Kamis, 02 April 2009

Mengoptimalkan Pariwisata Takengon

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(www.gayolinge.com, 17 September 2007)


Tidak bosan-bosannya, penulis menyikapi dunia pariwisata dataran tinggi tanoh Gayo,dalam hal ini Takengon untuk menuju pariwisata dunia “Takengon; Toward World Tourism Destination” seperti yang pernah penulis wacanakan dalam majalah bulanan Teganing Edisi Maret & Mei. Tulisan tersebut kembali dimuat di media on line ini; www.gayolinge.com (Juni). Siapa pun yang membaca dua tulisan yang terdahulu, “Takengon; Menuju Pariwisata Dunia, Sebagai Sumbangsih Pemikiran & Takengon; Menuju Pariwisata Dunia, Implikasi Positif& Negatif” mungkin akan berpikir bahwa terlalu muluk menjadikan Takengon sebagai pariwisata dunia. Namun, tidak ada salahnya bila kita membentangkan visi ‘mimpi’ dengan tetap bersandar pada realitas yang ada. Ketika kita membentangkan visi ‘Takengon; Menuju Pariwisata Dunia, segala potensi dan kemampuan kita akan diarahkan untuk mewujudkan impian tersebut. Tinggal lagi, apakah kita punya willing (kemauan) yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan hal tersebut? The tuture belong to those who believe in the beauty of their dream (Eleanor Rosevelt).

Takengon sendiri yang dikenal sebagai daerah pengunungan nan sejuk, memiliki potensi untuk menjadi ikon pariwisata dunia, seperti yang sudah diwacakan sebelumnya, misalnya dengan kekayaan warisan budaya, wajah negeri yang indah terutama dengan danau yang mungil ‘Danau Laut Tawar’, sikap masyarakat tempatan yang ramah, dan lain-lain. Potensi tersebut merupakan sebuah modal yang tak ternilai dan dapat menjadi daya tarik serta pendukung pariwisata.

Di sisi lain, kita perlu mencermati berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada. Kecil memungkinan, daerah ini bisa menjadi arus pariwisata dunia tanpa menutupi dan memperbaiki kekurangan yang ada. Untuk mengoptimalkan pengembangan pariwisata dataran tinggi tanoh Gayo, ada beberapa hal mendasar dan merupakan perioritas yang harus kita lakukan dengan serta merta. Pertama, perlu sebuah kejelasan perihal ‘jenis pariwisata yang hendak kita kembangakan’. Dalam beberapa diskusi menyangkut pariwisata Takengon yang hendak dikembangkan, penulis kerap mendengar konsep ‘wisata islami’. Masih belum jelas, apa sebetulnya wisata islami tersebut?Apakah jenis wisata ini berhubungan dengan perilaku masyarakat dataran tinggi tanah Gayo yang betul-betul islami dan berbeda tempat lain di belahan bumi? Untuk yang pertama ini, kita harus melihat realitas sosial yang ada di masyarakat. Bagaimana kecenderungan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Gayo dewasa ini, yang kadangkala semakin jauh dari aturan Islam dan adat itu sendiri.

Kemudian, apakah pertanyaan di atas lebih mengarah pada destinasi pawisata Takengon sendiri yaitu ‘bukti-bukti sejarah yang mendukung sejarah dan perkembangan Islam di Gayo, Aceh & nusantara’? Dengan kata lain, penulis menyebutnya ‘situs Gayo-Islam’ sehingga dapat menumbuhkan keingintahuan pengunjung. Untuk yang pertanyaan ini, masih memungkinkan dengan keseriusan pemerintah daerah dalam menggali situs-situ sejarah Islam- Gayo tersebut. Dengan adanya spesifikasi jenis pariwisata yang akan dikembangkan, kita bisa lebih memokuskan perencanaan, waktu, energi, finansial dan sumber daya manusia serta faktor-faktor pendukung lainnya. Dari kesepakan tersebut, kita akan menghasilkan motto (brand) yang menjadi ciri khas wisata daerah kita, misalnya, “Takengon; Kota Indah, Wisata Dunia” meski realitas di lapangan, Takengon menunjukan jenis dan potensi wisata yang banyak. Meski demikian, semua potensi wisata tersebut tetap mendukung satu sama lainnya menuju visi pariwisata Takengon tadi. Menyangkut moto, sebagai perbandingan, Malaysia dikenal dengan ‘Malaysia, Trully Asia’, Malang; Kota Bunga, Semarang Pesona Asia, dan lain-lain, bagaimana dengan Takengon?.


Kedua, anggaran; masalah anggaran mutlak diperlukan saat kita mengembangkan sektor ini. Kecil kemungkinan, sektor ini dapat berjalan dengan baik tanpa di dukung dengan kucuran anggaran yang cukup. Disinilah, kita melihat political will dari pemerintah daerah, apakah kita benar-benar ingin mengangkat sektor ini ‘pro tourism’. Dengan anggaran yang mendukung, pengembangan sumber daya manusia pariwisata Takengon dan wisata daerah ini akan lebih maksimal dan sebaliknya.

Ketiga, pembenahan infrastruktur dan suprastruktur yaitu ‘dengan lebih mengutamakan kualitas dua hal tersebut’. Infrastruktur mencakup jaringan jalan, telekomunikasi, listrik, air bersih, rumah sakit, dan lain-lain. Sementara, akomodasi, restauran, hiburan, sovenir, merupakan beberapa bagian dari suprastruktur. Saat ini, kita memiliki dua jalan alternatif menujut tanoh Gayo ‘Takengon’ yaitu jalan Takengon-Bireun dan jalan Takengon-Belang Kejeren. Bahkan kita telah memiliki bandar udara ‘Rembele’ (sekarang ada di kabupaten Bener Meriah) yang merupakan salah satu warisan Drs. H. Mustafa M. Tamy, MM saat beliau menjadi bapak rakyat di ‘negeri penuh misteri ini.’ Dengan demikian, dataran tinggi tanoh Gayo dapat lebih mudah dicapai (access). Untuk jaringan jalan, penulis lebih mempertimbangkan kualitas jalan yang ada. Tentu hal ini, kemudian bertautan dengan tingkat kenyaman, keselamatan dan kepuasan wisatawan. Tidak jarang, jalan menuju daerah kita dan jalan-jalan yang melintasi Danau Laut Tawar, kita dapati ‘kubangan aspal’. Belum lagi, rerumputan liar yang kadang tumbuh subur di bibir jalan. Hal-hal kecil seperti ini, mungkin diluar perhatian kita. Namun, hal sepele di atas berujung pada tingkat keselamatan dan kepuasan wisatawan serta menentukan apakah mereka kembali berkunjung atau mengurungkan niatnya untuk kembali ke daerah kita (repeat visitor). Begitu juga halnya dengan infrastruktur dan suprastruktur yang lain, harus benar-benar mendapat perhatian serius dari pemerintah sebagai policy maker.

Keempat; promosi, kita melihat faktor ini menempati urutan paling bawah dari semua faktor yang ada, layaknya seperti ‘ampung-ampung pulo’. Jangankan destinasi wisata Takengon, masyarakat di luar Takengon dan Aceh sampai tidak mengenal urang Gayo. Seolah, segala sesuatu di daerah tumbuh dan mati dengan sendirinya tanpa perhatian dan sentuhan yang serius dari pemerintah. Dengan lemahnya dan pasif-nya promosi yang dilakukan, sektor ini semakin terpuruk dan jauh tertinggal dari daerah lain. Pencapaian promosi tentang potensi dan destinasi wisata yang kita miliki, bertautan erat dengan kucuran anggaran dana yang disediakan pemerintah. Juga, keberhasilan ini ditentukan oleh sumber daya manusia yang mau, mampu, berkualitas, kreatif, serta bervisi pada kepariwisataan Takengon ‘sehingga pariwisata kita tidak jalan di tempat’. Kita tidak mau, masyarakat kita bertindak sebatas pelaku pinggiran. Kita tidak mau, masyarakat kita menjadi tamu di negerinya sendiri. Karenanya, kita perlu memberikan ruang, memberdayakan dan memanusiakan masyarakat setempat (Al Gayoni).

Keempat hal di atas, merupakan hal mendasar dan prioritas yang harus dibenahi pemerintah, swasta dan penggiat pariwisata di dataran tinggi tanoh Gayo. Sebagai akibatnya, sektor pariwisata Takengon dapat keluar dari kemunduran dan keterpurukan dan optimal menuju, “Takengon; Kota Indah, Wisata Dunia”. Akankah dunia pariwisata kita tetap seperti ampung-ampung pulo?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar