Senin, 30 Maret 2009

Didong: Sarana Pembelajaran dan Pemertahanan Bahasa Gayo

Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Tabloid Ara News, Edisi II Februari 2009)


Didong merupakan salah satu kesenian tradisional yang terdapat pada masyarakat Gayo. Didong dimainkan dengan perpaduan seni sastra, seni suara dan seni tari, yang merupakan hasil olah pikir dan rasa daripada ceh yang ada dalam kelop didong (grup atau kelompok didong). Dalam didong, terdapat seorang ceh (vokalis dalam didong), apit (pendamping ceh) dan penunung (pengikut saat refrain terjadi) yang terdiri dari 10 sampai 15 orang. Kesenian ini dikelompokkan sebagai satu diantara sepuluh sastra lisan yang dimiliki suku ini (urang, orang Gayo). Sampai hari ini, didong kerap dipertunjukkan oleh masyarakat Gayo terutama yang mendiami kabupaten Aceh Tengah dan kabupaten Bener Meriah. Dengan perkataan lain, keberadaan didong masih ada dan kerap dipraktekan dalam masyarakat ini. Bahkan, dalam khasanah tradisi lisan Indonesia, didong merupakan salah satu sastra lisan yang masih bertahan sampai sekarang, sama halnya dengan wor bagi masyarakat Biak, propinsi Irian Jaya (Simbolon, 1999: 86&88)
Perlu diketahui, selain di dua kabupaten di atas, masyarakat Gayo lainnya tersebar di beberapa titik persebaran di Aceh seperti Serbejadi, Aceh Timur; Pulo Tige kabupaten Aceh Tamiang; kabupaten Gayo Lues; kabupaten Aceh Tenggara dan sebagian kecil di Aceh Selatan. Namun, didong lebih berkembang di dua kabupaten pertama yaitu kabupaten Aceh Tengah (Takengon) dan kabupaten Bener Meriah (Bener Meriah).

Arti dan Sejarah Didong
Drs. Mukthaman Bale dalam Syariat & Adat Istiadat III, didong berasal dari seni tari dan sastra, dilengkapi dengan beberapa instrument tradisional, yang dilakukan oleh Sengeda ketika membangunkan gajah putih dari perbaringannya yang hendak menuju pusat kerajaan Aceh di Banda Aceh. Pengikut Sengeda yang mengikuti perjalanan gajah putih dari nenggeri Lingga ke ujung Aceh mengalunkan lagu dengan kata-kata: enti dong, enti dong, enti dong, artinya jangan berhenti, jalan terus (Mahmud Ibrahim, 2005:232). Melalatoa, antrofolog Universitas Indonesia mengkaitkan etimologi didong ini dengan beberapa kosa kata dalam bahasa Gayo seperti denang atau donang (dendang dalam bahasa Indonesia). Namun, didong memuat pengertian yang lebih luas (2001: 9). Sali Gobal, dalam liriknya lagu mendefinisikan didong sebagai kesenian orang Gayo, “didong didong didong do didong ni, didong ko kin seni ni urang Gayo ni.” Artinya, didong didong duh didong, didong kau seni orang Gayo (Gobal dalam Melalatoa)
Garin Nugroho mendefiniskan didong sebagai perpustakaan hidup yang mampu menggambarkan bagaimana komunitas Gayo berpikir, menanggapi, bereaksi dalam proses kebudayaan. Lewat tradisi lisan didong ini, kita bisa membaca berbagai peristiwa kehidupan (banjir, kebakaran, tanah longsor) yang menjadi penanda sejarah masyarakat tersebut. Didong juga merefleksikan hubungan-hubungan individu manusia Gayo dengan alamnya, manusia lain dan perubahan di sekitarnya, termasuk proses politik itu sendiri. Lebih penting lagi, didong adalah refleksi manusia Gayo yang terbuka dengan perubahan nilai-nilai kompetitifnya (dalam Melalatoa, 2001: viii)
Munculnya kesenian didong ini berkaitan erat dengan keberadaan kerajaan Linge di Takengon dan kesultanan Aceh, di pesisir Aceh. Pada waktu itu, Sengeda yaitu anak reje, raja Linge ke-13 bermimpi bertemu dengan abang kandungnya (Bener Meriah) yang meninggal karena aksi pembunuhan yang dilakukan oleh raja Linge ke-14. Dalam aksi pembunuhan tadi, Sengeda tidak langung dibunuh oleh Cik Serule atas perintah raja Linge ke-14. Dia kasihan melihat anak reje Linge tersebut. Cik Serule sendiri merupakan perdana menteri kerajaan Linge ke-14. Sebagai gantinya, Cik Serule membunuh kucing dan dikuburkan menyerupai kubur manusia. Dengan demikian, raja Linge ke-14 beranggapan bahwa Sengeda juga sudah meninggal seperti abangnya, Bener Meriah. Melalui mimpi tersebut, Bener Meriah memberi petunjuk bagaimana cara menemukan sekaligus mengiring gajah tersebut untuk dibawa dan dipersembahkan kepada sultan Aceh Darussalam guna memenuhi permintaan putrinya. Permintaan putri tersebut berawal saat Sengeda yang dibawa Cik Serule pada sidang tahunan yang berlangsung di kesultanan Aceh yang mana Sengeda melukiskan gambar gajah tersebut pada sebuah “neniyun” (pelepah rebung bambu).
Setelah selesai membuat gambar gajah putih, Sengeda pun memain-mainkan gambar tersebut dengan memanfaatkan cahaya matahari. Akibatnya, pantulan cahaya tersebut mengundang perhatian putri sultan dan selanjutnya sang putri mendekati Sengeda untuk meminta penjelasan lebih banyak prihal gajah putih tersebut. Sengeda lalu menjelaskan bahwasanya gajah putih tersebut hanya ada di hutan Linge, sekitar kerajaan Linge. Pada akhirnya, putri meminta kepada ayahnya, sultan Aceh untuk menghadirkan gajah putih tersebut dengan bantuan Sengeda dan Cik Serule. Kini, gajah putih diabadikan sebagai simbol kodam Iskadar Muda dan Universitas Gajah Putih Takengon serta dijadikan nama kabupaten Bener Meriah, propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Fungsi Didong
Didong berfungsi sebagai sarana hiburan yang dipentaskan semalan suntuk, biasanya berlangsung dari jam sembilan malam sampai sebelum shalat subuh. Selain itu, didong kerap dipertunjukkan dalam acara-acara perkawinan, peyambutan tamu-tamu daerah dan pentas seni dan budaya baik di Aceh maupun di luar Aceh, dan lain-lain. Ada juga yang disebut dengan didong jalu yaitu jenis didong yang sifatnya diperlombakan (jalu = adu, lomba atau tanding) antara kelop satu satu kelop lainnya.

Dalam bukunya “Didong Pentas Kreativitas Gayo,” Prof. M. Junus Melalatoa menyebutkan beberapa fungsi didong, yaitu (1) fungsi hiburan, (2) fungsi pemenuhan kebutuhan akan keindahan dan estetika, (3) pelestari budaya, (4) pencari dana sosial, (5) sarana penerangan, (6) kritik dan kontrol sosial, dan (7) wahana mempertahankan struktur sosial (2001: 57). Dalam bukunya yang sama, Melalatoa juga menyebut didong sebagai “teater muda” atau “teater kehidupan.”

Dalam tulisan ini, didong akan dilihat sebagai salah satu media pembelajaran dan pemertahanan bahasa Gayo. Sebagai media pembelajaran, paling tidak ada dua pelaku yang harus dipenuhi yakni yang mengajarkan dan yang belajar (pembelajar bahasa Gayo). Pihak pertama (teacher) diperankan oleh ceh, apit dan penunung melalui karya-karya yang disuguhkan. Sedangkan pihak kedua (pembelajar atau learner) dilakukan oleh pendengar atau penonton saat didong dipertunjukkan atau dilombakan. Ketika kesenian ini ditampilkan, akan terjadi proses pembelajaran bahasa Gayo (language learning). Ceh dan anggtotanya menampilkannya dalam bentuk sair-sair yang dinyanyikan yang diiringi dengan tepukan tangan serta bantal kecil yang dipadukan dengan gerakan-gerakan tubuh yang semakin menambah nilai artistik dan estetika dari didong.

Dalam karya Daman (kelop Dewantara) dengan tajuk aman misalnya, aman aman mi aman dunien te aman (aman aman aman semoga dunia kita senantiasa dalam keadaan aman). Aman mi aman le enti ne gabuk (aman semoga dunia kita tetap aman, tidak ada lagi kerusuhan, konflik dan perang). Kasih enti laneh, sayang enti lelang (bila kasih janganlah terlambat, bila sayang jangan pula setengah hati). Ini jari ku tatang, ulu ku pe ku tungkuk (ku memohon dengan sepuluh jari tangan, kepala pun ku tunduk-kan). Ke mangas berbebalun (bila makan sirih ada bebalun), ke ampang berkewarang (sebaliknya, dalam ampang terdapat kerawang). Gere male ku tatang (bukannya mau saya puji), gere male ku bujuk (tidak pula saya membujuk). Aman aman mi aman ko dunie aman (aman aman aman semoga dunia kita senantiasa dalam keadaan aman). Aman mi aman le enti ne gabuk (aman semoga dunia kita tidak lagi rusuh, ada konflik dan perang). Kerna letih mungilih, kejang nangkok pematang (karena sudah letih menuruni dan menaiki pematang, naik turun gunung). Geh berdiang ku ujung ni tanuk (datang bermain-main ke ujung tanduk). Enti nyawa berpasang ku ujung ni pedang (jangan tempatkan nyawa di ujung pedang)...

Melalui lirik lagu aman di atas, kita dapat mengetahui seorang ceh Daman yang humanis dengan muatan bahasa sastra yang tinggi dan berbagai simbol yang dilukiskan melalui karyanya bahwa Daman, masyarakat Gayo dan Aceh ketika itu merindukan ketenangan, kedamaian karena bertahun-tahun Aceh khusus tanoh Gayo dilanda suasana tak aman, dalam hal ini pecahnya DI TII tahun 1953 yang salah satu tokohnya dari tanoh Gayo adalah Tengku Ilyas Leube (kepercayaan Tengku Muhammad Daud Beureueh). Karyanya ini juga menembus ruang dan waktu, yang tidak hanya terbatas pada wilayah geogratif tanoh Gayo, Aceh dan tahun pecahnya DI TII namun membawa pesan global agar dunia kita senantiasa damai, tidak ada kerusuhan, konflik dan perang.

Dengan demikian, pendengar atau penonton lebih mudah memahami dan merasakan apa yang dimaksudkan ceh tadi. Seolah pelaku diluar ceh dan anggotanya diajak bertualang merasakan dan mengalami sendiri apa mereka sampaikan. Selain itu, agar proses pembelajaran dimaksud terjadi, pendengar atau penonton (audience) harus memahami bahasa Gayo. Dikarenakan, di dalam didong terkandung nilai-nilai sastra yang tinggi, penuh dengan metapor, tamsil, sarat dengan pembelajaran moral dan mengandung nilai-nilai filosofis yang mengajak audience-nya untuk berfikir (berfilsafat) seperti dalam lirik aman karya Daman di atas. Paling tidak, audience mengerti bahasa Gayo sehari-hari sebelum menyentuh wilayah yang lebih dalam dari didong.

Selanjutnya, didong berfungsi sebagai sarana pemertahanan bahasa Gayo (language maintance). Seperti yang disampaikan sebelumnya, didong merupakan salah satu sastra lisan yang masih tetap bertahan dalam masyarakat Gayo. Dengan begitu, melalui kesenian tradisional ini, pendengar atau penonton (learner, pembelajar bahasa Gayo) dikenalkan khususnya dengan bahasa, adat istiadat, sejarah dan kebudayaan Gayo. Dikarenakan, menurut perkiraan, bahasa ini (bahasa Gayo) akan punah 50 tahun mendantang (Al Gayoni, Serambi Indonesia, 14 Juli 2006). Pada akhirnya, melalui didong ini akan terjadi pemertahan bahasa Gayo itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar