Senin, 30 Maret 2009

Tawar Sedenge; Lagu Menggugah & Mengubah

Oleh: *Yusradi Usman Al Gayoni
(16 Rajab 1428 H/31 Juli 2007)



Engon ko so tanoh Gayo
Si megah mu reta dele
Rum batang uyem si ijo, kupi bako e

Pengen ko tuk ni korek so
Uwet mi ko tanoh Gayo
Seselen pumu ni baju, netah dirimu

Enti daten bur kelieten
Mongot pude deru
Oya le rahmat ni Tuhen, ken ko bewen mu

Uwetmi ko tanoh Gayo
Semayak bajangku
Ken tawar roh munyang datu, uwetmi masku

Ko matangku si mu mimpim
Emah uyem ko ken soloh
Katiti kiding enti museltu, i lah ni dene

O kiding kao ken cermin
Remalan enti berteduh
Enti mera kao tang duru, ton jema dele

Enti osan ku pumu jema
Pesaka si ara
Tenaring ni munyang datu, ken ko bewene mu

Uwet mi ko tanoh Gayo
Ko opoh bajungku
Ken tawar roh munyang datu, uwetmi masku



Inilah salah satu puisi A.R. Moese yang diciptakannya di Baleatu pada tahun 1956. Karya monumental ini cukup populer di kalangan masyarakat Gayo. Betapa tidak, lagu ini kerap dinyanyikan di acara-acara formal baik di pemerintahan tanoh Gayo maupun di tingkat masyarakat Gayo. Oleh pemerintah daerah, lagu ini kemudian ditetapkan sebagai lagu wajib daerah. Tidak hanya di tanoh Gayo, lagu ini selalu dinyanyinkan oleh anak negeri di perantauan ’pang - pang pendidikan’. Tidak jarang, saat mereka menyanyikan lagu ini, mereka merasa tersentuh sambil menangis, ingin berbuat sesuatu terhadap negeri mereka ’dataran tinggi tanoh Gayo’ dan pada saat yang sama, seolah mereka dibawa terbang ke tanah kelahiran mereka. Karya ini begitu menyetuh perasaan, cukup menggugah dan memberikan efek perubahan bagi pendengarnya ’urang Gayo’ sekaligus menjadi motivator bagi urang Gayo itu sendiri. Akibatnya, mereka ’urang Gayo’ ingin berbuat dan memberikan yang terbaik bagi negeri mereka ’tanoh Gayo’. Tentu kita ’masyarakat dan generasi Gayo hari ini’ cukup mengapresiasi karya besar A.R. Moese diatas.

Engon ko so tanoh Gayo (lihatlah tanah Gayo), si megah rum reta dele (yang terkenal dengan harta yang melimpah), rum batang uyem si ijo, kupi bako e (dengan batang pinus yang hijau serta kopinya). Pengarang mengajak pembacanya untuk melihat dan mengetahui tanoh Gayo yang terkenal dengan harta melimpah. Dalam hal ini, tanoh Gayo tidak hanya Takengon (Aceh Tengah), tetapi juga Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Lokop Serbejadi (Aceh Timur), Kalul (A.Tamiang) dan sebagian kecil di Aceh Selatan. Gambaran harta yang melimpah ’kekayaaan tanoh Gayo’ adalah pinus mercusi, kopi dan tembakau. Tentu pinus mercusi, kopi Gayo jenis Arabika dan tembakau, merupakan sebagian kecil kekayaan yang dimiliki daerah ini. Selain itu, tanoh Gayo terkenal sebagai daerah pertanian ’holtikultura’ ’asam keprok sebagai komoditi nasional’ dan dulunya (zaman kolonialis Belanda), daerah ini (sekarang Bener Meriah) memiliki teh yang sempat merambah pasar ke benua Eropa dengan brand ’teh Redelong’. Juga daerah ini memiliki kualitas ganja yang tidak kalah di dunia. Kemudian, tanoh Gayo juga mengandung potensi tambang yang cukup pontensial seperti emas, batu bara, tembaga, uranium, gas, dan lain-lain. Iwan Gayo sendiri ’penyusun buku pintar & pemeta dataran tinggi tanoh Gayo’ menyebut daerah ini sebagai jamrud khatulistiwa mengingat potensi alam yang cukup kaya dan melimpah. Tak hanya itu, tanoh Gayo memiliki wajah memikau yang sempurna dengan danau kecilnya ’Danau Laut Tawar’ serta warisan budaya yang kerap hidup dan terpelihara dalam masyarakatnya.

Tanoh Gayo merupakan rahmat dan karunia Allah SWT kepada penghuninya sebagaimana disebutkan pengarang kemudian. Masyarakat yang mendiaminya harus bersyukur dengan karunia ini. Rasa syukur tersebut mesti diwujudkan dengan kerja keras, senantiasa menggali potensi diri, belajar tiada henti, perilaku yang positif dengan saling melengkapi kekurangan dan kelebihan yang ada, mendorong inovasi, kreativitas serta partisifasi aktif masyarakatnya dalam membangun negeri ini ’negeri penuh misteri ini’. Yang tidak kalah penting adalah menjaga warisan leluhur dan ciptaan Tuhan yang luar biasa ini.

Pengen ko tuk ni korek so (dengarlah suara ayam berkokok), uwet mi ko tanoh Gayo (bangunlah tanah Gayo), seselen pumu ni baju (singsingkan lengan baju), netah dirimu (untuk memperbaiki dirimu). Dalam bait ini, A.R. Moese yang juga seorang musisi ini mengajak tanah Gayo ’masyarakat dataran tinggi tanoh Gayo’ untuk bangun ’tuk ni korek so & uwet mi ko tanoh Gayo’ dan bangkit untuk memperbaiki diri ’seselen pumu ni baju’. Bangun dan bangkit bearti berbuat dan berkarya untuk negeri ’tanoh Gayo’. Karena tidak ada orang lain yang mampu mengubah kondisi dataran tinggi tanoh Gayo, mengangkat harkat, derajat dan martabat orang Gayo, selain orang Gayo itu sendiri (QS: Ar Ra’du: 11). Sehingga mereka ’bangsa Gayo’ akan menghargai diri mereka sendiri, ”the greater the man soul, the deeper he loves”, semakin besar jiwa seseorang, semakin dalam dia mencintai, demikian kata Leonardo da Vinci – pelukis Monalisa.

Enti daten bur kelieten, mongot pude deru (jangan biarkan gunung Kelieten menangis haru), oya le rahmat ni Tuhen (itulah rahmat Tuhan), ken ko bewen mu (untuk kamu semua). Hal menarik disini, kenapa gunung Kelieten sampai menangis? Penulis menapsirkan, hal tersebut tidak terlepas dari persepsi, konsep dan paradigma berpikir serta perilaku masyarakat Gayo sendiri. Kedua, merujuk kepada gunung Kelieten sebagai perwakilan kekayaan hutan dan alam tanoh Gayo. Untuk yang pertama, kita perlu melihat sejarah daerah ini yang masih kabur, konflik berkepanjangan yang menghilangkan ribuan nyawa, harta serta berimbas pada lemahnya ekonomi masyarakat, perubahan yang lamban terjadi, sikut kuwen kiri, tulok wan opoh kerung, perbedaan uken dan towa; kita memang ditakdirkan dan dilahirkan berbeda, ada uken, ada towa, ada Gayo Lut,Gayo Deret, Gayo Lues, Gayo Lukup, Gayo Kalul & Gayo Alas, namun mari jadikan perbedaan tersebut sebagai kekuatan dan kayanya jati diri kita (Al Gayoni). Untuk yang terakhir, Prof. H. Muhammad Daud, SH., Guru Besar Kriminologi Universitas Sumatera Utara, yang merupakan salah satu akademisi sepuh Gayo di USU menekankan, ”uken-towa hanya masalah pertama dan belakangan yang datang ke tanoh Gayo, kita ’urang Gayo’ harus meninggalkan budaya uken-towa untuk tidak memperbesar perbedaan yang ada, tidak menggunakan uken-towa untuk mencapai kepentingan tertentu, karenanya kita mesti menggunakan standar kualitas dan profesionalitas untuk perbaikan dan menuju revivalisasi urang Gayo.” (wawancara penulis, 24-25 November 2006). Kedua, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam tanoh Gayo yang tidak ramah lingkungan, tidak memberikan jangka panjang dan mengkebiri hak dan mengkerdilkan jiwa masyarakat sekitar; seperti pembakaran & penebangan hutan, penambangan liar, dan lain-lain yang berakibat pada kerusakan wajah dan tubuh Gayo sendiri. Gunung Kelieten disini hanya sebagai perumpamaan sekaligus mewakili wajah tanoh Gayo yang menawan. Kita bisa lihat dampak dari penembangan hutan terhadap perubahan cuaca, longsor yang terjadi diluar rasio berpikir kita, ”kenapa bisa terjadi?” dan pengurangan debit air pada Danau Laut Tawar. Kita baru terhenyak dan sadar ketika bur Kelieten benar-benar menangis dan keringnya danau kebanggaan kita sehingga generasi mendatang mengutuk perbuatan kita dan generasi pendahulunya. Ironisnya, kita hanya sadar seketika tanpa niat dan usaha perbaikan sama sekali.

Berikutnya, kembali pengarang mengajak bangsa Gayo untuk bangkit memperbaiki kondisi masyarakat dataran tinggi tanoh Gayo menuju sebuah perbaikan dan perubahan”uwetmi ko tanoh Gayo (bangkitlah engkau tanah Gayo), semayak bajangku, ken tawar roh munyang datu (untuk tawar bagi pendahulu-pendahulu), uwetmi masku (bangkitlah masku)” . Seperti dijelaskan sebelumnya, tidak akan turun hujan emas dari langit dengan sendirinya, ketika orang Gayo pasif, termangu, hanya menjadi penonton, menunggu pergantian hari tanpa makna dan arti bagi diri serta orang lain. Oleh sebab itu, pengarang mengajak masyarakat yang mendiami daerah ini untuk senantiasa bangkit dengan kerja nyata dan mengukir peradaban untuk perbaikan negeri ini.

Ko matangku si mu mimpim (engkau mata ku sebagai pemimpin/penunjuk arah), emah uyem ko ken soloh (bawalah pinus sebagai penerang), katiti kiding enti museltu, ilah ni dene (agar kaki tidak tersandung dalam perjalanan) Betapa puitis dan menyejukan, A. R. Moese membahasakan rangkaian baris puisi ini. Penulis menerjemahkan ’mata’ disini tidak sebatas mata kita ’secara kasat mata’ namun lebih jauh yaitu ruang Tuhan dalam diri kita, nurani, hati nurani, qolbu, heart brain (pakar syaraf) & heart intelligence (meminjam istilah Doc Childre & Howard Martin dalam The Heart Math Solution). Sama halnya dengan pinus, disini juga merupakan sebuah tamsilan. Secara nyata, pinus dapat digunakan sebagai soloh, suluh’ ’obor’ atau penerang dalam kegelapan untuk menunjukan arah ketika kita berjalan. Kata soloh disini berhubungan erat dengan ’mata’ pada baris sebelumnya.

Penulis lebih melihat hubungan tersebut kepada petunjuk atau penerang yang diberikan kepada manusia itu sendiri yaitu berupa kitab Tuhan. Dalam kontek Islam, tentu petunjuk yang dimaksud adalah Al – Quran dan As Sunah. Kedua petunjuk inilah yang dimaksud pengarang dalam untain untaian bait - bait puisinya dengan menggunakan ’nurani’ atau ’qolbu’ dalam diri manusia. Atau dalam bahasa adat, kita mengenal ungkapan, tingkis ulak ku bide, sesat ulak ku dene. Dene disini tidak lain, adalah ihdinassiratalmustaqim, seperti yang dijelaskan dalam Al- Quran (QS Al Fatihah: 6). Korelasi ini dapat kita lihat pada baris berikutnya yaitu ’katiti kiding enti museltu i lah ni dene’ (agar kaki tidak tersandung dalam perjalanan). Demikian luar biasanya seorang anak negeri; A.R. Moese mamadukan kata-kata tersebut. Dikala kita menggunakan pinus, suluh, lentera atau lampu dalam gelapnya malam, jalan kita akan terangi dan kita akan tahu arah dan tujuan perjalanan yang akan kita tempuh. Demikian hal-nya tatkala, kita menjadikan Al – Quran & Hadist Nabi Allah SWT, Muhammad Rasulullah sebagai penuntun, pastinya kita tahu dari mana, dimana dan mau kemana kita melangkah dengan menggunakan ’mata sebagai pembimbing’ atau qolbu ’ruang Tuhan’ dalam diri kita.

O kiding kao ken cermin (kaki, engkau sebagai cermin), remalan enti berteduh (jangan berhenti berjalan). Pengarang menjadikan kaki ’kiding’ sebagai cermin dari berjalan/perjalanan ’remalan’. Hal tersebut merupakan sebuah gambaran terhadap perjalanan yang kita lalui. Sekaligus pengarang mengajak pembacanya untuk terus berjalan untuk mencapai tujuan yang telah kita tetapkan ’visi hidup’. Semakin banyak dan jauh kita melakukan perjalanan, akan semakin banyak kita lihat dengan mengambil hikmah dari perjalanan yang kita lakukan. Dengan begitu, kita akan tahu hakekat penciptaan dan keberadaan diri kita. ’Enti berteduh disini’ dapat juga ditafsirkan sebagai ’usaha’ atau ’besarnya motivasi’ ’misi’ yang kita lakukan untuk mencapai tujuan tadi ’bentangan visi hidup’. The greatest thing in this world is not so much where we are, but in what direction we are moving (sesuatu yang terbesar dalam dunia ini bukanlah dimana kita berada namun kea rah mana kita akan bergerak), demikian kata Oliver Wendell Holmess. Apa yang dikatakan Holmes, semakin memperjelas maksud A.R. Moese dengan Tawar Sedenge-nya akan makna ’kiding ken cermin’ dan ’remalan enti berteduh’.


Enti mera kao tang duru (jangan mau engkau di belakang), ton jema dele (di tempat khalayak ramai). Tak bosan-bosanya, A.R. Moese kembali dan terus mengobarkan semangat kepada masyarakat Gayo melalui karyanya, duduk di belakang ’bermental kerupuk’ dalam khalayak ramai. Kita ’ bangsa Gayo’ harus tampil ’tang arap’ di depan, inisiatif, sebagai aktor utama, subjek atau pelaku di tengah-tengah masyarakat. Untuk tampil di depan, tentu tidak terlepas dari potensi diri, kualitas dan kemampuan yang kita miliki. Menyangkut kemampuan ini, Dr.-Ing. Ikhwansyah Isranuri (alumni Jerman), salah satu putra terbaik Gayo di USU (sekarang Dosen Teknik Mesin & Sekretaris Sekolah Pascasarja Teknik Mesin) menuturkan bahwa ”kemampuan otak orang Gayo terutama untuk bidang eksakta seperti ’mutiara yang ditutupi debu’”. Mudah-mudahan, apa yang dikatan doktor muda Gayo ini dapat menjadi renungan bagi kita semua.

Enti osan ku pumu jema (jangan berikan ke tangan orang lain), pesaka si ara (pusaka yang ada), tenaring ni munyang datu (peninggalan munyang datu/pendahulu negeri), ken ko bewene mu (untuk kamu semua). Melalui ini Tawar Sedenge, pengarang berpesan agar urang Gayo, tidak memberikan pusaka yang ada sebagai warisan leluhur ke tangan orang lain. Untuk itu, masyarakat Gayo harus selalu menjaga harta yang menjadi warisan lelulur tersebut baik fisik maupun non-fisik sehingga kita dapat mengapresiasi niat baik, kerja keras, tetesan-tetesan pemikiran pendahulu-pendahulu kita yang telah menghasilkan peradaban ini. Bagaimana pun, mereka ’pendahulu kita’ telah meninggalkan sesuatu buat kita hari ini. Bagaimana pun, mereka telah berbuat untuk kita hari ini. Tinggal lagi, giliran kita untuk berbuat, membuktikan dan berkarya untuk mewariskannya kepada generasi kita seterusnya. Jangan tanya orang lain namun tanya dirimu, ”Apa yang telah engkau berikan pada orang lain.” (Al Gayoni)

Uwet mi ko tanoh Gayo (bangkitlah tanah/bangsa Gayo), ko opoh bajungku (engkaulah pakaianku), ken tawar roh munyang datu (sebagai tawar untuk munyang datu/pendahulu), uwetmi masku (bangun dan bangkitlah masku). Di akhir puisinya, A. R. Moese kembali membangkitkan dan mengobarkan semangat yang tiada hentinya kepada bangsa Gayo, ”bangunlah tanah Gayo,” ”bangkitlah orang Gayo”, ”tunjukkan bahwa kamu mampu,” ”buktikan pada luluhur mu bahwa kamu bisa, ”bangkitlah,”warnai sejarah negeri ini dengan kegigihan, kerja keras, keyakinan, karya dan prestasimu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar