Sabtu, 01 Agustus 2009

Hakikat Pekan Ke-wah-an Aceh (PKA)

Yusradi Usman al-Gayoni*


Besok, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V akan berlangsung di pusat pemerintahan Aceh, tepatnya di Banda Aceh. Salah satu hal yang baru dari pelaksanaan ini, adalah menyangkut proses pelaksanaannya, yang kini di-handle event organizer. Terlepas pro, dan kontra terkait dengan adanya event organizer, kita perlu melihat lebih jauh berkenaan dengan “hakikat” dari Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Pada akhirnya, penyelenggaraan kegiatan ini tidak terkesan hanya menghabiskan anggaran, seremonial, sebatas simbol, yang tiada arti dan makna. Lebih dari itu, kita perlu melihat realitas kebudayaan Aceh kini. Juga, memproyeksikan kebudayaan Aceh ke depan. Terlebih, pasca Tsunami, banyak pergeseran nilai yang terjadi dalam tataran masyarakat Aceh, khususnya soal mind set, prilaku, sikap, dan pola tindak.

Pasca Tsunami, terjadi pengulangan sejarah di Aceh. Heterogenitas budaya dan etnik jilid II kembali berlangsung di Aceh. Dunia terkejut, simpati, dan datang berbondong-bondong ingin melihat langsung, dan membantu langsung rakyat Aceh. Dari interaksi budaya ini, berlangsung persaingan budaya; antara budaya tempatan dengan budaya yang datang. Tentu, ada yang kalah, serta mencoba bertahan, sebaliknya, ada yang memang. Budaya tempatan yang masih “sakit,” merangkak, dan berjalan tertatih dipaksa bertahan di tengah gelombang budaya yang datang begitu deras. Tak dapat dihindari, banyak perubahan yang terjadi dengan berbagai warna dan dinamika.

Masyarakat Aceh diposisikan sebatas penerima, dan menjadi objek. Dalam amatan penulis, masyarakat Aceh “semakin malas” akibat bantuan-bantuan yang diberikan, mematikan ruang kreativitas dan inovasi, menerima dan berharap, berorientasi pada materi (uang), hidup yang begitu senjang (miskin dengan yang kaya, dan “pihak-pihak yang berkepentingan” dengan rakyat yang tidak punya ilmu, akses informasi dan teknologi dan tidak tahu apa-apa), rakyat semakin apatis, sikap invidualistis semakin mengakar, dan masyarakat Aceh akan menjadi masyarakat yang ketergantungan. Lebih dari itu, masyarakat semakin berorientasi pada materi. Berbeda dengan kondisi sebelumnya, masyarakat di daerah ini begitu mengagungkan religiusitas dan kearifan lokal mereka miliki.

Pergesaran-pergeseran berbagai nilai di atas tidak dapat dihindari. Lebih jauh lagi, penyakit-penyakit sosial dan “konflik-konflik sosial” akan senantiasa bermunculan akibat persoalan di atas. Salah satunya, adalah dengan berbagai tindak kejahatan yang berlangsung dalam masyarakat Aceh, terutama di jejalanan Aceh. Kearifan lokal (local wisdoms) yang mengendap dalam masyarakat ini, tidak lagi mampu menyadarkan pola, sikap, prilaku, dan pola tindak masyarakatnya. Sebaliknya, local wisdoms, jadi warisan leluhur yang kaku, simbolis yang isinya tak punya arti dan makna lebih. Di lain pihak, wajah Aceh terus berubah dengan pembangunan fisik yang kadangkala merusak ekosistem “kerusakan yang berkelanjutan,” masyarakat tempatan semakin termarginalkan dengan berbagai perubahan, terutama sosiokultural. Begitu pula dengan perkampungan global dengan interaksi dan herogenitas budaya yang tiada batas, semakin menghantui masyarakat di daerah ini, terutama yang tidak punya persiapan. Saat yang bersamaan, masyarakat hanya terdiam, tak mampu berbuat, dan pasrah menunggu pergantian hari. Yang penting buat mereka, mereka bisa makan hari ini, bertahan, dan hidup untuk besok.

Dalam konteks inilah, diharapkan PKA V dapat mengakomodasi persoalan-persoalan kebudayaan Aceh saat ini, dengan tidak sebatas menampilkan sisi luar dari PKA (tampilan kesah wah). Namun, dapat menjadi momen pembelajaran akan kekayaan budaya dan gemangan budaya-budaya yang ada di Aceh saat ini. Lebih jauh, dapat menyentuh sisi dalam dengan momentum khusus untuk berbagi informasi, pengalaman, dan pencarian solusi antarpelaku kebudayaan, dengan pelibatan institusi pendidikan tinggi yang ada di Aceh. Termasuk di dalamnya, kebutuhan-kebutuhan kebudayaan, yang salah satunya soal penghargaan. Penghargaan yang dimaksud adalah, pemberian insentif hidup bagi pelaku kebudayaan, sehingga mereka dapat maksimal dalam berkarya. Kebalikannya, bukan hanya penghargaan dalam secarik kertas yang berisi tanda tangan-tanda tangan. Dikarenakan, realitas pelaku kebudayaan di lapangan, tak ubahnya seperti ampung-ampung pulo (peribahasa Gayo), hidup segan mati tak mau, akibat lilitan persoalan ekonomi tadi. Bagaimana mungkin, seniman yang ada di Aceh katakanlah, mampu berkarya maksimal, sementara kebutuhan sehari-hari mereka pun tidak terurus, kondisi yang cukup ironis dan tragis.

Yang tidak kalah penting, adalah soal pendokumentasian tertulis rangkaian-rangkaian peristiwa budaya yang terjadi di Aceh, terutama di luar pesisir Aceh yang sangat miskin dokumentasi. Sekiranya hal ini tidak dilakukan dengan cepat, terarah dan maksimal, Aceh akan kehilangan banyak rangkaian sejarah dan budaya. Disebabkan pelaku sepuh menyangkut kebudayaan Aceh tinggal hitungan jari, tidak lagi produktif, dan berusia lanjut. Di sisi lain, perhatian generasi muda Aceh semakin kurang akan keberadaan dan keberlangsungan budayanya. Kita tidak mau, rangkaian sejarah dan budaya Aceh masa lalu dan kini, jadi rujukan klasik masa depan. Lebih dari itu, generasi Aceh mendatang semakin malu dengan ke-Acehan-nya, tidak berkarter, berciri dan krisis indentitas.


*Pekerja NGO/Handicap Internasional di Aceh (2006-2007), dan Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) 2008-sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar