Senin, 14 September 2009

Mengulur Kepunahan Bahasa Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Sebagaimana halnya mahluk hidup; bahasa juga hidup, berkembang, dan memungkinkan untuk mati. Bahasa perlu tempat atau lingkungan untuk hidup. Diperlukan pula penutur sebagai bagian dari guyup tutur, dan ekosistem yang senantiasa memakai bahasanya. Akibatnya, suatu bahasa akan selalu hidup, terpakai, terpelihara, dan terwaris. Dalam sebuah penelitian (al-Gayoni, 2009) dijelaskan, bahwa umur bahasa Gayo tinggal 47 tahun lagi. Bahasa ini hidup sekitar empat sampai lima dasarwarsa lagi. Setelah itu, bahasa ini akan punah. Bahasa Gayo merupakan sebuah bahasa yang dituturkan orang Gayo, yang ada di Propinsi Aceh. Orang Gayo ini digolongkan ke dalam kelompok Proto Melayu. Sementara itu, bahasanya ber-moyang pada Melayu Polinesia. Dari seluruh titik persebarannya; Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Bener Meriah, dan Nagan Raya, bahasa ini dituturkan tidak lebih dari 500 ribu jiwa.


Tulisan ini lebih banyak dilihat dari perspektif ekolinguistik (ecolinguistics/language ecology), kajian interdisipliner, yang menautkan bahasa dan lingkungannya. Bahasa berperan terhadap kelangsungan, dan keseimbangan lingkungan. Sebaliknya, perubahan berbagai bentuk, dan fungsi lingkungan terekam dengan jelas dalam bahasa. Sejatinya, bahasa merupakaan penggambaran identitas, merekam kearifan-kearifan lokal, konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis dari masyarakat tempatan. Hal yang paling mendasari hal di atas, adalah kurangnya kesadaran, dan kesetiaan penutur bahasa ini dalam menggunakan bahasa Gayo. Bahasa Gayo dianggap tidak komunikatif, tidak prestius, dan tidak ekonomis. Terlebih lagi, lingkungan berbahasa di dataran tinggi tanoh Gayo, khususnya di Takengon menggambarkan ke-dwibahasaan (bilingual), dan ke-multibahasaan (multilingual). Daerah ini didiami lebih dari delapan etnik, mulai Gayo sebagai mayoritas, Aceh, Jawa, Minang, Cina, Melayu, Karo, Toba, Mandailing, Alas, dan lain-lain. Pluralitas etnik; dengan interaksi, dan heterogenitas budaya akan memengaruhi pola pikir, sikap, dan pola tindak berbahasa penutur Gayo. Sebagai akibatnya, persaingan bahasa tidak bisa dielakkan; ada yang menang, coba bertahan. Sebaliknya, ada pula yang kalah, yang ditandai dengan kurang dipakai, atau hilangnya suatu register untuk ranah tertentu.

Di tanoh Gayo, khususnya di Takengon tadi, transmisi budaya dan bahasa juga kurang berjalan dengan baik dari generasi tua (1920-1960) ke generasi muda (1970-sekarang). Selain itu, ada semacam “dominasi budaya/tokoh tua,” yang kurang melibatkan generasi muda. Akibatnya, dewasa ini, generasi muda semakin “kabur” dan “gelap” melihat realitas budaya tempatan. Orang tua beranggapan, anak-anak akan mendapat pengalaman budaya, terlebih berbahasa Gayo dari lingkugannya secara langsung. Bagaimana mungkin, pembelajaran tersebut dapat berjalan, sementara lingkungannya sudah plural, dan dwi/multi bahasa (bilingual/multilingual). Asumsi yang kurang bijak inilah yang masih melekat dalam mind set, sikap, dan pola tindak orang tua.

Dalam perkembangan, dan pergeseran yang terjadi, bahasa Indonesia turut “membunuh” bahasa Gayo, sebagai salah satu bahasa minor di Aceh. Awalnya, bahasa Indonesia terbatas hanya dipakai dalam ranah formal, yaitu melalui pengajaran dan pembelajaran dalam dunia pendidikan, serta dalam menyambut tamu-tamu daerah. Dalam sejarah awal penggunannya, bahasa ini dipakai secara malu-malu (kemel), canggung (cakah), dan ada rasa ketidakpercayadirian dari penggunannya. Sebaliknya, dewasa ini, penutur bahasa Gayo malah malu, gengsi, canggung, dan tidak lagi percaya diri memakai bahasanya, sebagai buah dari penggunaan bahasa Indonesia yang semakin meluas. Penggunaan tadi tidak saja dalam pendidikan formal, tetapi juga dalam keluarga, lingkungan ketetanggaan, bahkan sudah menembus kampung-kampung yang ada di tanoh Gayo. Referensi yang merujuk pada suatu ragam, dan register untuk ranah tutur tertentu tidak lagi ada. Dengan begitu, bahasa Gayo kehilangan lingkungan yang membuat bahasa ini bisa bernafas, dan bertahan hidup.

Bahasa Gayo hanya dipakai antarorang tua “bahasa generasi tua.” Orang tua (1920-1960) masih berbahasa Gayo kepada anaknya (1970-1980). Namun, “orang tua baru” (1970-sekarang, lebih memilih bahasa Indonesia, meski ada sebagian kecil yang berbahasa Gayo. Sudah dipastikan, anak-anaknya lebih intens lagi dalam penggunaan bahasa Indonesia. Tentu, lingkungan berbahasa Gayo tidak lagi dalam bahasa ibu (mother tongue) terutama di empat kecamatan di Takengon; kecamatan Bebesen, Kebayakan, Lut Tawar, dan kecamatan Pegasing. Kebalikannya, sudah berbahasa Indonesia.

Tanoh Gayo juga miskin dokumentasi tertulis prihal sejarah, bahasa, adat istiadat, resam, peraturan, dan yang berkenaan dengan Gayo. Rujukan-rujukan (situs Gayo) juga lebih banyak di luar tanoh Gayo, terutama di Leiden (Belanda), dan Munich (Jerman). Sayangnya lagi, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah tidak mengarahkan kebijakannya pada pembangunan budaya, terlebih lagi pada soal bahasa dan pendidikan; secara khusus, sebagai perangkat lunak pelaksana pewarisan bahasa ini. Boleh dikatakan, masih belum ada politik berbahasa (language politics), kebijakan berbahasa (language policy), dan perencanaan bahasa (language planning). Kalau pun ada, masih dalam bentuk qanun yang kaku, simbolik, dengan implementasi yang lemah, tidak mampu menyetuh wilayah substantif, yaitu menyangkut nasib, kebertahanan, keberlangsungan, dan keterwarisan bahasa ini. Disamping itu, bahasa Gayo juga kurang diajarkan dalam dunia pendidikan formal, mulai pra-TK (play group) sampai pada pendidikan tinggi.

Melihat realitas bahasa Gayo di atas, kepunahan “kematian” bahasa ini tidak lagi dapat dielakkan. Bahasa Gayo hanya bisa diulur kepunahannya, yaitu dengan penggugahan kesadaran penuturnya, mengajarkan bahasa Gayo, meningkatkan kesetiaan penutur dalam penggunaan bahasa ini dalam konteks yang lebih luas. Memperbanyak dokumentasi tertulis, terutama soal kebahasaan, mengingat semakin berkurangnya generasi tua. Terakhir, menempatkan bahasa Gayo tidak sebatas di keluarga, lingkungan ketetanganggan, dan membentuk lingkungan berbahasa Gayo yang ideal di tanoh Gayo yang dapat dijadikan pilot project. Lebih dari itu, bahasa Gayo harus dipelajari, dan diwariskan dalam dunia pendidikan formal, mulai dari pra-TK (play group) sampai pendidikan tinggi. Peran di atas, sudah barang tentu lebih maksimal dilakukan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dengan berbagai power, policy, financial support, dan perangkat pendukung yang dimilikinya. Pemertahanan ini perlu dilakukan, karena bahasa adalah identas (identity) yang merekam kearifan-kearifan lokal, konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis penuturnya.


*Akademisi/Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (Spesialisasi Ekolinguistik)

Sumber:
http://theglobejournal.co.id 11 September 2009 (diakses 13 September 2009)
www.gayolinge.com 12 September 2009 (diakses 14 September 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar