingnya arti kebersihan. Namun, kebersihan lingkungan dan tempat-tempat publik di sekitar kita masih jauh dari konsep yang telah diajarkan agama dan apa yang telah diwariskan leluhur kita. Belum lagi, persoalan perbaikan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, penyelamatan hutan Aceh, pemaksimalan syariat Islam, Aceh pasca rekonstruksi dan rehabilitasi, serta persoalan-persoalan lain yang perlu mendapat perhatian dan penanganan serius dari semua pihak sebagai satu sistem yang saling mendukung dan melengkapi.

Lebih jauh lagi kita perhatikan, rasa kekeluargaan semakin berkurang dalam kehidupan kita sehari-hari. Dari hari ke hari, masyarakat semakin apatis, napsi-napsi dan individualistis menyangkut keadaan sekelilingnya. Hal ini tidak terlepas pula dari trauma kolektif mereka sebelumnya; perjalanan konflik panjang Aceh. Lebih-lebih pada peringatan tahun baru hijriah ini, kita pun dikejutkan dengan serangan udara Israel terhadap saudara-saudara kita yang ada di Palestina. Bagaimanapun, kita sangat mengutuk dan menyayangkan aksi Israel tersebut. Kini saatnya, kita mengulurkan tangan dengan berbagai bantuan sebagai wujud solidaritas kita dan menghanturkan do’a bagi masyarakat Palestina terlebih lagi kita, masyarakat Aceh.

Selanjutnya, Keadaan ekonomi pun semakin senjang; yang kaya semakin kaya dan sebaliknya, mengedepankan dan berkiblat pada materi dengan menguatnya sistem kapitalis dan keadaan ini menjadi hal yang biasa, jadi pembiaran begitu saja. Nilai-nilai agama dan kearifan lokal pun tidak mampu berbuat banyak. Bahkan, sebagai pewarisnya, kita menjadikannya sebatas hiasan lisan, wacana dan menjadi pajangan yang tiada arti dan tak mampu menggugah dan menciptakan efek perubahan yang kita harapkan. Lebih dari itu, kita semakin jauh dan miskin dalam bertindak dalam upaya penggalian, penyelamatan, pelestarian dan menerapkan kearifan nilai-nilai yang sarat dengan nilai ‘filosofis praktis’ serta mewujudkan perbaikan-perbaikan dan perubahan tadi.

Kemudian, dalam kesempatan dua tahun baru ini, kita harus dapat mengevaluasi diri terhadap perjalanan masa lalu kita, “apa yang telah kita perbuat?” dan merumuskan arah hidup kita yang kita tuju dengan berbagai alternatif dan resiko yang akan kita hadapi, bekal, strategi yang telah kita siapkan yaitu “investasi, tabungan amal dan jadi sungai manfaat bagi sekeliling kita”. Evaluasi ini tidak terbatas pada hubungan kita kepada Tuhan tapi juga dengan sesama manusia “masyarakat” untuk menciptakan kesalehan sosial dalam masyarakat. Untuk mewujudkan perubahan dan perbaikan yang diharapkan, kita kembali lagi kepada masyarakat yang mendiami negeri Merah Johan ini (peletak fondasi awal kesultanan Aceh Darussalam); seberapa besar kemauan kita untuk mewujudkan perubahan tadi. Karena tidak ada yang mampu menciptakan perubahan dan perbaikan selain kemauan yang tinggi dan optimalisasi ikhtiar dari masyarakat yang mendiami daerah ini.

Untuk hijrah dan menciptakan perubahan menuju kondisi yang lebih baik dalam masyarakat kita, diperlukan kemauan yang sungguh-sungguh, kecepatan, pemikiran, energi, materi, pemaksimalan usaha, harmonisasi antarberbagai komponen dan evaluasi yang berkelanjutan terhadap hari-hari yang telah kita jalani dari seluruh sub-sub sistem yang dari sistem kemasyarakatan yang ada baik reje (eksekutif), petue (tokoh-tokoh masyarakat), imem (ulama) maupun rayat (legislatif sebagai refresentasi dari rakyat termasuk di dalamnya rakyat itu sendiri). Kita harus melihat kekurangan dan kelemahan kita masing-masing sehingga kita dapat memulai dan memperbaharui diri dari lingkup yang paling serderhana dan kecil.

Biasanya kita senantiasa luput dari hal di atas “melihat kekurangan diri”, kita hanya melihat kekurangan, kelemahan, mencela, menyalahkan serta menuntut orang lain untuk berbuat dan memberi, jangan tanya orang lain tapi tanya diri kita, “Apa yang telah kita beri dan perbuat untuk orang lain?” Dalam menyikapi masalah juga, yang kerap terjadi adalah melihat segala sesuatunya hanya dari sisi kita, pemahaman yang parsial, bukan dari sudut orang lain dan tidak secara menyeluruh (holistik). Hal lain yang diperlukan untuk menjadikan kita dan Aceh lebih baik adalah kerjasama semua pihak, saling menutupi kekurangan dan berbagi kelebihan satu sama lain dengan menanggalkan management yang berbasis rasa dan kedekatan. Namun, lebih pada pendambaan tata kelola yang berdasarkan kualitas, kemampuan, jujur, terbuka, mencerminkan nilai-nilai ketuhanan dan profesional. Karenanya, perlu perubahan mind set, visi, sikap dan tindakan yang lebih humanis “alang tulung beret bebantu,” saling membantu dengan tidak besengkeliten, saling menjatuhkan, mencerca dengan ke-kurang-bijakan dan ke-tidaksantunan, budaya-budaya yang tidak sehat, primordial yang berlebihan serta karakter ditambah sikap negatif lainnya.

Kita berusaha dan berdoa dengan penuh harap, mudah-mudahan hari-hari yang akan kita jalani mendatang, tahun 2009 dengan sisa-sisa napas yang kita miliki, dapat memberikan makna dan arti tersendiri bagi diri, keluarga, masyarakat, perbaikan Aceh, bangsa, negara dan umat ini. Pada akhirnya, kita dapat menciptakan kebermaknaan sesuai dengan peran dan fungsi kita masing-masing dalam mengangkat marwah dan martabat negeri ini pada pergantian hari-hari yang akan datang, semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar