Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Majalah Bulanan Teganing, Maret 2007)
Takengon merupakan salah destinasi wisata di Aceh dan Indonesia. Daerah ini menyimpan begitu banyak rangkaian sejarah dalam lembaran sejarah ‘negeri Malikussaleh dan Iskandar Muda’ serta bangsa ini. Bagaimana seorang raja ‘reje Linge’ berhasil menurunkan Meurah Johan dengan gelar ‘Sultan Alaidin Johansyah’ sebagai sultan pertama kesultanan Aceh Darussalam, Empu Beru, Raja Linge XIII (panglima kerajaan Aceh) serta keturunan reje-reje Linge (raja) lainnya yang tersebar di berbagai pelosok negeri, Syeh Sirajuddin, Wali Tengku Tapa (kurir kerajaan Aceh), Aman Dimot (salah satu pejuang Gayo), Radio Rimba Raya (suara kemerdekaan RI), Masjid Quba Bebesen (salah satu masjid bersejarah bangsa ini), dan lain-lain.
Wajah negeri ini begitu memukau dengan Danau Laut Tawar-nya yang dikelilingi gunung-gunung yang indah dengan hiasan pinus mercusi, Loyang Koro, Ujung Baro, Ujung Kalang, Pante Menye, Putri Pukes, Pantan Terong, bangungan-bangunan bersejarah yang bercerita masa lalu pada kita seperti sisa-sisa kerajaan Linge, Bukit, Syiah Utama dan Cik Bebesen, Buntul Kubu, umah Reje Ilang, dan lain-lain. Kandungan alamnya juga menyimpan kekayaan yang tidak habis-habisnya misalnya emas, uranium, kopi Gayo. Negeri yang melahirkan raja-raja di pesisir ini, juga popular dengan daerah multikultural ‘Indonesia mini’ dan didiami lebih dari tujuh etnikgrup mulai dari Gayo, Aceh, Jawa, Padang, Cina dan sederetan suku lainnya. Mereka ‘anak negeri’ hidup damai dan saling mengisi serta berbagi satu sama lain. Lebih dari itu, negeri ini ‘tanah Gayo’ memiliki warisan budaya yang senantiasa hidup dan mengendap dalam masyarakatnya seperti tari guel, tari resam berume, didong, syair Gayo, kekeberen, melengkan, sebuku, tep onem, ure-ure, kekitiken, makanan, rumah tradisional &senjata yang menjadi cirri khas bangsa ini, kerawang gayo, keni, alas Gayo (Tikar), dan lain-lain.
Tentu hal di atas; site attraction dan event attraction disamping accessibilities (tersedinya sarana transfortasi) serta amenities (infrastruktur dan suprastruktur) menjadi penentu dalam penataan dan pengembangan ‘dunia pariwisata dataran tinggi tanoh Gayo’ mendatang. Namun, diperlukan goodwill dari pemerintah terlebih bupati terpilih dengan participate planning (planning, organizing, monitoring & evaluation). Artinya, masyarakat termasuk kalangan akademisi di Takengon terutama Perguruan Tinggi Gajah Putih harus dilibatkan dalam ‘perencaan partisipatif’ ini. Dengan demikian, mereka turut serta dalam merencanakan kebijakan terlebih rekomendasi ilmiah, yang bukan hanya berisi tentang dampak positif melainkan dampak negatif yang ditimbulkan. Pada akhirnya, kita tidak hanya mengejar ‘pengayaan pendapatan daerah’ dengan ‘memiskinkan jiwa’ masyarakat sekitar daerah pariwisata dan menjadikan mereka sebagai komiditi ‘masyarakat yang kehilangan jati diri’, kebijakan sesaat yang merugikan, tapi masyarakat tadi dapat merasakan arti dan manfaat langsung dari pengembangan ini dengan ‘konsep dan pembangunan dunia pariwisata Gayo yang berkelanjutan’.
Keberhasilan pengembangan sektor pariwisata ini (industri pariwisata) harus didukung dengan anggaran yang memadai (good finance support) seperti yang dilakukan pemerintah Bali dan Malaysia. Mustahil Takengon dapat menjadi daerah tujuan wisata berkelas dunia “Takengon Towards World Tourism Destination” tanpa ditopang dengan dana yang cukup kecuali ‘hanya sepintas wacana’. Lebih jauh, kita perlu mempersiapkan sumber daya manusia (human resources) terkait masalah ini ‘tenaga dan ahli pariwisata’ dan tidak salah menempatkan orang. Sumber daya kita ‘sumber daya lokal’ nantinya tidak hanya termangu melihat, sebagai objek pendatang dan wisatawan serta berada pada level yang paling bawah karena kendala pendidikan dan minim-nya skill yang mereka miliki. Tetapi, mereka harus diberdayakan serta terlibat langsung dalam menentukan kebijakan dan berperan aktif di lapangan. Tenaga ini tidak hanya tahu tentang masalah kepariwisataan; penetapan pasar, mengetahui keinginan pasar, spesialisasi produk, penyesuaian marketing dan penetepan harga tetapi juga faham tentang kultur lokal dan destinasi pariwisata di Takengon. Disamping itu, mereka tidak kaku dengan perkembangan teknologi dan informasi, paling tidak, cepat dan mudah beradaptasi serta memiliki kemampuan bahasa asing yang siap pakai dan layak jual.
Selanjutnya, pemerintah perlu menjaga stabilitas politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, birokrasi yang tidak berbelit dan iklim investasi yang sehat serta bekerjasama dengan pihak swasta (fatnership). Kita bisa melihat bagaimana terutama stabilitas politik yang kurang sehat dan keamanan ‘konflik’ mempengaruhi dunia pariwisata kita. Akibat stabilitas politik yang tidak menentu serta tidak adanya jaminan keamanan menjadikan wisatawan ‘domestik dan asing’ enggan melangkahkan kakinya ke daerah kita. Untuk tahun 2004 saja, misalnya, di Hotel Renggali sebagai hotel berkelas di Takengon, dari 30 kamar yang tersedia, terdapat sejumlah 1.917 wisatawan domestik yang menginap di hotel ini dan tanpa wisatawan asing (BAPPEDA, 2005: 200). Tentu jumlah pengunjung ini masih kecil bila dibandingkan dengan daerah lain. Karenanya, perlu usaha ril dan sungguh-sungguh dari pemerintah dan pengusaha perhotelan yang ada di Takengon untuk mendatangkan wisatawan khususnya dengan kedatangan international NGO saat ini. Momen emas ini harus betul-betul dapat dimafmaafkan oleh pemerintah dan pihak swasta termasuk pengusaha perhotelan dan pariwisata. Akhirnya, nanti peningkatan income perkapita, perluasan lapangan kerja dan pendapatan daerah dapat kita capai.
Terakhir, perlu kegiatan promosi dari pemerintah, dalam hal ini dinas pariwisata yaitu dengan menjadikan “Takengon Towards World Tourism Destination” (Takengon Menuju Daerah Tujuan Wisata Dunia)‘. Hal ini dapat dilakukan dengan advertising yaitu menetapkan calender of event 2007; pacuan kuda, lomba perahu, atraksi budaya, misalnya. Juga melalui sales support seperti brosur, direst-mail, folder, leaflets, booklets, guide book, display material-air liner dan travel agent.
Penulis berharap “Takengon Towards World Tourism Destination” dapat menjadi bahan pertimbangan bagi eksekutif ‘dinas pariwisata’ dalam menata wajah dan mengembangkan dunia pariwisata negeri ini seriring dengan datangnya hari-hari baru mendatang di Aceh Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar