Senin, 13 Juli 2009

Kelahiran Ikatan Gayo Musara Bandung

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Satu hasil pertemuan yang dihasilkan dalam pertemuan beru bujang Gayo Bandung (Juli 2009), adalah terbentuknya Ikatan Gayo Musara Bandung atau IGAMA. Sudah barang tentu, ada hal yang mendasari kelahiran organisasi yang terbilang baru dalam organisasi kedaerahan Gayo di perantauan. Rasa kedaerahan, berasal dari tanoh Gayo turut menguatkan kelahiran organisasi ini. Rasa ini kemudian, terakumulasi dalam sebuah komunitas (wadah) yang terbentuk melalui personal-personal (pang-pang Gayo di perantauan) yang telah tergugah kesadarannya. Penulis menilai kelahiran dan pembentukan organisasi ini sebagai sesuatu yang positif. Perlu didukung semua pihak, paling tidak memberikan dukungan moral, dan dipertahankan eksistensinya. Dikarenakan keberadaan organisasi ini merupakan simbol sosial dari masyarakat Gayo di dataran tinggi tanoh Gayo. Keberadaan organisasi ini diharapkan ini mampu menguatkan komunikasi, silaturrahmi, dan pertemuan yang berkelanjutan antarpang-pang Gayo di perantauan. Pada akibatnya, dalam jangka panjang, dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi ril terhadap daerah (tanoh tembuni), terlebih lagi buat anggota dan pengurusnya yang terlibat di IGAMA.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan sumbang saran terhadap IGAMA yang lahir dari pengalaman empiris dan amatan penulis terhadap organisasi Gayo baik di tanoh Gayo maupun di perantauan, terutama di Takengon, Bener Meriah, Banda Aceh, Medan, Jember, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Jakarta, dan Malang. Sebelumnya, perlu dikritisi soal nama yang melekat pada organisasi ini. Ikatan Gayo Musara Bandung, dalam terminologi musara (bahasa Gayo), sebetulnya, sudah terkandung makna ikatan (bahasa Indonesia). Secara harfiah musara diartikan bersatu. Lebih dari itu, kata tadi bermakna bersatu dalam satu simbol, bentuk, ikatan/wadah dan dalam berbagai implementasi program kerja di lapangan. Singkatnya, musara ate, musara rasa, musara basa, keramat mupakat behu berdedele. Hal ini lah, yang penulis pikir mendasari Musara Gayo Jakarta tidak menempatkan kata ikatan di depan kata Musara Gayo. Dengan demikian, dari kajian linguistik, kata ikatan tidak diperlukan lagi, yang dalam bahasa Gayo diwakili kata musara.

Selaku pelaku dan penggiat organisasi ini, kita perlu mempelajari rentang sejarah panjang organisasi Gayo yang pernah ada (yang telah ada sejak tahun 1947, melalui Pemuda Latu Tawar di Takengon). Khususnya, yang terkait dengan kondisi urang Gayo (siapa pun yang berasal dari tanoh Gayo) di Bandung. Sebagai akibatnya, kita semakin menyadari realitas keberadaan organisasi tersebut dengan mengetahui kelebihan, dan kekurangannya. Dalam tulisan ini, penulis belum menghimpun bahan secara lengkap dan detail prihal perjalanan organisasi Gayo (masih dalam pengumpulan bahan, sejak tahun 2006). Mudah-mudahan (ike naru naru umur orom izin ni Tuhen si sara), dapat diselesaikan deskripsi organisasi Gayo yang lebih lengkap, sehingga dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kita hari ini, dan generasi mendatang. Dengan begitu, kita tidak sebatas belajar sejarah, tapi bagaimana belajar dari sejarah, sehingga kita lebih bijak dalam menimbang, memutus, melangkah, dan berbuat melalui organisasi tadi. Juga, menghargai pendahulu-pendahulu kita yang telah mewariskan buah karya pada kita hari ini.

Dalam kasus berbagai organisasi Gayo di atas, banyak organisasi yang ada; lahir, tumbuh, berkembang, dan terakhir mati. Bahkan, ada di beberapa daerah seperti Banda Aceh (amatan tahun 2004), dan Medan (2002-sekarang) terdapat tujuh sampai sembilan organisasi. Pada akhirnya, pluralitas organisasi tersebut, ada yang bertahan, ada yang mati sebagai konsekuensi dari seleksi sosial. Untuk kasus di Medan misalnya, untuk saat ini, boleh dibilang dari sembilan organisasi yang ada, tinggal tiga lagi yang aktif dengan kepengurusan, perangkat organisasi, dan program kerja yang jelas (meski tidak seperti sebelum tahun 2006), yaitu Ikatan Mahasiswa Takengon&Bener Meriah (IMTABEM/sebelumnya dikenal dengan IMTA), Ikatan Mahasiswa Gayo (IMAGA), dan Himpunan Mahasiswa Bener Meriah (HIMABEM).

Namun, dalam tulisan ini, akan dibatasi pada penyebab mati-nya organisasi Gayo, sehingga bisa menjadi pembelajaran bersama, terutama bagi Ikatan Gayo Bersatu Bandung yang baru lahir. Penulis melihat kaderirasi dan regenerasi organisasi Gayo cukup keropos. Keroposnya regenerasi Gayo (berasal dari tanoh Gayo), sama halnya seperti kacang si gere be deren, hidup, tumbuh, berkembang dan mati secara alamiah tanpa adanya pembinaan yang sungguh-sungguh. Pun, kalo ada anak negeri; negeri Linge, yang sukses di luar, kondisinya tak ubahnya seperti petukel, yang akarnya di tanoh Gayo, sementara buahnya di negeri lain tanpa ada koordinasi, komunikasi, dan kerjasama ke arah peningkatan marwah ni tanoh tembuni. Mudah-mudahan, hal ini dapat menjadi renungan, pemikiran dan kesadaran dalam aksi nyata bersama menyangkut regenerasi masyarakat kita pada masa-masa mendatang (al-Gayoni, 2008/buku Tujuh Tahum IMTA-Sumut 2001-2008).

Banyaknya organisasi Gayo yang mati, atau yang masih hidup (lagu ampung-ampung pulo), dikarenakan, konsep pendirian yang tidak jelas, dan gere bekekire naru (long term vision) yang dituangkan dalam program pengkaderan. Hal tersebut tidak terlepas dari pola pikir, sikap, sifat, ciri, karakter, sifat bawaan (pel’oh) masyarakat Gayo, yang salah satu cepat puas dengan pencapaian yang telah dicapai. Juga, cenderung vokal di komunitas sendiri. Namun, tidak secara keseluruhan, ada satu dua yang tidak seperti itu, tapi tidak dapat mewakili jumlah populsasi masyarakat Gayo secara keseluruhan. Terlebih untuk kondisi sekarang, masyarakat Gayo semakin apatis, masing-masing (gere musara), penting lepas mangan, dan genap tingen lang, asal kereleken enti mupengkil. Begitulah pergeseran sosial yang terjadi di dalam masyarakat Gayo, saat ini. Kondisi ini sangat kontras, dengan visi keorganisasian reje Linge pertama, long term, sampai melahirkan raja-raja pesisir di Aceh. Bagaimana Adi Genali/reje Linge pertama, meletakan fondasi organisasi awal bagi masyarakat Gayo (kerajaan Linge), perangkat hukum positif (45 Pasat Adat Negeri Linge), berkarisma, memiliki kemampuan retorika, komunikasi antarpersonal, negosiasi, dan diplomasi yang luar biasa. Bahkan, salah satu keturunannya mampu menorehkan tinta emas dalam rangkaian sejarah perabadan Aceh, dengan menjadi sultan pertama kesultanan Aceh Darusasalam (Merah Johan). Begitu juga keturunanannya yang lain, Merah Silu, Iskandar Muda, dan lain-lain. Sayang, masyarakat Gayo terutama generasi mudanya, dewasa ini, tidak bisa menafsirkan, dan memahami pesan keorganisasian Adi Genali tersebut, untuk menjadi generasi tanoh Gayo si cerdik, lisik, bidik, orom mersik.

Kembali melirik organisasi kemahasiswaan yang ada di Medan, sejauh ini penulis melihat, baru IMTA yang memiliki pola kaderisasi yang jelas melalui EMP I, EMP II, dan EMP III. EMP tidak lain, adalah Enti Mate Pucuk, semacam pola kaderisasi, dan pengkaderan di dalam IMTA. Di tempat lain, dikenal dengan LK (Himpunan Mahasiswa Islam), Daurah Marhalah (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), Oral English Practise/OEP (Ikatan Mahasiswa Sastra Inggris/IMSI USU), dan lain-lain. Hal inilah yang masih kurang di tubuh organisasi Gayo. Sebaliknya, yang ada, morom, cerite-ceriten gere muarti, nemen waktu, mangan, dan ulak. Dalam kegiatannya, juga lebih banyak menyetuh pada penguatan silaturrahmi, sosial, dan budaya. Ruang pengkaderan untuk melahirkan, paling tidak tokoh nasional, ekonomi dengan penguatan entrepreneurship, pendidikan, hukum, advokasi, dan politik, semakin jauh dari harapan. Untuk konteks Indonesia, kita perlu belajar dari suku Toba, Mandailing, dan orang Sulawesi berkenaan dengan pengkaderan ini.

Kedua, kurangnya penyatuan visi dan misi di awal pendirian organisasi (gere sara ate, sara sara, dan sara basa). Kebanyakan pecahnya organisasi tadi, dikarenakan tidak bisa menerima dan mengelola perbedaan yang terjadi. Misalnya, perbedaan pendapat, kekurangan dan kelebihan anggota (merasa diri dan organisasi yang dimasuki paling hebat/superior), terkotak-kotak dalam belah, urang, dan sebagainya. Pecahnya organisasi, yang selanjutnya bermuara pada matinya organisasi, juga dikarenakan karena kepentingan politis (politik praktis). Kadangkala, organisasi yang ada, disilaukan oleh uang, yang dibawa ke dalam politik praktis. Orang-orang yang terlibat di dalamnya juga demikian. Mengaku aktivis “aktivis gadungan, tak punya harga diri.” Namun, untuk saat tertentu, bersedia menggadaikan idealisme-nya hanya karena kepentingan sesaat, uang, dan menyeret anggotanya yang masih lugu, dan tak berdosa. Bisa dibayangkan, kalau orang-orang seperti yang memimpin tanoh Gayo, negeri, dan bangsa ini, apa yang terjadi kemudian? Sikap ini-lah yang mesti dirubah pelaku dan penggiat organisasi Gayo, kalau ingin melahirkan organiasi yang kuat, berciri, ber-marwah, dan bermartabat. Perlu poka pikir, sikap, dan pola tindak, diarahkan untuk saling menutupi, melengkapi dan membantu kelebihan serta kekurangan masing-masing. Sebaliknya, tidak menjelekkan, menjatuhkan, membutuh karakter organisasi dan individu masing-masing.

Padahal, perbedaan itu berkah, kekayaan, modal, dan potensi untuk menguatkan diri, organisasi, nahwa dan marwah ni tanoh tembuni. Terlebih lagi soal urang, ini merupakan penyakit sosial yang paling parah di Gayo. Menurut almarhum Prof. H. Muhammad Dauh, S.H., “Urang-urangen merupakan prilaku manusia yang tidak berperadaban. Uken toa hanya persoalan pertama, dan belakangan yang datang ke tanoh Gayo.” Penulis sepakat dengan almarhum, yang memang dari awal mencoba meminimalkan urang-urangan yang berlebihan. Bagaimana mungkin, tanoh dan urang Gayo bisa maju bila masih terjebak dalam uken toa. Untuk itu, untuk mu-marwah-kan Gayo, dari sekarang, orang Gayo harus berpikir sehat, bersikap sehat, dan bertindak sehat, tidak terjebak dalam belah, dan urang-urangen. Jangan jadikan uken toa sebagai alat, dan kepentingan sesaat, terutama orang-orang yang berkepentingan “politisi busuk”, dan yang berpikir, berorientasi sempit dan bertarget rendah (hanya untuk hari ini, dan besok, golongan, tim sukses, “balas budi,” dan lain sebagainya. Sebaliknya, urang Gayo harus bisa menerima perbedaan, dengan menempatkan segala sesuatu sesuai porsinya. Artinya, menghormati, menghargai, mendasarkan sesuatu berdasarkan kualitas, kompetensi, track record yang bisa diandalkan (i timang beret i juel mu rege), hasil kerja, dan tauladan yang baik. Bukan sebaliknya, berbasis rasa, kedekatan, belah, dan urang-urang. Kenake, ke nge tekek pe kite i donya ni, gelah cerdik, bidik, lisik orom mersik. Sebalik ke mien, enti besisekuten, besituloken, besipengkilen, dan besisengkeliten.

Dari kasus organisasi intra, dan ekstra kampus, bahkan di tingkat nasional, kerap terjadi, tidak adanya yang berperan sebagai pelaku pelanjut dan penerus organisasi. Dari jurusan, dan pola merantau yang ada juga, kita cenderung tertuju pada satu jurusan, dan satu daerah dengan penyebaran , dan penguatan yang kurang. Akibatnya, masyarakat dari daerah ini tidak menyebar, menguat, terspesialisasi, punya nilai tawar yang rendah, lemah dalam kaderisasi/pengkaderan, negosiasi, dan diplomasi. Di USU misalnya, kadang, satu departemen hanya didiami satu orang Gayo. Ketika mencapai posisi puncak, saat domisioner, tidak ada lagi yang melanjutkan, karena tidak ada generasi pelanjut (lost generation). Bahkan, sekiranya pun lebih dari satu orang mahasiswa (mahasiswa yang dari Gayo), biasanya cukup sulit menembus persaingan yang sangat kompetitif. Begitu juga, untuk akademisi, ditambah pegawai. Hari ini, kita patut bersyukur, di USU, dari Takengon saja terdapat 14 dosen termasuk almarhum Prof. H. Muhammad Daud, S.H., dengan 3 pegawai. Namun, akankah ada garansi keberlanjutan regenerasi tanoh/urang Gayo di USU?

Begitu juga untuk konteks organisasi Gayo, harus dipikirkan kader pengganti dan penerus. Tidak menyandarkan pada ketokohan satu orang (pemimpin kharismatik). Dari banyak kasus organisasi Gayo, hal ini kerap terjadi, makanya untuk di Medan, yang dulunya ada sembilan orgnisasi, kini tinggal 3 organisasi yang tersisa. Pemimpin yang besar, adalah ketika dia bisa mewariskan, dan melahirkan pemimpin yang lebih besar darinya. Harapan penulis, tulisan ini dapat menggugah rasa, hati, jiwa, dan logika urang (orang) Gayo, terutama yang mengkhawatirkan regenerasi urang dan tanoh tembuni (enti sawah mate pucuk), khususnya yang bergelut di organisasi Gayo, terlebih lagi IGAMA. Semoga bermanfaat, light the fire within (maaf, penulis lupa, istilah siapa yang terakhir, baca buku Stephen R. Copey)


* Ketua Dewan Pengawas Nasional (DPN) Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris se-Indonesia (HIMABSII) Periode 2005-2007 (dimuat di www.gayolinge.com 10/07/2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar