Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Beberapa waktu yang lalu, selama tiga hari, sejak tanggal 9 Desember 2009, Yayasan Leuser Internasional (YLI) memberikan pelatihan bahan ajar lingkungan bagi 49 guru dan pengawas dari Aceh Tengah, dan Bener Meriah di Takengen. Saat bersamaan, YLI mendorong pula terbentuknya eco club di sekolah-sekolah yang ada di Aceh Tengah. Sebelum ini, pemuda Takengen juga mengelar Workshop Lut Tawar, dan membentuk Forum Penyelamat Lut Tawar. Setelah workshop, pelajar SMA Negeri 1 Takengon memprakarsai terbentuknya ‘Pemerhati Muda Lingkungan’ dengan program ‘Bike to School’ dalam rangka mengkampayekan hidup sehat, dan ramah lingkungan.
Apa yang telah dilakukan elemen kepemudaan, dan para pelajar merupakan langkah positif, dalam menggugah kesadaran kolektif sebagai upaya penyelamatan ekosistem Takengen, sebagai bagian dari ekosistem Aceh, dan dunia. Begitu pula dengan upaya YLI yang telah mengadakan pelatihan bahan ajar yang berwawasan lingkungan, bagi tenaga pendidik di Aceh Tengah. Pelatihan ini cukup berarti, dan bernilai, dengan dimasukannya isu lingkungan ke dalam dunia pendidikan. Dikarenakan, dewasa ini, terlebih pascarehab-rekon, lingkungan di Aceh tidak lagi hijau ‘green’ melainkan sudah berubah menjadi cokelat ‘brown,’ merah ‘red,’ bahkan hitam ‘black.’ Perubahan, dan penyusutan ekologis tersebut ditandai dengan aksi penebangan hutan, pencemaran sungai-sungai, dan laut-laut Aceh. Disamping itu, terjadi perubahan tuturan lingkungan yang tergambar di tataran leksikal dari bahasa yang dipakai. Sebelumnya, gunung gemunung dipenuhi hijau pepohonan, kini tinggal tunggul-tunggul. Air yang mengalir ke hilir, dipenuhi sampah dengan bau busuk menusuk, dan berubah jadi hitam pekat akibat terus tercemari
Persoalan prinsip yang harus dipertimbangkan dalam pelatihan tersebut, adalah soal penggunaan bahasa melalui wacana yang berbau lingkungan (environmental discourse) dalam bentuk bahan ajar. Wacana tersebut harus ramah, dan menyehatkan lingkungan. Wacana lingkungan ini sangat memengaruhi rasa, dan logika pelibat wacana tersebut, yaitu tenaga pendidik, tambah anak didiknya. Pada akhirnya, apa yang terekam dalam kognisi mereka, akan memengaruhi sikap, dan tindakan mereka kepada lingkungan. Sekiranya wacananya sehat, maka sikap dan tindakannya terhadap lingkungan pun sehat. Sebaliknya, bila wacana lingkungan lebih pada ekploitatif destruktif, maka yang tejadi juga demikian.
Dengan demikian, wacana lingkungan yang ada dalam bahan ajar harus mampu memelihara, menjaga keseimbangan, dan mewariskan ekosistem yang ada kepada generasi mendatang. Dampak ekologis, dan penggunaan bahasa harus dipertimbangkan dalam teks-teks, dan wacana lingkungan (M.A.K. Halliday, 1990). Dampak dimaksud boleh bersifat negatif, yang tidak terlepas dari ekploitatif destruktif. Kebalikannya, biasa saja bersifat positif, yang menyoalkan tata kelola lingkungan yang baik, sehat, dan terwaris. Secara tidak sadar, kata, atau frasa yang ada dalam wacana lingkungan, dapat menimbulkan ambiguitas, dan multitafsir. Bahkan, membuka ruang kebebasan terhadap perusakan lahan, dan hutan yang ada.
Misalnya saja, istilah ‘hutan perawan.’ Ini merupakan salah satu bentuk metafora yang ‘menyesatkan.’ Hal tersebut dapat membuka ruang eksploitasi yang berlebihan, tanpa memikirkan kerusakan ekosistem, dampak negatifnya bagi generasi mendatang, dan menghijaui hutan-hutan yang sudah lapang. Persoalan-persoalan ini-lah yang coba diakrabi melalui kajian ekolinguistik (ecolinguistics) atau ekologi bahasa (ecology of language), khususnya ‘ekolinguistik kritis.’ Ekolinguistik kritis menyoalkan teks-teks yang berkenaan dengan lingkungan, atau yang kerapa digunakakan aktivis-aktivis lingkungan. Teks-teks tersebut mencoba menyingkap gambaran ideologis masyarakat tempatan, terkait konsep-konsep ekologis baik yang menyehatkan lingkungan, maupun yang merusak lingkungan.
Ekolinguistik, merupakan kajian interdisipliner yang melihat tautan antara ekologi (ekosistem), dan linguistik (ilmu bahasa). Dalam pembahasannya, dan sifatnya yang interdisipliner, kajian ini melibatkan kajian-kajian lain, diantaranya, sosiologi, antropologi, psikologi, dan ilmu politik. Selain aspek sosial, ekolinguistik mempertimbangkan aspek ekologis bahasa yang dipakai penutur dalam sebuah masyarakat (Einar Haugen, 1972). Aspek sosial-ekologis sangat memengaruhi keterpeliharaan, keseimbangan, dan keterwarisan lingkungan bagi generasi mendatang. Ekolinguistik, atau ekologi bahasa, berusaha mewujudkan lingkungan yang sehat, dengan memasukan kearifan-kearifan ekologis lokal ke dalam bahasa tersebut (Mühlhäusler, 1995). Unsur-unsur bahasa yang dimaksud, adalah eko-fonologi, eko-morfologi, eko-sintaksis, dan eko-semantik, yang menjadi bagian dari wacana lingkungan.
Kearifan-kearifan ekologis lokal ini perlu diturut-sertakan dalam wacana lingkungan yang sehat dan hijau (greenspeak), mengingat jiwa (konsep-konsep ideologis, filosofis, sosio-ekologis) masyarakat tempatan terwataki dalam kearifan-kearifan lokal tersebut. Demikian halnya dengan kedekatan emosional baik secara fisik, biologis, maupun sosiologis. Kasus yang terjadi di Lut Tawar misalnya, salah satu danau kebanggaan masyarakat Aceh, penyebab akumulasi kerusakan danau ini (tambah ekosistem Takengen umumnya), adalah kurang diberinya ruang bagi sistem pemerintahan tradisional yang ada di Gayo, Takengon, terlebih-lebih di seputar danau untuk hidup. Lembaga tradisional dimaksud adalah pemerintahan Sarak Opat, tambah bagian-bagian terkait persoalan di atas, khususnya pawang, kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang lut, dan pengulu rerak (al-Gayoni, www.gayolinge.com, 11 November 2009). Sistem keadatan melalui pemerintahan Sarak Opat dengan pelbagai kearifan-kearifan sosio-ekologis lokal yang dimiliki, tidak lagi terpelihara, dan teralih kepada generasi yang lebih muda.
Mengingat pentingnya peran, dan fungsi sosio-ekologis dalam wacana-wacana teks lingkungan, ke depannya, pengkaji bahasa, khususnya ecolinguist, pemerhati, aktivis, dan pengambil keputusan terkait lingkungan, serta pelbagai pihak harus mempertimbangkan sosio-ekologis yang dimiliki masing-masing etnik yang ada di Aceh. Sudah barang tentu, sembilan etnik di Aceh memiliki konsep sosio-ekologis yang berbeda. Belum lagi, ungkapan-ungkapan terkait dari sebelas bahasa daerah di Aceh. Sekiranya, konsep tersebut diberdayakan, akan tercipta sinerjisitas, dan harmonisasi dalam penyelamatan lingkungan Aceh. Terlebih lagi, dalam mewujudkan lingkungan Aceh yang sehat, seimbang, dan terwaris melalui Aceh Green Vision.
*Mahasiswa Pascasarjana Linguistik, Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU)
Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/08/%e2%80%98greenspeak%e2%80%99-menuju-keseimbangan-lingkungan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar