Kamis, 02 April 2009

Takengon, Menuju Pariwisata Dunia: Implikasi Positif dan Negatif

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Majalan Bulanan Teganing, Mei 2007)


Seperti dipaparkan pada tulisan terdahulu “Takengon; Menuju Pariwisata Dunia, Sebagai Sumbangsih Pemikiran”, Takengon, menyimpan dan merupakan daerah yang sangat potensial dalam pengembangan pariwisata menuju pariwisata dunia. Namun, usaha ke arah ini masih terasa belum maksimal. Hal ini bisa kita lihat dari minimnya wisatawan yang melangkahkan kakinya ke daerah ini. Minimnya kedatangan mereka tidak terlepas dari promosi serta dukungan kucuran anggaran dari pemerintah daerah (goodwill). Selain itu, juga masih belum jelas jenis pariwisata seperti apa yang hendak kita kembangkan ke depan. Padahal, daerah ini, dataran tinggi tanoh Gayo, dapat memungkinkan pengembangan multidestinasi wisata pada saat yang bersamaan seperti wisata budaya, wisata konvensi, cagar alam, wisata vilgrim dan adventure tourisme. Berhasil tidaknya “industri pariwisata Takengon”, lebih tergantung pada pemerintah daerah sebagai dicision maker yaitu dinas pariwisata karena mereka-lah yang lebih mengetahui perubahan lima tahun mendatang.

Secara umum, keberhasilan pengembangan industri pariwisata Takengon ini, pada akhirnya akan memperkenalkan dan mempromosikan budaya Gayo serta budaya dari etnik yang mendiami daerah ini, Aceh, Jawa, Padang, Cina, Karo, Toba, Mandailing, Sunda, dan lain-lain. Multikultural ini merupakan modal dan kekayaan tersendiri yang dimiliki Aceh Tengah. Lebih dari itu, akan tercipta mutual understanding karena wisatawan akan melihat dan merasakan langsung panorama alam yang tertata elok serta kekayaan budaya baik fisik maupun non-fisik swiss-nya Indonesia ini.

Disamping itu, buah dari pengembangan ini akan berdampak pada perluasan lapangan kerja. Tetapi, keterciptaan lapangan pekerjaan ini tidak akan berarti “berbuah sia-sia” bila sumber daya tempatan atau lokal hanya melihat, tidak reaktif, menunggu serta menjadi objek dari pariwisata itu sendiri. Oleh sebab itu, dari sekarang, kita “pemerintah dan swasta” harus meyiapakan generasi penerus Gayo yang bervisi pada Tuhan, berwawasan global, dinamis, dan siap pakai dalam semua sektor terlebih pada industri pariwisata. Selanjutnya, ekonomi mikro melalui usaha kecil menengah akan bergerak dan terdorong naik seperti pengrajin kerawang, keni, alas, bawar dan souvenir-souvenir lainnya. Akibatnya, taraf hidup individu dan masyarakat terutama di seputar daerah pariwisata akan meningkat. Akhirnya, hal di atas akan berakumulasi pada peningkatan pendapatan daerah.

Kurang lengkap dan tidak tidak fair rasanya kalau kita hanya mengkaji dampak positif terlebih manfaat ini hanya dirasakan segelintir individu atau kelompok tertentu “memperkaya diri”. Jika pengembangan ini tidak ditata dengan baik dan tidak diserahkan pada ahlinya, maka akan menghasilkan pembangunan yang tidak terarah, salah satunya adalah lingkungan kumuh dengan tata ruang perkotaan yang semeraut. Sebaliknya, pengembangan yang dimaksud harus ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan tidak mengeyampingkan kebutuhan serta hajat hidup generasi penerus negeri ini. Cukup rasanya dan bisa menjadi hikmah bagi kita dari bencana beruntun yang kita hadapi belakangan ini. Hal tersebut sudah barang tentu tidak terlepas dari kebijakan yang salah, sesaat, serakah serta dosa kemanusiaan dan peradaban yang kita perbuat. Kedua, penataan yang tidak benar dari pariwisata akan menghasilkan lingkungan yang kotor. Kita bisa lihat bagaimana wajah kota Takengon saat ini, sampah bertebaran dimana-dimana, rerumputan liar menghiasi pinggir jalan, dan lain-lain meski kebijakan “Takengon Kota Berlian” sudah hadir. Jauh sebelum manusia memikirkan, Allah SWT sudah lebih dahulu merancang kehidupan yang komprehensif bagi manusia terutama prihal urgensi kebersihan. Namun demikian, konsep luhur Tuhan serta kebijakan yang dihasillam jauh dari perilaku kita, malah bangsa-bangsa yang membelakangi Tuhan, dewasa ini menerapkan konsep-konsep yang dihasilkan-Nya.

Ketiga, pariwisata akan berimplikasi pada westernisasi (nagative behaviours, attitudes & habbits), dekadensi moral, hedonisme, materialisme, konsumtif serta terjangkitnya wabah penyakit baru seperti virus HIV AIDS akibat free sex. Keempat, akan menurunkan norma adat dan agama. Hari ini, kita bisa melihat banyak pergeseran-pergeseran nilai dan perubahan mendasar terjadi pada masyarakat kita yang mengabaikan perintah Tuhan dan nilai-nilai agama, menghalalkan semua cara meski nurani tidak membenarkan, idealisme yang tergadaikan, membuat hukum tapi kemudian sebagai pelanggar, disamping adat dan budaya yang sudah terkikis jauh dari tempatnya, seolah tidak ada lagi ruang Tuhan di nurani kita.

Selanjutnya, budaya hanya dijadikan sebagai komoditi, segala sesuatu dihitung berdasarkan angka matematis yaitu untung dan rugi terutama “jatah pribadi”. Kita memang mempraktekan hasil kreasi datu-datu kita dahulu seperti tari Guel, Bines, Saman, Doding, Resama Berume…namun hakekatnya atau secara substansi kita tidak tahu lagi makna filosofis dan historis yang terkandung di dalamnya, terlebih generasi sekarang. Lebih jauh, kita mengaku sebagai orang Gayo tapi kita tidak sadar diri…siapa diri kita sebenarnya, sungguh betapa hati tersayat, tragis dan ironis melihat realitas ini. Nantinya, masyarakat kita akan asing di negeri sendiri dan mengganggap budayanya inferior saat pengembangan ini hanya dilihat dari sisi ekonomi, tidak ramah lingkungan dan dipandang hanya sebagai komoditi.

Harapan penulis, para pembaca dapat mengambil hikmah dalam mengkonsumsi tulisan ini terlebih decision maker dengan bercermin pada realitas sosial hari ini dan masa lalu, “genap si mulo agih si belem”. Dengan demikian, langkah-langkah yang diambil betul-betul berangkat dari perenungan dan pergulatan pikiran yang matang, dengan pendekatan komprehensif yang melibatkan masyarakat luas seperti seperti ulama, budayawan, pakar pariwisata serta akademisi. Konsekuensinya, semua akan merasakan buah jangka panjang dari pengembangan sektor ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar