Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
‘Kekeberen’ adalah satu dari sepuluh sastra lisan yang ada di tanoh Gayo. Kata dasar kekeberen ini adalah ‘keber,’ yang dalam bahasa Indonesia berarti kabar, berita, atau kisah. Kekeberen merupakan penggambaran, pengabaran, dan pengisahan. Singkatnya, kekeberen menceritakan kisah terdahulu, atau rangkaiain cerita kekinian yang dikemas dalam bentuk cerita dengan berbagai bentuk, muatan, dan simbol yang dirangkainya. Muatannya dapat berupa cerita-cerita Islam, misalnya saja sejarah Islam, cerita nabi, sahabat, dan lain-lain. Dapat pula menggambarkan kearifan-kearifan lokal yang dimiliki suku ini. Selain itu, bermuatkan sejarah, misalnya saja tentang sejarah etnik Gayo, kerajaan Linge, kerajaan Isaq, kerajaan Bukit, kerajaan Cik, kerajaan Syiah Utama, dan cerita sejarah lainnya. Juga, topik lain yang tak terlepas dari kehidupan sosial masyarakat Gayo. Intinya, kekeberen mengajarkan pengajaran moral kepada pendengarnya, yang umumnya anak-anak. Dengan demikian, mereka dapat mengambil hikmah dari kekeberen, sehingga dapat menyikapi hidup dengan lebih bijak, baik, dan terarah.
Biasanya, orang tua, terutama nenek-nenek mengisahkan kekeberen ini kepada anak, atau cucunya sebelum mereka tidur. Bentuk, dan muatan ceritanya beragam seperti yang di sampaikan di atas. Namun, apa yang terjadi dengan kondisi kekeberen di tanoh Gayo saat ini? Kekeberen dapat dikatakan sudah hilang dari masyarakat Gayo. Kalau pun ada, pelaku dan pendengarnya terbatas. Kemungkinan, ada di kampung yang tidak tersentuh nilai-nilai modern. Itu juga jarang. Dari kebertahanannya, penulis melihat, kekeberen ini bertahan sampai tahun 1990. Sementara itu, tahun 1990 sampai 2000, kekeberen, semakin kurang dipraktekan. Sekarang, kekeberen sudah digantikan televisi. Orang tua, terlebih anak-anak lebih memilih menonton televisi. Mereka (anak-anak) disibukkan pula dengan tumpukan tugas mereka dari sekolah. Sebagai akibatnya, anak-anak lelah dengan aktivitas seharian, dengan sisa energi yang ada, mereka langsung tidur (tertidur)
Selain akibat teknologi, pelakon kekeberen juga mulai berkurang; sudah memasuki usia senja, dan tinggal hitungan jari. Dalam kaitan tersebut, orang tua yang sekarang memiliki kemampuan yang terbatas terkait kekeberen. Sebaliknya, ceritanya tidak lagi mengangkat nilai-nilai religiusitas, moral, etika, dan kearifan lokal, tapi kisah dari televisi yang ditonton sama-sama, yang kurang mengandung nilai-nilai edukasi. Karena tidak berlangsungnya transmisi budaya, kekurangingintahuan, kekurangmampuan, dan kekurangkreativan. Sudah bisa dipastikan, transmisi budaya terputus antara generasi tua dan generasi muda di tanoh Gayo. Akibatnya, generasi muda, terutama yang lahir, tahun 1980-an sampai sekarang, tidak tahu menahu terkait sejarah, sastra lisan yang kekeberen salah satunya, adat istiadat, norma, ‘resam,’ peraturen, dan kebudayaan tempatan.
Hal inilah yang menjadi persoalan yang memprihantikan di Gayo sekarang; terputusnya transmisi budaya dari yang tua ke yang muda. Orang tua kurang mengajarkan anak-anak-nya kebudayaan tempatan. Ditambah lagi, anak-anak juga enggan mempelajari budaya leluhurnya karena tidak adanya motivasi, arahan, dan tidak terbentuknya lingkungan ke arah dimaksud. Salah satu asumsi yang salah dari orang tua selama ini, adalah anggapan bahwa anak-anak akan mendapatkan pengalaman langsung (empiris) dari interaksi budaya sehari-hari dari lingkungan sekitarnya. Pengajaran budaya tidak perlu diajarkan baik secara formal, maupun secara informal. Selain itu, terjadinya ‘dominasi’ tokoh tua (‘senioritas budaya’), yang muda kurang diikutsertakan. Sebagai akibatnya, putusnya transmisi budaya tidak bisa dielakkan. Karena adanya rentang pengetahuan kebudayaan, dan pengalaman yang cukup jauh antara yang ‘tua’ dan yang ‘muda.’ Generasi muda Gayo sekarang merasa ‘kabur’ dalam melihat realitas budayanya, terutama soal kekeberen.
Ditambah lagi, soal miskinnya pendokumentasian yang bertalian dengan Gayo, terlebih lagi soal kekeberen tadi. Transmisi budaya terbatas hanya lisan, yang frekuensinya sangat terbatas. Belum lagi kurangnya tradisi menulis, yang mau menulis, terutama dari generasi ‘orang tua.’ Hal tersebut, tentu, semakin menambah peliknya persoalan ini. Sebetulnya, sudah ada dokumentasi tertulis prihal kekeberen, walau jumlahnya terbatas. Namun, dokumentasi tersebut tidak ada di Takengon sebagai sumber kekeberen tadi. Sebaliknya, kekeberen tadi ada di luar Aceh, terutama di Medan, Jakarta, dan umumnya pulau Jawa. Lebih disayangkan lagi, pemerintah kabupaten kurang menggali, memelihara, memertahankan, dan mendokumentasikan sejarah yang dimiliki suku ini, khususnya persoalan kekeberen. Pemerintah kabupaten kurang menghargai aset sejarah, dan budaya yang terwaris. Mereka (pemerintah kabupaten) lebih mengedepakan pembangun fisik, yang tak jarang berujung pada kerusakan ekosistem, dan semakin mengerdilkan kearifan-kearifan lokal yang ada. Singkatnya, pembangunan yang ada berbuah pada ‘kerusakan yang berkelanjutan.’
Padahal, kekeberen, dan sembilan sastra lisan Gayo lainnya berpotensi menjadi sarana pemertahanan bahasa Gayo. Kekeberen salah satunya, membuka ruang bagi hidup, berkembang, dan dipakainya bahasa Gayo. Dikarenakan, berdasar kajian ekolinguistik (ecolinguistics), atau ekologi bahasa, bahasa perlu lingkungan untuk hidup. Perlu lingkungan yang merumahi bahasa. Peran itulah yang dimainkan kekeberen, yang mengemban misi kebudayaan, yaitu dengan penggunaan ragam dan register khusus yang mereflesikan kehidupan religius, sosio-kultural, dan ekologis masyarakat Gayo.
Untuk itu, upaya-upaya penyelematan, terutama standarisasi bahasa Gayo (pembakuan), dan pendokumentasian hal-hal yang terkait dengan Gayo, terutama kekeberen tadi perlu dengan segera, sungguh-sungguh, terencana, terukur, dan maksimal dilakukan, terlebih lagi pemkab Aceh Tengah melalui dinas terkait. Kalau tidak, kekeberen yang hakikatnya berupa pengabaran, pengisahan, atau penceritaan kehidupan masyarakat Gayo akan berujung, dan menjadi kekeberen.
*Pemerhati Kebudayaan Gayo/Mahasiswa Program Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara.
Selasa, 25 Agustus 2009
Perubahan Cara Berbahasa
Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Bila kita perhatikan secara ‘mendalam,’ banyak perubahan yang terjadi prihal pemakaian bahasa di lingkungan tempat kita tinggal. Bangsa kita yang dulu dikenal santun dalam berbahasa, kini, semakin sensitif, banyak hal disikapi dengan bahasa yang kasar. Menyulut emosi, sekaligus kemarahan. Bahkan, di lapangan, banyak tindakan berujung dengan tindak kekerasan dan bersifat anarkis. Seolah, bangsa ini kehilangan pijakannya di tengah reformasi yang dibangun, yaitu tercerabutnya kearifan lokal (local wisdom) yang ada pada masing-masing etnik. Reformasi yang dibangun; seperti apa dan mau dibawa kemana, semakin tidak jelas, lebih khusus lagi reformasi budaya, khususnya berbahasa. Kebalikannya, reformasi kita, di bangun di atas pijakan yang rapuh, tanpa konsep, arah dan pencapaian yang jelas ‘reformasi kebablasan.’
Dalam hal ini, penulis tidak akan bercerita panjang lebar prihal reformasi yang tengah berjalan di Indonesia. Namun, mencoba melihat perubahan berbahasa (language change) dari penuturnya. Dalam konteks yang lebih kecil, tepatnya di Aceh, yaitu di Takengon. Seperti halnya etnik-etnik lain di Indonesia, yang dikenal santun dalam berbahasa. Demikian halnya, etnik-etnik asli yang ada di propinsi Aceh, seperti Aceh, Gayo, Alas, Singkil, Tamiang, Kluet, Anak Jameuk, dan Simelue. Di Gayo misalnya, banyak ungkapan lokal yang menggambarkan kesantunan, dan adab berbahasa. Misalnya saja, becerak lemut berturut payu, peri berabun, becerak mutempat, dan lain-lain. Begitu juga dalam tutur (sistem kekerabatan, atau bentuk sapaan), sastra lisan yang ada sepuluh jenis di Gayo (salah satunya didong). Ungkapan-ungkapan bijak yang terdapat di Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam tersebut, pada intinya mengajarkan penuturnya agar senantiasa santun dan beradab dalam berbicara (penutur) dengan lawan bicaranya (lawan tutur).
Namun, dengan perkembangan ilmu pengetahuan, informasi, teknologi dan perkampungan global (globalisasi) yang tiada berbatas, kesantunan dan adab dalam komunikasi yang meraka gunakan mulai berubah. Penutur bahasa ini (bahasa Gayo) tidak lagi memperhatikan tempat, waktu, lawan tutur, termasuk di dalamnya kesantunan linguistik (berbahasa) dan adab berkomunikasi (berbicara). Penutur bahasa ini (masyarakat yang mendiami Gayo), secara umum, mulai langsung (to the point); kurang menggunakan tamsil, ibarat, tidak lagi mengandung sastra yang tinggi seperti generasi sebelumnya, tidak mengenal diksi yang sesuai dengan konteks penggunaan yang tepat. Tak jarang, penutur bahasa ini mulai berbicara kasar, semakin jauh dari tuntunan agama, adat, resam, peraturan, serta kearifan-kearifan lokal yang ada (local wisdoms). Padahal, daerah ini, terutama daerah lut (Takengon, dan Bener Meriah) dikenal dengan kesantunan berbahasa, dibanding daerah Gayo lainnya di Aceh.
Padahal, kandungan nilai-nilai adat (budaya) yang ada cukup berdekatan dengan ajaran Islam. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Kedekatan tersebut diistilahkan dengan agama orom edet; lagu jet orom sipet, agama munukum; edet mubeda. Artinya, agama dengan adat; seperti zat dengan sipat, agama (memberi) hukum; adat membeda (kan). Dalam bahasa Aceh, hubungan yang sama dikenal dengan lagèë zat deungon sifeuët . Saat ini, ungkapan tersebut (kearifan lokal) sebatas simbol yang kaku. Tak lagi mampu, membuka ruang kesadaran, pintu hati, menggugah rasa dan logika masyarakat di Gayo akan pentingnya kesantunan, dan adab berkomunikasi. Pergeseran nilai tersebut dikarenakan, antara lain: pertama, masyarakat di Gayo, semakin jauh dari ‘tuntunan agama’ terlebih lagi generasi mudanya. Kegiatan keagamaan semakin berkurang, terutama soal pemahaman. Kalau pun ada, biasanya hanya menyetuh ‘kulit luar’-nya saja. Tidak menyentuh wilayah ‘dalam,’ sebatas syariat. Terkesan, pelaksanaan syariat Islam di daerah ini (Aceh) hanya sebatas ‘sisi luar,’ yang berbanding terbalik dengan gelar Serambi Mekkah yang dilekatinya.
Kedua, perkembangan informasi dan teknologi turut memengaruhi cara berbahasa tadi. Pengaruh yang paling nyata adalah dari media massa. Bahasa-bahasa media yang ada tidak mendidik; tidak mengajarkan kesantunan, dan adab yang baik. Khususnya lagi, tayangan-tayangan televisi, yang semakin jauh dari unsur edukasi, kesantunan, adab, dan tidak lagi mampu menguatkan kearifan-kearifan bangsa ini. Banyak tayangannya berbau hedonis, mistis, memeroleh sesuatu dengan cara singkat, material oriented, dengan logika yang dangkal, ditambah dengan deretan konotasi negatif lainnya. Media kita hanya mengejar rating, yang pada saat yang sama, dengan tega mengerdilkan moral generasi bangsa. Bahasa yang dipakai, juga, cenderung menyulut emosi, mengajarkan kekerasan, dan tindakan anarkis. Intinya, semakin kontras dengan keluhuran bangsa ini. Sebagai akibatnya, terjadilah berbahasa yang kasar, arogan, jauh dari kesantunan, adab, dan tidak manusiawi.
Ketiga, tidak berjalannya lembaga adat di Gayo, yang dikenal dengan sarakopat (empat lembaga atau unsur). Keempat unsur tersebut adalah, reje (raja), petue (orang yang paham soal seluk beluk budaya&masyarakat), imem (imam), dan rayat (rakyat). Kini, lembaga yang dimaksud dijalankan muspida, muspika, sampai pada pemerintahan kampung. Sistem pemerintahan yang ada tak mampu berbuat banyak. Padahal, peran lembaga ini sangat penting dalam menggali, membangun, memertahankan, dan melestarikan budaya. Lembaga ini mengatur hubungan antar rakyat, dan menciptakan harmonisasi di tengah-tengah masyarakat, kehidupan religius, adat, budaya, serta konsep-konsep kolektif lainnya. Yang lebih kecil, adalah soal komunikasi tadi. Pengaturan tersebut diatur dalam adat istiadat, resam, berbagai peraturan yang dimiliki, dan syariat yang berlaku. Pengaturan-pengaturan itulah yang dimanifestasikan melalui bahasa yang digunakan penutur bahasa. Dengan demikian, bahasa mengemban tugas yang begitu berat, sampai pada hakikat dari, dan pelaku budaya.
Dalam perkembangan yang terjadi belakangan, bahasa-bahasa minor yang ada di Indonesia, khususnya di Aceh, termasuk bahasa Gayo, saat ini, tidak lagi mendapat tempat. Artinya, tidak adanya lingkungan bagi bahasa untuk hidup, bertahan, dan terpelihara. Hal ini dapat didekati dari kajian ekolinguistik (ekologi bahasa), terutama dari sisi fisik, dan sosioligis-nya. Banyak ragam, dan register baru yang telah menggusur kata-kata lama, termasuk dalam leksikon kesantunan, serta adab berbahasa. Dalam kaitan tersebut, bahasa Indonesia turut ‘membunuh’ bahasa-bahasa minor, khususnya yang terdapat di Aceh, terutama yang berkenaan dengan ragam, dan register komunikasi.
Melihat gambaran di atas, dan pentingnya konsep kesantunan, dan adab berbicara yang bertaut erat dan memengaruhi dengan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak, sudah sepatutnya, dan menjadi keharusan bagi pemerintah Aceh untuk menghidupkan, dan menguatkan kembali kearifan-kearifan lokal yang ada, termasuk pemerintah-pemerintah kabupaten lainnya, yang dalam hal ini adalah kabupaten Aceh Tengah. Penguatan ini semakin penting, di tengah pergeseran nilai, interaksi dan heterogenitas budaya, perkembangan informasi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan perkampungan global yang berlangsung di Aceh. Dengan demikian, pencapaian dan kemajuan pembangunan yang ada, tidak terlepas dari kearifan-kearifan lokal, etika, moral, religiusitas, dan didekati melalui pendekatan budaya. Akibatnya, pembangunan di Aceh akan berciri, terutama pembangunan budaya, termasuk dalam hal kesantunan, dan adab berbahasa.
*Pemerhati Kebudayaan Aceh/Mahasiswa Program Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara.
Bila kita perhatikan secara ‘mendalam,’ banyak perubahan yang terjadi prihal pemakaian bahasa di lingkungan tempat kita tinggal. Bangsa kita yang dulu dikenal santun dalam berbahasa, kini, semakin sensitif, banyak hal disikapi dengan bahasa yang kasar. Menyulut emosi, sekaligus kemarahan. Bahkan, di lapangan, banyak tindakan berujung dengan tindak kekerasan dan bersifat anarkis. Seolah, bangsa ini kehilangan pijakannya di tengah reformasi yang dibangun, yaitu tercerabutnya kearifan lokal (local wisdom) yang ada pada masing-masing etnik. Reformasi yang dibangun; seperti apa dan mau dibawa kemana, semakin tidak jelas, lebih khusus lagi reformasi budaya, khususnya berbahasa. Kebalikannya, reformasi kita, di bangun di atas pijakan yang rapuh, tanpa konsep, arah dan pencapaian yang jelas ‘reformasi kebablasan.’
Dalam hal ini, penulis tidak akan bercerita panjang lebar prihal reformasi yang tengah berjalan di Indonesia. Namun, mencoba melihat perubahan berbahasa (language change) dari penuturnya. Dalam konteks yang lebih kecil, tepatnya di Aceh, yaitu di Takengon. Seperti halnya etnik-etnik lain di Indonesia, yang dikenal santun dalam berbahasa. Demikian halnya, etnik-etnik asli yang ada di propinsi Aceh, seperti Aceh, Gayo, Alas, Singkil, Tamiang, Kluet, Anak Jameuk, dan Simelue. Di Gayo misalnya, banyak ungkapan lokal yang menggambarkan kesantunan, dan adab berbahasa. Misalnya saja, becerak lemut berturut payu, peri berabun, becerak mutempat, dan lain-lain. Begitu juga dalam tutur (sistem kekerabatan, atau bentuk sapaan), sastra lisan yang ada sepuluh jenis di Gayo (salah satunya didong). Ungkapan-ungkapan bijak yang terdapat di Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam tersebut, pada intinya mengajarkan penuturnya agar senantiasa santun dan beradab dalam berbicara (penutur) dengan lawan bicaranya (lawan tutur).
Namun, dengan perkembangan ilmu pengetahuan, informasi, teknologi dan perkampungan global (globalisasi) yang tiada berbatas, kesantunan dan adab dalam komunikasi yang meraka gunakan mulai berubah. Penutur bahasa ini (bahasa Gayo) tidak lagi memperhatikan tempat, waktu, lawan tutur, termasuk di dalamnya kesantunan linguistik (berbahasa) dan adab berkomunikasi (berbicara). Penutur bahasa ini (masyarakat yang mendiami Gayo), secara umum, mulai langsung (to the point); kurang menggunakan tamsil, ibarat, tidak lagi mengandung sastra yang tinggi seperti generasi sebelumnya, tidak mengenal diksi yang sesuai dengan konteks penggunaan yang tepat. Tak jarang, penutur bahasa ini mulai berbicara kasar, semakin jauh dari tuntunan agama, adat, resam, peraturan, serta kearifan-kearifan lokal yang ada (local wisdoms). Padahal, daerah ini, terutama daerah lut (Takengon, dan Bener Meriah) dikenal dengan kesantunan berbahasa, dibanding daerah Gayo lainnya di Aceh.
Padahal, kandungan nilai-nilai adat (budaya) yang ada cukup berdekatan dengan ajaran Islam. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Kedekatan tersebut diistilahkan dengan agama orom edet; lagu jet orom sipet, agama munukum; edet mubeda. Artinya, agama dengan adat; seperti zat dengan sipat, agama (memberi) hukum; adat membeda (kan). Dalam bahasa Aceh, hubungan yang sama dikenal dengan lagèë zat deungon sifeuët . Saat ini, ungkapan tersebut (kearifan lokal) sebatas simbol yang kaku. Tak lagi mampu, membuka ruang kesadaran, pintu hati, menggugah rasa dan logika masyarakat di Gayo akan pentingnya kesantunan, dan adab berkomunikasi. Pergeseran nilai tersebut dikarenakan, antara lain: pertama, masyarakat di Gayo, semakin jauh dari ‘tuntunan agama’ terlebih lagi generasi mudanya. Kegiatan keagamaan semakin berkurang, terutama soal pemahaman. Kalau pun ada, biasanya hanya menyetuh ‘kulit luar’-nya saja. Tidak menyentuh wilayah ‘dalam,’ sebatas syariat. Terkesan, pelaksanaan syariat Islam di daerah ini (Aceh) hanya sebatas ‘sisi luar,’ yang berbanding terbalik dengan gelar Serambi Mekkah yang dilekatinya.
Kedua, perkembangan informasi dan teknologi turut memengaruhi cara berbahasa tadi. Pengaruh yang paling nyata adalah dari media massa. Bahasa-bahasa media yang ada tidak mendidik; tidak mengajarkan kesantunan, dan adab yang baik. Khususnya lagi, tayangan-tayangan televisi, yang semakin jauh dari unsur edukasi, kesantunan, adab, dan tidak lagi mampu menguatkan kearifan-kearifan bangsa ini. Banyak tayangannya berbau hedonis, mistis, memeroleh sesuatu dengan cara singkat, material oriented, dengan logika yang dangkal, ditambah dengan deretan konotasi negatif lainnya. Media kita hanya mengejar rating, yang pada saat yang sama, dengan tega mengerdilkan moral generasi bangsa. Bahasa yang dipakai, juga, cenderung menyulut emosi, mengajarkan kekerasan, dan tindakan anarkis. Intinya, semakin kontras dengan keluhuran bangsa ini. Sebagai akibatnya, terjadilah berbahasa yang kasar, arogan, jauh dari kesantunan, adab, dan tidak manusiawi.
Ketiga, tidak berjalannya lembaga adat di Gayo, yang dikenal dengan sarakopat (empat lembaga atau unsur). Keempat unsur tersebut adalah, reje (raja), petue (orang yang paham soal seluk beluk budaya&masyarakat), imem (imam), dan rayat (rakyat). Kini, lembaga yang dimaksud dijalankan muspida, muspika, sampai pada pemerintahan kampung. Sistem pemerintahan yang ada tak mampu berbuat banyak. Padahal, peran lembaga ini sangat penting dalam menggali, membangun, memertahankan, dan melestarikan budaya. Lembaga ini mengatur hubungan antar rakyat, dan menciptakan harmonisasi di tengah-tengah masyarakat, kehidupan religius, adat, budaya, serta konsep-konsep kolektif lainnya. Yang lebih kecil, adalah soal komunikasi tadi. Pengaturan tersebut diatur dalam adat istiadat, resam, berbagai peraturan yang dimiliki, dan syariat yang berlaku. Pengaturan-pengaturan itulah yang dimanifestasikan melalui bahasa yang digunakan penutur bahasa. Dengan demikian, bahasa mengemban tugas yang begitu berat, sampai pada hakikat dari, dan pelaku budaya.
Dalam perkembangan yang terjadi belakangan, bahasa-bahasa minor yang ada di Indonesia, khususnya di Aceh, termasuk bahasa Gayo, saat ini, tidak lagi mendapat tempat. Artinya, tidak adanya lingkungan bagi bahasa untuk hidup, bertahan, dan terpelihara. Hal ini dapat didekati dari kajian ekolinguistik (ekologi bahasa), terutama dari sisi fisik, dan sosioligis-nya. Banyak ragam, dan register baru yang telah menggusur kata-kata lama, termasuk dalam leksikon kesantunan, serta adab berbahasa. Dalam kaitan tersebut, bahasa Indonesia turut ‘membunuh’ bahasa-bahasa minor, khususnya yang terdapat di Aceh, terutama yang berkenaan dengan ragam, dan register komunikasi.
Melihat gambaran di atas, dan pentingnya konsep kesantunan, dan adab berbicara yang bertaut erat dan memengaruhi dengan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak, sudah sepatutnya, dan menjadi keharusan bagi pemerintah Aceh untuk menghidupkan, dan menguatkan kembali kearifan-kearifan lokal yang ada, termasuk pemerintah-pemerintah kabupaten lainnya, yang dalam hal ini adalah kabupaten Aceh Tengah. Penguatan ini semakin penting, di tengah pergeseran nilai, interaksi dan heterogenitas budaya, perkembangan informasi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan perkampungan global yang berlangsung di Aceh. Dengan demikian, pencapaian dan kemajuan pembangunan yang ada, tidak terlepas dari kearifan-kearifan lokal, etika, moral, religiusitas, dan didekati melalui pendekatan budaya. Akibatnya, pembangunan di Aceh akan berciri, terutama pembangunan budaya, termasuk dalam hal kesantunan, dan adab berbahasa.
*Pemerhati Kebudayaan Aceh/Mahasiswa Program Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara.
Sabtu, 01 Agustus 2009
Hakikat Pekan Ke-wah-an Aceh (PKA)
Yusradi Usman al-Gayoni*
Besok, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V akan berlangsung di pusat pemerintahan Aceh, tepatnya di Banda Aceh. Salah satu hal yang baru dari pelaksanaan ini, adalah menyangkut proses pelaksanaannya, yang kini di-handle event organizer. Terlepas pro, dan kontra terkait dengan adanya event organizer, kita perlu melihat lebih jauh berkenaan dengan “hakikat” dari Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Pada akhirnya, penyelenggaraan kegiatan ini tidak terkesan hanya menghabiskan anggaran, seremonial, sebatas simbol, yang tiada arti dan makna. Lebih dari itu, kita perlu melihat realitas kebudayaan Aceh kini. Juga, memproyeksikan kebudayaan Aceh ke depan. Terlebih, pasca Tsunami, banyak pergeseran nilai yang terjadi dalam tataran masyarakat Aceh, khususnya soal mind set, prilaku, sikap, dan pola tindak.
Pasca Tsunami, terjadi pengulangan sejarah di Aceh. Heterogenitas budaya dan etnik jilid II kembali berlangsung di Aceh. Dunia terkejut, simpati, dan datang berbondong-bondong ingin melihat langsung, dan membantu langsung rakyat Aceh. Dari interaksi budaya ini, berlangsung persaingan budaya; antara budaya tempatan dengan budaya yang datang. Tentu, ada yang kalah, serta mencoba bertahan, sebaliknya, ada yang memang. Budaya tempatan yang masih “sakit,” merangkak, dan berjalan tertatih dipaksa bertahan di tengah gelombang budaya yang datang begitu deras. Tak dapat dihindari, banyak perubahan yang terjadi dengan berbagai warna dan dinamika.
Masyarakat Aceh diposisikan sebatas penerima, dan menjadi objek. Dalam amatan penulis, masyarakat Aceh “semakin malas” akibat bantuan-bantuan yang diberikan, mematikan ruang kreativitas dan inovasi, menerima dan berharap, berorientasi pada materi (uang), hidup yang begitu senjang (miskin dengan yang kaya, dan “pihak-pihak yang berkepentingan” dengan rakyat yang tidak punya ilmu, akses informasi dan teknologi dan tidak tahu apa-apa), rakyat semakin apatis, sikap invidualistis semakin mengakar, dan masyarakat Aceh akan menjadi masyarakat yang ketergantungan. Lebih dari itu, masyarakat semakin berorientasi pada materi. Berbeda dengan kondisi sebelumnya, masyarakat di daerah ini begitu mengagungkan religiusitas dan kearifan lokal mereka miliki.
Pergesaran-pergeseran berbagai nilai di atas tidak dapat dihindari. Lebih jauh lagi, penyakit-penyakit sosial dan “konflik-konflik sosial” akan senantiasa bermunculan akibat persoalan di atas. Salah satunya, adalah dengan berbagai tindak kejahatan yang berlangsung dalam masyarakat Aceh, terutama di jejalanan Aceh. Kearifan lokal (local wisdoms) yang mengendap dalam masyarakat ini, tidak lagi mampu menyadarkan pola, sikap, prilaku, dan pola tindak masyarakatnya. Sebaliknya, local wisdoms, jadi warisan leluhur yang kaku, simbolis yang isinya tak punya arti dan makna lebih. Di lain pihak, wajah Aceh terus berubah dengan pembangunan fisik yang kadangkala merusak ekosistem “kerusakan yang berkelanjutan,” masyarakat tempatan semakin termarginalkan dengan berbagai perubahan, terutama sosiokultural. Begitu pula dengan perkampungan global dengan interaksi dan herogenitas budaya yang tiada batas, semakin menghantui masyarakat di daerah ini, terutama yang tidak punya persiapan. Saat yang bersamaan, masyarakat hanya terdiam, tak mampu berbuat, dan pasrah menunggu pergantian hari. Yang penting buat mereka, mereka bisa makan hari ini, bertahan, dan hidup untuk besok.
Dalam konteks inilah, diharapkan PKA V dapat mengakomodasi persoalan-persoalan kebudayaan Aceh saat ini, dengan tidak sebatas menampilkan sisi luar dari PKA (tampilan kesah wah). Namun, dapat menjadi momen pembelajaran akan kekayaan budaya dan gemangan budaya-budaya yang ada di Aceh saat ini. Lebih jauh, dapat menyentuh sisi dalam dengan momentum khusus untuk berbagi informasi, pengalaman, dan pencarian solusi antarpelaku kebudayaan, dengan pelibatan institusi pendidikan tinggi yang ada di Aceh. Termasuk di dalamnya, kebutuhan-kebutuhan kebudayaan, yang salah satunya soal penghargaan. Penghargaan yang dimaksud adalah, pemberian insentif hidup bagi pelaku kebudayaan, sehingga mereka dapat maksimal dalam berkarya. Kebalikannya, bukan hanya penghargaan dalam secarik kertas yang berisi tanda tangan-tanda tangan. Dikarenakan, realitas pelaku kebudayaan di lapangan, tak ubahnya seperti ampung-ampung pulo (peribahasa Gayo), hidup segan mati tak mau, akibat lilitan persoalan ekonomi tadi. Bagaimana mungkin, seniman yang ada di Aceh katakanlah, mampu berkarya maksimal, sementara kebutuhan sehari-hari mereka pun tidak terurus, kondisi yang cukup ironis dan tragis.
Yang tidak kalah penting, adalah soal pendokumentasian tertulis rangkaian-rangkaian peristiwa budaya yang terjadi di Aceh, terutama di luar pesisir Aceh yang sangat miskin dokumentasi. Sekiranya hal ini tidak dilakukan dengan cepat, terarah dan maksimal, Aceh akan kehilangan banyak rangkaian sejarah dan budaya. Disebabkan pelaku sepuh menyangkut kebudayaan Aceh tinggal hitungan jari, tidak lagi produktif, dan berusia lanjut. Di sisi lain, perhatian generasi muda Aceh semakin kurang akan keberadaan dan keberlangsungan budayanya. Kita tidak mau, rangkaian sejarah dan budaya Aceh masa lalu dan kini, jadi rujukan klasik masa depan. Lebih dari itu, generasi Aceh mendatang semakin malu dengan ke-Acehan-nya, tidak berkarter, berciri dan krisis indentitas.
*Pekerja NGO/Handicap Internasional di Aceh (2006-2007), dan Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) 2008-sekarang.
Besok, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V akan berlangsung di pusat pemerintahan Aceh, tepatnya di Banda Aceh. Salah satu hal yang baru dari pelaksanaan ini, adalah menyangkut proses pelaksanaannya, yang kini di-handle event organizer. Terlepas pro, dan kontra terkait dengan adanya event organizer, kita perlu melihat lebih jauh berkenaan dengan “hakikat” dari Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Pada akhirnya, penyelenggaraan kegiatan ini tidak terkesan hanya menghabiskan anggaran, seremonial, sebatas simbol, yang tiada arti dan makna. Lebih dari itu, kita perlu melihat realitas kebudayaan Aceh kini. Juga, memproyeksikan kebudayaan Aceh ke depan. Terlebih, pasca Tsunami, banyak pergeseran nilai yang terjadi dalam tataran masyarakat Aceh, khususnya soal mind set, prilaku, sikap, dan pola tindak.
Pasca Tsunami, terjadi pengulangan sejarah di Aceh. Heterogenitas budaya dan etnik jilid II kembali berlangsung di Aceh. Dunia terkejut, simpati, dan datang berbondong-bondong ingin melihat langsung, dan membantu langsung rakyat Aceh. Dari interaksi budaya ini, berlangsung persaingan budaya; antara budaya tempatan dengan budaya yang datang. Tentu, ada yang kalah, serta mencoba bertahan, sebaliknya, ada yang memang. Budaya tempatan yang masih “sakit,” merangkak, dan berjalan tertatih dipaksa bertahan di tengah gelombang budaya yang datang begitu deras. Tak dapat dihindari, banyak perubahan yang terjadi dengan berbagai warna dan dinamika.
Masyarakat Aceh diposisikan sebatas penerima, dan menjadi objek. Dalam amatan penulis, masyarakat Aceh “semakin malas” akibat bantuan-bantuan yang diberikan, mematikan ruang kreativitas dan inovasi, menerima dan berharap, berorientasi pada materi (uang), hidup yang begitu senjang (miskin dengan yang kaya, dan “pihak-pihak yang berkepentingan” dengan rakyat yang tidak punya ilmu, akses informasi dan teknologi dan tidak tahu apa-apa), rakyat semakin apatis, sikap invidualistis semakin mengakar, dan masyarakat Aceh akan menjadi masyarakat yang ketergantungan. Lebih dari itu, masyarakat semakin berorientasi pada materi. Berbeda dengan kondisi sebelumnya, masyarakat di daerah ini begitu mengagungkan religiusitas dan kearifan lokal mereka miliki.
Pergesaran-pergeseran berbagai nilai di atas tidak dapat dihindari. Lebih jauh lagi, penyakit-penyakit sosial dan “konflik-konflik sosial” akan senantiasa bermunculan akibat persoalan di atas. Salah satunya, adalah dengan berbagai tindak kejahatan yang berlangsung dalam masyarakat Aceh, terutama di jejalanan Aceh. Kearifan lokal (local wisdoms) yang mengendap dalam masyarakat ini, tidak lagi mampu menyadarkan pola, sikap, prilaku, dan pola tindak masyarakatnya. Sebaliknya, local wisdoms, jadi warisan leluhur yang kaku, simbolis yang isinya tak punya arti dan makna lebih. Di lain pihak, wajah Aceh terus berubah dengan pembangunan fisik yang kadangkala merusak ekosistem “kerusakan yang berkelanjutan,” masyarakat tempatan semakin termarginalkan dengan berbagai perubahan, terutama sosiokultural. Begitu pula dengan perkampungan global dengan interaksi dan herogenitas budaya yang tiada batas, semakin menghantui masyarakat di daerah ini, terutama yang tidak punya persiapan. Saat yang bersamaan, masyarakat hanya terdiam, tak mampu berbuat, dan pasrah menunggu pergantian hari. Yang penting buat mereka, mereka bisa makan hari ini, bertahan, dan hidup untuk besok.
Dalam konteks inilah, diharapkan PKA V dapat mengakomodasi persoalan-persoalan kebudayaan Aceh saat ini, dengan tidak sebatas menampilkan sisi luar dari PKA (tampilan kesah wah). Namun, dapat menjadi momen pembelajaran akan kekayaan budaya dan gemangan budaya-budaya yang ada di Aceh saat ini. Lebih jauh, dapat menyentuh sisi dalam dengan momentum khusus untuk berbagi informasi, pengalaman, dan pencarian solusi antarpelaku kebudayaan, dengan pelibatan institusi pendidikan tinggi yang ada di Aceh. Termasuk di dalamnya, kebutuhan-kebutuhan kebudayaan, yang salah satunya soal penghargaan. Penghargaan yang dimaksud adalah, pemberian insentif hidup bagi pelaku kebudayaan, sehingga mereka dapat maksimal dalam berkarya. Kebalikannya, bukan hanya penghargaan dalam secarik kertas yang berisi tanda tangan-tanda tangan. Dikarenakan, realitas pelaku kebudayaan di lapangan, tak ubahnya seperti ampung-ampung pulo (peribahasa Gayo), hidup segan mati tak mau, akibat lilitan persoalan ekonomi tadi. Bagaimana mungkin, seniman yang ada di Aceh katakanlah, mampu berkarya maksimal, sementara kebutuhan sehari-hari mereka pun tidak terurus, kondisi yang cukup ironis dan tragis.
Yang tidak kalah penting, adalah soal pendokumentasian tertulis rangkaian-rangkaian peristiwa budaya yang terjadi di Aceh, terutama di luar pesisir Aceh yang sangat miskin dokumentasi. Sekiranya hal ini tidak dilakukan dengan cepat, terarah dan maksimal, Aceh akan kehilangan banyak rangkaian sejarah dan budaya. Disebabkan pelaku sepuh menyangkut kebudayaan Aceh tinggal hitungan jari, tidak lagi produktif, dan berusia lanjut. Di sisi lain, perhatian generasi muda Aceh semakin kurang akan keberadaan dan keberlangsungan budayanya. Kita tidak mau, rangkaian sejarah dan budaya Aceh masa lalu dan kini, jadi rujukan klasik masa depan. Lebih dari itu, generasi Aceh mendatang semakin malu dengan ke-Acehan-nya, tidak berkarter, berciri dan krisis indentitas.
*Pekerja NGO/Handicap Internasional di Aceh (2006-2007), dan Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) 2008-sekarang.
Langganan:
Postingan (Atom)