Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(16 September 2007 – 14 Ramadhan 1428 H)
Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa yang ada di Nusantara. Keberadaan bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo “urang Gayo” itu sendiri di Indonesia. Kita tidak bisa memisahkan bahasa Gayo dengan penuturnya “urang Gayo” dan sebaliknya. Sementara orang Gayo “urang Gayo” merupakan suku asli yang mendiami Nanggroe Aceh Darussalam. Golongan ini termasuk dalam golongan Melayu tua atau proto Melayu yang mendiami daerah ini sebelum kedatangan melayu muda termasuk orang Aceh. Mereka memiliki bahasa, adat istiadat sendiri yang membedakan identitas mereka dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Daerah kediaman mereka sendiri disebut dengan tanoh Gayo (tanah Gayo), tepatnya berada di tengah-tengah propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sejarah
Bahasa-bahasa yang ada di Nusantara masuk dalam kelompok Austranesia (Merrit Ruhlen dalam Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21: 27). Sedangkan Bahasa Gayo termasuk dalam rumpun bahasa Melayu Polinesia seperti yang disebutkan Domenyk Eades dalam bukunya A Grammar of Gayo: A Language of Aceh: Sumatra
“Gayo belongs to the Melayo-Polynesia brach of the Austranesian family of languages. Melayo-Polynesian languages spoken in Taiwan, the Philippines, mainland South-East Asia, western Indonesia…”(Domenyk 2005:4)
Bahasa ini (bahasa Gayo) merupakan bagian dari bahasa Melayu Polinesia, dan dikelompokan dalam bagian Austranesia seperti yang disebutkan Merrit Ruhlen di atas. Secara khusus, masih belum diketahui kapan dan periodesasi perkembangan bahasa ini (Gayo). Yang pasti, bahasa ini ada sejak suku ini menempati daerah ini. Orang Gayo sendiri sudah menempati Aceh (Perlak dan Pase, pantai timur dan sebagian pantai utara Aceh) sejak sebelum masehi (Ibrahim, 2002:1). Untuk menelusuri sejarah awal terbentuknya dan periodesasi bahasa ini, diperlukan kajian komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu terutama linguistik historis, linguistik komparatif dan sosio-linguistik untuk mengetahui hal di atas secara pasti. "
Perkembangan bahasa ini kemudian tidak terlepas dari persebaran orang Gayo menjadi beberapa kelompok yaitu Gayo Lut (seputar danau Laut Tawar termasuk kabupaten Bener Meriah), Gayo Deret yaitu daerah Linge dan sekitarnya (masih merupakan bagian wilayah kabupaten Aceh Tengah), Gayo Lukup/Serbejadi (kabupaten Aceh Timur), Gayo Kalul (Aceh Tamiang), Gayo Lues (kabupaten Gayo Lues dan beberapa kecamatan di Aceh Tenggara), juga sebagian kecil terdapat di Aceh Selatan. Faktor ekonomi menjadi motivasi utama persebaran tersebut, seperti yang dijelaskan dalam bahasa adat Gayo, “ari kena nyanya ngenaken temas, ari kena empet ngenaken lues.” Artinya, disebabkan karena kehidupan yang kurang baik, (sehingga) berusaha untuk lebih baik, karena sempit (lahan pertanian, perkebunan, dan lain-lain) berusaha untuk lebih luas.”
Terjadinya persebaran tersebut turut mempengaruhi penamaan-penamaan suku Gayo, variasi dialek dan kosakata yang mereka miliki. Gayo Lokop atau Serbejadi misalnya, merupakan nama sebuah kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul dan Gayo Lues, komunitas Gayo yang masing-masing ada di hulu sungai Tamiang, Pulo Tige (kabupaten Aceh Tamiang) dan kabupaten Gayo Lues termasuk beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Tenggara. Penamaan tersebut menggambarkan daerah hunian baru yang mereka diami. Orang-orang Gayo di kabupaten Bener Meriah masih merupakan bagian dari Gayo Lut (Takengon), yang beberapa tahun lalu, kabupaten Bener Meriah mekar dari kabupaten Aceh Tengah. Sementara, sebagian kecil komunitas Gayo di Aceh Selatan tidak menunjukan perbedaan nama seperti di tempat lain.
Variasi Dialek
Salah satu dampak dari pesebaran yang terjadi yaitu adanya variasi dialek pada bahasa Gayo. Meski demikian, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi penutur bahasa Gayo dalam berkomunikasi satu sama lain. Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Perbedaan tersebut tidak hanya pada aspek fonologi tetapi juga pada kosakata yang digunakan. Namun, untuk yang kedua (kosa kata) tidak menunjukan pengaruh yang begitu besar. Sebagai contoh, bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara.
Dalam hal dialek yang ada pada suku Gayo, M.J. Melalatoa membagi dialek Gayo Lut terdiri dari sub-dialek Gayo Lut dan Deret; sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari sub-dialek Gayo Lues dan Serbejadi. Sub-dialek Serbejadi sendiri meliputi sub-sub dialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).
Dalam bahasa Gayo, kita juga mengenal tingkat kesopanan yang ditunjukan dengan tutur (memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda. Hal tersebut menunjukan tata krama, sopan santun, rasa hormat, penghargaan dan kasih sayang. Kepada orang tua, misalnya, akan memiliki tutur yang berbeda dengan anak-anak. Dapat kita contohkan, pemakaian ko dan kam, yang keduanya berarti kamu (anda) Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda, sebaliknya, terasa janggal atau tidak sopan bila yang muda menggunakan kata ini kepada orang yang lebih tua. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ko. Selain itu, kam ini menunjukan makna jamak dan panggilan intim antara suami istri. Tambahan pula, bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.
Fungsi
Dalam pergaulan sehari-hari antar orang Gayo, bahasa ini berfungsi sebagai alat komunikasi. Meski terdapat adanya perbedaan dialek dan kosakata dalam bahasa Gayo seperti yang disebutkan sebelumnya (Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Lues, Lokop dan Kalul), namun perbedaan tersebut tidak menjadi persoalan yang berarti dalam proses komunikasi antar penutur bahasa Gayo. Perbedaan dialek dan kosakata tersebut menjadi cerminan kayanya kandungan bahasa Gayo. Kedua, bahasa ini berfungsi sebagai bahasa pengantar terutama pada periode awal penyebaran Islam dan dalam dunia pendidikan. Dapat kita lihat pada saman, didong dan beberapa sastra lisan Gayo lainnya. Dengan demikian, proses peyampaian menjadi lebih efektif dan mudah dimengerti oleh masyarakat. Di kota Takengon sendiri, yang multietnis dan multikultural, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar untuk berkomunikasi. Ketiga, sebagai identitas; melalui bahasa, kita dapat mengetahui kepribadian, identitas dan budaya bangsa lain, begitu juga halnya dengan bahasa Gayo. Pada akhirnya, keberadaan bahasa menjadikan penuturnya bangga akan kepemilikan bahasa yang bersangkutan. Demikian halnya bagi orang Gayo, bahasa Gayo menjadi kebanggaan tersendiri bagi para penuturnya.
Bahasa Gayo “Hari Ini”
Bahasa Gayo terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Pengaruh bahasa luar turut mempengaruhi bahasa Gayo terutama dalam koleksi perbendaharaan kata-kata, misalnya dari bahasa Arab, Melayu, Batak, Aceh, Karo, Belanda, Jepang, bahasa Indonesia, dan lain-lain. Pengaruh yang dimaksud tidak terlepas dari kehadiran dan interaksi suku-suku dimaksud dengan orang Gayo. Sebagai contoh, bahasa Arab, pengaruh ini erat kaitannya saat penyebaran awal Islam ke Aceh, yang mana orang Gayo sebagai suku asli telah lebih dahulu mendiami daerah ini (Aceh). Sebagai akibatnya, pengaruh bahasa Arab ke dalam bahasa Gayo cukup dirasakan. Selain itu, sebelum abad ke-16, sudah terdapat orang Melayu, Batak dan beberapa suku lainnya untuk mencari penghidupan di daerah ini. Selain itu, pengaruh kerje angkap (perkawinan angkap) yang ada pada masyarakat Gayo turut mempengaruhi keberadaan suku-suku ini terutama dari suku Aceh. Disamping itu, pengaruh Batak&Karo sendiri dirasakan karena kontak dagang orang Gayo-Karo di Gayo Lues, Kotacana & Karo, Sumatera Utara. Pada saat itu, komoditi yang menjadi andalan Gayo adalah tembakau. Selain itu, juga terdapat kopi Gayo, bahkan teh redelong yang sudah merambah ke pasar Eropa. Pada abad ke-16, datang pula Karo-27 ke dataran tinggi tanoh Gayo dibawah pimpinan Leube Kader. Saat ini, mereka ada di daerah Bebesen atau dikenal dengan kerajaan Cik Bebesen. Penulis sendiri lebih menyebut Karo-27 daripada Batak-27 dengan melihat sejarah dan beberapa perbedaan antara kedua suku bangsa tersebut, dengan melihat keturunan mereka di daerah Bebesen hari ini. Namun, bukan berarti, semua masyarakat Bebesen hari ini adalah keturunan Karo 27.
Kedatangan kolonialis Belanda ke daerah ini; perjalanan ke tanoh Gayo mulai tahun 1901 (Hurgronje, 1996: XVIII), turut menambah serapan bahasa Belanda pada bahasa Gayo. Beberapa contoh misalnya, arloji, disentri, kamar, lapor, martil dan reken (Baihaqi, 1981: 34) Begitu juga halnya dengan kedatangan Jepang tahun 1942. Pada umumnya, unsur serapan tersebut diterima dalam bentuk asli atau kadang-kadang mengalami variasi bunyi dalam penyesuaian dengan pengucapan wilayah penuturan (Baihaqi, 1981: 32). Dewasa ini, bahasa Indonesia sendiri menunjukkan pengaruh yang cukup besar dalam serapan bahasa Gayo. Hal tersebut sangat memungkinkan karena bahasa ini digunakan sebagai sarana komunikasi oleh masyarakat Gayo.
Dari segi pemakaian bahasa, penutur bahasa Gayo mulai menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari. Gejala ini dapat kita lihat di kota Takengon. Takengon merupakan kota kecil yang menunjukan keberagaman etnik dan kultural; mulai dari orang Gayo sebagai mayoritas, Aceh, Jawa, Padang, Cina, Batak, Karo, Mandailing, Sunda, dan lain-lain. Tidak hanya sekarang, gambaran keberagaman (multikultul) tadi jauh sudah tercipta seperti yang penulis sebutkan di atas. Penulis melihat, ada sebuah kecenderungan untuk memakai bahasa Indonesia ketimbang bahasa Gayo dalam pergaulan sehari-hari antar penutur bahasa Gayo. Kejadian ini tidak semata terjadi di dalam keluarga, yang notabene Gayo, tetapi juga di dalam masyarakat. Bahkan dalam percakapan sehari-hari, penulis melihat kerap terjadi gejala code mixing atau campur kode. Maksudnya, beberapa serpihan kata non-bahasa Gayo masuk ke dalam kalimat tersebut. Salah satu contoh menarik misalnya, please dong geh; disini kita memperhatikan, ada tiga bahasa sekaligus yaitu bahasa Inggris, Indonesia dan Gayo. kecenderungan ini umum terjadi di masyarakat Gayo dewasa ini karena pengaruh teknologi dan informasi terutama pengaruh media elektronik. Gambaran campur kode (code mixing) dan code switching (alih kode) tersebut dapat dilihat dalam penelitian sarjana penulis tentang pemakaian bahasa oleh mahasiswa Gayo yang kuliah di USU (Al Gayoni, 2006: 24-25, 27-37)
Selain faktor yang telah disebutkan di atas, pemakaian bahasa Indonesia turut mempengaruhi fenomena ini yaitu sebagai bahasa pengantar pada proses pembelajaran di sekolah, kampus, lembaga pemerintahan, kegiatan-kegiatan keagamaan, dan lain-lain. Tidak seperti bahasa daerah lain di Indonesia, bahasa Gayo sendiri kurang mendapat ruang dan tempat dalam muatan lokal di sekolah-sekolah. Padahal, dunia pendidikan merupakan sarana yang efektif untuk mempertahankan dan membumikan bahasa daerah, begitu juga halnya dengan bahasa Gayo.
Berbeda dengan kondisi di Aceh, di luar Aceh, seperti di Medan, Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Malang, orang Gayo lebih menggunakan bahasa Gayo dalam berkomunikasi satu sama lain. Hal tersebut sebagai wujud kerinduan berbahasa Gayo, kebanggaan dan identitas mereka sebagai orang Gayo di perantauan. Akan tetapi, mereka akan beralih ke bahasa Indonesia bilamana terdapat penutur non-Gayo dalam percakapan mereka. Perubahan dari bahasa Gayo ke bahasa Indonesia (code switching) ini dilakukan sebagai wujud penghormatan, penghargaan dan toleransi mereka kepada penutur yang berlainan tersebut (Al Gayoni, 2006: 38-40)
Lebih jauh dari gambaran di atas, penulis melihat terjadi penurunan kualitas berbahasa Gayo pada generasi sekarang dan mendatang. Bisa kita lihat dari berbagai kasus code mixing (campur kode yang terjadi) pada keseharian berbahasa penutur bahasa Gayo. Pengaruh perkembangan teknologi & informasi dan bahasa di luar bahasa Gayo memiliki pengaruh yang besar akan hal ini. Dalam bidang pertanian katakanlah, dewasa ini, prosesi pertanian tempo dulu, tidak lagi kita temui. Sebagai akibatnya, generasi kita hari ini tidak lagi mengenal istilah-istilah dalam bidang di atas. Ironisnya, masyarakat Gayo terlebih pemerintah hanya diam melihat perubahan yang terjadi tanpa mengambil sebuah inisiatif, rencana dan aksi lebih lanjut. Begitu juga halnya dalam sastra lisan Gayo; melengkan, didong, syaer, dan lain-lain, alih pengalaman/generasi dari pelaku budaya sepuh tidak terjadi kepada yang muda. Sehingga ketika perginya pelaku budaya senior seperti Prof. M. Daud Ali, Prof. M.J. Melalatoa, A. R. Hakim Aman Pinan, A. R. Moese, kita kehilangan banyak dan menanti lahirnya budayawan sepuh beratus tahun lagi, karena seiring dengan pergantian waktu, budaya Gayo pun akan hilang. Penulis beranggapan, setelah generasi 60-an, budaya Gayo mulai kehilangan arah karena tidak adanya alih generasi, minimnya catatan tertulis serta sikap sebagian besar masyarakat Gayo dan pemerintah yang kurang menaruh perhatian mengenai masalah ini. Saat itu, kita akan mengalami kelangkaan prihal orang yang mengetahui tentang budaya kita sendiri sehingga kita akan bertanya dan berguru kepada orang dan bangsa lain. Disamping faktor yang telah disebutkan di atas, yang menjadi penentu bertahan atau tidaknya bahasa Gayo dan kebudayaan Gayo secara umum adalah kemauan, sikap dan langkah nyata dari masyarakat Gayo menyangkut keberadaan bahasa dan warisan adiluhung munyang datu tersebut (budaya Gayo umumnya).
Identitas Akhir Orang Gayo
Bahasa ini (bahasa Gayo) akan menjadi identitas akhir orang Gayo. Meski orang Gayo memiliki budaya yang kaya, namun warisan tersebut hanya dijadikan aksi seremonial dan pelengkap identitas pelakunya, karena pada hakekatnya mereka jauh dari keluhuran-keluhuran nilai-nilai lokal tersebut. Memang selama orang Gayo masih ada dalam kehidupan ini, kemungkinan bahasa Gayo akan tetap ada. Namun, tidak ada sebuah garansi, bahasa Gayo akan tetap bertahan, terus dipakai dan dipelihara masyarakatnya seiring perubahan zaman yang begitu cepat dan sikap dari penuturnya sendiri. Sewaktu, suku bangsa ini mulai membelakangi bahasa ini, maka hilanglah identitas dan orang Gayo itu sendiri, tinggal kita menunggu waktu.
Kita tidak mau, kekhawatiran dan mimpi buruk di atas menjadi kenyataan, bahasa Gayo akan menjadi bahasa klasik di negeri sendiri dan generasi kita mendatang tidak tahu sama sekali prihal bahasa Gayo, mereka hanya menemukan beberapa lembar kertas usang di museum, tapi sayang untuk museum saja kita juga tidak punya. Karenanya, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengamil inisiatif, rencana dan langkah nyata prihal penyelamatan bahasa dan budaya Gayo, begitu juga halnya pemerhati dan pelaku budaya sendiri. Pemerhati dan pelaku budaya sendiri akan berjalan tertatih dan tidak maksimal bila tidak ada dukungan, perhatian dan penghargaan dari pemerintah seperti yang terjadi selama ini. Karenanya, kita menggantungkan harapan besar kepada pemerintah, reje yang memimpin saat ini dan masa mendatang untuk menaruh kepedulian, perhatian serta melakukan langkah nyata dan bersama menyangkut penyelamatan ini.
Sumber Bacaan
Akbar, Osra M.,dkk 1985. Pemetaan Bahasa Aceh, Gayo, dan Alas. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Al Gayoni, Yusradi Usman. 2006. The Use Of Vernacular Language Among The Gayo Students of North Sumatera University. Medan: North Sumatera University
------------ 2006. Bahasa Gayo?. Takengon: Teganing
Baihaqi A.K., dkk. 1981. Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Eades, Domenyk. 2005. A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra. Australia. Pasific Linguistics Research School of Pacific and Asian Studies.
Hurgronje, C. Snouck. 1996. Tanah Gayo Dan Penduduknya. Jakarta. Indonesian-Netherlands Cooperation Studies (INIS)
Hurgronje, C. Snouck. 1996. Gayo, Masyarakat dan Kebudayaannnya Awal Abad Ke-20. Jakarta: Balai Pustaka
Ibrahim, Idris.,dkk. 1984. Sistem Perulangan Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Ibrahim, Mahmud. 2002. Syariat Dan Adat Istiadat I. Takengon: Yayasan Maqamam Mahmuda.
Makam, Ibrahim., dkk. 1985. Kata Tugas Bahasa Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Melalatoa, M.J., 1981. Kebudayaan Gayo. Jakarta: Balai Pustaka
------------.,dkk. 1985. Kamus Bahasa Gayo-Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Simbolon, Parakitri T. 1999. Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kedudayaan (PMB)-LIPI dan The Ford Foundation
Tidak ada komentar:
Posting Komentar