Kamis, 02 April 2009

Peringatan Hari Pahlawan: Sebuah Catatan

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Pemerhati sejarah, bahasa dan budaya Gayo, & Ketua Yayasan Pusat Kajian Kebudayaan Gayo, Medan, Sumatera Utara)


Semestinya kita tidak semata mempelajari sejarah, namun kita bisa belajar dari sejarah. Akibatnya, kita bisa melihat realitas sejarah dengan bijak,mengahargai apa yang telah dihantarkan dan diberikan pendahulu kita kepada kita hari ini... Al-Gayoni

Tulisan ini lebih melihat, memaknai sekaligus mengkritisi peringatan hari pahlawan secara umum. Secara khusus, tulisan ini lebih menyentuh realitas peringatan hari pahlawan yang ada di dataran tinggi tanoh Gayo khususnya Takengon dan Bener Meriah. Hampir tiap tahun kita memperingati hari pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November. Seperti yang sering kita dengar, peringatan ini sendiri bertujuan untuk mengenang perjuangan para pahlawan atau orang – orang yang telah berjuang sampai kemudian kita ‘merdeka’. Timbul pertanyaan kemudian, “Apakah kegiatan ini hanya sebatas mengenang jasa dan para pahlawan yang telah gugur?” Lalu, “Apa dampak kegiatan ini bagi para pejuang yang masih hidup, keluarga yang ditinggalkan, pelaku kegiatan ini dan umumnya masyarakat kita?”

Kalau kita perhatikan sepintas, kegiatan ini lebih bersifat ceremoni, ‘tradisi yang diada-akan karena keterpaksaan,’ menghabiskan dana, ‘mencitrakan diri’ seolah pejuang yang sesungguhnya dan menghabiskan energi. Meski lebih bersifat subjektif, tapi itulah kenyataan yang penulis lihat. Bukan berarti penulis anti dan menolak pelaksanaan kegiatan ini. Namun, yang kita harapkan adalah keberlanjutan dari kegiatan ini yaitu upaya untuk penghargaan jasa-jasa pahlawan dalam konteks yang sebenarnya terutama bagi pejuang yang masih hidup, keluarga dan penghargaan-penghargaan bagi pejuang lain dalam ruang lingkup yang lebih luas. Misalnya saja, pejuang atau tokoh dalam dunia agama, pendidikan, budaya, sejarah, seni, dan lain-lain.

Salah satu makna dari peringatan ini bagi kita; reje, petue, imem dan rayat bila dihubungkan dalam realitas peringatan hari pahlawan di Takengon, Aceh dan bangsa ini secara umum, adalah nilai – nilai perjuangan pahlawan atau perjuangan itu sendiri yaitu rela berkorban dengan ‘tidak mengorbankan orang lain’, terdepan (lisik, bidik, cerdik, dan mersik), dalam hal ini totalitas untuk melayani rayat, rakyat ‘bukan untuk dilayani,’ menjaga kepentingan generasi mendatang dengan pembangunan yang berkelanjutan, ramah lingkungan dan partisipatif. Begitu juga halnya dengan petue, imem dan rayat, berkorban dengan totalitas, konsisten, fokus dan maksimal dalam memberikan yang terbaik terhadap perkembangan, pertumbuhan dan kemajuan negeri Adi Genali ini dengan peran, fungsi dan wewenang masing-masing.

Kedua, melalui kegiatan ini, kita masih perlu dan harus kembali ke masa lalu dalam proses penggalian, pemeliharaan, pendokumentasian dan pelestarian sejarah perjuangan negeri ini menuju kemerdekaan. Yang ingin penulis tekankan disini bahwa kita tidak mesti larut dengan kegemilangan sejarah masa lalu, namun lebih pada penyelamatan perjalanan sejarah dalam bentuk pendokumentasian tertulis dan visual. Dikarenakan catatan sejarah dari daerah ini masih cukup kurang bila dibandingkan dengan daerah lain, boleh dikatakan dokumentasi dan referensi secara umum tentang Gayo masih sangat terbatas. Penulis melihat satu hal yang positif bahwa pemerintah daerah telah menambalkan nama –nama pahlawan atau orang – orang yang telah berjasa bagi daerah ini untuk nama jalan seperti Adi Genali, Mersa, Sengeda, M. Hasan Gayo, Abu Bakar atau yang lebih dikenal dengan Aman Dimot, (pemakaian nama Aman Dimot ini perlu diselurusi ulang kebenarannya), Nurdin Sufi, Gempar Alam, dan lain-lain. Dengan demikian, nama-nama ini akan terus melekat dalam ingatan orang yang melewati jalan ini. Tidak cukup sampai disitu, harus ada informasi tambahan prihal siapa itu Adi Genali, Munyang Mersa, M. Hasan Gayo yang dikemas dalam muatan sejarah lokal daerah, yang kemudian diajarkan kepada generasi-generasi muda di dunia pendidikan. Akibatnya, generasi muda kita hari ini dan di kemudian hari dapat menghargai apa yang telah diberikan pada mereka hari ini. Barangkali, inilah salah satu faktor, kenapa kita kurang menghargai apa yang telah dihantarkan dan diberikan orang lain kita terutama para pendahulu kita, cenderung berpikir subjektif, suka menjeneralkan dalam melihat permasalahan karena memang kekurangbijakan dan ketidakinginantahuan kita terhadap sejarah.

Penggalian nilai-nilai kepahlawanan, perjuangan dan sejarah yang penulis maksud adalah dengan penulusan kembali sejarah masa lalu secara sungguh-sungguh, fokus dan maksimal. Misalnya, melalui penulisan dan penerbitan buku-buku, seminar, dan lain-lain. Tanggal 19 Februari 2008 yang lalu misalnya, pemerintah daerah kita telah mengadakan seminar nasional Abu Bakar atau Aman Dimot serta mengupayakan almarhum menjadi Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Lebih dari itu, kita perlu mengupayakan upaya yang sama terhadap tokoh-tokoh kita pada masa lalu (masa peperangan zaman kolonialis Belanda dan Jepang) seperti Wali Tengku Tapa (kurir kesultanan Aceh ketika itu), Onot Pejebe, Tengku Ilyas Leube, dan lain-lain. Selain itu, pemerintah daerah sendiri perlu memberikan penghargaan yang sama terhadap tokoh-tokoh yang telah mengharumkan nama daerah ini, A.R. Moese misalnya, ditetapkan sebagai bapak musik Gayo, dan dalam bidang lain dengan tokoh yang berbeda. Untuk itu, legislatif, DPRK Aceh Tengah perlu menunjukkan inisiatif dalam membuat aturan menyangkut nama-nama penghargaan sesuai dengan kebutuhan, substansi dan tujuan dari penghargaan tadi. Misalnyanya saja, Teganing Awards untuk pelaku musik, dan lain-lain.

Dalam hal pemberian nama-nama jalan, penulis melihat terdapat beberapa kesalahan, yang dalam hal ini menggunakan nama-nama pahlawan atau orang-orang yang telah berjasa terhadap daerah ini. Tapi kita; reje, petue, imem, dan rayat hanya diam, padahal kita sadar dan tahu hal itu salah. Sebagai contoh, dalam penulisan peteri ijo, kenapa mesti diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi puteri hijau?. Padahal, kekeberen, cerita peteri ijo ini cukup populer di dan dari daerah kita. Namun, peteri ijo tinggal kekeberen tanpa makna, bekas dan upaya penyelamatan dari masyarakat pewarisnya. Contoh lain, belang mersa menjadi blang mersa (kesalahan penulisan), singah mata jadi singgah mata. Jangan – jangan, akibat kekurangtahuan, ketidakingintahuan, ketidakpedulian sekaligus kesalahan yang dibuat-buat, nantinya Takengon ditulis jadi take dan gone, supaya kelihatan lebih prestius, pake bahasa Inggris. Kampung Ketol jadi desa cacing, jamur laya jadi rumah setan, dan lain-lain. Kesalahan ini kembali pada dangkalnya pengetahuan kita mulai dari reje, petue, imem dan rayat, dalam hal ini, kita semua salah; tidak mau tahu dan menganggap hal ini, hal yang sepele. Berkaitan dengan hal ini pula, menujukan betapa rapuh sikap berbahasa urang, orang Gayo, kurang peduli terhadap pemakaian, penyelamatan dan pelestarian bahasa itu sendiri. Kembali lagi, memang kita tidak punya kepedulian dan tidak mau tahu. Melalui tulisan ini, penulis mengharapkan reje atau eksekutif, pemerintah daerah kabupaten Aceh Tengah lebih maksimal dalam penggalian, penyelamatan dan pelestarian apa yang kita miliki saat ini (sejarah, adat istiadat, budaya, warisan peradaban fisik, dan lain-lain) dengan upaya-upaya yang ril seperti perubahan nama-nama jalan yang salah tadi, dan lain sebagainya.

Ketiga, mempertahanan situs sejarah yang ada. Hal ini dapat dilakukan dengan pembangunan museum Gayo, paling tidak musuem sementara. Dengan demikian, warisan sejarah dapat ditempatkan dalam museum ini. Generasi kita juga terlebih dalam dunia pendidikan tidak hanya belajar sebatas teori, tapi dapat langsung melihat secara visual di musem, dan mendengar penuturan langsung menyangkut nilai – nilai perjuangan pahlawan dan menyangkut sejarah masa lalu daerah ini. Wacana pembangunan museum ini sebetulnya sudah lama diwacanakan, bahkan sebelum penulis lahir, tahun 1983. Tetapi cukup disayangkan, sampai tulisan ini dibuat museum yang diharapkan tidak jadi dan harus kembali diwacakan lagi oleh penulis dan terus menjadi muatan wacana sampai pada akhirnya urang, orang benar-benar hilang dari peradaban. Wacana tadi lebih menjadi pemanis bibir, pemenuh lembar-lembar kertas rekomendasi tanpa aplikasi dan miskin keberlanjutan.

Upaya yang paling minimal sekali adalah mempertahankan arsitek dan gedung-gedung sejarah yang ada. Hari ini, masyarakat Takengon tidak lagi bisa melihat gedung tua di depan Kodim yang erat hubungannya dengan detik-detik awal proklamasi di Takengon, beberapa bangunan lama yang sarat nilai sejarah, yang sekarang digantikan dengan bangunan baru yang tidak punya nilai sama sekali. Jangankan untuk menggali, menyelamatkan dan melestarikan, mempertahankan yang ada saja kita tidak mampu. Kiranya tidak berlebihan rasanya penulis mengatakan hal demikian. Hal ini tentu dikarenakan minimnya wawasan sejarah masa lalu kita menyangkut diri, urang, orang Gayo, sejarah lokal dan warisan peradaban masa lalu yang sampai ke tangan kita hari ini.

Hal lain yang patut menjadi perhatian kita adalah terkadang pendokumentasian sejarah daerah ini tidak terlepas dari rasa suka dan tidak suka serta sarat dengan kepentingan. Kalau suka, maka sejarah pun ditulis dan sebaliknya. Tidak menutup kemungkinan ada penggalan sejarah yang terpotong, tidak ditulis dan dengan sengaja tentunya. Seharusnya, kita bisa lebih bijak dan melihat secara objektif dari sejarah yang ada. Dengan begitu, kita bisa belajar dari kekurangan dan kelebihan pendahulu kita pada masa lalu. Yang kurang (kurang baik) tetap kurang, sementara yang lebih, memang lebih dan harus kita akui kelebihannya. Dalam hal ini, kita tidak hanya mempelajari sejarah tapi kita bisa belajar dari sejarah untuk menumbuhkan kearifan diri.

Di akhir tulisan ini, kembali penulis tegaskan bahwa saat ini kita harus secara sungguh – sungguh menyelamatkan aset sejarah, dalam lingkup yang lebih kecil adalah perjuangan pendahulu-pendahulu kita pada era Belanda dan Jepang. Paling tidak, saat ini kita masih memiliki pelaku peristiwa tersebut, yang menjadi saksi hidup. Satu per satu, mereka pun akan mengikuti pendahulu mereka. Kalau itu yang terjadi, maka kita akan kehilangan sejarah yang sesungguhnya menyangkut risalah perjuangan mereka. Makanya, kita perlu memaksimalkan kembali energi kita dalam upaya penulusan, pendokumentasian, pelestarian dan penyelematan aset yang berharga ini. Sebagai akibatnya, generasi kita pada masa mendatang dapat belajar dan mengetahui lebih tentang perjalanan masa lalu pendahulu mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar