Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Tahun 2010, oleh PBB ditetapkan sebagai tahun keanekaragaman hayati internasional. Penetapan ini merupakah langkah maju, dan menjadi kebutuhan kekinian terkait perubahan lingkungan dunia. Bila tidak diambil langkah-langkah penyelamatan cepat, maka ekosistem dunia akan bertambah kritis sebagai buah keserakahan pembangunan. Akibatnya, keanekaragaman hayati banyak yang hilang, tambah pelbagai kerusakan berkelanjutan lainnya baik fisik, biologis, maupun sosiologis terhadap kelangsungan hidup manusia dan kebertahanan lingkungan. Perubahan-perubahan tersebut, sudah barang tentu akan mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem.
Peningkatan pemahaman dan penguatan kesadaran publik menjadi keharusan. Karenanya, perlu kajian multidisipliner seperti ilmu alam, sosial, manusia, kebudayaan dan keberagamaannya dalam menyikapi krisis keanekaragaman hayati, dan umumnya lingkungan. Upaya penyadaran tersebut baik secara personal maupun publik, lebih efektif bila digerakkan melalui dunia pendidikan. Dalam tautan tersebut, Ekolinguistik, mencoba menyertakan diri dalam pengkajian lingkungan dalam perspektif linguistik (ilmu bahasa). Ekolinguistik merupakan kajian interdisipliner yang mempelajari hubungan ekosistem dan linguistik. Kajian ini dikenalkan Einar Haugan pada tahun 1972. Haugen mendefinisikan Ekolinguistik “as the study of interactions between any given language and its environment.” Di Indonesia, kajian ini terbilang baru, berkembang tahun 2000-an, khususnya di Universitas Udayana (2006) dan Universitas Sumatera Utara (2009).
Pelbagai perubahan sosio-ekologis sangat memengaruhi penggunaan bahasa, serta perubahan nilai dan budaya dalam sebuah masyarakat. Perubahan tersebut terekam dan tergambar dengan jelas di tataran leksikal dalam bahasa yang digunakan. Sebelumnya, di Indonesia, wacana (tuturan) kebahasaan banyak menyinggung soal kehijauan, kesehatan, dan kenyamanan lingkungan. Namun, dalam perkembangannya, tuturan-tuturan tersebut mengalami perubahan akibat perubahan sosio-ekologis di tingkal lokal dan global. Saat ini, tuturan yang ‘coklat,’ bahkan ‘hitam,’ ‘sakit’ dan ‘tidak nyaman’ yang memerikan kerusakan lingkungan mendominasi ruang kebahasaan, dan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Sebagai contoh, kosakata yang berkenaan dengan biota-biota kedanauan seperti nama ikan-ikan endemik, rerumputan, pepohonan, dan lain-lain banyak yang hilang akibat kebijakan pembangungan yang merusak lingkungan. Lebih dari itu, tradisi, lembaga keadatan dan budaya kedanauan tidak lagi di kenal generasi yang lebih muda. Konsekuensinya, secara evolutif, biota-biota kedanauan tambah keanekaragaman hayati yang melingkupi danau akan hilang. Selanjutnya, bahasa yang digunakan sangat memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak penutur bahasa. Pengaruh tersebut dapat berupa dukungan terhadap pemertahanan keseimbangan lingkungan, dan kebalikannya melalui belbagai bentuk mefatora yang digunakan. Misalnya saja, istilah ‘hutan perawan.’ Istilah ini merupakan salah satu bentuk metafora yang ‘menyesatkan.’ Hal tersebut dapat membuka ruang eksploitasi yang berlebihan, tanpa memikirkan kerusakan ekosistem, dampak negatifnya bagi generasi mendatang dan menghijaui hutan-hutan yang sudah lapang. Dewasa ini, muncul istilah baru dan mulai memasyarakat terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan kota besar lainnya, yaitu ‘hutan kota.’ Pemunculan istilah tersebut dilatari situasi ruang kota yang mulai sesak dengan polusi, dan menguatnya tuntutan lingkungan yang hijau, sehat dan nyaman. Tentunya, istilah ‘hutan kota’ memberikan citra dan dampak yang lebih baik bagi manusia sebagai pengguna dan pewaris ekosistem dibanding pemakaian ‘hutan perawan.’
Penetapan tahun keanekaragaman hayati dengan tema “biodiversity is life” cukup sejalan dengan kajian ekolinguistik, terlebih lagi dalam pemertahanan keanekaragaman hayati. Penetapan itu sejalan juga dengan perkembangan isu di dalam negeri prihal pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Informasi Geospasial Nasional di Gedung Kompleks Parlemen. RUU ini berisi penataan ruang nasional sebagai implementasi pembangunan berkelanjutan yang menekankan pertimbangan aspek pengelolaan lingkungan, ekonomi dan aspek sosial sebagai satu kesatuan. Pengelolaan lingkungan yang sehat dan baik yang berpijak pada kearifan-kearifan lokal menjadi semakin penting. Mengingat keanekaragaman hayati merupakan identitas masyarakat tempatan yang memuat nilai-nilai filosofis, ideologis, sosio-ekologis dan kultural keetnikan. Lebih luas lagi, penguatan kesadaran publik melalui pengenalan, pemertahanan dan pewarisan ekosistem kepada generasi mendatang, khususnya prihal keanekaragaman hayati akan semakin memperkuat identitas ke-Indonesia-an di tengah perkampungan dan persaingan budaya global.
* Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar