Senin, 13 Juli 2009

Fenomena Bertutur Dalam Masyarakat Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni


Tutur merupakan sebuah sistem atau istilah kekerabatan (Melalatoa, 1982:406). Sistem atau istilah kekerabatan ini berlaku pada masyarakat Gayo. Istilah lain dari tutur adalah bentuk sapaan. Bertutur sendiri berarti penggunaan tutur, sistem atau istilah kekerabatan tadi. A.R. Hakim Aman Pinan dalam bukunya Hakekat Nilai-Nilai Budaya Gayo Aceh Tengah (1998), membagi tutur sebanyak 52 bentuk tutur. Selain itu, Mustafa Ak (Ketua Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo), membagi tutur sejumlah 63 bentuk tutur (lihat Tabloid Ara News Edisi 01 Thn ke-1, Januari 2009, Lentayon Edisi VII Thn III 2009)

Namun, dewasa ini, ada semacam gejala kurangnya penggunaan tutur. Dengan kata lain, pengguna tutur (masyarakat Gayo) sudah mulai meninggalkan pemakaian tutur. Kurangnya penggunaan tutur dalam masyarakat Gayo, secara umum disebabkan dua faktor. Pertama, faktor internal, yaitu pengguna tutur yang bersangkutan yaitu masyarakat Gayo sendiri. Tutur tidak diajarkan di dunia pendidikan formal mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Begitu juga secara informal (dalam keluarga). Pengguna tutur juga enggan mempelajari tutur. Salah satu akibatnya, tutur jarang digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, lingkungan bertutur (model bertutur) tidak akan tercipta baik antar individu, dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Lebih dari itu, tutur tidak dilestarikan, misalnya dalam bentuk pengkajian, penelitian, pensosialisasian dan pendokumentasian. Tulisan ini merupakan hasil penelitian penulis terkait tutur secara menyeluruh dan mendalam yang diadakan pada bulan Maret 2009.

Kedua, faktor eksternal yaitu pengaruh yang berasal dari luar masyarakat ini. Suku ini merupakan sebuah masyarakat yang terbuka, toleran, dinamis dan akomodatif terhadap perubahan. Dengan begitu, sesuatu yang datang dari luar tadi, memungkinkan perubahan pada mind set (pola pikir), sikap (attitude) dan tindakan (pola tindak) masyarakat Gayo. Beberapa pengaruh dari luar tersebut, misalnya: (a) penggunaan bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia kini cukup meluas dalam masyarakat Gayo. Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam komunikasi lebih-lebih di kabupaten induk (Takengon). Dalam keluarga terutama di empat kecamatan seperti kecamatan Bebesen, kecamatan Kebayakan, kecamatan Lut Tawar dan kecamatan Pegasing, pemakaian bahasa Indonesia kerap dipakai. Heterogenitas budaya juga tercermin di keempat kecamatan di atas. Sebaliknya, di 10 kecamatan lainnya, lebih didominasi suku Gayo.

Bahasa Gayo juga kurang diajarkan di keluarga. Orang tua lebih mengajarkan anaknya dengan bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia semacam menjadi bahasa pengantar di keluarga. Dalam penelitian penulis yang lain mengenai “Sikap Berbahasa Penutur Bahasa Gayo” yang diadakan pada Juli 2008 di kampung Bebesen, kecamatan Bebesen, kabupaten Aceh Tengah. Penelitian ini dilakukan terhadap orang tua dan anak-anak yang berumur 10-12 tahun (kelas IV-VI SD/MI).

Dari penelitian tersebut diketahui bahwa dalam keluarga lebih dipakai bahasa Indonesia. Pemakaian itu bertujuan agar anak-anak lebih mudah dalam berkomunikasi dengan guru dan teman-teman mereka di sekolah dan di rumah. Bahasa Gayo sendiri hanya dipakai oleh orang tua anak saja. Mereka beranggapan, anak-anak dengan sendirinya akan mampu berbahasa Gayo karena pemakaian bahasa Gayo yang lebih besar dari orang tua dan orang tua yang lain yang ada dalam lingkungan mereka. Selain itu, bahasa Gayo kurang diajarkan di keluarga. Kalau pun diajarkan hanya sebatas lisan dengan frekuensi pengajaran dan pemakaian yang sangat terbatas. Dalam pergaulan sehari-hari, anak-anak juga kerap menggunakan bahasa Indonesia. Begitu juga, orang tua yang tadinya berbebahasa Gayo, kini lebih berbahasa Indonesia kepada anak-anaknya atau anak yang lain. Dikarenakan untuk beberapa kasus, anak-anak kurang memahami bahasa Gayo yang disampaikan penutur tadi (orang tua).

Penulis juga mengamati, dalam perkembangannya, saat ini, bahasa Gayo banyak menyerap kata-kata bahasa Indonesia. Begitu juga halnya dalam tindak tutur (speech act), gejala campur kode (code mixing) dan alih kode (code switching) biasa terjadi dalam tindak berbahasa dari pentutur bahasa Gayo baik di tanoh Gayo maupun di luar tanoh Gayo. Di Medan misalnya, dapat dilihat dalam penelitian penulis yang mengambil studi kasus fenomena code mixing dan code switching mahasiswa Gayo yang ada di USU (2006). (b) Perwakinan silang; menyebabkan kurangnnya penggunaan tutur. Melalui perwakinan tersebut akan terjadi interaksi dari budaya yang berbeda. Pemakaian tutur akan semakin kurang bila pihak laki-laki (suami) bukan orang Gayo. Pun demikian, pemakaian tutur ini akan terjadi bila ada komunikasi atau interaksi dengan keluarga dari pihak istri. Begitu juga halnya dalam pertemuan informal keluarga. Namun, pertemuan informal tersebut sangat terbatas karena tuntutan peran dan tanggung jawab yang berbeda dari masing-masing pelaku tutur. Dengan demikian, semakin jauh hubungan darah ke-Gayo-an seseorang, katakanlah melalui perwakinan tadi, maka semakin kecil penggunaan tutur dari penutur yang bersangkutan.

(c) Interaksi budaya. Pengaruh budaya luar cukup mempengaruhi penggunaan tutur dalam masyarakat ini. Tanoh Gayo sendiri didiami lebih dari delapan etnik seperti Aceh, Jawa, Cina, Padang, Toba, Karo, Mandailing, Cina, Sunda, dan lain-lain Akibatnya, akan terjadi interaksi budaya. Interaksi budaya tersebut memungkinkan kurangnnya penggunaan tutur. Lebih-lebih lagi, pengguna tutur tadi lama tinggal di luar tanoh Gayo. Sedikit banyaknya, ada pengaruh dari budaya tempatan dari daerah yang ditempatinya. (d) Media; baik media cetak maupun elektronik sangat berpengaruh terhadap pembentukan pola pikir, sikap dan pola tindak masyarakat. Salah satu contoh yang paling nyata adalah pengaruh televisi. Televisi berpengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat Gayo secara keseluruhan, tak terkecuali dalam hal penggunaan tutur. Sebagai contohnya, anak-anak atau pelaku tutur tidak lagi menyapa orang tuanya dengan sapaan ama atau ine. Untuk keluarga yang lebih besar, awan dan anan misalnya. Namun, mereka (anak-anak tadi), memakai bentuk sapaan personal bahasa Indonesia seperti bapak, papa, mamak, bunda, mama, kakek dan nenek. Begitu juga halnya dengan pengaruh bahasa prokem yang kerap tayang di televisi lu, gua, dan lain-lain.

(e) Lingkungan; kurangnya penggunaan tutur tadi baik secara personal, dalam lingkup keluarga, dalam dunia pendidikan maupun dalam tindak bertutur lainnya menjadikan tidak terbentuknya lingkungan bertutur. Akibatnya, tidak ada acuan bertutur dari lingkungan yang terbentuk di daerah ini. Dengan kata lain, tidak ada model bertutur yang ideal yang dapat dijadikan contoh, sarana pembelajaran dan pemeraktekan tutur. Dengan begitu, terutama anak-anak akan semakin kurang melihat (dalam bentuk bacaan), memperhatikan, mendengar dan memperaktekkan tutur tersebut dalam pergaulan mereka sehari-hari.

*Pemerhati sejarah, bahasa, adat istiadat, masalah sosial kemasyarakatan, dan kebudayaan Gayo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar