Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Pekan Kebudayaan Aceh lahir secara tiba-tiba, melalui seorang Nyak Yusda, yang sehari-hari sebagai kepala SMEA 2 Kuta Raja, tahun 1958. Inspriasi tersebut lalu diwacanakan pada rekan-rekan Nyak Yusda yang lain, seperti Tubasya, Said Mucktar dan Muhammad Z. Wacana PKA mengalir begitu cepat, yang kemudian sampai di telinga tokoh-tokoh Aceh ketika itu, seperti TA. Talsya, Hamidi AS, Said Abubakar, dan Aly Achmadi. Para tokoh ini pun menemui dan menyampaikan hal ini kepada Mayor Teuku Hamzah Bendahara, selaku Kastaf Ka.Staf Penguasa Perang Daerah. Pada akhirnya, Pekan Kebudayaan Aceh diadakan untuk pertama kali, tanggal 12-23 Agustus 2009, yang diketuai Mayor Teuku Hamzah Bendahara (Jauhari Samangan dalam Serambi, 13/5/2009).
Seperti dikatakan Jauhari dalam tulisannya Jalan Panjang PKA tersebut, PKA yang pertama itu, bertujuan salah satunya untuk merehabilitasi konflik akibat ekses DI/TII. Dengan demikian, kegiatan kebudayaan ini, diharapkan dapat merekat pihak-pihak yang bertikai ketika itu. Tentu kita berharap, pelaksanaan PKA V ini dapat melakukan peran yang sama. Paling tidak, menguatkan kembali karakter dan kearifan-kearifan lokal (local wisdoms) masyarakat “Aceh” yang sudah mulai tercerabut, terlebih lagi setelah tsunami.
Selain meluluhlantakan pesisir Aceh, menewaskan ribuan nyawa, tsunami telah pula melunturkan budaya Aceh. Sisi lain, anugerah Tsunami ini, tercipta pula kesepakatan damai melalui perjanjian Helsinki. Saat yang bersamaan, akulturasi budaya Aceh jilid dua berlangsung dengan heterogenitas kedatangan, dan interaksi budaya-budaya pendatang yang hadir di Aceh. Mereka yang datang tidak sebatas dari dalam, tapi juga dari manacanegara, setelah hati dan rasa mereka terketuk untuk melihat dan membantu rakyat Aceh secara langsung. Pengulangan sejarah tersebut ‘heterogenitas Aceh jilid II,’ berimbas pula pada kultur lokal yang masih jalan tertatih. Pola pikir, sikap, dan pola tindak pendatang yang datang secara besar-besaran semakin mewarnai kultur lokal. Pewarnaan tersebut bisa positif, dan sebaliknya. Di lain pihak, kearifan lokal yang ada tidak lagi mampu mengimbagi budaya yang datang. Filter budaya dari masyarakat lokal, khususnya pribadi-pribadi yang bersangkutan, hilang perlahan di tengah persaingan budaya.
Lebih-lebih lagi, dengan bantuan yang diberikan, yang mana masyarakat tempatan hanya diposisikan sebagai objek, penerima yang pasrah dengan keadaan. Tindakan inilah yang kemudian melahirkan pergeseran nilai, sifat, ciri, karakter, kearifan lokal, dan budaya masyarakat Aceh. Betapa tidak, masyarakat Aceh hanya menerima keadaan dengan menanggalkan ikhtiar, semakin malas, dan mengabaikan kreativitas. Bantuan yang diberikan pun di luar kewajaran, dengan nilai yang tidak pernah dinikmati sebelumnya. Dengan begitu, masyarakat Aceh yang sebelumnya begitu menguatkan kearifan lokal dan religiusitas, kini berkiblat pada materi, dengan mengedepankan uang. Akibatnya, dewasa ini, kerap muncul konflik sosial baru dalam masyarakat Aceh, khususnya berbagai tindak kejahatan di jejalanan Aceh. Hal itu terjadi karena kecemburuan dan rasa iri, sebagai buah dari ketimpangan yang terjadi, antara yang kaya dan yang miskin, “kelompok-kelompok berkepentingan” dengan rakyat yang tak punya akses informasi, teknologi, dan tidak tahu apa-apa.
Berbagai kemudahan, dan perkembangan akses informasi serta teknologi menambah daftar pergeseran nilai yang terjadi di Aceh. Menjadikan masyarakat di daerah ini semakin terjebak dengan keegoan masing-masing, dan apatis dengan keadaan. Selain itu, yang lebih penting, nilai-nilai keagamaan semakin jauh dari masyarakat di daerah ini. Untuk itu, momentum PKA ini diharapkan mampu menguatkan kembali karakter, dan kearifan-kearifan lokal yang ada di Aceh. Sejatinya, momen ini bukan hanya menyentuh sisi luar “Pekan Ke-wah-an Aceh” dengan menampilkan sisi ‘glamour’ dan ‘hedonis,’ melainkan harus mampu menyentuh sisi dalam, menyangkut realitas, kebutuhan, serta arah kebudayaan Aceh kini dan masa mendatang. Menujukkan kekinian budaya Aceh, yang dikuatkan dengan karakter dan kearifan-kearifan lokal tadi.
Disamping itu, yang lebih penting, terciptanya keberlanjutan kegiatan ini dengan momen berbagi pengalaman, langkah-langkah taktis antarpelaku dan penggiat budaya menyakut realitas budaya Aceh kini, dengan penggalian, pendokumentasian secara tertulis, dan pemertahanan karakter, identitas, dan kearifaan lokal di masing-masing kabupaten. Salah satu alasan yang mendasar; pelaku budaya, sejarah, seni, sastra dan menyangkut Aceh secara keseluruhan, saat ini sudah terbilang langka. Karenanya, perlu langkah-langkah taktis, praktis, cepat sekaligus akselerasi dalam upaya penyelamatan aset leluhur tersebut, terutama melalui pendidikan tinggi yang ada di Aceh.
Juga, berlangsungnya perkampungan glogal (globalisasi) yang tanpa sekat, yang dapat dengan mudah mengaburkan nilai-nilai dan kearifan lokal yang ada. Ditambah lagi, pesatnya perkembangan informasi, dan teknologi. Dengan demikian, apa yang diharapkan ‘memulihkan Aceh’ dari krisis karakter, identitas dan keafitan lokal dapat berjalan dengan maksimal. Dalam jangka panjang, sebagai implikasinya, nilai-nilai lokal tadi semakin menguat dengan kekokohan budaya Aceh. Pada akhirnya, generasi Aceh mendatang memiliki ciri, karakter ke-Aceh-an, realistis, dan objektif dengan budaya yang mereka miliki, di tengah-tengah kompetisi dan seleksi budaya yang semakin tanpa batas.
*Pemerhati budaya Aceh, Ketua Yayasan Pusat Kajian Kebudayaan Gayo-Sumut. Email: algayonie@yahoo.com, Blog: http://yusradiusmanalgayoni.blogspot.com (Lentayon Edisi XI Thn III 20009/Edisi Khusus Pekan Kebudayaan Aceh, tim PKA Kabupaten Gayo Lues)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar