Jumat, 25 Desember 2009

Konsep Sosio-Ekologis Masyarakat Gayo, dalam Pemeliharaan Ekosistem

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*


Dewasa ini, di Takengen, dataran tinggi tanoh Gayo, Nanggroe Aceh Darussalam, lagi gencar-gencarnya menyuarakan penyelamatan Lut Tawar dari kerusakan. Lut Tawar, yang lebih dikenal Danau Laut Tawar merupakan danau kebanggaan masyarakat Aceh. Fungsi danau ini tidak sebatas untuk memenuhi kebutuhan estetis-religius alamiah bagi masyarakat tempatan. Selain itu, danau ini menjadi pelengkap keindahan kota Takengen. Lebih dari itu, selain menyanggga kebutuhan air bagi masyarakat Aceh Tengah, dan Bener Meriah, danau ini juga melengkapi kebutuhan air bagi masyarakat Kabupaten Biren, Kabupaten Lhokseumawe, dan Kabupaten Aceh Utara melalui aliran wih ni Gayo, sungai yang berhilir di Pesangan, Kabupaten Biren.

Tanggal 21-22 November yang lalu, berbagai elemen kepemudaan menggelar Workshop Lut Tawar yang mencoba mengidentifikasi pelbagai persoalan, sekaligus langkah ril penyelamatan melalui Forum Penyelamat Lut Tawar. Penyelenggaraan kegiatan tersebut merupakan buah kesadaran kolektif pemuda terhadap kelangsungan, dan keterwarisan ekosistem dataran tinggi tanoh Gayo, Takengen, terlebih lagi Lut Tawar. Kegiatan ini memberikan efek yang lebih besar terkait kesadaran kolektif yang lebih besar dengan tindakan ril. Setelah workshop tersebut, pelajar Aceh Tengah melalui SMA Negeri 1 Takengen memprakarsai pembentukan Forum Pemerhati Muda Lingkungan dengan mengkampayekan hidup sehat&ramah lingkungan dengan program bike to school (bersepeda ke sekolah). Langkah tersebut diikuti pula dengan sekolah lainnya di Takengen, dengan pembuatan eco club (kelompok pemerhati lingkungan) di masing-masing sekolah.

Lantas, bagaimana sebetulnya konsep sosio-ekologis masyarakat Gayo yang bertautan dengan pemeliharaan ekosistem? Konsep sosio-ekologis tersebut bisa saja terekam melalui sastra lisan yang dimiliki masyarakat ini dengan pelbagai bentuk, isi, dan fungsinya terhadap pemeliharaan, dan kelangsungan lingkungan. Biasanya gambaran tersebut tergambar dengan jelas dalam perbendaharaan kosakata yang ada dalam bahasa masyarakat Gayo. Dengan kata lain, berada dalam tataran leksikal bahasa Gayo. Kosakata tersebut mengandung pelbagai konsep, muatan, dan fungsi soal pemeliharaan, dan penyelamatan ekosistem. Singkatnya, jiwa masyarakat tempatan terwataki dalam perbendaharan kata-kata yang ada dalam bahasa yang mereka pakai, yaitu bahasa Gayo.

Menurut M. Jusin Saleh, Sekretaris Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo (MAANGo), berkenaan dengan pemeliharaan danau, menyebutkan, bahwa dulunya, masyarakat Gayo dalam membuka perkampungan baru, diharuskan jauh dari danau. Hal tersebut bisa di lihat dari kampung-kampung tua di seputar danau. Salah satunya adalah kampung Bintang, yang letaknya agak jauh dari danau. Konsekuensinya, Lut Tawar tidak akan tercemari dengan sampah rumah tangga, dan bentuk pencemaran lain yang berakibat pada sendimentasi, dan ketidakseimbangan danau. Konsep yang pertama berlaku pula dalam pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sebagai akibatnya, danau tidak akan tercemari pupuk organik, pestisida, dan bahan-bahan yang dapat membahayakan kelangsungan biota kedanauan lainnya, baik secara ragawi, maupun secara sosial. Selanjutnya, bertalian dengan hutan, sebelumnya, masyarakat Gayo biasa membudidayakan penanaman ‘jedem’ (bahasa Gayo), salah satu tumbuhan yang ditanam di kaki gunung seputar danau. Bagian daunnya yang tebal, dan tajam tidak memungkinkan hewan liar masuk ke lahan perkebunan penduduk. Tumbuhan ini juga menyerap banyak air, sehingga bila terjadi kebakaran, apinya tidak akan sampai ke lahan perkebunan penduduk, dan gunung-gunung yang dipenuhi pinus mercusi. Sayangnya, ketiga hal di atas tidak lagi ditumbuh-kemangkan, dan diberdayakan di Takengen.

Salah satu penyebab akumulasi kerusakan danau ini (tambah ekosistem Takengen umumnya), adalah kurang diberinya ruang bagi pemerintahan sistem tradisional yang ada di Gayo, Takengon, terlebih-lebih di seputar danau untuk hidup. Lembaga tradisional dimaksud adalah pemerintahan Sarak Opat, tambah bagian-bagian terkait persoalan di atas, khususnya pawang, kejurun belang, pengulu uten, pengulu uwer, pawang lut, dan pengulu rerak (al-Gayoni, www.gayolinge.com, 11 November 2009). Sistem keadatan melalui pemerintahan Sarak Opat yang menjadi bagian sistem sosial kemasyarakatan orang Gayo tersebut tidak lagi berjalan. Hanya sebatas simbol, dan pelengkap yang kaku. Akibatnya, lembaga keadatan tidak lagi bermarwah, dan berwibawa. Begitu juga dengan tanggung jawab moral secara personal, lembaga keadatan, dan kolektif prihal pemeliharaan lingkungan sekitar tidak lagi berjalan dengan baik.

Ketakseimbangan ekosistem tersebut tidak sebatas fisik (biotik) seperti paparan di atas, tetapi juga non-fisik (abiotik), khususnya di tataran sosial. Penyusutan sosial-ekologis terjadi di masyarakat seputar danau. Hal tersebut terjadi pula pada masyarakat Takengen, dan umumnya tanoh Gayo. Hal tersebut ditandai dengan perubahan-perubahan norma, nilai, dan budaya masyarakat seputar danau, yang salah satunya ada dalam bahasa. Dalam sudut pandang, ekolinguistik atau ekologi bahasa, lingkungan berbahasa masyarakat penutur dengan pemakaian bahasa Gayo telah banyak berubah. Perubahan tersebut erat kaitannya dengan perubahan sosio-ekologis tadi. Hubungan tersebut saling mempengaruhi satu sama lain, baik dari perspektif bahasa, maupun dari perspektif lingkungannya. Banyak leksikon yang tidak dikenal lagi, dan terekam dalam ingatan pentuturnya, terlebih-lebih penutur yang lebih muda (generasi muda). Sementara itu, seperti kata Einar Haugen, ekologi bahasa ditentukan melalui pembelajaran, penggunaan, dan peng-alihan bahasa tersebut. Misalnya, sebelumnya, penamaan kampung di seputar danau sebanyak 128 kampung (Saleh, 2009). Namun, saat ini masyarakat Gayo, khususnya generasi muda tidak lagi mengenal nama-nama tempat tersebut, karena tidak berjalannya alih bahasa, dan budaya seperti yang disyarakatkan Haugen dalam kajian Ekolinguistik.

Boleh jadi, masih banyak lagi konsep-konsep ekologis dalam pemeliharaan lingkungan dalam masyarakat Gayo. Kekayaan konsep tersebut, seperti dijelaskan di atas, terekam dan tergambar dalam bahasa melalui kosakata yang ada dalam bahasa Gayo. Dikarenakan, gambaran fisik, dan sosial penutur suatu bahasa ada dalam kosakatanya, seperti yang dijelaskan Edward Sapir. Karenanya, ke depan, perlu dikaji-ulang persoalan pemeliharaan, dan penyelamatan lingkungan yang ada dalam bahasa, dan budaya Gayo. Pengkajian tersebut perlu dilakukan, dalam mentransmisikan dan pemberdayaan konsep-konsep sosio-ekologis kepada generasi muda, mengingat pentingnya pemeliharaan, dan pewarisan lingkungan yang ada kepada generasi mendatang.


*Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Konsentrasi Ekolinguistik

Sumber : http://www.gayolinge.com/detail/Opini/News/328-Konsep_Sosio_Ekologis_Masyarakat_Gayo__dalam_Pemeliharaan_Ekosistem (Diakses tanggal 24 Desember 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar