Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni*
Tempat ini
Membawa ku
Melayang
Pergi jauh
Mengenang
Saat ku kemari
Saat itu
Jejalanan
Bangunan
Pepohonan
Gegunungan kokoh
Tanah
Rumput hijau
Batu cadas
Embun kelabu
Mentari
Bersembunyi di balik awan
Tak bersinar seperti biasa
Meyaksikan kami
Wajah-wajah sedih
Takut,
Dengan simpul senyum yang berat
Pengakuan terpaksa
Mengiringi hari-hari itu
Wajah-wajah itu
Hadir
Semakin jelas
Saat ku melintasi tempat itu
Ku dibawa kembali
Dengan riuh tawa
Lisan yang sombong
Ejekan
Makian
Cercaan
Tak peduli
Yang penting Engkau senang
Melepas semua
Memuaskan keinginan
Jemarimu angkuh
Menunjuk siapa saja
Menyaksikan kami
Seolah bersalah
Hina
Tak layak jadi manusia
Tengah malam
Gelap gulita
Menyisakan suara alam
Dan suara-suara yang menyeramkan
Sesak
Dengan degup kencang
Ketakutan membayangi
Wajah-wajah bengis
Beringas
Dan seram
Terus menghantui
Sampai terkapar
Seolah tak bernyawa
Panik
Takut
Tak tahu
Harus berbuat apa
Pagi damai berselimut duka
Datang
Menyapa tubuh lelah
Angin berhembus
Menyejukkan semua
Belum lagi bernapas
Namun sudah tersentak
Dibawa
Dipaksa dengan kejam
Dengan mata terpejam
Tertutup
Hanya pasrah
Menerima
Dan berdoa
Selamatkan kami Tuhan
Air dingin
Membasahi tubuh-tubuh
Yang tak kuasa
Menggigil
Mengusik lamunan
Kebersamaan
Dan kehangatan
Yang tersisa
Hanya ikatan jemari
Tolong
Jangan lepaskan aku
Kuatkan aku
Ku mohon
Dan jalani semua
Air mata
Mengalir
Dan jatuh
Meresap di celah
Di celah-celah pasir yang dingin
Yang mengharap kehangatan
Dari mentari
Di balik gegunungan
Air bening kembali tumpah
Terus mengalir
Jatuh
Dan jatuh
Mengisi ruang
Bebatuan terjal
Tanah
Pasir
Mengikuti garis alam
Dan bermuara
Ke titik yang luas
Mata bening
Tak kuasa
Menyaksikan
Tubuh-tubuh kedinginan
Menggigil
Menggetarkan gigi
Dan seluruh tubuh
Di tengah air
Gemericik air menghempas tubuh
Yang tak lagi kuat
Kaki
Tak lagi berpijak
Berusaha mencari pijakan
Untuk mengokohkan diri
Suara keras mengisi ruang
Memecah sepi
Mengalahkan riak
Deru angin
Tertawa puas
Melihat wajah-wajah lugu
Dengan mata sayu
Air bening tumpah
Bersatu
Di hening air yang luas
Sementara
Mata berbinar
Menyaksikan
Tertuju pada
Tubuh-tubuh mungil
Menggigil
Membuat Engkau lupa
Engkau ingin terus
Dan terus
Sesukamu
Sampai Engkau puas
Tertawa
Di tengah asa
Air mata
Dan jiwa yang semakin kering
Hentikan semua ini
Ingin rasanya
Meronta
Menolak
Berontak
Namun
Mulut terkunci
Tak mampu bicara
Jemari
Tak kuasa bergerak
Kaki
Tak lagi melangkah
Yang ada
Hanya kebeningan
Kebodohan
Kekonyolan
Menerima
Dan pasrah
Menyaksikan
Mendengar
Merasa
Dengan hati yang miris
Jiwa yang kerdil
Walau
Ingatan mulai membeku
Namun berusaha merekam
Mencatat kisah
Kepedihan
Kenangan pahit
Hari kelam
Yang senantiasa membekas
Dalam ingatan ku
Dan kami yang menjadi saksi
Saat itu
*Danau Toba Parapat, 18 April 2009 (15.00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar