Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Bila kita perhatikan secara ‘mendalam,’ banyak perubahan yang terjadi prihal pemakaian bahasa di lingkungan tempat kita tinggal. Bangsa kita yang dulu dikenal santun dalam berbahasa, kini, semakin sensitif, banyak hal disikapi dengan bahasa yang kasar. Menyulut emosi, sekaligus kemarahan. Bahkan, di lapangan, banyak tindakan berujung dengan tindak kekerasan dan bersifat anarkis. Seolah, bangsa ini kehilangan pijakannya di tengah reformasi yang dibangun, yaitu tercerabutnya kearifan lokal (local wisdom) yang ada pada masing-masing etnik. Reformasi yang dibangun; seperti apa dan mau dibawa kemana, semakin tidak jelas, lebih khusus lagi reformasi budaya, khususnya berbahasa. Kebalikannya, reformasi kita, di bangun di atas pijakan yang rapuh, tanpa konsep, arah dan pencapaian yang jelas ‘reformasi kebablasan.’
Dalam hal ini, penulis tidak akan bercerita panjang lebar prihal reformasi yang tengah berjalan di Indonesia. Namun, mencoba melihat perubahan berbahasa (language change) dari penuturnya. Dalam konteks yang lebih kecil, tepatnya di Aceh, yaitu di Takengon. Seperti halnya etnik-etnik lain di Indonesia, yang dikenal santun dalam berbahasa. Demikian halnya, etnik-etnik asli yang ada di propinsi Aceh, seperti Aceh, Gayo, Alas, Singkil, Tamiang, Kluet, Anak Jameuk, dan Simelue. Di Gayo misalnya, banyak ungkapan lokal yang menggambarkan kesantunan, dan adab berbahasa. Misalnya saja, becerak lemut berturut payu, peri berabun, becerak mutempat, dan lain-lain. Begitu juga dalam tutur (sistem kekerabatan, atau bentuk sapaan), sastra lisan yang ada sepuluh jenis di Gayo (salah satunya didong). Ungkapan-ungkapan bijak yang terdapat di Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam tersebut, pada intinya mengajarkan penuturnya agar senantiasa santun dan beradab dalam berbicara (penutur) dengan lawan bicaranya (lawan tutur).
Namun, dengan perkembangan ilmu pengetahuan, informasi, teknologi dan perkampungan global (globalisasi) yang tiada berbatas, kesantunan dan adab dalam komunikasi yang meraka gunakan mulai berubah. Penutur bahasa ini (bahasa Gayo) tidak lagi memperhatikan tempat, waktu, lawan tutur, termasuk di dalamnya kesantunan linguistik (berbahasa) dan adab berkomunikasi (berbicara). Penutur bahasa ini (masyarakat yang mendiami Gayo), secara umum, mulai langsung (to the point); kurang menggunakan tamsil, ibarat, tidak lagi mengandung sastra yang tinggi seperti generasi sebelumnya, tidak mengenal diksi yang sesuai dengan konteks penggunaan yang tepat. Tak jarang, penutur bahasa ini mulai berbicara kasar, semakin jauh dari tuntunan agama, adat, resam, peraturan, serta kearifan-kearifan lokal yang ada (local wisdoms). Padahal, daerah ini, terutama daerah lut (Takengon, dan Bener Meriah) dikenal dengan kesantunan berbahasa, dibanding daerah Gayo lainnya di Aceh.
Padahal, kandungan nilai-nilai adat (budaya) yang ada cukup berdekatan dengan ajaran Islam. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Kedekatan tersebut diistilahkan dengan agama orom edet; lagu jet orom sipet, agama munukum; edet mubeda. Artinya, agama dengan adat; seperti zat dengan sipat, agama (memberi) hukum; adat membeda (kan). Dalam bahasa Aceh, hubungan yang sama dikenal dengan lagèë zat deungon sifeuët . Saat ini, ungkapan tersebut (kearifan lokal) sebatas simbol yang kaku. Tak lagi mampu, membuka ruang kesadaran, pintu hati, menggugah rasa dan logika masyarakat di Gayo akan pentingnya kesantunan, dan adab berkomunikasi. Pergeseran nilai tersebut dikarenakan, antara lain: pertama, masyarakat di Gayo, semakin jauh dari ‘tuntunan agama’ terlebih lagi generasi mudanya. Kegiatan keagamaan semakin berkurang, terutama soal pemahaman. Kalau pun ada, biasanya hanya menyetuh ‘kulit luar’-nya saja. Tidak menyentuh wilayah ‘dalam,’ sebatas syariat. Terkesan, pelaksanaan syariat Islam di daerah ini (Aceh) hanya sebatas ‘sisi luar,’ yang berbanding terbalik dengan gelar Serambi Mekkah yang dilekatinya.
Kedua, perkembangan informasi dan teknologi turut memengaruhi cara berbahasa tadi. Pengaruh yang paling nyata adalah dari media massa. Bahasa-bahasa media yang ada tidak mendidik; tidak mengajarkan kesantunan, dan adab yang baik. Khususnya lagi, tayangan-tayangan televisi, yang semakin jauh dari unsur edukasi, kesantunan, adab, dan tidak lagi mampu menguatkan kearifan-kearifan bangsa ini. Banyak tayangannya berbau hedonis, mistis, memeroleh sesuatu dengan cara singkat, material oriented, dengan logika yang dangkal, ditambah dengan deretan konotasi negatif lainnya. Media kita hanya mengejar rating, yang pada saat yang sama, dengan tega mengerdilkan moral generasi bangsa. Bahasa yang dipakai, juga, cenderung menyulut emosi, mengajarkan kekerasan, dan tindakan anarkis. Intinya, semakin kontras dengan keluhuran bangsa ini. Sebagai akibatnya, terjadilah berbahasa yang kasar, arogan, jauh dari kesantunan, adab, dan tidak manusiawi.
Ketiga, tidak berjalannya lembaga adat di Gayo, yang dikenal dengan sarakopat (empat lembaga atau unsur). Keempat unsur tersebut adalah, reje (raja), petue (orang yang paham soal seluk beluk budaya&masyarakat), imem (imam), dan rayat (rakyat). Kini, lembaga yang dimaksud dijalankan muspida, muspika, sampai pada pemerintahan kampung. Sistem pemerintahan yang ada tak mampu berbuat banyak. Padahal, peran lembaga ini sangat penting dalam menggali, membangun, memertahankan, dan melestarikan budaya. Lembaga ini mengatur hubungan antar rakyat, dan menciptakan harmonisasi di tengah-tengah masyarakat, kehidupan religius, adat, budaya, serta konsep-konsep kolektif lainnya. Yang lebih kecil, adalah soal komunikasi tadi. Pengaturan tersebut diatur dalam adat istiadat, resam, berbagai peraturan yang dimiliki, dan syariat yang berlaku. Pengaturan-pengaturan itulah yang dimanifestasikan melalui bahasa yang digunakan penutur bahasa. Dengan demikian, bahasa mengemban tugas yang begitu berat, sampai pada hakikat dari, dan pelaku budaya.
Dalam perkembangan yang terjadi belakangan, bahasa-bahasa minor yang ada di Indonesia, khususnya di Aceh, termasuk bahasa Gayo, saat ini, tidak lagi mendapat tempat. Artinya, tidak adanya lingkungan bagi bahasa untuk hidup, bertahan, dan terpelihara. Hal ini dapat didekati dari kajian ekolinguistik (ekologi bahasa), terutama dari sisi fisik, dan sosioligis-nya. Banyak ragam, dan register baru yang telah menggusur kata-kata lama, termasuk dalam leksikon kesantunan, serta adab berbahasa. Dalam kaitan tersebut, bahasa Indonesia turut ‘membunuh’ bahasa-bahasa minor, khususnya yang terdapat di Aceh, terutama yang berkenaan dengan ragam, dan register komunikasi.
Melihat gambaran di atas, dan pentingnya konsep kesantunan, dan adab berbicara yang bertaut erat dan memengaruhi dengan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak, sudah sepatutnya, dan menjadi keharusan bagi pemerintah Aceh untuk menghidupkan, dan menguatkan kembali kearifan-kearifan lokal yang ada, termasuk pemerintah-pemerintah kabupaten lainnya, yang dalam hal ini adalah kabupaten Aceh Tengah. Penguatan ini semakin penting, di tengah pergeseran nilai, interaksi dan heterogenitas budaya, perkembangan informasi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan perkampungan global yang berlangsung di Aceh. Dengan demikian, pencapaian dan kemajuan pembangunan yang ada, tidak terlepas dari kearifan-kearifan lokal, etika, moral, religiusitas, dan didekati melalui pendekatan budaya. Akibatnya, pembangunan di Aceh akan berciri, terutama pembangunan budaya, termasuk dalam hal kesantunan, dan adab berbahasa.
*Pemerhati Kebudayaan Aceh/Mahasiswa Program Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar