Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Harian Independe Aceh, 21 Desember 2008)
Tutur merupakan sistem panggilan yang ada dalam masyarakat Gayo. Suku ini sendiri merupakan suku pertama dan tertua yang mendiami Aceh (sekarang propinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Mereka digolongkan pada kelompok melayu tua atau proto Melayu. Sebagai tambahan, daerah pesebarannya terdiri atas Takengon (kabupaten Aceh Tengah) & kabupaten Bener Meriah (Gayo Lut dan Gayo Deret), Gayo Lokop (Serbejadi, Aceh Timur), Gayo Kalul (pulo Tige, Aceh Tamiang), kabupaten Gayo Lues dan sebagian di kabupaten Aceh Tenggara (Gayo Lues) serta sebagian kecil di Aceh Selatan. Biasanya, orang Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara menyebut dirinya sebagai Gayo Alas. Hal ini tidak terlepas dari daerah kediamannya yang mayoritas didiami oleh suku Alas. Perbedaan-perbedaan penamaan tadi berkaitan erat dengan pesebaran dari suku-suku ini (Al-Gayoni, 2006: 8-11, 2007).
Abbas Pulungan dalam Sarakopat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah (Syukri, 2006: 165) mendefinisikan tutur sebagai jalur penghubung untuk menguatkan ikatan kekerabatan. Sementara M.J. Melalatoa mengatakan bahwa tutur adalah tutur, sistem atau istilah kekerabatan (1985:406). Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Gayo kerap menggunakan tutur. Dengan kata lain, mereka berturur satu sama lain. A. R. Hakim Aman Pinan yang dikenal sebagai budayawan sepuh Gayo, membagi tutur ini menjadi 60 bentuk tutur (1998) dengan fungsi dan pemakaian yang berbeda-beda. Sementara Musfata Ak (Ketua Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo) membedakan tutur ini menjadi 63 bentuk tutur.
Pembagian bentuk tutur tersebut berkaitan erat dengan sistem atau bentuk keluarga yang ada pada masyarakat Gayo. Pecahan-pecahan tutur selanjutnya seperti yang disebutkan di atas, berasal dari dua sumber tutur utama yaitu dari pihak pedih (pihak keluarga laki-laki) dan ralik (pihak keluarga perempuan). Ama dan ine misalnya, pihak ama disebut sebagai pihak pedih, sementara dari pihak ine disebut dengan pihak ralik. Dengan begitu, tutur yang dipakai pun kemudian akan berbeda antara pihak pedih dan pihak ralik. Misalnya, panggilan abang dari pihak ama dan pihak ine. Untuk pihak ama, kita panggil dengan ama kul, ama lah, ama ucak atau ama ecek, sedangkan untuk pihak ine kita sapa dengan pun, dan lain-lain. Sebutan ama kul, ama lah dan ama ucak atau ama ecek tergantung pada kedudukan yang bersangkutan dalam keluarga. Untuk kasus ama tadi misalnya, disebut ama kul, dikarenakan ama kul merupakan abang dari ama (bapak), yang paling besar (ama = bapak, sedang kul=besar). Begitu juga halnya dengan ama lah dan ama ecek atau ama ucak, masing-masing berarti ama yang kedudukan berada antara yang sulung dan yang bungsu serta adik bapak yang bungsu.
Pemakaian tutur di atas menunjukkan tingkat kesantunan berbahasa yang dimiliki oleh suku ini. Pemakaian bentuk tutur yang digunakan bergantung pada umur, kedudukan, aliran daerah dan hubungan kekeluargaan dari lawan tutur yang dihadapi penutur. Misalnya saja, seorang anak memanggil orang tuanya, dalam hal ini bapaknya dengan panggilan ama dan ibunya dengan panggilan ine. Bentuk-bentuk tutur ini juga merupakan gambaran dari nilai-nilai agama Islam yang terkandung dalam adat istiadat masyarakat Gayo. Dalam kaitan ini, ada dalam bentuk tutur yang digunakan (Q.S. 4:8,9,63, 17:23, 28 dan 20:44, Murni: 2008). Selain menggambarkan kesantunan linguistik (kesantunan berbahasa) baik dari sudut pandang agama maupun dari sisi adat istiadat Gayo, tutur ini juga menunjukkan kedudukan seseorang atau lawan tutur dalam sebuah keluarga. Ungel misalnya, dia merupakan anak satu-satunya yang ada dalam keluarga. Contoh lain, sulu bere atau anak sulung, merupakan anak yang paling besar atau pertama lahir dalam keluarga. Lebih dari itu, melalui tutur ini yang dikaitkan dengan psikologi, kita dapat mengetahui kepribadian seseorang. Pada akhirnya, pemakaian bentuk tutur yang baik dan benar akan mendatangkan keharmonisan dalam sebuah keluarga dan masyarakat (Mustafa Ak, 2008). Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa bentuk dan pemakaian tutur ini merupakan gambaran dari cara pandang, sikap, karakter dan cerminan nilai-nilai agama Islam dan adat istiadat Gayo itu sendiri.
Akan tetapi, dewasa ini, pemakaian tutur ini sudah kurang dipakai dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Gayo terutama yang ada di Takengon (kabupaten Aceh Tengah) dan kabupaten Bener Meriah. Kurang atau tidak dipakainya tutur ini disebabkan karena sikap berbahasa penutur bahasa Gayo. Sebagian pentutur bahasa ini lebih cenderung memakai dan menggantikan bentuk tutur ini dengan kata lain dari bahasa lain. Pemakaian kata ama dan ine misalnya, kini penutur bahasa Gayo lebih menggunakan kata bapak dan mamak yang erat pengaruhnya dengan bahasa Indonesia. Penggantian tersebut dikarenakan kata-kata pengganti tersebut dianggap lebih prestisius. Begitu juga halnya dengan pemakaian ibi, kil dan lain-lain, kerap digunakan dalam bentuk pemakaian yang salah. Perubahan penggunaan ini dipengaruhi pula oleh perkembangan teknologi, informasi dan globalisasi. Dengan demikian, terjadi perubahan dan pergeseran nilai dalam masyarkat Gayo termasuk dalam bebahasa khususnya pemakaian tutur tadi.
Selanjutnya, terjadinya interaksi budaya dalam masyarakat ini. Misalnya saja, terjadi perwakinan silang antara suku ini dengan suku-suku lainnya. Di Takengon dan Bener Meriah sendiri, didiami oleh lebih dari delapan etnik grup; Gayo, Aceh, Jawa, Padang, Cina, Karo, Batak, Sunda, dan lain-lain yang dengan demikian memungkinkan terjadinya interaksi budaya. Disamping itu, sekarang sudah jarang terjadi transfer pengalaman dan pengetahuan berbahasa dari penutur yang lebih tua kepada yang muda. Istilah lain, kita menyebutnya dengan pembelajaran berbahasa Gayo. Dulunya, bentuk pembelajaran ini disampaikan melalui kekeberen, salah satu sastra lisan Gayo. Sebagai akibatnya, terjadi alih pengalaman, pembelajaran moral dan bahasa kepada penutur yang lebih muda. Akan tetapi, kekeberen ini, sekarang tidak lagi berperan dikarenakan jumlah pelakunya yang mulai terbatas atau usia lanjut, ketidakmampuan orang-orang tua (yang sekarang) dalam melakukan kekeberen dan perannya sudah digantikan dengan kehadiran teknologi tadi.
Disamping pembelajaran berbahasa secara informal dan secara tidak langsung di atas (melalui kekeberen), bahasa Gayo dalam praktinya, yang di dalamnya termasuk pembelajaran prihal tutur tadi kurang diajarkan melalui lembaga pendidikan. Pengalaman penulis sendiri, ketika masih SLTP, waktu itu sempat dipelajari bahasa Gayo di kelas satu dan kelas dua. Begitu juga halnya, untuk anak-anak SD yang sekarang, penulis mendengar mereka sudah diajarkan bahasa Gayo. Akan tetapi, pembelajaran bahasa Gayo yang ada masih bersifat terbatas. Tanpa ada upaya untuk mendalami secara lebih, nilai-nilai filsafat yang terkandung dalam bahasa tersebut, seperti kandungan nilai-nilai dari bentuk-bentuk tutur tadi misalnya. Selain itu, upaya pembelajaran ini terhenti hanya sampai pendidikan dasar dan menengah pertama, itu pun hanya sampai kelas dua (pengalaman penulis), tanpa ada tindak lanjut yang berkelanjutan. Tentunya, pembelajaran berbahasa ini terkait langsung dengan perencanaan dan kebijakan berbahasa pemerintah daerah setempat, yang menurut penulis masih sangat kurang. Barangkali terbatasnya perencanaan dan kebijakan berbahasa tadi terkait pula dengan minimnya orang-orang bahasa di pemerintahan dan dinas pendidikan di kedua kabupaten (kabupaten Aceh Tengah dan kabupaten Bener Meriah).
Dengan melihat paparan di atas, sebagai bagian dari sistem sosial masyarakat Gayo, ditambah pentingnya fungsi dan peran tutur ini, penggunaan tutur ini perlu diajarkan baik secara formal maupun tidak formal, langsung dan tidak langsung, digunakan dan dipertahankan pemakaiannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Gayo terutama yang mendiami Takengon (kabupaten Aceh Tengah) dan kabupaten Bener Meriah. Sebagai akibatnya, pemertahanan identitas sosial akan terjadi dan mendorong terciptanya harmonisasi dalam masyarakat.
Referensi
Al Gayoni, Yusradi Usman. 2006. The Use of Vernacular Language Among the Gayo Students of North Sumatera University. Medan: English Department
Al Gayoni, Yusradi Usman. Bahasa Gayo: Sejarah, Perkembangan & Identitas Akhir Orang Gayo (2007)
Al Gayoni, Yusradi Usman. Bahasa Gayo? (2006)
Aman Pinan, A.R. Hakim. 1998. Hakikat Nilai – Nilai Budaya Gayo Aceh Tengah. Takengon: Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah
Melalatoa, M.J. 1985. Kamus Bahasa Gayo – Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Murni, Sri Minda. 2008. Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Daerah Sumatera Utara. Medan: Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Mustafa Ak. Tutur dan Keharmonisan Dalam Rumah Tangga (2008)
Syukri. 2006. Sarakopat Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Hijir Pustaka Utama
Watts, Richard J. 2003. Key Topics in Sociolinguistics Politeness. United Kingdom: Cambridge University Press
Watts, Richard J. 2005. Politeness in Language Studies in its History, Theory and Practice. Germany: Die Deutsche Bibliothek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar