Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Agustus 2008)
“Yusrizal Peroleh Piagam Lingkungan,” begitulah salah satu berita yang dimuat di halaman Harian Serambi Indonesia Edisi Senin, 4 Agustus 2008 yang lalu. Meski berita ini sudah lama dimuat tapi isu dan isinya ‘lingkungan hidup’ masih tetap diberbincangkan dan tetap menarik untuk dibahas sampai hari ini. Dalam usianya yang sudah mencapai 70 tahun, masih tergurat kekhawatiran dari muka awan, kakek yang tinggal di Dusun Uning Baru, kampung Meriah Jaya, kecamatan Timang Gajah, kabupaten Bener Meriah. Hal ini dibuktikannya dengan pemberian 1000 pohon kepada Kapolres Persiapan Bener Meriah, Kompol Isfar Mukhtarudin sebagai dukungan penanaman seribu pohon di kabupaten Bener Meriah.
Dalam usianya, 70 tahun, Yusrizal melihat begitu banyak perubahan lingkungan yang terjadi di daerahnya, dataran tinggi tanoh Gayo terutama kabupaten Bener Meriah, yang dulunya masih bergabung dengan kabupaten induk, Aceh Tengah. Melihat keadaan inilah, nurani awan Yusrizal tergerak untuk berbuat lebih untuk menyelamatkan lingkungan tanoh Gayo. Betapa tidak, di tahun 1960-an, tubuh tanoh Gayo masih diselimuti dengan rerimbunan uyem, pinus mercusi. Kuyu ni depik, angin pertanda musim depik mulai berhembus menusuk tulang belulang masyarakat yang mendiami daerah ini, Takengon & Bener Meriah. Kini, uyem banyak yang hilang, hutan – hutan banyak yang gundul dan berubah fungsi. Angin pertanda musim depik tidak lagi datang menghiasi musik depik, ikan khas danau ini.
Lebih dari itu, debit air Danau Laut Tawar sudah berkurang dari biasanya. Di atas kertas, danau ini melalui weh, sungai Pesangan berfungsi sebagai daerah penyanggga bagi kabupaten lain yang ada di Aceh. Tetapi, pada kenyataannya, aliran – aliran sungai yang menuju danau ini tidak lagi mampu mengairi masyarakatnya khususnya yang ada di Takengon, kabupaten Aceh Tengah, air sudah mulai berkurang dan susah didapatkan. Pun, kalau ada, masyarakat harus bergiliran dalam mendapatkannya. Satu hari mendapat pasokan air, tiga sampai empat hari harus bersabar untuk tidak mendapat air dari perusahaan air di daerah tersebut, sebuah kondisi yang cukup kontras. Ini akibat dari pengabaian nilai – nilai kearifan lokal, penebangan hutan sembarangan, aturan hutan yang dibuat kerap dan untuk dilanggar serta hukum yang tidak tegas terhadap pelaku illegal logging, pengawasan dan evaluasi yang kurang dari sistem yang ada.
Belajar dari Awan Yusrizal
Melihat kondisi di atas, kita, masyarakat Aceh baru terhenyak ketika danau ini benar – benar kering. Kita baru sadar ketika gunung – gunung dan isinya menimpakan bencana pada kita. Lebih dari itu, generasi mendatang mengutuk perbuatan kita dan generasi pendahulunya. Ironisnya, kita hanya sadar seketika tanpa niat dan usaha perbaikan sama sekali (dikutip dari buku A.R. Moese; Perjalan Hidup, Karya & Dedikasi). Berbeda dengan awan Yusrizal, kekhawatiran jiwa dan ketidaktenangan hatinya dalam melihat lingkungan sekelilingya, menggerakan dirinya untuk berbuat dengan menanam dan menyumbangkan berbagai jenis pohon yang dimilikinya. Apa yang dilakukan awan Yusrizal cukup relevan dengan kebijakan gubernur Aceh sekarang, Irwandi Yusuf dalam penyelamatan hutan dan lingkungan yang ada di Aceh melalui visi Aceh Green Vision-nya. Bahkan bangsa kita, Indonesia dan dunia pun menaruh perhatian penting pada masalah ini dengan menempatkan ‘penyelamatan lingkungan’ ini sebagai isu sentral di tengah memanas-nya bumi kita (global warning) saat ini.
Apa yang dilakukan awan Yusrizal sepatunya menjadi contoh buat kita. Pertama, seorang awan, di tengah usiannya yang lanjut, masih memikirkan, memberikan tauladan dengan langkah ril terhadap penyelamatan alam tanoh Gayo dan Aceh. Barangkali, bagi sebagian pihak, jumlah 1000 tanaman yang disumbangkannya terlalu kecil. Namun, 1000 pohon tadi akan memberikan manfaat jangka panjang bagi kelangsungan generasi dan ekosistem negeri, bangsa, dan bumi ini terlebih kondisi ekonomi awan Yusrizal, bukan berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas.
Dewasa ini, kita cukup sulit menemukan ‘suri tauladan’ dalam kehidupan kita sehari-hari seperti yang dicontohkan awan Yusrizal tadi. Seringkali, kita hanya melihat dan menilai seseorang berdasarkan jejeran gelar akademis, jabatan, ketokohan, retorika yang miskin tindakan, dan lain-lain terutama yang bertautan dengan isu ini. Atau kebanyakan dari kita baru bertindak bila ada momen perangkai yang tepat seperti peringatan hari lingkungan hidup, penanaman pohon, dan lain-lain. Dengan demikian, secara serentak kita pun tak mau ketinggalan dalam kegiatan tersebut tanpa ada keberlanjutan yang berkesinambungan. Berbeda dengan yang kita lihat kebanyakan, awan Yusrizal langsung berbuat dengan mengabaikan hal-hal di atas.
Kedua, awan Yusrizal benar – benar ikhlas berbuat dengan niat yang terjaga semata – mata mengharap keridhoan Tuhan sang pencipta. Tak pernah terbesit di benak orang seperti Yusrizal mengharap penghargaan dan imbalan dari apa yang telah dia lakukan. Akan tetapi, karena kegigihannya dan menyangkut apa yang telah dilakukannya, dia pun kemudian mendapat penghargaan lingkungan dari Kapolres Persiapan Bener Meriah. Jauh berbeda dengan realitas hari ini, kita akan berpikir panjang memberi yang menjadi miliki kita kepada orang lain, mempertimbangkan ukuran materi yang akan didapatkan terlebih dahulu, riya, takabur, sombong dan mengharap penghargaan dari apa yang kita perbuat.
Ketiga, sosok awan Yusrizal yang langka kita temui, tidak berpikir sesaat. Namun, pikiran, tujuannya jauh melewati batas – batas waktu, yaitu bagi generasi – generasi setelahnya. Bukan pinus, kayu mahoni yang dia sumbangkan, tapi tanaman yang menghasilkan buah seperti durian, alpukat, jeruk dan lain-lain. Awan Yusrizal paham dan menyadari, buah ini tidak semata menyelamatkan kelangsungan lingkungan dan membuat Aceh hijau (Aceh green). Lebih dari itu, ke depannya tanaman ini akan berbuah dan dapat dinikmati oleh kumpu, cucu, peyut, cicit dan generasi seterusnya.
Menanti Yusrizal Baru
Melihat besarnya kontribusi yang diberikan awan Yusrizal bagi kelangsungan lingkungan dan generasi Aceh mendatang, sosok seperti Yusrizal-lah yang patut mendapat penghargaan, “Aceh Green Award," “Global Warning Award” dan penghargaan apa pun namanya. Kita berharap, apa yang dilakukan awan Yusrizal dapat memberikan ruh, semangat dan motivasi tersendiri bagi pelaku penyelamatan lingkungan, masyarakat Aceh dan bangsa ini untuk berbuat lebih dalam menjaga, menyelamatan dan melestarikan hutan. Kita berharap, akan datang Yusrizal – Yusrizal baru dalam ruang penyelamatan hutan dan lingkungan hari ini, besok dan dalam pergantian hari –hari mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar