Oleh: Yusradi Usman Al-Gayoni
(Penulis Buku Biografi A. R. Moese)
Nama Abdur Rahman Moese tentu tidak asing lagi dalam dunia musik di Aceh. A. R. Moese memiliki nama asli Abu Musa Azhari dan kerap disapa dengan Moese atau Acong. Namun, nama A. R. Moese kemudian lebih sering dipakai dibandingkan Abu Moese Azhari. Moese dilahirkan di Kampung Baru, Takengon Timur, Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tanggal 29 April 1939 dari pasangan Tengku. H. Sabdin dan Hj Sri Banun. Moese sendiri merupakan anak tertua laki laki dari sebelas bersaudara; Seri Jemat, Kelementina, Asmah, Sadimah, Jemilah, M. Syarif, Rukayah, Rosdah, Lindawati dan Mursyid.
Sejak kecil, Moese sudah menyukai musik. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh bapaknya tengku Sabdin, tokoh dan pelaku saman di kabupaten Gayo Lues. Selain itu, Tengku Sabdi mendalami syair saat kembali ke tanah leluhurnya, Takengon. Bersama saudara peremuannya; Sadimah dan Jalimah, Moese belajar olah vokal dari awan alik ke, bapak ibunya, Huria Panggabean. Saat sekolah di SMP Negeri 1 Takengon, Moese mulai belajar musik persisnya belajar instrumen. Pada 1953, Moese bergabung dengan kelompok musik Sadar yang diasuh oleh Ismail Mai. Moese mulai mempelajari not balok dalam kelompok ini, selain kakak kandungnya yang mengajar pada Sekolah Guru Bawah (SGB) B Takengon. Dalam Sadar, Moese dipercaya sebagai vokalis dengan suara tenor yang dimilikinya.
Pertama kali, tahun 1954, Moese mulai menciptakan lagu dengan judul garepo dan melati. Tahun 1957, Moese kemudian menciptakan Tawar Sedenge (penawar dunia) yang pada akhirnya ditetapkan sebagai lagu wajib daerah ‘semacam lagu kebangsaan bagi orang Gayo’ pada masa bupati Drs. H. Mustafa M. Tamy, MM. Konsekuensinya, Tawar Sedenge kerap dinyanyikan setelah lagu Indonesia Raya dalam berbagai acara formal kedaerahan dan di luar Aceh. Terkai dengan mencipta dan menggubah lagu, Moese telah menciptakan lebih dari 60 lagu berbahasa Gayo dan bahasa Indonesia termasuk gubahan lagu-lagu Gayo dan Aceh. Biasanya lagu-lagu yang digubah Moese akan popular di kalangan penikmat dan pecinta musik di Aceh.
Tahun 1958, Moese bergabung dengan tim kesenian kabupaten Aceh Tengah dalam rangka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) I di Kota Raja (sekarang Banda Aceh). Dalam PKA itu, tim PKA kabupaten Aceh Tengah tampil sebagai juara umum. Untuk bidang musik, Moese tampil sebagai tokoh utama ketika itu. Pada saat yang sama, Radio Republik Indonesia (RRI) Banda Aceh memutar lagu lagu Moese seperti tangke ni ate, garip dan renggali. Bahkan, dalam kesempatan lain, lagu garip tadi pernah dinyanyikan oleh Kus Hendratmo di alun-alun Yogyakarta. Pada tahun yang sama, Moese bersama tim tari punca utama mewakili Aceh dalam pementasan kesenian pada acara kongres pemuda pertama di Bandung, Oktober 1958. Tari punca utama merupakan perpaduan tiga tari sekaligus yaitu tari resam berume, top pade dan tarik pukat. Dalam hal ini, Moese bertugas sebagai penyanyi. Selanjutnya, Moese bersama penari punca utama melakukan pementasan di Istana Bogor di hadapan presiden Sukarno dan pemerintahannya saat itu. Saat itulah, presiden Sukarno mengapresiasi bakat, kemampuan dan kualitas vokal yang dimiliki oleh seniman besar Gayo ini.
Dalam hal pendidikan, Moese berhasil menamatkan sekolahnya di Sekolah Perikatan Darat Yogyakarta. Setelah itu, Moese sempat berkerja di Sukabumi, Takengon (Aceh Tengah) dan Aceh Singkil). Namun, pekerjaan tersebut ditinggalkannya karena kecintaannya terhadap musik. Untuk itu, Moese meneruskan studinya ke Akademi Musik Indonesia (AMI), di Yogyakarta. Di AMI, Moese dapat dengan mudah memahami not balok dan not angka. Cukup disayangkan Moese tidak dapat menyelesaikan studinya karena sakit. Alhasil, Moese pindah ke Jakarta, tahun 1970. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia sempat menjadi supir omperangan. Disamping itu, Moese bergabung dengan orkes tetap segar dibawah pimpinan Jenderal Polisi Hugeng dengan Idris Sardi dan lain-lain. Dalam orkes tetap segar, Moese dipercaya memainkan biola. Orkes ini kerap ditayangkan di TVRI sebulan sekali dengan membawakan lagu-lagu Indonesia dan keroncong. Saat yang sama pula, Moese merupakan salah satu pemain biola dan aktif di Lembaga Kebudayaan Gayo Alas, di Jakarta.
Saat kembali ke Takengon, tahun 1973, Moese berhasil menyelesaikan SMA-nya di SMA Negeri 1 Takengon. Lamanya penyelesaian SMA ini dikarenakan Moese seringkali pindah dari satu daerah ke daerah lainnya di Indonesia. Di Takengon, Moese mulai mengajar musik di Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Kemudian, Moese melangsungkan pernikahan dengan Ani Fatma, sarjana pendidikan bahasa Indonesia Universitas Negeri Medan (UNIMED). Dari perkawinannya, Moese dikaruniai tiga anak yaitu Pia Ardiagarini, Muhammad Dirgantara dan Sagara Mahardika. Pada waktu itu, Moese tidak lagi mencipta lagu sebab harus fokus dan total untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bersama istrinya Moese sempat berjualan minuman dan makanan ringan di Kebayakan, menitip kue buatan istrinya ke berbagai toko di Bale Atu, membantu istrinya menjalankan barang-barang kredit keperluan rumah tangga seperti rice cooker, blender, dan lain-lain sampai ke Pegasing, menanam tanaman muda di Belang Mersa dan berkebun kopi. Sampai-sampai Moese harus menjual biola kesayangannya karena desakan ekonomi pada masa tersebut. Biola ini merupakan hadiah dari gurunya di Akademi Musik Indonesia (AMI) Yogyakarta akibat kemampuan lebih Moese dalam memainkan biola. Sebagai tambahan, pada awal perkawinannya, Moese belum diangkat menjadi pegawai negeri sipil
Moese kemudian diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Aceh Tengah. Dari staf biasa, selanjutnya menjabat penilik dan terakhir sebagai kasi kebudayaan. Tahun 1981, Moese mendapat izin belajar dari pemerintah kabupaten Aceh Tengah untuk kuliah di IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Sambil kuliah dan menghidupi keluarganya di Jakarta, Moese mengajar private ensambel, gitar dan piano. Selain itu, Moese mengajar musik di SMP Negeri 88 Jakarta (staf honorer) khususnya untuk kegiatan-kegiatan ekstrakulikulier dan aktif di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Saat Moese menghadapi masalah financial, tak jarang, Moese pun dibantu oleh teman-temannya dan orang Gayo yang merantau di Jakarta; salah satunya adalah Wahab Rahmatsyah.
Setelah menyelesaikan studinya, Moese mendapat tawaran untuk meneruskan karirnya di Jakarta. Karena keterbatasan guru kesenian di Aceh dan panggilan jiwanya, Moese akhirnya kembali ke Takengon. Dapat dikatakan Moese merupakan sarjana musik pertama di Aceh. Moese kembali bertugas di dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan mengasuh Bina Musika di bawah binaan dinas ini. Bina Musika ini kerap menjuarai berbagai even kesenian di Aceh dan mewakili propinsi ini di tingkat nasional. Waktu itu, Moese juga mengetuai Dewan Kesenian Takengon (DEKATE). Di tingkat propinsi, Moese biasa menjadi tutor seni vokal dan musik se-Aceh. Lebih dari itu, Moese biasa melatih paduan suara ibu-ibu kantor wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh (NAD) sebelum mengikuti lomba di tingkat nasional (Zuska, 2008)
Alat Musik dan Tari Kesume Gayo
Tahun 1992, untuk pertama kali, bersama Seh Kilang, Moese berhasil menciptakan alat musik tradisional yaitu gerantung (kalung kerbau). Gerantung ini pernah dimainkan dalam pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) III di Banda Aceh dan di pentas seni lainnya. Selain gerantung, tahun 1992, Moese menciptakan jangka, yang terbuat dari peralatan pemotong tembakau. Seperti alat musik sebelumnya, jangka pernah diikutkan dalam lomba musik tradisional tingkat propinsi Daerah Istimewa Aceh, tahun 1993. Bahkan, dipentaskan dalam sebuah konser musik Gayo di Banda Aceh (1993), Taman Ismail Marzuki dan Taman Impina Jaya Ancol, Jakarta. Moese kembali menciptakan alat musik yang lain; perajah, tahun 1992. Perajah dibuat dari perahu bekas yang tidak terpakai lagi oleh nelayan yang ada di seputar Danau Laut Tawar. Alat musik ini ditampilkan di Taman Ismail Marzuki, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta dan dalam acara Gatra Kencana TVRI, yang saat itu (1995) meraih juara II. Melalui ciptannya, Moese ingin menunjukan ciri khas musik Gayo. Dengan demikian, ketika orang mendengar alat musik ini, orang dapat mengetahui bahwa ketiga alat musik milik orang Gayo, tanoh Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam.
Di bagian lain, Moese mulai menotasikan lirik-lirik didong, salah satu bentuk sastra lisan dan kesenian tradisional Gayo. Akibatnya, orang-orang di luar komunitas Gayo dapat menikmati kesenian ini dengan mudah. Dalam hal panduan suara, mealui lagunya yang berjudul renem jejem, Moese berhasil membawa grup paduan suara Daerah Istimewa Aceh masuk lima besar dalam Lomba Paduan Suara Tingkat Nasional di Jakarta. Tak hanya itu, tim paduan suara yang diasuh Moese mendapat juara III di propinsi (2003). Tahun 2004, Tim Paduan Suara SD dari Takengon, Aceh meraih peringkat IX se-Indonesia. Setahun berikutnya (2005), tim paduan suara dari Takengon, NAD menduduki peringkat XIII dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia.
Tahun 2005, melalui Sanggar Pendopo Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, Moese membawa Indonesia dalam pementasan Tim Kesenian Anak-Anak Gayo dalam rangka Peringatan Hari Anak Se-Dunia yang diadakan di Scope Je, Macedonia (Eropa Timur). Cukup disayangkan, Moese tidak bisa berangkat ke Macedonia karena Moese sakit yang dideritanya memburuk. Lebih dari itu, Moese berhasil menciptakan tarian baru yang dikenal dengan tari Kesume Gayo. Tarian ini bercerita tentang senda gurau beru bujang, anak muda di tanoh Gayo, Aceh. Pertama kali, tari ini ditampilkan melalui Sanggar Griya Patria yang diasuhnya saat Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) III berlangsung di Banda. Setelah pensiun, Moese tetap melanjutkan kegiatannya dalam dunia musik di tanoh Gayo dan Aceh. Di rumahnya, Belang Mersa, Moese mendirikan kursus musik yang beri nama Zola Music Course, tahun 2001. Kegiatan rutin yang diadakan kursus ini sampai sekarang, antara lain; pelatihan tenaga kesenian, pelatihan solfegio for a children, kursus instrumen (gitar, biola, piano dan recorder), pelatihan dasar musik untuk tingkat SD dan SMP, pelatihan group paduan suara tingkat SD, konser musik serta pelatihan atau pembinaan pentas seni pelajar. Pada tanggal 12 Agustus 2007 yang lalu, pemerintah propinsi Aceh memberikan penghargaan kepada Moese untuk kategori musik dalam rangka memperingkati Hari Kesenian Aceh.
Menghadap Ilahi
Setelah lama menderita lever dan sempat berobat ke Medan serta menjalani perawatan di Rumah Sakit Datu Beru Takengon, tanggal 27 Agustus 2007 Moese menghadap sang pencipta, Allah SWT tepatnya pada jam 02.10 WIB di rumahnya Belang Mersa, Takengon. Setelah disholatkan di Masjid Ruhama Takengon, Moese dimakamkan di pemakaman umum di kampung Dedalu, kecamatan Lut Tawar, Takengon, Nanggroe Aceh Darussalam. Setahun lebih, Moese pergi dengan meninggalkan karya-karya yang tak ternilai bagi Aceh. Melalui kerja keras, totalitas, karya, dedikasi dan konsistensinya, Moese telah membuktikan dan berhasil mengangkat marwah dan martabat kesenian Gayo dan Aceh di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar