Kamis, 12 November 2009

Menunggu Lahirnya Otorita Danau Laut Tawar Berbasis Kearifan Lokal

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Danau Laut Tawar merupakan danau kebanggaan masyarakat Aceh. Danau ini terletak di jantung Propinsi Aceh, tepatnya di Takengon, kabupaten Aceh Tengah. Keberadaan danau yang dikeliling gunung, dengan pinus mercusi, membuat wajah kota Takengon semakin indah, layaknya seperti Swiss. Takengon adalah Swiss-nya Indonesia, yang juga dijuluki Indonesia mini dengan pluralitas etnik, multilingual, dan hetoregenitas budayanya. Sifat masyarakatnya yang terbuka, toleran, dan akomodatif menambah daya tarik tersendiri bagi danau ini. Tak jarang, pengunjung yang datang terpikat dengan keindahan danau, alam Takengon, dan keramahan penduduknya. Dengan begitu, danau ini menjadi pemenuh kebutuhan keindahan, ketenangan, dan kenyamanan naluriah bagi pengunjung yang datang ke tempat ini.

Disamping itu, Danau yang memiliki luas 5,472 hektar, dengan panjang 17 kilomenter, dan lebar 3,219 kilometer dengan ikan khasnya, ikan depik ini memiliki fungsi vital bagi beberapa kabupaten di Aceh, diantaranya kabupaten Bener Meriah, kabupaten Bireuen, kabupaten Aceh Utara, dan kota Lhokseumawe. Betapa tidak, Danau Laut Tawar menjadi penyangga kebutuhan air bagi daerah tersebut. Terlebih lagi, buat PT Arun, KKA, dan beberapa perusahan besar yang beroperasi di Aceh. Yang tidak kalah penting, danau ini menjadi penumpu hidup bagi masyarakat sekitar danau yang berprofesi sebagai nelayan tradisional, dan petani di kampung-kampung di sekeliling danau. Ditambah lagi, bagi berbagai pihak yang bergerak di sektor pariwisata. Namun, bidang terakhir masih belum dikelola secara optimal, dan professional. Sebaliknya, masih bersifat tradisional, dan alamiah.

Kini, keseimbangan danau ini mulai terganggu. Berbagai kerusakan terjadi, diantara banyaknya ghost net di dasar danau, dipenuhi sisa bahan organik (pelet), pestisida, sampah rumah tangga, berdirinya bangunan-bangunan semen di bibir danau, keramba, dan gundulnya hutan pendukung sebagai sumber air danau. Beberapa tahun terakhir, debit air jauh berkurang. Begitu juga halnya dengan aliran sungai yang masuk ke danau, semakin banyak berkurang. Bahkan, warna air danau kini berubah menjadi “merah.” Tentu, kerusakan ini tidak berlangsung serta merta, melainkan prosesnya berlangsung lama. Kemungkinan, klimaks kerusakan ekologis danau tersebut terjadi sekarang. Tanda-tandanya sudah dimulai beberapa tahun terakhir. Dalam perspektif ekolinguistik, kerusakan ekologis tersebut, berimbas pula pada sosio-kultural, kearifan-kearifan lokal, dan bahasa masyarakat tempatan, khususnya yang mendiami seputar danau. Lebih kecil lagi, berhubungan dengan biota kedanauan Laut Tawar.

Salah satu penyebab akumulasi kerusakan danau ini, adalah kurang diberinya ruang bagi pemerintahan sistem tradisional yang ada di Gayo, Takengon, terlebih-lebih di seputar danau untuk hidup. Akibat penyeragaman pemerintahan di Indonesia, pemerintahan tradisional yang ada di Aceh, dan tanoh Gayo hilang. Lembaga yang dimaksud adalah sarak opat, terutama peran kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang lut, dan pengulu rerak yang tidak lagi berjalan. Untuk saat ini, peran sarak opat, diperankan bupati (pemerintah kabupaten), sampai kepala kampung (pemerintah kampung). Akan tetapi, beberapa unsur pemerintah tradisional yang dimaktud tadi tidak berjalan, dan hilang. Hanya sebatas simbol, dan pelengkap yang kaku. Dengan begitu, kearifan-kearifan lokal, tradisi menyangkut kedanauan, termasuk bahasa yang menjalankan visi, dan misi kebudayaan, serta menjadi simbol kedauan turut hilang.

Padahal, konsep-konsep dari pemerintahan tradisional, khususnya kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang lut, dan pengulu rerak jauh lebih bervisi jauh ke depan, ramah lingkungan, mengedepankan konsep-konsep personal dan kolektif, serta partisipatif dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, penjagaan, dan pengevaluasian terhadap danau. Tambah lagi, lembaga tadi cukup menghargai kearifan-kearifan lokal, dan tradisi yang ada. Misalnya saja, dalam penangkapan ikan depik. Dulunya, digunakan penyangkulan, dan dedesen yang dicirikan dengan kuyu ni depik (pertanda musim depik datang), dan sangat memperhatikan keseimbangan lingkungan, dan keselamatan ikan-ikan yang ada di danau melalui pengawasan yang dilakukan pawang lut.

Namun, dewasa ini, nelayan bebas menggunakan berbagai jenis, dan ukuran jarang. Tak jarang, kebijakan yang tertuju ke danau, malah semakin merusak danau, seperti penebaran benih ikan (restocking), yang akibatnya ikan yang dintroduksi, seperti grass crap malah menjadi kompetitor, dan menghilangkan ikan asli yang ada di danau, seperti depik, ikan pedih, tambah biota-biota kedanauan lainnnya, sebagai akibat dimarjinalkannya peran lembaga tadi. Selain itu, dibangun pula tanggul, bangunan semen-semen di bibir danau, kerambah di seputar wih ni Takengon (krueng Peusangan), dan pembangunan tempat-tempat wisata yang bebas tanpa aturan. Tidak hanya itu, sekarang dibuat pula instalasi ari bersih Bebuli Mendale untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat kota Takengon, yang airnya diambil dari danau. Kerusakan yang ada, diper-parah lagi, dengan tidak terdaftarnya danau ini pada Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Pariwisata, dan Budaya.

Ke depannya, kebijakan yang menyangkut Danau Laut Tawar dapat lebih “sehat” dan partisipatif, ramah lingkungan, ber-visi jangka panjang dengan mementingkan kebutuhan generasi mendatang, menghargai konsep-konsep personal, kolektif, serta kearifan-kearifan lokal, sosio-kultural, dan unsur-unsur pemerintahan tradisional tadi, baik dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah maupun dari Pemerintah Aceh. Dengan begitu, penghargaan, dan tanggung jawab moral dari masyarakat tempatan lebih besar dalam menjaga Danau Laut Tawar. Terlebih lagi, saat Otorita Danau Laut Tawar lahir sebagai solusi penyematan kerusakan danau ini.


*Mahasiswa Pascasarjana Linguistik, Konsentrasi Ekolinguistik (Ekologi Bahasa) Universitas Sumatera Utara.

Sumber: www.gayolinge.com (11 November 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar