Senin, 25 Januari 2010

MoU Pemkab Aceh Tengah dengan USU

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 19 Januari 2010, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah menjalin kerjasama dengan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, yang kemudian melahirkan sebuah Memorandum of Understanding (MoU). USU merupakan salah satu perguruan tinggi di Indonesia, terbaik di luar pulau Jawa, peringkat 7 Indonesia dan 3.254 dari 3.776 perguruan tinggi dunia (sampai Januari 2009). Siapa pun penggagasnya, langkah tersebut merupakan sebuah langkah maju dan patut diapresiasi. Salah satu butir kesepakatan tersebut, ialah peningkatan kerjasama di bidang pendidikan, yaitu dengan diterimanya siswa Takengen tanpa tes di USU sebanyak 40 orang. Ke empat puluh mahasiswa tersebut, 10 diantaranya akan dibiayai Pemkab Aceh Tengah, sisanya dengan biaya sendiri. Selain itu, pendidikan S-2 bagi mahasiswa Takengen di USU, yang mulai berjalan pada tahun 2010 (the globe journal, 19/1).

Penulis coba flash back ke belakang, sebagai pertimbangan-pertimbangan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, DPRK, Dinas Pendidikan, pihak sekolah, dan orang tua sebelum kerjasama ini berjalan lebih jauh. Pertimbangan-pertimbangan ini lahir dari pengalaman dan amatan penulis yang berlangsung selama 7 tahun di USU, Medan dan beberapa daerah di Indonesia yang terdapat mahasiswa tanoh Gayo (2002-sekarang). Pada waktu itu, penulis sendiri merupakan salah seorang mahasiswa Pemanduan Minat dan Prestasi (PMP) dari SMA Negeri 1 Bebesen (SMA Negeri 1 Takengen sekarang) di USU. Secara keseluruhan, pada masa tersebut (stambuk 2002) merupakan jumlah terbanyak mahasiswa Takengen (termasuk Bener Meriah sebelum pemekaran) yang masuk ke USU baik melalui jalur PMP, Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru/SPMB (5 orang) maupun melalui jalur ekstensi, sejumlah 3 orang. Secara keseluruhan, jumlah mahasiswa Takengen pada angkatan tersebut lebih dari 40. Seterusnya, sampai tahun 2009, jumlah mahasiswa yang berasal dari Takengen (termasuk Kabupaten Bener Meriah) terus berkurang baik melalui jalur PMP, SPMB, Seleksi Mahasiswa Penerimaan Daerah (SPMPD) dan ekstensi. Dari 1.100 lebih siswa Takengen dan Bener Meriah, melalui jalur SPMB misalnya, tahun 2002 (5 orang), 2003 (2 orang), 2004 (2 orang), 2005-2006 (0), 2007 (1 orang), 2008 (0) dan 2009 (1-2 orang). Dari dua kabupaten tersebut, dari 2003 sampai sekarang, jumlahnya kurang dari 30 mahasiswa. Tidak menutup kemungkinan, jumlahnya di bawah 25 mahasiswa.

Sebagai tambahan, di USU sendiri, terdapat dosen-dosen dan pegawai yang berasal dari tanoh Gayo, untuk dosen, dari Takengen ada 14 orang termasuk Prof. H. Muhammad Daud, S.H. almarhum (sesepuh orang Gayo di Sumut), Gayo Lues 3 orang, sementara itu, total pegawai dari Gayo ada 4 orang. Melihat pentingnya MoU tersebut bagi Kabupaten Aceh Tengah, karenanya ada beberapa pertimbangan yang coba penulis sampaikan. Pertama, perlunya pemberian dan peningkatan pemahaman melalui penelurusan kualitas, kemampuan, minat dan bakat yang benar terhadap pelajar Takengen. Singkatnya, “tidak dipaksakan.” Dalam pembagian jurusan misalnya, tidak memaksakan siswa untuk mengambil jurusan tertentu, katakanlah harus IPA. Namun, menyerahkan sepenuhnya kepada kemauan, pilihan dan keputusan siswa. Begitu juga dalam pemilihan jurusan di perguruan tinggi (sebelum pengiriman berkas), tidak didasarkan pada kemauan guru, orang tua dan unung-unung (ikut-ikutan), melainkan dari hati siswa tadi.

Penulis memperhatikan, pemahaman inilah yang masih kurang dari siswa/i dari tanoh Gayo. Artinya, ada bagian yang kurang berjalan di sekolah, yiatu bagian konseling. Selama ini, dalam prakteknya, konseling ini hanya mengurusi “siswa-siswa bermasalah.” Kalau pun berjalan, informasi yang diberikan berdasarkan pengalaman guru konseling semasa kuliah, tambah dari beberapa guru di sekolah, dan kerap kali tidak mengikuti perkembangan informasi di luar. Selain itu, arahan dari keluarga, lingkungan ketetanggaan, masyarakat dan kemauan siswa dalam mencari informasi, serta menelusuri potensi yang ada pada diri mereka sendiri juga masih kurang. Padahal, dengan masuknya HP sekitar tahun 2003 di Takengon, tambah internet (sekitar 2006), maka pencarian informasi ini semakin mudah. Namun, yang terjadi, pemahaman pelajar Takengen prihal jurusan termasuk akreditasinya masih sangat terbatas. Biasanya (umumnya), pencarian jurusan tersebut baru berlangsung setelah mereka keluar Takengen, sebelum SPMB (sekarang SMPTN) dan saat masuk bimbingan belajar. Bisa dibayangkan hasilnya. Akibat kurangnya pemahaman dengan “pemaksaan,” “salah memilih dan memutuskan,” setelah memasuki perguruan tinggi, beberapa kasus (kebanyakan) ada yang pindah jurusan (sebelumnya S-1 ke D-3), hal itu lebih pada pilihan safety ketimbang drop out (DO), pindah universitas, bahkan ada yang DO yang berujung “pulang kampung.”

Kedua, penyeleksian yang kurang selektif. Walaupun tidak semua sekolah, belbagai kasus yang terjadi sejak tahun 2002 menunjukkan, bahwa proses penyeleksian di sekolah kurang selektif. Penunjukkan siswa tidak didasarkan atas kualitas dan kemampuan. Sebaliknya, lebih karena kedekatan dengan pihak sekolah “orang tuanya guru atau kepala sekolah di sekolah yang bersangkutan, hubungan sesama guru/sekolah,” “tekanan” pihak dinas dan pejabat lokal. Kalau sudah seperti ini, seperti gambaran di atas, pindah jurusan/universitas, bahkan sampai DO tidak bisa dihindarkan. Akibatnya, sekolah yang mengirimkan siswanya melalui jalur PMP (pengiriman) akan mendapat hukuman. Biasanya tidak dikirimi undangan yang sama selama dua tahun. Ketiga, kurangnya jalinan komunikasi antara siswa yang dikirim (termasuk keluarga) dan pihak sekolah, dinas dan pemkab sebagai pihak yang saling berhubungan. Komunikasi tersebut lebih pada progress belajar siswa yang di kirim di perguruan tinggi. Tugas pihak sekolah hanya sebatas mengirimkan siswanya. Tidak ada laporan prihal studi siswa secara keseluruhan, monitoring dan evaluasi. Sekiranya pun ada, hanya sebagian kecil, yang sifanya sebatas komunikasi personal. Tak jarang, ketika pindah jurusan/universitas, bahkan DO terjadi, maka saling lepas tanggung jawab “saling menyalahkan” terjadi “asal pas SMA pe jemen kurang, te dabuh i kirim” ‘pas SMA dulu juga (prestasinya) kurang, (namun) tetap saja di kirim (siswa pengiriman). Hal tersebut terjadi akibat sistem “yang tidak benar” dan “dipaksakan.”

Sebagai tambahan, saat proses kuliah berlangsung, selain pindah jurusan/universitas dan DO, terjadi pula patah tengah (putus kuliah) akibat kurangnya dukungan finansial (gere mu belenye). Tak jarang, dalam kurun waktu 2002-2006, satu dua mahasiswa Takengen ada yang “mengamen,” “mele ku kiri” dan sebagian mencari tambahan biaya pendidikan disamping berkutat di kampus. Keempat, kurangnya reward (penghargaan) kepada pelajar/mahasiswa Takengen yang berprestasi (umumnya tanoh Gayo). Ke depannya, penghargaan ini perlu ditumbuh-kembangkan, sehingga muncul semangat besikemelen (kompetitif dan prestasif dari pelajar dan mahasiswa Takengen). Berbeda dengan daerah lain, yang betul-betul menghargai prestasi pelajar/mahasiswanya dalam pelbagai bentuk, terutama pembebasan biaya kuliah, tambahan besaran nilai beasiswa yang dibuktikan dengan perolehan IP/IPK tinggi dan biaya hidup. Padahal, dari sisi prestasi, mahasiswa Takengen tidak kalah, bahkan mencatat prestasi lebih dan membanggakan. Disamping aktif di pelbagai organisasi kemahasiswaan di fakultas, tingkat universitas serta tingkat nasional, dalam kurum waktu empat tahun (2002-2006), di USU, mahasiswa Takengen ada yang meraih mahasiswa berprestasi, mahasiswa terbaik, tim riset nasional dan pemenang dalam belbagai lomba di tingkat nasional. Bahkan, belakangan (2009), salah seorang mahasiswa Takengen di USU, yaitu Diana Adriani (siswa SMA Negeri 1 Takengen sekarang) mewakili Indonesia dalam ITU TELECOM WORLD 2009 Youth Forum di Geneva, Switzerland.

Harapan penulis, apa yang disampaikan di atas dapat menjadi pertimbangan bagi pengambil keputusan di Takengen, begitu pula Pemkab serumpun lainnya; Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Bener Meriah dalam menata perbaikan dan kamajuan tanoh Gayo. Begitu juga dengan kekurangan-kekurangan yang ada, hendaknya tidak lagi terjadi. Dengan demikian, kerjasama ini dapat berjalan dengan baik, berkesinambungan dan berkelanjutan. Upaya yang sama perlu dilakukan dengan perguruan tinggi lainnya di Indonesia, terutama yang berperingkat satu sampai enam yang ada di pulau Jawa, yaitu UI, UGM, ITB, IPB, UNPAD dan UNDIP. Bahkan, ke depannya perlu didorong kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri, seperti Australia, Amerika & negara-negara Eropa dalam peningkatan pendidikan dan sumber daya manusia Takengen.


*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah dan Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU)


Sumber: Tabloid Gayo Land Edisi VII Thn II 2010, tanggal 26 Januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar