Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni
Tutur merupakan sistem panggilan atau bentuk sapaan yang ada dalam masyarakat Gayo. Melalatoa dalam Kamus Bahasa Gayo – Indonesia, mendefinisikan tutur sebagai sebuah sistem atau istilah kekerabatan (1985:406). Bertutur diartikan dengan penggunaan tutur, sistem atau istilah kekerabatan. Terminologi tutur ini merupakan leksikon yang berbeda dengan kata tutur yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Tutur dalam bahasa Indonesia berarti ucapan, kata, atau perkataan. Dengan demikian, bertutur berarti bercakap atau berkata (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:1574). Berbeda pula dengan konsep tutur atau ujaran dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah speech. Speech is seen as a medium of transmission of language – the spoken medium or phonic substance of language (as opposed to writing) (Crystal, 2008:445). Jadi, konsep tutur dalam bahasa Indonesia dan speech dalam bahasa Inggris (tutur, ujaran) lebih bersifat umum. Sementara itu, tutur dalam bahasa Gayo merupakan sistem kekerabatan dan memiliki konsep tersendiri
Dalam tutur tergambar cara, sikap, dan kesantunan berbahasa penutur terhadap lawan tuturnya. Melalui tutur yang digunakan (ber-tutur), sifat dan karakter seseorang dapat diketahui. Apakah yang bersangkutan memiliki kesensitifan sosial? Dengan kata lain, apakah penggguna tutur mengetahui, menghargai, mengerti dan memahami lawan tutur-nya secara mendalam? Hal tersebut dapat dilihat dari tutur yang dipakainya. Dalam istilah lokal dikenal, jema si be tutur, barti jema mu agama, mu edet, dan mu peraturen. Artinya, orang yang bertutur (menggunakan tutur) berarti (yang bersangkutan) orang yang beragama, beradat, dan berperaturan (tahu resam dan peraturan terutama dalam komunikasi dan hubungan interpersonal). Karena tutur menyentuh kajian psikologis pengguna tutur (si be tutur). Lebih jauh lagi, tutur mengungkapkan sifat, karakter, hati, dan jiwa sesorang.
Fungsi ini (menyatakan adab dalam berkomunikasi atau kesantuan berbahasa) sangat penting peranannya dalam keseharian masyarakat Gayo. Dengan dipakainya tutur dengan benar, dan dalam konteks yang tepat, maka akan tercipta keharmonisan sosial. Tidak ada amarah, berbicara dengan nada yang keras dan kasar, dan penggunaan kata-kata yang tidak berterima (yang dikenal dengan kemali atau sumang). Sebaliknya, lemah lembut, penggunaan padanan kata yang sesuai dengan konteks, intonasi yang sesuai dengan keadaan penutur, dan dengan penyampaian dan sikap yang berterima dari perspektif yang di-tutur (konsep-konsep komunikasi yang baik, benar, efektif, efisien). Singkatnya, akan terjalin hubungan antarpersonal yang baik dalam masyarakat. Dikarenakan pe-tutur penempatan tutur dan adab dalam berhubungan (hubungan interpersonal) terutama dalam berbahasa berada pada strata yang teratas. Selain menyatakan kesopanan atau kesantunan dalam berbahasa, tutur juga berfungsi untuk menunjukkan kedudukan seseorang, menyatakan rasa hormat, memperkuat silaturrahmi, mempererat pergaulan, menyatakan yang bersangkutan beragama, beradat dan berperaturan, dan sebagai identitas sosial (al-Gayoni, Harian Independen Aceh, Desember 2008).
Bagaimana keterkaitan tutur yang ada di Gayo dengan kandungan ajaran Islam? Islam dan adat Gayo sangat erat hubungannya. Tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dalam falsafah masyarakat setempat. Ukum orom edet; lagu zet orom sipet; ukum munukum; edet mubeda. Artinya, agama dan adat (yang berlaku di Gayo); seperti zat dan sipat; hukum Islam menghukum (salah dan benar); adat (yang berlaku di Gayo) membedakan (baik dan tidak baik). Manifestasi kesantunan pada tutur dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa sehari-hari (language use) bisa dilihat dalam beberapa istilah yang ada pada masyarakat setempat, seperti becerak mutempat (berbicara sesuai dengan tempat dan konteksnya), becerak lemut (berujar dengan lemah lembut), dan lain-lain. Penggunaan tutur sendiri disesuaikan dengan kedudukan lawan tutur (yang disapa); umur, kedudukan sosial yang bersangkutan, dan jalinan keakraban (akrab tidaknya pe-tutur dengan yang disapanya). Hal tersebut sesuai dengan tiga parameter yang diberikan Anton Moeliono terkait dengan bentuk sapaan, yaitu umur, status sosial, dan keakraban (1993:250). Selain itu, dalam masyarakat ini dikenal adanya tiga tingkatan tutur, yaitu tutur atas, sejajar, dan tutur rendah. Tingkatan ini-lah yang kemudian membedakan bentuk tutur, penyampaian, sikap dan intonasi bahasa yang dipakainya.
Dalam tautannya dengan nilai-nilai kegamaan (Sri Minda Murni: 2009), Islam mengajarkan agar seseorang berbicara dengan benar atau qaulan sadida (4:9), berbicara dengan bahasa yang menyedapkan hati, tidak menyinggung perasaan atau menyakit perasaan, sesuai dengan kriteria kebenaran, jujur, tidak mengandung kebohongan, dan tidak berpura-pura, disebut dengan qaulan ma’rufa (4:8). Selain itu, Islam juga mengajarkan berbicara efektif yaitu dengan menggunakan ungkapan yang mengena, mencapai sasaran dan tujuan, atau membekas, bicaranya jelas, terang dan tepat atau qaulan baligha (4:63). Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan berbicara dengan baik dan pantas, agar orang tidak kecewa, yang disebut dengan qaulan maysura (17:28). Juga, berbicara dengan kata-kata mulia yang menyiratkan kata yang isi, pesan, cara serta tujuannya selalui baik, terpuji, penuh hormat, mencerminkan akhlak terpuji dan mulia, dikenal dengan istilan qaulan karima (17:23). Terakhir, agama ini juga mengajarkan umatnya untuk berbicara dengan lembut atau dikenal dengan qaulan layyina (20:44).
Hal di atas lah (qaulan sadida, qaulan ma’rufa, qaulan baligha, qaulan maysura, qaulan karima, dan kaulan layiina) yang terkandung dalam tutur yang ada di Gayo. Akan tetapi, dewasa ini, pemahaman masyarakat setempat semakin berkurang terkait dengan tutur. Bahkan, saat ini, tutur kurang dipakai. Bentuk tutur, seperti ama (bapak), ine (ibu), awan (kakek), anan (nenek), dan lain-lain sudah digantikan bentuk sapaan bahasa Indonesia; bapak, papa, ibu, bunda, mama, kekek, nenek, dan lain-lain. Kemungkinan, ke depannya tutur ini akan ditinggalkan masyarakat pewarisnya (al-Gayoni, Seminar Internasional Universitas Sumatera Utara – Universitas Malaya, 20 Juni 2009). Secara umum, kurangnya pemahaman dan pemakaian tersebut disebabkan dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pertama, faktor internal berhubungan dengan masyarakat pewaris tutur sendiri, yaitu orang dan siapa pun yang tinggal di Gayo. Kedua, faktor eksternal, yaitu sesuatu yang datang dari luar; seperti adanya perkawinan silang, interaksi dan heterogenitas budaya yang terjadi di Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam.
Mengingat tingginya nilai-nilai filosofis dari tutur, dalam pemertahanannya, perlu kiranya pengenalan tutur ini kembali terutama kepada generasi muda. Dikarenakan tutur menyentuh bagian yang penting dari kehidupan manusia; menyangkut hubungan antarindividu, khususnya persoalan komunikasi. Pe-tutur yang mengenal dan menerapkan tutur, dapat dikatakan bahwa yang bersangkutan beragama, beradat, dan berperaturan. Mengetahui konsep tutur secara keseluruhan, cara, etika, dan sikap penyampaian yang baik, tuntunan agama dalam kaitannya dengan adat terutama persoalan malu (mukemel) yang berhubungan dengan adab bertutur tadi. Pada akhirnya, bila tutur ini dipakai dan ditempatkan pada konteks yang benar, akan berakumulasi pada terciptanya kehamarmonisan sosial dalam masyarakat ini.
* Pemerhati kebudayaan Gayo &mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU)/Lentayon Edisi XI Thn III 2009 (Edisi Khusus PKA/Agustus 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar