Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)
Buat bang Wan Win Nur dan ama Muchtaruddin Gayo, MBA, ingin saya sampaikan bahwa ‘semua pihak’ yang ada di tanoh Gayo terutama di kabupaten Aceh Tengah dan kabupaten Bener Meriah prihatin dan sedih prihal ‘penjualan’ tanah Panti Asuhan Budi Luhur. Kalau dikatakan ‘masyarakat kita’ kurang peduli, pernyataan tersebut kurang bijak rasanya. Karena kepedulian tersebut muncul setelah ‘kita’ melihat, mendengar, dan merasakan langsung persoasalan yang dihadapi. Dalam hal ini, ‘masyarakat’ yang ada di Takengon belum mengetahui dan merasakan masalah ini. Terlebih lyang saya dengar di seputar panti tidak tahu mengenai ‘penjualan’ tanah panti tersebut. Jadi, informasi ‘penjualan’ panti ini terkesan sangat tertutup, tidak disosialisasikan lebih awal, diminta masukan dan feed back dari masyarakat terutama penghuni, pengelola dan alumni panti. Wajar saja bila kita terlbih alumni panti menaruh curiga kepada ‘pihak-pihak’ yang ‘menjual tanah’ tersebut.
Saya juga dulu, tahun 1996-1999 sering bermain-main ke Panti Asuhan Budi Luhur meski bukan sebagai anak panti. Karena saya punya beberapa teman yang dari panti di SLTP Negeri 2 Bebesen (sekarang SMP Negeri 10 Takengon), antara lain: Anwar Sadar, Mahdi Fitra, Syah Purnama dan Syarifuddin, dan barangkali masih ada yang lain. Kebetulan saya dekat dengan mereka. Saya tidak tahu persis, dimana mereka sekarang? Saya berharap, mereka juga ‘berpendidikan tinggi’ sehingga bisa berbuat lebih terutama ‘saat-saat seperti ini’ ‘mereka, siapa pun cukup dibutuhkan’. Selanjutnya, mereka sering membantu orang tua saya terutama pada hari Minggu di kebun yang ada di Daling, kec. Bebesen ‘mulelang, nebes dan nangkuh kupi’. Kini, kenangan tersebut sudah tertimbun dengan tanah. Kebun itu kini sudah tertutup longsor, 9 Desember 2007, saat saya kembali dari Malang, Jawa Timur. Terakhir saya ketemu dengan Syarifuddin di Pertamina, dia kerja disana, tahun 2008 yang lalu. Ketika ditanya, dimana Anwar Sadar, Mahdi Fitra dan Syahpurnama, Saref (panggilan Syarifuddin) juga putus komunikasi dengan mereka.
Dari kebun Daling, biasaya kami mandi bersama di Tamak Pejebe, irigasi yang ada dekat Koramil kec. Bebesen (sekarang kampus Empus Talu). Kami pun lomba renang, tak ubahnya seperti atlet renang yang lain. Di tamak Pejebe ini pula riwayat saya hampir tamat. Saya hampir tenggelam karena kecapean terlebih kerja ‘mulelang’ dari pagi sampe sore di kebun. Begitu kami melompat ke tamak, saya pun berada paling depan. Namun, saat kembali, mereka lebih dulu menyentuh bangunan irigasi, saya tertinggal jauh (kalah), yang kelihatan hanya tangan saya yang mengharap pertolongan. Awalnya, mereka ketawa melihat tangan saya tertinggal di atas dengan sesekali kepala umcul ke atas. Mereka ‘Anwar Sadar, Mahdi Fitra dan Syapurnama’ mengira kalau saya main-main. Terakhir, mereka pun menceburkan diri lagi, menolong dan ‘memapah’ saya keluar dari ‘kolam renang’ tersebut (terima kasih sahabat dan saudaraku). Di atas jalan menuju kampung Empus Talu (sekarang), tepatnya di bagian irigasi tadi, kami tertawa lepas, “hahaha,” memecah kesepian mengenang peristiwa yang baru saja terjadi, sebelum suara azan magrib berkumandang. Saya berharap, suatu saat nanti ‘kami’ bisa reuni lagi, paling tidak ‘berenang bersama lagi’. Begitu juga halnya, dengan alumni SLTP Negeri 2 Bebesen. Minimal, saya bisa berkomunikasi dan berbicara langsung via HP dengan keempat sahabat saya tersebut.
Di mata saya, ‘mereka’ anak panti punya kepekaan sosial dan empati yang cukup tinggi, punya skill, suka menolong, setia dan berkarakter kuat. Hal tersebut, bisa dilihat pada teman-teman saya ketika itu. Diantara mereka berempat. Saya sangat dekat dengan Mahdi Fitra. Terlebih, garis keturunan dari pihak ‘pedeh’ kita sama, sama-sama berasal dari Isaq (salah satu kerajaan Islam di tanoh Gayo). Tentu, bentukan dan akumulasi karakater tersebut tidak terlepas dari pola asah dan asuh yang berlaku di panti tersebut. Wujud karakter tersebut, bisa saya lihat di sekolah (STLP Negeri 2 Bebesen), Panti Asuhan Budi Luhur, dan di rumah saya ‘saat kami berkumpul dan belajar bersama.’
Pada tanggal 27 Maret 2009 – 4 April 2009, orang tua saya datang ke Medan. Saya sempat menanyakan mengenai isu yang sedang berkembang di Takengon terutama masalah panti tadi. Orang tua saya tadi tidak tahu prihal ‘penjualan’ tersebut. Yang diketahui hanya pembangunan dan peresmian gedung baru. Kemasan dan peresmian bangunan megah tersebut ternyata menutupi danmengalahkan isu ‘penjualan tanah panti tadi.’ Tidak menutup kemungkinan, masyarakat yang ada di Takengon juga hanya mengetahui sebatas pembangunan dan peresmian panti seperti halnya orang tua saya tadi. Disinilah kita menaruh kecurigaan. Memunculkan banyak pertanyaan dan asumsi. Pertama, kenapa masyarakat kita sampai tidak mengetahui masalah ‘penjualan tersebut’? Hal ini tidak terlepas dari kurangnya penyebaran informasi. Jangankan masyarakat Takengon secara keseluruhan, rayat, masyarakat seputar panti saja mungkin tidak tahu. Ini hal yang aneh, ‘semacam ada kesengajaan dan pembiaran.’ Salah satu pihak yang berperan dalam penyebaran informasi ini adalah pers yang ada di ‘negeri yang penuh misteri’ ini. Dari sekian banyak media di Takengon yang saya ikuti, hanya dua media yang berani memuat pemberitaan masalah ini; www.gayolinge.com dan the globe journal.
Di sisi lain, media ini hanya dibaca oleh peselancar di internet. Dengan kata lain, pembacanya cukup terbatas ‘orang-orang yang aktif berinternet’. Lebih-lebih di Takengon, ketersediaan, minat dan frekuensi berinternet masih kecil ‘hanya seputar kota Takengon’. Pun kalau ada pemberitaan melalui Humas Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Majalah Teganing ditambah situs (milik Pemkab), tentu pemberitaannya hanya menyinggung soal keberhasilan pemerintah kabupaten. Konon lagi, yang saya dengar, pers di negeri Adi Genali ini kerap menerima ‘amplop’ dari pemerintah, pejabat dan politisi lokal. Apakah hal itu benar? Perlu penelitian dan pembuktian lebih lanjut. Tapi, dari dari pemberitaan yang ada, kalau yang muncul hanya sisi positifnya saja, rasanya pemberitaan tersebut kurang berimbang dan objektif?
‘Masyarakat kita’ juga cenderung pasif dalam mengkristisi proses pembangunan yang berjalan ‘kehilangan daya kritis’. Dalam perencanaan awal, proses, monitoring dan evaluasi mereka sering tidak dilibatkan. Kadangkala, walau sudah mengkebiri hak dan mengorbankan mereka, itu tidak menjadi soal buat mereka, yang penting ‘keriliken gere mupengkil’, bisa makan dan hidup buat besok. Begitulah pola pikir, sikap dan tindak sehari-hari ‘masyarakat kita’. Hal tersebut tidak terlepas dari lingkungan yang terbentuk, ada sub-sistem sosial yang tidak berjalan, kurangnya minat baca, pencarian dan penyebaran informasi yang terjadi. Sudah barang tentu, pola pikir seperti ini harus diubah, dengan pola pikir yang kritis,cerdas, bijak dan mengedepankan nurani.
Pihak yang lain yang cukup berperan dalam hal penyebaran informasi dan pencerdasan masyarakat adalah pendidikan tinggi dengan mahasiswanya. Di Takengon saat ini, paling tidak ada tiga pendidikan tinggi yaitu Universitas Gajah Putih, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih, dan Sekolah Tinggi Muhammadiyah (Ilmu Hukum ditambah Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Dalam peran dan kapasitasnya, pendidikan tinggi tadi mengkaji dan memberikan pertimbangan kritis terkait ‘penjulan aset panti tersebut’. Mahasiswa sendiri sebagai bagian dari kampus yang harusnya beperan sebagai agent of change dan social control, dalam kasus ini, kurang berjalan. Saya tidak tahu persis, apakah mereka tidak tahu persoalan ini. Tapi mustahil, mahasiswa bisa luput dari isu ini. Namun, yang saya lihat, mahasiswa Takengon (yang kuliah di Takengon dan yang kuliah di luar) juga kadang terkotak-kotak dengan beragama kepentingan. Cenderung diam ‘daya kritis dan idealisme mereka tergadaikan’ dengan sebab dan ‘faktor pendukung tertentu’. Masih banyak lagi sub-sistem sosial lain yang tidak berjalan seperti tengku (MUI), lembaga kepemudaan, LSM, lembaga adat, dan lain-lain. Minimal, mereka mempertanyakan dan menuntut penjelasan proses ‘penjualan’ tersebut.
Kedua, pun harus ada transaksi penjualan untuk penyertaan modal di BPD Aceh. Yang menjadi pertanyaan, kenapa harus ‘Panti Asuhan Budi Luhur’ yang dijual? Mungkin, salah satu alasannya adalah ke-strategis-an tempat ini. Menurut hemat saya, masih banyak tempat yang lebih strategis dibanding panti ini. Misalnya saja, Dinas Koperasi, Perdagangan, Perindustrian dan Sumber Daya Mineral atau tempat lain yang merupakan aset pemkab. Selain dekat, bila ini yang ‘dijual,’ bisa jadi lebih mahal, tidak terlalu bermasalah dan tidak memunculkan tanggapan dan asumsi yang berlebihan. Bila alternatif di atas yang dilepas ‘kantor pemerintahan’ harganya pun bisa lebih tinggi. Akibatnya, dana penyertaan pemkab pun semakin besar.
Pun, kalau bangunan panti ini mengganggu pembangunan jangka panjang Takengon masa depan, terkait tata ruang kota terutama jalan utama misalnya, yang pada akhirnya harus ‘dilepaskan’ ke pihak lain, di sinilah proses sosialisasi tadi diperlukan dengan pelibatan semua pihak terutama pihak panti. Kalau semuanya dilalui dengan proses sosialisasi dan musyawarah yang adil, bijak dan partisipatif, tentu tidak akan menyisakan masalah. Namun, yang kedua ini, tidak terlalu menjadi persoalan. Bagaimana pun, pertimbangan ‘sejarah dan jati diri’ juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah kabupaten. Saya lihat, pertimbangan ini masih jauh dari harapan. Banyak sekali bangunan-bangunan lama yang kini sudah digantikan dengan bangunan baru. Padahal, itu masa lalu kita, yang dengan masa lalu, kita ada sekarang, begitu juga dengan panti ini. Sudah barang tentu, menjadi kewajiban kita terutama pemerintah kabupaten untuk mempertahanan dan mengurus apa pun yang menyangkut panti ini.
Pertanyaan lain, kenapa pemkab harus menyertakan modal-nya di BPD Aceh Cabang Takengon? Bagaimana mekanisme dan keterbukaan pengelolaan penyertaan keuangan ini kepada publik? Apakah tidak ada jalan lain yang bisa diupayakan dalam peningkatan modal dan PAD? Sebaliknya, kalau sekiranya pemkab tidak turut serta dalam penyertaan modal di bank ini, apakah akan berpengaruh signifikan terhadap stabilitas keamanan, sosial dan ekonomi Takengon baik secara mikro maupun secara makro? Yang pada akhirnya, kenapa sampai harus ‘melepas’ panti ini? Yang pasti, penyertaan modal ini merupakan sebuah kebijakan yang baik dan positif bagi perkembangan perekonomian Takengon. Namun, program dan kebijakan yang baik tidak selamanya menghasilkan hal dan berdampak baik bila prosesnya ‘kurang baik’. Dalam arti, tingkat analisis, sosialisasi, pelibatan masyarakat (yang berhubungan dengan panti), monitoring dan evaluasi cukup kurang.
Merunut kembali persoalan ini, ada tiga pihak utama yang bertanggung jawab prihal penjualan ini. Pertama, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Aceh Tengah yang kini dipimpin oleh Drs. Tengku Albar. Dinas ini berhubungan langsung dan bertanggung jawan penuh terhadap kelangsungan panti ini. Seperti pertanyaan sebelumnya, kenapa dinas menjatuhkan pilihannya pada Panti Asuhan Budi Luhur pun kalau harus panti yang ‘dijual’? Padahal, masih banyak ‘panti’ di Aceh Tengah, yang mungkin tempatnya lebih strategis lagi dari Panti Asuhan Budi Luhur dan lebih dekat ke BPD Aceh Cabang Takengon (kantor yang sekarang). Terlepas, adanya bangunan baru dan apa yang tengah diupayakan oleh dinas dan pemkab, ini persoalan lain yang harus dipisahkan dengan soal ‘penjualan’ tanah panti tadi. Dalam hal ini, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Aceh Tengah harus professional dalam mengklasifikasi ‘membeda & memilah’ dan menganalisis kedua persoalan di atas. Yang lebih aneh lagi, Kepala Unit Pelayanan Teknis Panti Asuhan Budi Luhur yaitu Ali Husin, S.Ag tidak tahu persis dan tidak pernah diajak bicara atau bermusyawarah oleh atasanya, dalam hal ini Drs. Tengku Albar (baca ANTARA PEDULI DAN UPETI, KONTROVERSI “PENJUALAN ASET PANTI ASUHAN BUDI LUHUR” www.gayolinge.com). Apakah pengakuan dari kepala UPT PABL tersebut benar atau sebaliknya? Kita tidak tahu pasti. Tapi, kedengaran sangat janggal. Logikanya, selaku penghuni rumah, mustahil sekali kita tidak tahu, orang luar yang datang dan apa yang direncanakan dan yang akan dibangun di rumah kita?
Kedua, sudah barang tentu, pemerintah kabupaten Aceh Tengah, yang dalam hal ini diwakili oleh Ir. H. Nasaruddin, M.M. Bupati Aceh Tengah, selaku reje, merupakan pemutus akhir dalam hal ‘penjualan aset panti’ ini. Selaku bagian dari masyarakat, kita mendudukung apa pun yang direncanakan dan dilakukan oleh pemerintah kabupaten sepanjang untuk kemaslahatan rayat dan tanoh tembuni ‘dirasakan kebermanfaatannya’. Pertanyaan, kenapa harus aset panti ini yang ‘dijual’? kembali muncul terlebih lagi ada bangunan masjid waqaf di dalamnya. Yang penting lagi, panti ini mencatatkan sejarah dalam Museum Rekor Tanoh Gayo yang telah banyak berbuat untuk anak yatim piatu di tanoh Gayo (tidak sebatas Takengon, tapi juga dari Gayo Lues, Bener Meriah dan daerah lain). Selain itu, tanah yang ada sejak tahun 1948 tersebut merupakan harta agama atau baitul mal. Dengan begitu, perlu dipertahankan aset sejarah dan bentuk aslinya. Lebih dari itu, panti ini akan sangat sempit nantinya, bila ‘dilepas seluas +/- 5000 meter, yang mana lahan panti ini tinggal 4000 meter (70% untuk bangunan/2800 meter dan sisanya, 1200 M untuk perkarangan).
Ketiga, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten. Setelah diperoleh kesepakatan dalam hal ‘penjualan’ aset panti ini di tingkat eksekutif, akhirnya akan disetujui dan ditetapkan oleh legislatif (DPRK). Seperti halnya eksekutif, kenapa legislatif sampai menyetujui dan mengesahkan ‘penjualan aset’ ini? Apakah mereka juga tidak mengkaji secara dini dan menyeluruh masalah ini, cross check ke pihak panti ‘penghuni, pengelola dan alumni panti’ ini? Atau ada bargaining tersendiri dibalik ‘penjualan’ tadi? Kita, tidak tahu pasti dibalik proses pengesahan ini. Dari kasus ini, menjadi pertimbangan penuh bagi kita ‘pemilih atau rayat yang mendiami daerah ini,’ ke depannya, untuk memiliki ‘yang dipilih’ yang sungguh-sungguh memiliki kepekaan dan kesensitifan sosial yang tinggi, yang ‘benar-benar melihat,’ ‘mendengar,’ ‘merasa dan bernurani’ terlebih tanggal 9 April 2009 ini, kita akan memilih wakil kita di DPR dan DPD. Dengan demikian, yang terpilih akan berjuang untuk kita ‘rayat dan tanoh tembuni.’ Bukan sebaliknya, berjuang untuk diri, rasa,kedekatan dan lingkup ‘kekitaan dan dengan sekat yang terbatas.’
Melalui tulisan, diharapkan kepada ketiga pelaku utama di atas untuk dapat mengkaji kembali ‘prihal pelepasan aset tersebut’ dengan mencari lokasi yang lebih strategis lagi. Dengan demikian, ‘aliran sejarah dan amal’ pengamal pada panti ini tetap berjalan sebagaimana mestinya dan sampai waktu yang ditentukan. Pun ‘aliran sejarah’ panti ini hilang dengan ‘penjualan aset panti ini,’ tapi tidak ada yang mampu menghilangkan sejarah dari pelaku dan yang pernah tinggal di panti tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar